MEMBERITAKAN PENYAKIT
Dear Journalist,
Beberapa tahun lalu, Ir. Sutami, Menteri PU diberitakan pers menderita penyakit kekurangan gizi dan pemain bulutangkis Rudy Hartono Kurniawan diberitakan terkena penyakit gula. Hahaha.....bad news is good news. Betapa tidak. Seorang menteri bisa kurang gizi dan seorang olahragawan bisa menderita penyakit.
Tapi sebelum keterlanjuran sakit perut (karena gelinya) Anda mestinya berhati-hati dalam hal ini.
Masalah penyakit, adalah masalah pribadi. Pertama, orang selalu ingin disebut sehat, dan tak mau dikait-kaitkan dengan penyakit. Kedua, tak ada orangyang bangga disebut berpenyakitan. Apalagi bila jenis penyakit itu kedengarannya agak memalukan seperti alkoholik, beri-beri, eksim, bengek atau penyakit asma menahun, dan sebagainya.
Jika Anda merasa perlu menyebut, selalu pertimbangan beberapa hal ini. Apakah dengan menyebutkan nama penyakit yang diderita seseorang itu kepentingan masyarakat terlindungi ? Apakah informasi itu penting agar masyarakat menjadi lebih peka dan concern terhadap kesehatan dan kebersihan ? Apakah jika Anda tidak menyebut penyakitnya, Anda merasa justru telah mengorbankan kepentingan masyarakat ?
Kesimpulannya, Anda harus tahu kapan seharusnya menyebutkan seseorang menderita akoholik dan kapan memberitakannya sebagai 'sekadar' mengidap kerusakan liver. Jangan sampai Anda memberitakannya hanya karena ingin menunjukkan kebebasan pers di mata kami.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Tampilkan postingan dengan label etika dan kebijakan pemberitaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label etika dan kebijakan pemberitaan. Tampilkan semua postingan
11 Mei 2009
Hukum Bogart
HUKUM BOGART TENTANG ANJING MENGGIGIT
Dear Journalist,
John Bogart, editor kota The New York Sun pada tahun 1890-an, mengeluarkan kredo, "Kalau ada anjing menggigit orang, itu bukan berita; kalau ada orang menggigit anjing itu baru berita." Karena komiditi Anda adalah berita, maka Anda pun mengikuti kredo itu, yang kami sebut gampangnya sebagai Hukum Bogart.
So, jika semua pejabat jujur, Anda akan menganggapnya bukan berita, karena itu sesuatu yang --take it for granted--, sudah seharusnya. Demikian juga jika ada anak cerdas datang dari keluarga harmonis, atau seorang artis meninggal karena usia lanjut, Anda tidak menganggap berita itu punya news worthy atau news value. Ditulis sih ditulis, tapi tak perlu di halaman utama. Pendeknya, apa saja yang berjalan sesuai norma, nilai atau kaidah umum yang berlaku, atau hanya sekadar proses alamiah belaka, Anda anggap tak menarik, dan tak layak berita. "Maklumlah. Halaman atau space media kami terbatas. Dan yang terbatas itu jelas hanya layak kami sediakan untuk yang benar-benar istimewa," kata seorang redaktur.
Tentu saja yang Anda anggap istimewa adalah yang di luar norma, nilai dan kaidah yang berlaku umum itu. Misalnya? Si subyek adalah orang terkenal atau orang kaya. Dan kalau itu menyangkut berita kematian, sebaiknya terjadi karena kasus pembunuhan atau kematian tak wajar. Syukur-syukur, si pelaku atau motif pembunuhan agak misterius. Begitulah, semakin seru, semakin yahud.
Jadi, yang termasuk berita istimewa juga bila ada keluarga yang tampak harmonis tapi anaknya menjadi pembunuh, atau jika ada seorang ayah memperkosa anak kandungnya. Dan itu pun masih bisa berkembang sesuai Hukum Bogart: kalau korupsi mulai dianggap sebagai sesuatu yang lumrah (terutama di Indonesia!), maka Anda pun mulai menganggap bahwa tindak korupsi itu bukan berita, kecuali jika si koruptor ternyata pejabat yang dikenal jujur. Dan bila perkosaan ayah terhadap anak kandungnya sudah menjadi biasa, maka yang diharapkan adalah berita tentang seorang ibu yang memperkosa anak kandungnya.
Tahukah Anda, Bung, bahwa Hukum Bogart itu sering membuat Anda tanpa sadar untuk mengalalkan segala cara? Tahukah Anda, Bung bahwa Hukum Bogart kerap menjebak Anda tanpa sadar, Anda terdorong untuk mengada-ada dan mengarang cerita?
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
John Bogart, editor kota The New York Sun pada tahun 1890-an, mengeluarkan kredo, "Kalau ada anjing menggigit orang, itu bukan berita; kalau ada orang menggigit anjing itu baru berita." Karena komiditi Anda adalah berita, maka Anda pun mengikuti kredo itu, yang kami sebut gampangnya sebagai Hukum Bogart.
So, jika semua pejabat jujur, Anda akan menganggapnya bukan berita, karena itu sesuatu yang --take it for granted--, sudah seharusnya. Demikian juga jika ada anak cerdas datang dari keluarga harmonis, atau seorang artis meninggal karena usia lanjut, Anda tidak menganggap berita itu punya news worthy atau news value. Ditulis sih ditulis, tapi tak perlu di halaman utama. Pendeknya, apa saja yang berjalan sesuai norma, nilai atau kaidah umum yang berlaku, atau hanya sekadar proses alamiah belaka, Anda anggap tak menarik, dan tak layak berita. "Maklumlah. Halaman atau space media kami terbatas. Dan yang terbatas itu jelas hanya layak kami sediakan untuk yang benar-benar istimewa," kata seorang redaktur.
Tentu saja yang Anda anggap istimewa adalah yang di luar norma, nilai dan kaidah yang berlaku umum itu. Misalnya? Si subyek adalah orang terkenal atau orang kaya. Dan kalau itu menyangkut berita kematian, sebaiknya terjadi karena kasus pembunuhan atau kematian tak wajar. Syukur-syukur, si pelaku atau motif pembunuhan agak misterius. Begitulah, semakin seru, semakin yahud.
Jadi, yang termasuk berita istimewa juga bila ada keluarga yang tampak harmonis tapi anaknya menjadi pembunuh, atau jika ada seorang ayah memperkosa anak kandungnya. Dan itu pun masih bisa berkembang sesuai Hukum Bogart: kalau korupsi mulai dianggap sebagai sesuatu yang lumrah (terutama di Indonesia!), maka Anda pun mulai menganggap bahwa tindak korupsi itu bukan berita, kecuali jika si koruptor ternyata pejabat yang dikenal jujur. Dan bila perkosaan ayah terhadap anak kandungnya sudah menjadi biasa, maka yang diharapkan adalah berita tentang seorang ibu yang memperkosa anak kandungnya.
Tahukah Anda, Bung, bahwa Hukum Bogart itu sering membuat Anda tanpa sadar untuk mengalalkan segala cara? Tahukah Anda, Bung bahwa Hukum Bogart kerap menjebak Anda tanpa sadar, Anda terdorong untuk mengada-ada dan mengarang cerita?
Salam kompak,
Khalayak Anda
Tentang AIDS Dll
TENTANG MENYEBUT: AIDS, HIV, PENYAKIT AIDS, ATAU... ?
Dear Journalist,
Berikut sejumlah kesalah-kaprahan yang biasanya Anda buat dalam hal menyebut sejumlah terminologi AIDS, yang mengakibatkan kami juga sering dibuat bingung.
Anda sering menyebut, "penyakit AIDS". Ini tidak tepat. Sebut saja, "AIDS", ini lebih tepat. Anda juga sering menyebut, "tertular AIDS" atau "terkena AIDS". Yang benar dan tepat, "terinfeksi HIV" atau "tertular HIV".
Anda juga sering menyebut, "pembawa AIDS". Yang tepat, "pengidap HIV", atau "HIV positif" atau, "virus penyebab HIV".
Sering juga Anda menyebut, "virus AIDS". Sebut saja, "HIV" atau "virus penyebab HIV". Juga masih banyak di antara Anda yang menggunakan istilah "tes AIDS". Padahal yang benar, "tes HIV", atau "tes antibodi HIV" Atau, menyebut, "virus HIV". Padahal yang
lebih tepat "HIV" saja. Oya, bahkan masih banyak di antara Anda yang menulis "AIDS", dengan menulis "Aids" atau "aids". Ini salah dan menggelikan.
Supaya Anda tidak keliru, kami anjurkan, sebaiknya baca buku: "11 Langkah Memahami AIDS" yang diterbitkan oleh Pusat Media & Pelatihan AIDS untuk Wartawan, LP3Y, Lentera PKBI-DI dan The Ford Foundation.
Jika menggunakan terminologi saja Anda telah keliru, jujur saja kami katakan, agak sulit bagi kami untuk menaruh kepercayaan pada kebenaran informasi Anda.
Salam kompak selalu
Khalayak Anda
Dear Journalist,
Berikut sejumlah kesalah-kaprahan yang biasanya Anda buat dalam hal menyebut sejumlah terminologi AIDS, yang mengakibatkan kami juga sering dibuat bingung.
Anda sering menyebut, "penyakit AIDS". Ini tidak tepat. Sebut saja, "AIDS", ini lebih tepat. Anda juga sering menyebut, "tertular AIDS" atau "terkena AIDS". Yang benar dan tepat, "terinfeksi HIV" atau "tertular HIV".
Anda juga sering menyebut, "pembawa AIDS". Yang tepat, "pengidap HIV", atau "HIV positif" atau, "virus penyebab HIV".
