Tampilkan postingan dengan label Mimpi Indah Bersama Anthurium. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mimpi Indah Bersama Anthurium. Tampilkan semua postingan

31 Oktober 2008

Surat Dari Serpong:
Tetap Optimis

Pak SP yang budiman,

Di Majalah Trubus edisi Juli 2008 saya mensinyalir bahwa pedagang tanaman hias naik 700 persen akibat booming Anthurium. Booming anthurium terjadi pada tahun 2007. Pada tahun 2008, situasi mulai berubah drastis. Sejak awal tahun 2008, bissnis tanaman ujug-ujuk melesu. Dikiranya karena orang habis berpesta Tahun Baru, ternyata sampai anak masuk sekolah, dan selesai harga BBM naik, situasi tak kunjung berganti.

Saya mungkin orang paling sedih, karena harus menjilat ludah sendiri, kalau mengatakan bahwa bsinis tanaman hias saat ini sungguh-sungguh menyedihkan. Banyak tip/ trik atau kiat yang saya tulis dalam buku saya Kiat Sukses Berbisnis Tanaman Hias (terbit pada tahun 2007), ternyata tidak mujarab sama sekali mengatasi kondisi yang ada saat ini.

Khusus untuk diri saya, Tuhan rupanya memberit ahu saya, bahwa saya masih belum pengalaman, saya masih harus belajar banyak dari kehidupan. Apa yang bisa saya petik dari pelajaran krisis global ini?

Tanaman ternyata memang sebuah komoditi yang unik. Betapa tidak. Pada saat BBM dan dollar naik, harga tanaman malah turun. Jelas realita ini menyesakkan dada. Terbukti karakter tanaman hias sebagai komditi, tidak sama persis dengan komditi-komoditi lain seperti bahan-bahan bangunan seperti kayu, besi atau semen, atau pot atau obat2an tanaman yang bisa mengambang (floating) dalam kondisi ekonomi apa pun.

Sangat menyesakkan dada, melihat kenyataan bahwa tanaman hias ternyata bukan komiditi yang adaptable dengan kondisi ekonomi, atau gampang dihantam resesi, beda dengan komoditi-komoditi lainnya. Contoh, pebisnis non-tanaman mungkin tetap tenang barang lama (yang dibeli dengan harga lama) menumpuk lama, karena kelak tetap bisa dijual dengan harga yang menyesuaikan keadaan. Coba kalau kita menyimpan banyak-banyak tanaman. Alih-alih harga bisa mengimbangi, tanaman kita malah bisa tidak terurus, dan lama-lama mampus.

Baru ngerti saya, diibanding pemain di lantai Bursa Efek Indonesia, pemain tanaman ternyata bisa lebih hebat. Saat kita asyik membelid an menikmati tanaman, pemain besar tanaman kita sudah berani melakukan aksi jual (murah) dan menarik tunai banyak-banyak. Akibatnya, kepercayaan emiten pun goyang. Harga tanaman merosot tajam. Kita pun terperangah dan terkena sentimen negatifnya.

Pak SP yang baik,

Saya bukan ingin menyurutkan semangat kita berbisnis tanaman dengan menulis seperti ini. Bagaimana pun penjual tanaman, tetap harus hidup, dan dibutuhkan. Saya justru ingin mengatakan bahwa beginilah memang seharusnya bisnis yang normal. Ada pasang surut. Ada saatnya rame, ada saatnya sepi. Tidak booming melulu seperti bisnis tanaman hias selama ini. Kalau bisnis booming melulu, namanya jelas bukan bisnis sejati, tetapi bisnis gelembung sabun (bubble), atau bisnis akal-akalan.

Jadi kalau saat ini nilai aset tanaman kita tiba-tiba merosot, --seperti harga saham--, tidak usah menangis. Insya Allah, nilai itu akan naik lagi. Cuma memang tidak dalam waktu pendek. Sebagaimana saham, tanaman hias adalah investasi jangka panjang. Saya tetap percaya bahwa apa yang terjadi saat ini tetap ada celah positifnya. Misalnya, jumlah pedagang yang naik 700 persen di zaman anthurium tadi, memang perlu diseleksi. Saya kira kita sepakat, dunia tanaman hias, harus diisi hanya oleh pedagang, kolektor dan petani yang tangguh, dan bukan oleh mereka yang sekadar ikut-ikutan atau petualang.

So, tetap semangat, Pak SP.


Salam,
KJ

(Bangun jam 8 pagi, ada miscall dari Pak SP: nagih artiketl SURAT DARI SERPONG karena sudah mau masuk cetak. Habis mandi, ngebut bikin tulisan ini, karena besok saya harus ke Lampung dengan teman2 Trubus dan Majalah Flona, diundang menjuri tanaman, takut tidak keburu lagi.)

29 Juni 2008

TERPENJARA OLEH MASA LALU

Oleh Kurniawan Junaedhie

Masih segar dalam ingatan, setahun lalu, kita semua, mengalami eforia luar biasa. Pamor anthurium melesat bak meteor. Orang mengalami apa yang disebut sebagai gegar budaya yang membuat struktur otak di kepala jadi jungkir balik. Mengeja angka 100 juta, dan uang Rp. 1 milyar seperti gula-gula saja meski tidak tahu berapa jumlah nol-nya. Kalau kalau ditawari motor harga 10 juta kita terperanjat tapi kalau ada tanaman dihargai Rp. 30 juta sampai Rp. 75 juta, dianggap biasa.

Fenomena Kesurupan

Dari satu perspektif, saat itu, sepanjang tahun 2007, tampaknya Indonesia menjadi sebuah negeri yang makmur lohjiwani. Meski angka kriminalitas tetap tinggi tapi ditaksir jumlah pengangguran di kampung-kampung merosot tajam. Upaya pemerintah SBY untuk menggalakkan sektor riil, kelihatan sukses. Orang malas menyimpan uang di bank; selain bunga di bank tidak menarik, orang lebih suka menginvestasikan di anthurium yang menjanjikan orang cepat jadi milyarder. Semangat enterprenership praktis melambung tinggi karena semua orang berniaga anthurium.

Bupati Karang Anyar Hj. Rina Iriani mengaku saat itu income warganya bisa mencapai Rp 3-7 juta/ bulan gara-gara anthurium. Daerah-daerah di sekitarnya pun tak malu-malu mengikuti jejaknya. Para pejabat ikutan sibuk menggalakkan pameran dan kontes anthurium. Lurah bikin pameran supaya di pilkada jadi camat. Camat bikin kontes, supaya di pilkada naik jadi walikota dan seterusnya. Jadi rupanya, hal ini bisa jadi ‘ajang kampanye’ juga. Rano Karno yang dikenal memiliki banyak anthurium terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang, konon juga karena petani di sana berharap fenomena anthurium bisa awet di bawah kepempinannya.

Tahun lalu saya menulis di TRUBUS (Oktober 2007) dengan judul, “Fenomena Kesurupan