Sering juga Anda menyebut, "virus AIDS". Sebut saja, "HIV" atau "virus penyebab HIV". Juga masih banyak di antara Anda yang menggunakan istilah "tes AIDS". Padahal yang benar, "tes HIV", atau "tes antibodi HIV" Atau, menyebut, "virus HIV". Padahal yang
lebih tepat "HIV" saja. Oya, bahkan masih banyak di antara Anda yang menulis "AIDS", dengan menulis "Aids" atau "aids". Ini salah dan menggelikan.
Supaya Anda tidak keliru, kami anjurkan, sebaiknya baca buku: "11 Langkah Memahami AIDS" yang diterbitkan oleh Pusat Media & Pelatihan AIDS untuk Wartawan, LP3Y, Lentera PKBI-DI dan The Ford Foundation.
Jika menggunakan terminologi saja Anda telah keliru, jujur saja kami katakan, agak sulit bagi kami untuk menaruh kepercayaan pada kebenaran informasi Anda.
Salam kompak selalu
Khalayak Anda
Pikirkan Juga Dampaknya
PIKIRKAN JUGA DAMPAKNYA
Dear Journalist,
"Kata-kata lisan atau tulisan yang paling menyedihkan adalah kata-kata yang tidak Anda pikir ketika itu." Itulah ucapan Betty Billipp yang segera terngiang ketika kami menulis surat ini.
Taruhlah, Anda telah mempertimbangkan masak-masak dalam hal mengumpulkan data, juga telah mempertimbangkan baik-baik dalam hal bagaimana menuliskan yang benar sampai ke titik-koma. Bahkan mungkin Anda juga telah mempertimbangkan masak-masak ketika mempublikasikannya. Apakah berarti berita Anda sudah aman?
Anda tentu masih ingat kasus Monitor pada tahun 1990 lalu ketika menyiarkan hasil angket pembacanya, yang mencantumkan Nabi Muhammad SAW di peringkat ketiga. Menurut redaksinya, berita itu aman untuk disiarkan karena sudah memenuhi kaidah jurnalistik. Tapi lihatlah, dampaknya.
Pada tahun 1993, sebuah majalah melansir hasil penelitian yang menemukan bahwa banyak wanita Indonesia memiliki PIL (Pria Idaman Lain). Penelitian itu tentu saja sahih secara akademik karena dilakukan seorang pakai psikologi, dan aman dipandang dari segi jurnalistik, terutama karena berdasarkan fakta dan teori-teori ilmu psikologi. Tapi apa hasilnya ? Menteri Uurusan Peranan Wanita Mien Sugandhi dan Dekan Fakultas Psikologi UI Dr. Yaumil Akhir bereaksi keras.
Memang tak selalu berakibat buruk. Tapi tak ada jeleknya Anda memperhatikan hal ini, terutama jika tulisan menyangkut kelompok (wanita, pria, atau bencong), golongan, agama, atau etnis.
Ingatlah selalu, kami terdiri dari sekumpulan orang yang punya tingkat pengalaman, pandangan, pemahaman, kepentingan dan perasaan berbeda-beda dalam menangkap sebuah informasi.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
"Kata-kata lisan atau tulisan yang paling menyedihkan adalah kata-kata yang tidak Anda pikir ketika itu." Itulah ucapan Betty Billipp yang segera terngiang ketika kami menulis surat ini.
Taruhlah, Anda telah mempertimbangkan masak-masak dalam hal mengumpulkan data, juga telah mempertimbangkan baik-baik dalam hal bagaimana menuliskan yang benar sampai ke titik-koma. Bahkan mungkin Anda juga telah mempertimbangkan masak-masak ketika mempublikasikannya. Apakah berarti berita Anda sudah aman?
Anda tentu masih ingat kasus Monitor pada tahun 1990 lalu ketika menyiarkan hasil angket pembacanya, yang mencantumkan Nabi Muhammad SAW di peringkat ketiga. Menurut redaksinya, berita itu aman untuk disiarkan karena sudah memenuhi kaidah jurnalistik. Tapi lihatlah, dampaknya.
Pada tahun 1993, sebuah majalah melansir hasil penelitian yang menemukan bahwa banyak wanita Indonesia memiliki PIL (Pria Idaman Lain). Penelitian itu tentu saja sahih secara akademik karena dilakukan seorang pakai psikologi, dan aman dipandang dari segi jurnalistik, terutama karena berdasarkan fakta dan teori-teori ilmu psikologi. Tapi apa hasilnya ? Menteri Uurusan Peranan Wanita Mien Sugandhi dan Dekan Fakultas Psikologi UI Dr. Yaumil Akhir bereaksi keras.
Memang tak selalu berakibat buruk. Tapi tak ada jeleknya Anda memperhatikan hal ini, terutama jika tulisan menyangkut kelompok (wanita, pria, atau bencong), golongan, agama, atau etnis.
Ingatlah selalu, kami terdiri dari sekumpulan orang yang punya tingkat pengalaman, pandangan, pemahaman, kepentingan dan perasaan berbeda-beda dalam menangkap sebuah informasi.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Penelitian Yang Menggemparkan
PENELITIAN YANG MENGGEMPARKAN
Dear Journalist,
Sebanyak 8,5 persen responden remaja bila berpacaran tidak hanya berciuman tapi juga bersenggama. Astaga! Itu hasil angket yang dilakukan oleh seorang siswa SLTA Yogyakarta bernama Sulistyo Eko pada tahun 1982.
Berita lain: Sebanyak 12 persen siswi SMTA di Jawa Timur melakukan praktek perek, atau perempuan eksperimen. Penelitian ini dilakukan oleh oleh Badan Pembina Penanggulangan Narkotika dan Kenakalan Anak-anak dan Remaja Jawa Timur yang mengambil 466 sampel siswa-siswi dari lima kota besar Jawa Timur: Surabaya, Malang, Kediri, Jember dan Madiun. Hasilnya, 42 persen remaja yang duduk di bangku SMTA ternyata mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum nikah,, dan 47 persen siswa-siswi pernah berciuman di tempat umum, 56 persen mencolek anggota tubuh lawan jenis, 68 persen suka menonton film biru, 33 persen menyenangi gambar porno, dan 80 persen pernah ngintip. Tak hanya itu, sebanyak 12 persen siswi SMTA itu ternyata melakukan praktek perek alias 'perempuan eksperimen', yaitu melakukan hubungan seks dengan berbagai laki-laki terutama untuk menjadi kesenangan semata. Juga terungkap, 27 persen siswa SMTA suka bermain dengan WTS dan 50 persen sering berkunjung ke panti-panti pijat.
Ada lagi: Di Jakarta, sebanyak 51,7 persen responden dari 100 siswa di 26 SMTA di Jakarta mengaku pernah melakukan hubungan seks. Separuh melakukannya dengan pacar atau teman di luar sekolah, 34 persen dengan teman/ pacar di sekolah, 10 persen dengan pacar sekelas, sisanya, 4 persen dengan pelacur/ hidung belang, dan 2 persen dengan istri/ suami orang lain. Ini hasil penelitian Majalah Editor terhadap 100 siswa-siswi di 26 SMTA di Jakarta.
Tahun 1992, ada hasil penelitian tak kalah seru: Satu di antara tiga pria di Jakarta pernah melakukan selingkuh seksual. Penelitian ini dilakukan oleh Dr. Naek L Tobing atas spopnsor majalah Matra. Majalah lain, tak mau kalah: Sebagian besar wanita di Jakarta punya Pria Idaman Lain (PIL). Penelitian ini dilakukan oleh Dr. Sukiat, atas sponsor majalah TIARA pada tahun 1993. Itu hanya sebagian kecil hasil penelitian yang dilakukan pada antara tahun 1980-1995 dan dipublikasikan secara luas di media massa.
Membaca temuan itu, tentu saja kami terkesiap, kaget, gemas, dan marah bukan main. Sebegitu bejatkah masyarakat kita ? Kami pun menggugat Anda dengan sejumlah pertanyaan standar, sebisa kami, karena itulah memang yang selalu kami ingat: Apakah penelitian itu valid? Apa metodologinya benar ? Apa sampelnya tidak terlalu kecil unrtuk menyimpulkan suatu masalah yang sifatnya mencakup keseluruhan masyarakat ? Apakah respondennya sahih ? Apakah temuan itu bukan hasil rekayasa sekadar untuk mendukung asumsi Anda ? Kalaupun semua itu sudah Anda lakukan dengan benar, kenapa hal itu harus Anda beritakan? Jangan-jangan penelitian itu Anda lakukan hanya sekadar untuk membuat sensasi belaka ? Apakah itu bukan sekadar kiat agar media Anda laku? Apakah hal itu tidak membuat masyarakat resah yang pada akhirnya menganggu ketertiban dan keamanan nasional ? Apakah penelitian itu tidak malah membuat moral kami merosot ? Apakah ongkos penelitian itu sudah Anda pertimbangkan untuk mengimbangi ongkos sosial akibat dampak yang dihasilkan dari laporan itu ? Apakah publikasi hasil riset di media Anda itu tidak malah melahirkan misleading (salah arah) ?
1001 pertanyaan kami yang mengandung kekesalan itu mungkin tidak sepatutnya, terutama bila yang terjadi, Anda menjadi jeri. Tapi --bukan kami karena sok puritan-- kami memang wajib mempertanyakan ulang dan menggugat Anda. Sebab adalah tetap menjadi tugas Anda untuk selalu giat melakukan penelitian-penelitian dan melaporkan temuan-temuan atas realita itu, betapa pun pahitnya, daripada Anda hanya pandai melaporkan berita-berita bagus, yang membuai kami. Hanya, selalu ingatlah, dampaknya.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
Sebanyak 8,5 persen responden remaja bila berpacaran tidak hanya berciuman tapi juga bersenggama. Astaga! Itu hasil angket yang dilakukan oleh seorang siswa SLTA Yogyakarta bernama Sulistyo Eko pada tahun 1982.
Berita lain: Sebanyak 12 persen siswi SMTA di Jawa Timur melakukan praktek perek, atau perempuan eksperimen. Penelitian ini dilakukan oleh oleh Badan Pembina Penanggulangan Narkotika dan Kenakalan Anak-anak dan Remaja Jawa Timur yang mengambil 466 sampel siswa-siswi dari lima kota besar Jawa Timur: Surabaya, Malang, Kediri, Jember dan Madiun. Hasilnya, 42 persen remaja yang duduk di bangku SMTA ternyata mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum nikah,, dan 47 persen siswa-siswi pernah berciuman di tempat umum, 56 persen mencolek anggota tubuh lawan jenis, 68 persen suka menonton film biru, 33 persen menyenangi gambar porno, dan 80 persen pernah ngintip. Tak hanya itu, sebanyak 12 persen siswi SMTA itu ternyata melakukan praktek perek alias 'perempuan eksperimen', yaitu melakukan hubungan seks dengan berbagai laki-laki terutama untuk menjadi kesenangan semata. Juga terungkap, 27 persen siswa SMTA suka bermain dengan WTS dan 50 persen sering berkunjung ke panti-panti pijat.
Ada lagi: Di Jakarta, sebanyak 51,7 persen responden dari 100 siswa di 26 SMTA di Jakarta mengaku pernah melakukan hubungan seks. Separuh melakukannya dengan pacar atau teman di luar sekolah, 34 persen dengan teman/ pacar di sekolah, 10 persen dengan pacar sekelas, sisanya, 4 persen dengan pelacur/ hidung belang, dan 2 persen dengan istri/ suami orang lain. Ini hasil penelitian Majalah Editor terhadap 100 siswa-siswi di 26 SMTA di Jakarta.
Tahun 1992, ada hasil penelitian tak kalah seru: Satu di antara tiga pria di Jakarta pernah melakukan selingkuh seksual. Penelitian ini dilakukan oleh Dr. Naek L Tobing atas spopnsor majalah Matra. Majalah lain, tak mau kalah: Sebagian besar wanita di Jakarta punya Pria Idaman Lain (PIL). Penelitian ini dilakukan oleh Dr. Sukiat, atas sponsor majalah TIARA pada tahun 1993. Itu hanya sebagian kecil hasil penelitian yang dilakukan pada antara tahun 1980-1995 dan dipublikasikan secara luas di media massa.
Membaca temuan itu, tentu saja kami terkesiap, kaget, gemas, dan marah bukan main. Sebegitu bejatkah masyarakat kita ? Kami pun menggugat Anda dengan sejumlah pertanyaan standar, sebisa kami, karena itulah memang yang selalu kami ingat: Apakah penelitian itu valid? Apa metodologinya benar ? Apa sampelnya tidak terlalu kecil unrtuk menyimpulkan suatu masalah yang sifatnya mencakup keseluruhan masyarakat ? Apakah respondennya sahih ? Apakah temuan itu bukan hasil rekayasa sekadar untuk mendukung asumsi Anda ? Kalaupun semua itu sudah Anda lakukan dengan benar, kenapa hal itu harus Anda beritakan? Jangan-jangan penelitian itu Anda lakukan hanya sekadar untuk membuat sensasi belaka ? Apakah itu bukan sekadar kiat agar media Anda laku? Apakah hal itu tidak membuat masyarakat resah yang pada akhirnya menganggu ketertiban dan keamanan nasional ? Apakah penelitian itu tidak malah membuat moral kami merosot ? Apakah ongkos penelitian itu sudah Anda pertimbangkan untuk mengimbangi ongkos sosial akibat dampak yang dihasilkan dari laporan itu ? Apakah publikasi hasil riset di media Anda itu tidak malah melahirkan misleading (salah arah) ?
1001 pertanyaan kami yang mengandung kekesalan itu mungkin tidak sepatutnya, terutama bila yang terjadi, Anda menjadi jeri. Tapi --bukan kami karena sok puritan-- kami memang wajib mempertanyakan ulang dan menggugat Anda. Sebab adalah tetap menjadi tugas Anda untuk selalu giat melakukan penelitian-penelitian dan melaporkan temuan-temuan atas realita itu, betapa pun pahitnya, daripada Anda hanya pandai melaporkan berita-berita bagus, yang membuai kami. Hanya, selalu ingatlah, dampaknya.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Ketidak-akuratan
KETIDAK-AKURATAN
Dear Journalist,
Wartawan adalah orang yang dikendalikan oleh hal-hal yang tak masuk akal, yang dinamakan berita, kata Red Whittmore. Kami setuju 100 persen.
Pagi ini Anda mungkin masih di kantor membaca koran pagi. Tapi siangnya, mungkin saja Anda sudah berada di Pulau Mentawai meliput peresmian proyek lingkungan yang dilakukan seorang menteri. Dan malamnya Anda sudah harus kembali, karena harus menghadiri peluncuran buku dari seorang tokoh penting. Baru malamnya, dalam keadaan mengantuk dan loyo berat, Anda mulai menuliskan semua yang Anda lihat-cium-raba-dengar itu untuk segera dipublikasikan dalam kesempatan pertama.
Anda memang harus menyiarkan semua informasi yang Anda ketahui sesegera mungkin agar Anda muncul sebagai pemenang. Sehingga peristiwa yang terjadi hari ini atau jam ini pun sebisa mungkin Anda akan sampaikan pada hari dan jam ini juga. Hm, sebuah konsekuensi logis dari persaingan ketat yang terjadi antar-media.
Komoditi Anda adalah informasi. Karena itu, tugas Anda adalah menyampaikan informasi itu tepat waktu, cermat dan efektif agar kami segera memiliki gambaran utuh tentang persoalan yang Anda tulis. Tapi, mungkinkah itu terjadi, bila Anda salah mengetik, salah mengeja nama, Anda salah menafsirkan persoalan, Anda salah memilih nara-sumber, atau salah membuat perimbangan berita? Karena inti dari segala standar komunikasi adalah menyebarkan kebenaran, maka kesalahan-kesalahan kecil ini harus kami sebut sebagai fatal.
Perlu Anda ketahui, bahwa ketidak-akuratan dan kesalahan yang Anda buat itu, cepat atau lambat, akan menggerogoti keyakinan, kepercayaan dan penghormatan kami kepada Anda.
Oke, produk Anda memang rentan dengan ketidak-akuratan karena dihasilkan dengan cara berlomba-lomba dengan waktu. Tapi menurut kami, produk Anda mestinya juga merupakan hasil gemilang dari perjuangan Anda melawan waktu.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
Wartawan adalah orang yang dikendalikan oleh hal-hal yang tak masuk akal, yang dinamakan berita, kata Red Whittmore. Kami setuju 100 persen.
Pagi ini Anda mungkin masih di kantor membaca koran pagi. Tapi siangnya, mungkin saja Anda sudah berada di Pulau Mentawai meliput peresmian proyek lingkungan yang dilakukan seorang menteri. Dan malamnya Anda sudah harus kembali, karena harus menghadiri peluncuran buku dari seorang tokoh penting. Baru malamnya, dalam keadaan mengantuk dan loyo berat, Anda mulai menuliskan semua yang Anda lihat-cium-raba-dengar itu untuk segera dipublikasikan dalam kesempatan pertama.
Anda memang harus menyiarkan semua informasi yang Anda ketahui sesegera mungkin agar Anda muncul sebagai pemenang. Sehingga peristiwa yang terjadi hari ini atau jam ini pun sebisa mungkin Anda akan sampaikan pada hari dan jam ini juga. Hm, sebuah konsekuensi logis dari persaingan ketat yang terjadi antar-media.
Komoditi Anda adalah informasi. Karena itu, tugas Anda adalah menyampaikan informasi itu tepat waktu, cermat dan efektif agar kami segera memiliki gambaran utuh tentang persoalan yang Anda tulis. Tapi, mungkinkah itu terjadi, bila Anda salah mengetik, salah mengeja nama, Anda salah menafsirkan persoalan, Anda salah memilih nara-sumber, atau salah membuat perimbangan berita? Karena inti dari segala standar komunikasi adalah menyebarkan kebenaran, maka kesalahan-kesalahan kecil ini harus kami sebut sebagai fatal.
Perlu Anda ketahui, bahwa ketidak-akuratan dan kesalahan yang Anda buat itu, cepat atau lambat, akan menggerogoti keyakinan, kepercayaan dan penghormatan kami kepada Anda.
Oke, produk Anda memang rentan dengan ketidak-akuratan karena dihasilkan dengan cara berlomba-lomba dengan waktu. Tapi menurut kami, produk Anda mestinya juga merupakan hasil gemilang dari perjuangan Anda melawan waktu.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Informasi Salah untuk Wilayah Sensitif
INFORMASI SALAH UNTUK WILAYAH SENSITIF
Dear Journalist,
Pada tahun 1982, seorang ibu yang tinggal di Yogyakarta, --setelah naik kereta api, sepanjang malam--, mendatangi kantor sebuah majalah di Jakarta. Ia protes karena gambar sampul edisi terakhir majalah itu memasang foto suaminya --yang waktu itu sangat terkenal-- bersama seorang wanita --entah siapa-- yang dikatakan sebagai istrinya. Akibat pemuatan itu, anak-anaknya yang sudah remaja mogok sekolah, karena malu. Menurut pengakuannya, ia pun mendapat banyak pertanyaan --termasuk cemooh-- dari tetangga dan handaitaulannya. Apa pasal? Di depan redaktur yang menjumpainya, dengan emosi ia mengatakan --sambil membeberkan bukti-bukti-- bahwa ialah istrinya yang sah, dan bukan wanita itu.
"Astaga," wajah redaktur itu pucat pasi. Ia menatap wajah si ibu.
Dan setelah lama terpukau, sang redaktur mencoba membela diri dengan bodoh. "Tapi dia mengatakan bahwa itu istrinya."
Si ibu berang, "Bagaimana Anda yakin bahwa dia benar-benar istrinya? Apakah Anda sudah menanyakan surat kawinnya?"
"Begitulah setidak-tidaknya pengakuannya. Dan kami percaya saja." Konyol!
Terus terang kami tak ingin Anda bertindak konyol seperti redaktur majalah itu. Ia terlalu ceroboh mempublikasikan berita tanpa melalukan pengecekan, untuk sesuatu hal yang termasuk wilayah sensitif. Apalagi mendasarkan tulisan hanya pada kabar angin atau desas-desus, kecuali Anda wartawan penerbitan gosip.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
Pada tahun 1982, seorang ibu yang tinggal di Yogyakarta, --setelah naik kereta api, sepanjang malam--, mendatangi kantor sebuah majalah di Jakarta. Ia protes karena gambar sampul edisi terakhir majalah itu memasang foto suaminya --yang waktu itu sangat terkenal-- bersama seorang wanita --entah siapa-- yang dikatakan sebagai istrinya. Akibat pemuatan itu, anak-anaknya yang sudah remaja mogok sekolah, karena malu. Menurut pengakuannya, ia pun mendapat banyak pertanyaan --termasuk cemooh-- dari tetangga dan handaitaulannya. Apa pasal? Di depan redaktur yang menjumpainya, dengan emosi ia mengatakan --sambil membeberkan bukti-bukti-- bahwa ialah istrinya yang sah, dan bukan wanita itu.
"Astaga," wajah redaktur itu pucat pasi. Ia menatap wajah si ibu.
Dan setelah lama terpukau, sang redaktur mencoba membela diri dengan bodoh. "Tapi dia mengatakan bahwa itu istrinya."
Si ibu berang, "Bagaimana Anda yakin bahwa dia benar-benar istrinya? Apakah Anda sudah menanyakan surat kawinnya?"
"Begitulah setidak-tidaknya pengakuannya. Dan kami percaya saja." Konyol!
Terus terang kami tak ingin Anda bertindak konyol seperti redaktur majalah itu. Ia terlalu ceroboh mempublikasikan berita tanpa melalukan pengecekan, untuk sesuatu hal yang termasuk wilayah sensitif. Apalagi mendasarkan tulisan hanya pada kabar angin atau desas-desus, kecuali Anda wartawan penerbitan gosip.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Yang Berkuasa Pers?
YANG BERKUASA PERS?
Dear Journalist,
Istri Acan diperkosa. Tiga anaknya dibantai di rumahnya sendiri di Bekasi. Hampir semua media massa menurunkan peristiwa sadis yang terjadi pada tahun 1995 itu, di halaman utama, dengan menaruh judul-judul dramatis. Sejumlah radio swasta tak mau ketinggalan mengudarakan berita duka sekaligus sadis itu. Reaksi pun muncul berhari-hari. Hampir semua orang meratapi nasib keluarga Acan dan ikut beramai-ramai mencerca si pelaku. Emosi kita tergerak. Campur-aduk jadi satu. Kita ikut-ikutan menuntut supaya polisi segera bertindak cepat menangkap para pelakunya, dan jangan melempem. Dan ketika perkaranya kemudian benar disidangkan, kita ikut pula marah. Para tersangka kita lempari batu. Bahkan pengacaranya, kita kejar-kejar dan kita aniaya sembari minta agar para hakim menghukum mereka seberat-beratnya.
Hal serupa juga terjadi dalam kasus pembantaian berdarah di rumah Rohadi di Bambu Apus, Jakarta Timur. Pertanyaan kami: kenapa bisa terjadi perasilan oleh massa? Kenapa massa bisa berbuat begitu?
Ariel Heryanto, seorang sosiolog menduga, mungkin ini peletup berbagai kasus lain yang selama ini tertimbun. Dan tahukah Anda, siapa provokatornya? Pers.
Media massa atau pers, kata dia, saking gencar memberitakannya, sampai-sampai melupakan substansi perkaranya, yakni kasus perkosaannya sendiri. Ini membuktikan bahwa media massa memang bisa menjadi kekuatan penekan yang kadangkala bisa lebih agresif dibanding aparat-aparat yang resmi. Lihat saja. Polisi sampai-sampai tergopoh-gopoh menangkap pelakunya, sebab bila tidak, akan diolok-olok massa. Jaksa dan hakim harus segera menyidangkan perkara itu. Ini jelas bisa mengudang bahaya lain. Misalnya, polisi bisa acal comot dan main tangkap, demi memuaskan khalayak, para jaksa bisa berbuat semena-mena memberi ancaman hukuman, karena merasa di atas angin, sementara para hakim enak saja menjatuhkan vonis seberat-beratnya asal menyenangkan massa.
Pers adalah hakim di luar hukum, kata Ariel. Bahkan menurutnya, teori tentang dikotomi negara versus rakyat pun sudah mulai harus dipikir ulang. Sebab ternyata bukan negara yang berkuasa penuh atas masyarakat, tapi pers.
Mulut kamu, harimau kamu, kata pepatah. Bijak-bijaklah meniti buih, saran kami.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
Istri Acan diperkosa. Tiga anaknya dibantai di rumahnya sendiri di Bekasi. Hampir semua media massa menurunkan peristiwa sadis yang terjadi pada tahun 1995 itu, di halaman utama, dengan menaruh judul-judul dramatis. Sejumlah radio swasta tak mau ketinggalan mengudarakan berita duka sekaligus sadis itu. Reaksi pun muncul berhari-hari. Hampir semua orang meratapi nasib keluarga Acan dan ikut beramai-ramai mencerca si pelaku. Emosi kita tergerak. Campur-aduk jadi satu. Kita ikut-ikutan menuntut supaya polisi segera bertindak cepat menangkap para pelakunya, dan jangan melempem. Dan ketika perkaranya kemudian benar disidangkan, kita ikut pula marah. Para tersangka kita lempari batu. Bahkan pengacaranya, kita kejar-kejar dan kita aniaya sembari minta agar para hakim menghukum mereka seberat-beratnya.
Hal serupa juga terjadi dalam kasus pembantaian berdarah di rumah Rohadi di Bambu Apus, Jakarta Timur. Pertanyaan kami: kenapa bisa terjadi perasilan oleh massa? Kenapa massa bisa berbuat begitu?
Ariel Heryanto, seorang sosiolog menduga, mungkin ini peletup berbagai kasus lain yang selama ini tertimbun. Dan tahukah Anda, siapa provokatornya? Pers.
Media massa atau pers, kata dia, saking gencar memberitakannya, sampai-sampai melupakan substansi perkaranya, yakni kasus perkosaannya sendiri. Ini membuktikan bahwa media massa memang bisa menjadi kekuatan penekan yang kadangkala bisa lebih agresif dibanding aparat-aparat yang resmi. Lihat saja. Polisi sampai-sampai tergopoh-gopoh menangkap pelakunya, sebab bila tidak, akan diolok-olok massa. Jaksa dan hakim harus segera menyidangkan perkara itu. Ini jelas bisa mengudang bahaya lain. Misalnya, polisi bisa acal comot dan main tangkap, demi memuaskan khalayak, para jaksa bisa berbuat semena-mena memberi ancaman hukuman, karena merasa di atas angin, sementara para hakim enak saja menjatuhkan vonis seberat-beratnya asal menyenangkan massa.
Pers adalah hakim di luar hukum, kata Ariel. Bahkan menurutnya, teori tentang dikotomi negara versus rakyat pun sudah mulai harus dipikir ulang. Sebab ternyata bukan negara yang berkuasa penuh atas masyarakat, tapi pers.
Mulut kamu, harimau kamu, kata pepatah. Bijak-bijaklah meniti buih, saran kami.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Merekayasa Opini
MERAKAYASA PEMBENTUKAN OPINI
Dear Journalist,
Kode Etik Jurnalistik mengajarkan pada Anda, bahwa berita harus ditulis secara seimbang, obyektif dan tidak memihak. Tapi jangan lupa. Ada lagi yang juag penting, berita harus dikumpulkan secara kesatria. Tapi maafkanlah, kami masih sering membaca tulisan Anda yang terus terang tidak mengesankan hal itu.
Sebagai misal, Anda kerap menulis berita, dengan cara mengumpulkan pendapat dari sejumlah nara-sumber untuk kemudian Anda mengambil sebuah kesimpulan. Apakah menurut Anda persoalan sudah selesai dan kami akan melahapnya mentah-mentah?
Lihat, Anda membuat angket, polling atau apa pun namanya, dengan dalih memberdayakan pembaca atau pemirsa Anda (hebat ya?). Topik dipilih, sesuka-suka Anda. Misalnya, Siapa Tokoh Terfavorit Menurut Anda, Siapa Presiden Pilihan Anda dan sejenisnya (Pendeknya, semakin bombas semakin bagus!). Dari sana, Anda pun membuat laporan, dan menarik sebuah kesimpulan. Jangan dulu merasa hebat.
Seberapa banyak orang bisa terkesan membaca tulisan semacam itu? Dengan segera orang bisa mencium bahwa tulisan semacam itu dimulai dari syakwasangka atau opini Anda. Dengan kata lain, Anda mengawalinya dengan menetapkan jawaban atau kesimpulan, dan baru kemudian Anda menyusun pertanyaan untuk mendukung asumsi Anda itu.
Nah coba pikir, apakah mereyakasa pembentukan opini, bisa dianggap sebagai cara ksatria?
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
Kode Etik Jurnalistik mengajarkan pada Anda, bahwa berita harus ditulis secara seimbang, obyektif dan tidak memihak. Tapi jangan lupa. Ada lagi yang juag penting, berita harus dikumpulkan secara kesatria. Tapi maafkanlah, kami masih sering membaca tulisan Anda yang terus terang tidak mengesankan hal itu.
Sebagai misal, Anda kerap menulis berita, dengan cara mengumpulkan pendapat dari sejumlah nara-sumber untuk kemudian Anda mengambil sebuah kesimpulan. Apakah menurut Anda persoalan sudah selesai dan kami akan melahapnya mentah-mentah?
Lihat, Anda membuat angket, polling atau apa pun namanya, dengan dalih memberdayakan pembaca atau pemirsa Anda (hebat ya?). Topik dipilih, sesuka-suka Anda. Misalnya, Siapa Tokoh Terfavorit Menurut Anda, Siapa Presiden Pilihan Anda dan sejenisnya (Pendeknya, semakin bombas semakin bagus!). Dari sana, Anda pun membuat laporan, dan menarik sebuah kesimpulan. Jangan dulu merasa hebat.
Seberapa banyak orang bisa terkesan membaca tulisan semacam itu? Dengan segera orang bisa mencium bahwa tulisan semacam itu dimulai dari syakwasangka atau opini Anda. Dengan kata lain, Anda mengawalinya dengan menetapkan jawaban atau kesimpulan, dan baru kemudian Anda menyusun pertanyaan untuk mendukung asumsi Anda itu.
Nah coba pikir, apakah mereyakasa pembentukan opini, bisa dianggap sebagai cara ksatria?
Salam kompak,
Khalayak Anda
Kenapa Penganiayaan (harus) Terjadi?
KENAPA PENGANIAYAAN ITU HARUS TERJADI?
Dear Journalist,
Seorang wartawan dianiaya. Wartawan lain disekap, dipukuli dan dibunuh. Berita-berita semacam itu hampir selalu muncul di media massa dan tampaknya tak pernah kendur. Kenapa orang masih tak jera menganiaya dan membunuh wartawan? Apa arti semua ini?
Siapakah orang yang nekad itu? Kalau Anda mau tahu, pssst.... mereka adalah orang yang kecewa dengan pemberitaan Anda yang semberono.
Jelas kami tak bisa mentolerir tindakan seperti itu. Karena mestinya modal dasar bagi adanya berita yang bersih dari kesalahan dan karenanya berita itu harus akurat dan utuh, adalah terjalinnya hubungan yang baik antara anda dan nara-sumber Anda. Namun celakanya, penyebab utama hal ini justru seringkali datang dari Anda sendiri.
Pertama, sikap Anda yang menganggap remeh kesalahan pemberitaan, termasuk dalam katagori ini, adalah sikap Anda yang menganggap kesalahan pemberitaan hanya sebuah human error belaka, dengan dalih, akibat tekanan waktu atau deadline. "adilkah masyarakat menuntut kami menghasilkan produk yang bersih dari kesalahan sementara apa yang kami buat adalah hasil dari perlombaan dengan waktu?" itu kata Anda yang menjengkelkan.
Kesalahan Anda yang berikut adalah anggapan bahwa adanya Hak Jawab bisa menjadi solusi terbaik, dan satu-satunya cara bijaksana untuk membereskan salah pemberitaan. Coba amati baik-baik. Maka kita punya pandangan berbeda tentang Hak Jawab ini.
Sementara Anda menganggap Hak Jawab merupakan satu-satunya solusi bijaksana, justru kami menganggap kesalahan itu sendiri seharusnya tak boleh terjadi. Jelas sudah, Hak Jawab tidak bisa secara segera menyelesaikan persoalan dan merehabilitasi nama baik kami. Apalagi sikap Anda selama ini terhadap Hak Jawab yang memberi kesan --sebagaimana kami tuliskan dalam surat sebelumnya-- tak terlalu mengangganya sebagai sesuatu yang serius.
Kesalahan Anda yang berikut adalah menyangkut penafsiran mengenai Hak Kontrol, yang selalu Anda agul-agulkan itu sebagai dalih klise. Anda menganggap fungsi kontrol itu dijalankan dengan cara menyiarkan berita miring tentang seorang pejabat, public figure, instansi, perusahaan atau kalangan tertentu, dengan dalih, agar publik tidak diruguikan. Tapi bagi kami, langsung mempublikasikan atau menyiarkan keburukan dan kebobrokan sebagai pelaksanaan fungsi kontrol jelas bukan cara yang bijaksana. Masih ada cara yang lebih elegan yang bisa Anda pilih.
Faktor lainnya lagi, yang membuat kasus penganiayaan itu sering terjadi adalah karena, jalur hukum juga biasanya tidak selalu berakhir memuaskan. Ada kesan merepotkan, berlarut-larut dan mengeluarkan banyak dana.
Kesmpulannya, penganiayaan sekadar sebuah upaya terobosan belaka, yang mungkin kami anggap lebih memuaskan dari cara-cara lain.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
Seorang wartawan dianiaya. Wartawan lain disekap, dipukuli dan dibunuh. Berita-berita semacam itu hampir selalu muncul di media massa dan tampaknya tak pernah kendur. Kenapa orang masih tak jera menganiaya dan membunuh wartawan? Apa arti semua ini?
Siapakah orang yang nekad itu? Kalau Anda mau tahu, pssst.... mereka adalah orang yang kecewa dengan pemberitaan Anda yang semberono.
Jelas kami tak bisa mentolerir tindakan seperti itu. Karena mestinya modal dasar bagi adanya berita yang bersih dari kesalahan dan karenanya berita itu harus akurat dan utuh, adalah terjalinnya hubungan yang baik antara anda dan nara-sumber Anda. Namun celakanya, penyebab utama hal ini justru seringkali datang dari Anda sendiri.
Pertama, sikap Anda yang menganggap remeh kesalahan pemberitaan, termasuk dalam katagori ini, adalah sikap Anda yang menganggap kesalahan pemberitaan hanya sebuah human error belaka, dengan dalih, akibat tekanan waktu atau deadline. "adilkah masyarakat menuntut kami menghasilkan produk yang bersih dari kesalahan sementara apa yang kami buat adalah hasil dari perlombaan dengan waktu?" itu kata Anda yang menjengkelkan.
Kesalahan Anda yang berikut adalah anggapan bahwa adanya Hak Jawab bisa menjadi solusi terbaik, dan satu-satunya cara bijaksana untuk membereskan salah pemberitaan. Coba amati baik-baik. Maka kita punya pandangan berbeda tentang Hak Jawab ini.
Sementara Anda menganggap Hak Jawab merupakan satu-satunya solusi bijaksana, justru kami menganggap kesalahan itu sendiri seharusnya tak boleh terjadi. Jelas sudah, Hak Jawab tidak bisa secara segera menyelesaikan persoalan dan merehabilitasi nama baik kami. Apalagi sikap Anda selama ini terhadap Hak Jawab yang memberi kesan --sebagaimana kami tuliskan dalam surat sebelumnya-- tak terlalu mengangganya sebagai sesuatu yang serius.
Kesalahan Anda yang berikut adalah menyangkut penafsiran mengenai Hak Kontrol, yang selalu Anda agul-agulkan itu sebagai dalih klise. Anda menganggap fungsi kontrol itu dijalankan dengan cara menyiarkan berita miring tentang seorang pejabat, public figure, instansi, perusahaan atau kalangan tertentu, dengan dalih, agar publik tidak diruguikan. Tapi bagi kami, langsung mempublikasikan atau menyiarkan keburukan dan kebobrokan sebagai pelaksanaan fungsi kontrol jelas bukan cara yang bijaksana. Masih ada cara yang lebih elegan yang bisa Anda pilih.
Faktor lainnya lagi, yang membuat kasus penganiayaan itu sering terjadi adalah karena, jalur hukum juga biasanya tidak selalu berakhir memuaskan. Ada kesan merepotkan, berlarut-larut dan mengeluarkan banyak dana.
Kesmpulannya, penganiayaan sekadar sebuah upaya terobosan belaka, yang mungkin kami anggap lebih memuaskan dari cara-cara lain.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Jalan ke Pengadilan
JALAN KE PENGADILAN
Dear Journalist,
Nama baik tak bisa dibeli. (Apa ada supermarket menjualnya?)
Itulah alasan utama kenapa kami, yang dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan Anda, tetap mengajukan persoalannya lewat jalur hukum.
Tepatnya kami menggugat Anda, baik secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan, baik secara material, maupun imaterial. Gugatan kami dengan demikian punya dua tujuan: ganti rugi dan pemulihan atas nama baik.
Ketentuan ganti rugi di Indonesia antara lain tercantum dalam KUHPer pasal 1372 sampai 1380. Disebutkan antara lain, bahwa nama baik dan kehormatan tidak hanya melekat pada pribadi pihak yang dihina saja, tapi dapat juga menjadi milik keluarga pasangan hiduip (suami istri), dan keturunannya. Pengertian ini memperluas arti nama baik baik dan kehormatan pribadi seseorang menjadi milik keluarga. Sebab itu walaupun orang yang nama baik atau kehormatannya dirugikan sudah meninggal, --ingat hal ini, Bung-- keluarganya tetap punya hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi.
Bung, kami sadar menghadapi banyak risiko dan konsekuensi untuk itu. Anda mungkin akan menaruh dendam pada kami, dan kemudian akan mencari-cari lagi kesalahan kami. Karena kami manusia, pasti kami juga kesalahan. Dan bila kesalahan itu terjadi, bukan mustahil saat itulah Anda akan menghabisi kami. Atau mungkin Anda akan mencoba berupaya membuktikan kepada pengadilan bahwa apa yang Anda lakukan pada dasarnya untuk kekepentingan umum (Suatu alasan klise yang selalu Anda agul-agulkan.kan?).
Betul, Bung, KUHPer pasal 1376 sendiri memang memberi dukungan atas alasan itu. Tuntutan perdata penghinaan tidak dapat dikabulkan jika ternyata memang tidak ada maksud menghina. Atau, penghinaan itu harus dianggap tidak ada bila perbuatan itu jelas dan nyata untuk kepentingan umum, atau untuk membela diri secara terpaksa.
Toh kami jalan terus.
Sekali lagi kami tegaskani, reputasi tetap lebih mahal dibanding segala-galanya. Nama baik itu kami peroleh melalui proses dan perjuangan panjang yang menuntut kesabaran hati dan kadang kami peroleh dengan darah dan airmata. Jadi bisa Anda bayangkan, bagaimana sakitnya hati kami, bila apa yang kami pupuk dan kumpulkan pelan-pelan itu, kini Anda koyakkan begitu saja melalui sejumlah kata-kata dalam pemberitaan Anda yang sangat semberono. Tidak. kami tidak rela mengorbankan semuanya untuk itu. Dan untuk itu kami tak akan segan-segan menuntut ganti rugi sebanyak-banyaknya untuk itu. Mungkin Rp. 10 milyar, mungkin Rp. 20 milyar atau terserah bagaimana cara pengadilan memutuskannya nanti.
Prinsip kami, pers harus selalu siap membuktikan kebenaran dari setiap tulisan yang diberitakannya. Jika mereka tidak mampu melakukannya, maka pers semacam itu harus dianggap pantas menerima ganjaran setimpal dan membayar ganti rugi dalam jumlah besar.
Apakah jumlah itu fair?
Ah, jangan pura-pura tidak tahu.
Penerbitan pers dewasa ini telah tumbuh sebagai bisnis informasi yang merupakan bagian dari industri pers. Bukankah sudah selayaknya penerbitan Anda mencadangkan sejumlah dana, guna membayar beaya konpensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaannya? Tapi jika pun tidak, karena dasarnya adalah rasa keadilan, maka memang sudah selayaknya penerbitan Anda tak layak untuk hidup. Dan kami yakin 100 persen, masyarakat akan rela kehilangan sebuah media yang berita-beritanya selalu bengkok dan tak dapat dipercaya.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Dear Journalist,
Nama baik tak bisa dibeli. (Apa ada supermarket menjualnya?)
Itulah alasan utama kenapa kami, yang dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan Anda, tetap mengajukan persoalannya lewat jalur hukum.
Tepatnya kami menggugat Anda, baik secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan, baik secara material, maupun imaterial. Gugatan kami dengan demikian punya dua tujuan: ganti rugi dan pemulihan atas nama baik.
Ketentuan ganti rugi di Indonesia antara lain tercantum dalam KUHPer pasal 1372 sampai 1380. Disebutkan antara lain, bahwa nama baik dan kehormatan tidak hanya melekat pada pribadi pihak yang dihina saja, tapi dapat juga menjadi milik keluarga pasangan hiduip (suami istri), dan keturunannya. Pengertian ini memperluas arti nama baik baik dan kehormatan pribadi seseorang menjadi milik keluarga. Sebab itu walaupun orang yang nama baik atau kehormatannya dirugikan sudah meninggal, --ingat hal ini, Bung-- keluarganya tetap punya hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi.
Bung, kami sadar menghadapi banyak risiko dan konsekuensi untuk itu. Anda mungkin akan menaruh dendam pada kami, dan kemudian akan mencari-cari lagi kesalahan kami. Karena kami manusia, pasti kami juga kesalahan. Dan bila kesalahan itu terjadi, bukan mustahil saat itulah Anda akan menghabisi kami. Atau mungkin Anda akan mencoba berupaya membuktikan kepada pengadilan bahwa apa yang Anda lakukan pada dasarnya untuk kekepentingan umum (Suatu alasan klise yang selalu Anda agul-agulkan.kan?).
Betul, Bung, KUHPer pasal 1376 sendiri memang memberi dukungan atas alasan itu. Tuntutan perdata penghinaan tidak dapat dikabulkan jika ternyata memang tidak ada maksud menghina. Atau, penghinaan itu harus dianggap tidak ada bila perbuatan itu jelas dan nyata untuk kepentingan umum, atau untuk membela diri secara terpaksa.
Toh kami jalan terus.
Sekali lagi kami tegaskani, reputasi tetap lebih mahal dibanding segala-galanya. Nama baik itu kami peroleh melalui proses dan perjuangan panjang yang menuntut kesabaran hati dan kadang kami peroleh dengan darah dan airmata. Jadi bisa Anda bayangkan, bagaimana sakitnya hati kami, bila apa yang kami pupuk dan kumpulkan pelan-pelan itu, kini Anda koyakkan begitu saja melalui sejumlah kata-kata dalam pemberitaan Anda yang sangat semberono. Tidak. kami tidak rela mengorbankan semuanya untuk itu. Dan untuk itu kami tak akan segan-segan menuntut ganti rugi sebanyak-banyaknya untuk itu. Mungkin Rp. 10 milyar, mungkin Rp. 20 milyar atau terserah bagaimana cara pengadilan memutuskannya nanti.
Prinsip kami, pers harus selalu siap membuktikan kebenaran dari setiap tulisan yang diberitakannya. Jika mereka tidak mampu melakukannya, maka pers semacam itu harus dianggap pantas menerima ganjaran setimpal dan membayar ganti rugi dalam jumlah besar.
Apakah jumlah itu fair?
Ah, jangan pura-pura tidak tahu.
Penerbitan pers dewasa ini telah tumbuh sebagai bisnis informasi yang merupakan bagian dari industri pers. Bukankah sudah selayaknya penerbitan Anda mencadangkan sejumlah dana, guna membayar beaya konpensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaannya? Tapi jika pun tidak, karena dasarnya adalah rasa keadilan, maka memang sudah selayaknya penerbitan Anda tak layak untuk hidup. Dan kami yakin 100 persen, masyarakat akan rela kehilangan sebuah media yang berita-beritanya selalu bengkok dan tak dapat dipercaya.
Salam kompak,
Khalayak Anda
Hak Jawab (5)
HAK JAWAB (5)
Dear Journalist,
Penulis Amerika William Dean Howells mengatakan, jikalau pernah ada masyarakat yang dikhianatii oleh persnya, itu adalah masyarakat kita. Apakah ucapan itu relevan dengan kondisi kita? Kami tidak tahu. Yang kami tahu, banyak di antara kami yang belum sepenuhnya memahami seluk-beluk Hak Jawab, sementara Anda tidak pernah berusaha menjelaskannya kepada kami.
Sebutlah, tentang Hak Jawab ulang. Mestinya Anda mengatakan kepada kami, bahwa kami memiliki hak itu, jika Hak Jawab kami yang pernah Anda beri penjelasan/ komentar/ catatan, apalagi jika semua itu (masih) merugikan kami.
Hal lain yang belum kami ketahui adalah apa yang bisa kami lakukan jika Hak Jawab kami tidak dimuat. Mestinya Anda memberitahu, bahwa jika itu terjadi, kami bisa mengadukan Anda ke Dewan Kehormatan, untuk mendesak media Anda memuatkanya. Jangan biarkan kami menempuh jalan lain yang tidak semestinya, seperti mencoba mengirim Hak Jawab kami ke media lain, karena upaya itu hanya membuat waktu kami terbuang percuma, mengingat media lain itu, tidak akan mau memuatnya.
Hal lain lagi yang belum kami ketahui adalah soal umur Hak Jawab kami. Mestinya Anda kasih tahu, bahwa Hak Jawab punya batas kadaluwarsa. Ini penting, agar bila terjadi kesalahan, dengan segera kami bisa menulis surat bantahan agar berita yang bengkok bisa segera diluruskan.
Sedang hal terakhir yang belum juga kami ketahui adalah sikap Anda ketika menerima Hak Jawab kami. Apakah Anda menghargai waktu dan upaya kami untuk menulis surat bantahan itu? Kenapa Anda tidak bisa menempatkan surat bantahan kami secara sepatutnya dan memberi tanggapan yang lebih bersahabat dan penuh pengertian?
Biarkan kami, tetap punya kesan, Anda cukup jentelman.
Salam kami,
khalayak Anda.
Dear Journalist,
Penulis Amerika William Dean Howells mengatakan, jikalau pernah ada masyarakat yang dikhianatii oleh persnya, itu adalah masyarakat kita. Apakah ucapan itu relevan dengan kondisi kita? Kami tidak tahu. Yang kami tahu, banyak di antara kami yang belum sepenuhnya memahami seluk-beluk Hak Jawab, sementara Anda tidak pernah berusaha menjelaskannya kepada kami.
Sebutlah, tentang Hak Jawab ulang. Mestinya Anda mengatakan kepada kami, bahwa kami memiliki hak itu, jika Hak Jawab kami yang pernah Anda beri penjelasan/ komentar/ catatan, apalagi jika semua itu (masih) merugikan kami.
Hal lain yang belum kami ketahui adalah apa yang bisa kami lakukan jika Hak Jawab kami tidak dimuat. Mestinya Anda memberitahu, bahwa jika itu terjadi, kami bisa mengadukan Anda ke Dewan Kehormatan, untuk mendesak media Anda memuatkanya. Jangan biarkan kami menempuh jalan lain yang tidak semestinya, seperti mencoba mengirim Hak Jawab kami ke media lain, karena upaya itu hanya membuat waktu kami terbuang percuma, mengingat media lain itu, tidak akan mau memuatnya.
Hal lain lagi yang belum kami ketahui adalah soal umur Hak Jawab kami. Mestinya Anda kasih tahu, bahwa Hak Jawab punya batas kadaluwarsa. Ini penting, agar bila terjadi kesalahan, dengan segera kami bisa menulis surat bantahan agar berita yang bengkok bisa segera diluruskan.
Sedang hal terakhir yang belum juga kami ketahui adalah sikap Anda ketika menerima Hak Jawab kami. Apakah Anda menghargai waktu dan upaya kami untuk menulis surat bantahan itu? Kenapa Anda tidak bisa menempatkan surat bantahan kami secara sepatutnya dan memberi tanggapan yang lebih bersahabat dan penuh pengertian?
Biarkan kami, tetap punya kesan, Anda cukup jentelman.
Salam kami,
khalayak Anda.
Hak Jawab (4)
HAK JAWAB (4)
Dear Journalist,
"Penghormatan kepada Anda, lebih terletak pada akurasi," kata wartawan terkenal Herbert Strentz. Maka, bagaimana pun, permuatan Hak Jawab itu sesunggunnya telah merugikan Anda baik material maupun imaterial. Karena dengan itu, setidak-tidaknya khalayak Anda menjadi paham, bahwa Anda telah melakukan keteledoran profesi yang mestinya tidak perlu Anda lakukan. Yaitu, akurasi tadi. Itulah kerugian imaterial atau kerugian yang tak bisa ditakar dengan materi, akibat hilangnya krtedibilitas. Sedangkan kerugian material itu adalah, karena dengan memuat Hak Jawab, halaman Anda menjadi berkurang. Padahal halaman itu punya nilai ekonomis tinggi karena bisa Anda manfaatkan untuk memuat iklan.
Kerugian yang sama juga berlaku untuk berita-berita ralat di media Anda, yang menjelaskan tentang kesalahan, kekeliruan dan ketidak-akuratan.
Dalam surat kami sebelumnya, kami sudah mengingatkan, jangan pernah menberi kesan pada kami bahwa adanya Hak Jawab memberi peluang bagi Anda untuk membuat kesalahan-kesalahan. Hal ini juga berlaku bagi rubrik ralat tadi. Sebaiknya, jangan jadikan itu sebagai rubrik tetap!
Sekali lagi, ingatlah, yang disebut reputasi bagi Anda adalah kredibilitas, yang dibangun oleh akurasi. Jika yang terjadi sebaliknya, maka citra Anda akan jatuh di mata kami.
Salam kami,
khalayak Anda.
Dear Journalist,
"Penghormatan kepada Anda, lebih terletak pada akurasi," kata wartawan terkenal Herbert Strentz. Maka, bagaimana pun, permuatan Hak Jawab itu sesunggunnya telah merugikan Anda baik material maupun imaterial. Karena dengan itu, setidak-tidaknya khalayak Anda menjadi paham, bahwa Anda telah melakukan keteledoran profesi yang mestinya tidak perlu Anda lakukan. Yaitu, akurasi tadi. Itulah kerugian imaterial atau kerugian yang tak bisa ditakar dengan materi, akibat hilangnya krtedibilitas. Sedangkan kerugian material itu adalah, karena dengan memuat Hak Jawab, halaman Anda menjadi berkurang. Padahal halaman itu punya nilai ekonomis tinggi karena bisa Anda manfaatkan untuk memuat iklan.
Kerugian yang sama juga berlaku untuk berita-berita ralat di media Anda, yang menjelaskan tentang kesalahan, kekeliruan dan ketidak-akuratan.
Dalam surat kami sebelumnya, kami sudah mengingatkan, jangan pernah menberi kesan pada kami bahwa adanya Hak Jawab memberi peluang bagi Anda untuk membuat kesalahan-kesalahan. Hal ini juga berlaku bagi rubrik ralat tadi. Sebaiknya, jangan jadikan itu sebagai rubrik tetap!
Sekali lagi, ingatlah, yang disebut reputasi bagi Anda adalah kredibilitas, yang dibangun oleh akurasi. Jika yang terjadi sebaliknya, maka citra Anda akan jatuh di mata kami.
Salam kami,
khalayak Anda.
Hak Jawab (3)
HAK JAWAB (3)
Dear Journalist,
Hak Jawab adalah hak milik masyarakat yang menjadi korban pers,. Karena melalui cara itu, korban pemberitaan dapat merehabilitasi nama baiknya, dan syukur-syukur bisa menjelaskan persoalannya secara proporsional. Jadi, mestinya, Hak Jawab itu adalah juga sebuah usaha untuk menghidupkan tradisi dialog, guna mencari kejelasan, kebenaran dan pencerdasan dengan belajar dari kesalahan. Namun, melihat cara Anda memperlakukannya, haruskah kami optimistis?
Pertama, Anda sering tak memberi komentar apa-apa atas Hak Jawab kami. Inimemberi kesan, Anda tidak menghargai upaya kami, dan menganggap surat kami sebagai angin lalu.
Kedua, kalau pun Anda memberi tanggapan, maka tanggapan itu memberi kesan bahwa kesalahan itu hanya soal kecil. Misalnya, "Terimakasih atas koreksi Anda. Dengan demikian kesalahan diperbaiki. Harap maklum."
Ketiga, Anda suka membubuhi komentar-komentar pada surat sanggahan kami, tapi dengan nada tidak bersahabat dan mau menang sendiri. Misalnya, "Kami sudah beberapa kali menghubungi Anda, tapi menurut pembantu Anda, Anda tak berada di tempat." Atau, "Menurut wartawan kami, informasi itu benar datang dari Anda sendiri," atau, "Keterangan yang kami himpun memang menyatakan demikian." Anda tak pernah salah di depan publik!
Sekarang, bayangkanlah.
Banyak di antara kami yang telah Anda beritakan secara semberono sebagai "kkoruptor, manipulator, si culas, penerima pungli, pewaris KKN, penganut free sex, alkoholik, berperilaku menyimpang, psikopat, pengedar narkotika, pecandu exctasy" dan sebagainya, Anda telah membuat rumah-tangga dan keluarga kami nyaris berantakan, dan karier serta masa depan kami hancur lebur, Anda telah membuat kami menjadi frustrasi, putus asa, kehilangan harapan dan pegangan. Bisakah sikap Anda itu mengobat kami? Bisakah tanggapan dan jawaban Anda itu merehabilitasi nama baik kami? Bisakah kita menganggap persoalan dengan demikian sudah selesai? Kapan kami bisa berdialog untuk mencari kebenaran? Ingat, Anda sama sekali tak meminta maaf pada kami sepatah kata pun.
Bersikaplah ksatria untuk mengakui kesalahan, agar kami tetap respek dan percaya pada Anda, dan profesi Anda.
Salam kami,
khalayak Anda.
Dear Journalist,
Hak Jawab adalah hak milik masyarakat yang menjadi korban pers,. Karena melalui cara itu, korban pemberitaan dapat merehabilitasi nama baiknya, dan syukur-syukur bisa menjelaskan persoalannya secara proporsional. Jadi, mestinya, Hak Jawab itu adalah juga sebuah usaha untuk menghidupkan tradisi dialog, guna mencari kejelasan, kebenaran dan pencerdasan dengan belajar dari kesalahan. Namun, melihat cara Anda memperlakukannya, haruskah kami optimistis?
Pertama, Anda sering tak memberi komentar apa-apa atas Hak Jawab kami. Inimemberi kesan, Anda tidak menghargai upaya kami, dan menganggap surat kami sebagai angin lalu.
Kedua, kalau pun Anda memberi tanggapan, maka tanggapan itu memberi kesan bahwa kesalahan itu hanya soal kecil. Misalnya, "Terimakasih atas koreksi Anda. Dengan demikian kesalahan diperbaiki. Harap maklum."
Ketiga, Anda suka membubuhi komentar-komentar pada surat sanggahan kami, tapi dengan nada tidak bersahabat dan mau menang sendiri. Misalnya, "Kami sudah beberapa kali menghubungi Anda, tapi menurut pembantu Anda, Anda tak berada di tempat." Atau, "Menurut wartawan kami, informasi itu benar datang dari Anda sendiri," atau, "Keterangan yang kami himpun memang menyatakan demikian." Anda tak pernah salah di depan publik!
Sekarang, bayangkanlah.
Banyak di antara kami yang telah Anda beritakan secara semberono sebagai "kkoruptor, manipulator, si culas, penerima pungli, pewaris KKN, penganut free sex, alkoholik, berperilaku menyimpang, psikopat, pengedar narkotika, pecandu exctasy" dan sebagainya, Anda telah membuat rumah-tangga dan keluarga kami nyaris berantakan, dan karier serta masa depan kami hancur lebur, Anda telah membuat kami menjadi frustrasi, putus asa, kehilangan harapan dan pegangan. Bisakah sikap Anda itu mengobat kami? Bisakah tanggapan dan jawaban Anda itu merehabilitasi nama baik kami? Bisakah kita menganggap persoalan dengan demikian sudah selesai? Kapan kami bisa berdialog untuk mencari kebenaran? Ingat, Anda sama sekali tak meminta maaf pada kami sepatah kata pun.
Bersikaplah ksatria untuk mengakui kesalahan, agar kami tetap respek dan percaya pada Anda, dan profesi Anda.
Salam kami,
khalayak Anda.
Hak Jawab (2)
HAK JAWAB (2)
Dear Journalist,
Anda selalu mengatakan pada kami, bila kami merasa dirugikan oleh pemberitaan Anda, agar kami menggunakan Hak Jawab. "Anda punya hak istimewa itu, manfaatkanlah," seolah-olah dengan itu kami menjadi kaya mendadak. Ehm. Baiklah, kami turuti solusi itu. Kami pun, secara susah-payah menulis surat sanggahan itu (Beberapa di antara kami bahkan mencoba meminta bantuan pengacara. Anda bisa bayangkan berapa upahnya?).
Setelah mempertimbangkan untung-ruginya, kami pun mengirimkannya dengan harapan Anda segera memuatnya. Ternyata tak mudah.
Keesokan harinya surat jawaban kami belum Anda muat. Esoknya belum juga. Terpaksa kami menelepon Anda. Anda minta maaf dan mohon agar kami bersabar mengingat halaman koran sangat terbatas. Baiklah. Baiklah. Kami pun mencoba maklum. Berita-berita baru datang silih-berganti. Berita-berita lama (termasuk tulisan Anda yang semberono itu), mungkin saja sudah tak lagi menarik untuk Anda perhatikan.
Baru dua minggu kemudian, surat jawaban kami benar Anda muat dalam rubrik Surat Pembaca. Aha, surat kami berdesak-desakan dengan surat pembaca lain yang menanyakan alamat paranormal dan bintang film. Tak apa. Tapi ada yang serius.
Surat sanggahan kami ternyata telah Anda muat tidak seperti aslinya. Anda telah menghilangkan bagian-bagian tertyentu yang menurut hemat kami justru merupakan bagian penting, yang mengakibatkan surat kami menjadi kehilangan nuansa dan substansinya.
Kami merasa Anda telah melakukan penafsiran yang tidak adil terhadap peraturan yang berlaku bahwa terhadap Hak Jawab, Anda boleh melakukan penyingkatan sejauh "dalam batas-batas yang wajar". Bagaimana batasan wajar itu? Siapa yang menentukan kewajaran itu? Cobalah Anda berdiri si pihak kami, dan Anda akan tahu bahwa penyuntingan itu sungguh tidak wajar.
Apa boleh buat. Kami segera berkesimpulan: Anda tidak menghargai surat kami. Dan yang paling utama, Anda tidak menunjukkan sikap sepatutnya terhadap dampak dan ekses kesalahan yang bagi kami sesungguhnya merupakan masalah yang menyangkut masa depan, bahkan mungkin hidup-mati kami.
Terus terang, kami menyesalkan kekurang-pekaan Anda. Bagaimana pun hal ini membuat kredibilitas Anda merosot di mata kami.
Salam kami,
khalayak Anda.
Dear Journalist,
Anda selalu mengatakan pada kami, bila kami merasa dirugikan oleh pemberitaan Anda, agar kami menggunakan Hak Jawab. "Anda punya hak istimewa itu, manfaatkanlah," seolah-olah dengan itu kami menjadi kaya mendadak. Ehm. Baiklah, kami turuti solusi itu. Kami pun, secara susah-payah menulis surat sanggahan itu (Beberapa di antara kami bahkan mencoba meminta bantuan pengacara. Anda bisa bayangkan berapa upahnya?).
Setelah mempertimbangkan untung-ruginya, kami pun mengirimkannya dengan harapan Anda segera memuatnya. Ternyata tak mudah.
Keesokan harinya surat jawaban kami belum Anda muat. Esoknya belum juga. Terpaksa kami menelepon Anda. Anda minta maaf dan mohon agar kami bersabar mengingat halaman koran sangat terbatas. Baiklah. Baiklah. Kami pun mencoba maklum. Berita-berita baru datang silih-berganti. Berita-berita lama (termasuk tulisan Anda yang semberono itu), mungkin saja sudah tak lagi menarik untuk Anda perhatikan.
Baru dua minggu kemudian, surat jawaban kami benar Anda muat dalam rubrik Surat Pembaca. Aha, surat kami berdesak-desakan dengan surat pembaca lain yang menanyakan alamat paranormal dan bintang film. Tak apa. Tapi ada yang serius.
Surat sanggahan kami ternyata telah Anda muat tidak seperti aslinya. Anda telah menghilangkan bagian-bagian tertyentu yang menurut hemat kami justru merupakan bagian penting, yang mengakibatkan surat kami menjadi kehilangan nuansa dan substansinya.
Kami merasa Anda telah melakukan penafsiran yang tidak adil terhadap peraturan yang berlaku bahwa terhadap Hak Jawab, Anda boleh melakukan penyingkatan sejauh "dalam batas-batas yang wajar". Bagaimana batasan wajar itu? Siapa yang menentukan kewajaran itu? Cobalah Anda berdiri si pihak kami, dan Anda akan tahu bahwa penyuntingan itu sungguh tidak wajar.
Apa boleh buat. Kami segera berkesimpulan: Anda tidak menghargai surat kami. Dan yang paling utama, Anda tidak menunjukkan sikap sepatutnya terhadap dampak dan ekses kesalahan yang bagi kami sesungguhnya merupakan masalah yang menyangkut masa depan, bahkan mungkin hidup-mati kami.
Terus terang, kami menyesalkan kekurang-pekaan Anda. Bagaimana pun hal ini membuat kredibilitas Anda merosot di mata kami.
Salam kami,
khalayak Anda.
Hak Jawab (1)
ETIKA & KEBIJAKAN PEMBERITAAN:
HAK JAWAB (1)
Dear Journalist,
Terus terang saja, kami tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran Anda.
Ketika kami merasa terpukul, teraniaya, tercemar dan menderita akibat pemberitaan Anda yang kadang membuat dunia kami runtuh, sungguh ajaib, Anda bisa bertingkah seolah-olah hal ini adalah biasa. Tanpa merasa berbuat salah sama sekali, Anda menyilakan kami untuk menulis surat sanggahan bila kami merasa dirugikan. Kesalahan itu kesalahan yang manusiawi. Error is human, kata Anda sembari meminta kami agar tak perlu mencemaskan hal itu, dan melupakannya.
Terus terang, hal itu hanya menunjukkan bahwa Anda sama sekali memang tidak pernah berusaha menyelami perasaan kami akibat pemberitaan Anda yang merugikan kami itu. Bagi Anda, mungkin penyelesaian itu paling bijak, sementara bagi kami, sesungguhnya kerugian akibat nama kami yang tercemar itu tak bisa dinilai dengan apa pun.
Pernahkah Anda membayangkan bahwa akinbat kesalahan Anda itu, orangtua kami bakal kehilangan pekerjaan dan anak-anak kami akan dikucilkan temen-temannya? Apakah Anda tidak bisa menyadari bahwa kami semua kini menderita dan hal itu mungkin saja akan kami tanggung seumur hidup?
Betapa mudahnya Anda menyederhanakan persoalan. Padahal persoalannyabukan kami harus menyanggah atau tidak, atau kami punya Hak Jawab atau tidak. Persoalannya adalah bahwa hari ini Anda telah mencemarkan nama baik kami dan itu telah berakibat serius bagi kami di masa-masa mendatang. Apalagi kami tak yakin, bahwa pembaca yang membaca pemberitaan negatif tentang kami, akan juag membaca sanggahan kami.
Jangan pernah beri kesan pada kami, Hak Jawab bisa memuaskan kami. Apalagi, menjadi peluang bagi Anda untuk membuat kesalahan-kesalahan dalam pemberitaan di masa mendatang.
Salam kami,
khalayak Anda.
HAK JAWAB (1)
Dear Journalist,
Terus terang saja, kami tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran Anda.
Ketika kami merasa terpukul, teraniaya, tercemar dan menderita akibat pemberitaan Anda yang kadang membuat dunia kami runtuh, sungguh ajaib, Anda bisa bertingkah seolah-olah hal ini adalah biasa. Tanpa merasa berbuat salah sama sekali, Anda menyilakan kami untuk menulis surat sanggahan bila kami merasa dirugikan. Kesalahan itu kesalahan yang manusiawi. Error is human, kata Anda sembari meminta kami agar tak perlu mencemaskan hal itu, dan melupakannya.
Terus terang, hal itu hanya menunjukkan bahwa Anda sama sekali memang tidak pernah berusaha menyelami perasaan kami akibat pemberitaan Anda yang merugikan kami itu. Bagi Anda, mungkin penyelesaian itu paling bijak, sementara bagi kami, sesungguhnya kerugian akibat nama kami yang tercemar itu tak bisa dinilai dengan apa pun.
Pernahkah Anda membayangkan bahwa akinbat kesalahan Anda itu, orangtua kami bakal kehilangan pekerjaan dan anak-anak kami akan dikucilkan temen-temannya? Apakah Anda tidak bisa menyadari bahwa kami semua kini menderita dan hal itu mungkin saja akan kami tanggung seumur hidup?
Betapa mudahnya Anda menyederhanakan persoalan. Padahal persoalannyabukan kami harus menyanggah atau tidak, atau kami punya Hak Jawab atau tidak. Persoalannya adalah bahwa hari ini Anda telah mencemarkan nama baik kami dan itu telah berakibat serius bagi kami di masa-masa mendatang. Apalagi kami tak yakin, bahwa pembaca yang membaca pemberitaan negatif tentang kami, akan juag membaca sanggahan kami.
Jangan pernah beri kesan pada kami, Hak Jawab bisa memuaskan kami. Apalagi, menjadi peluang bagi Anda untuk membuat kesalahan-kesalahan dalam pemberitaan di masa mendatang.
Salam kami,
khalayak Anda.
Langganan:
Postingan (Atom)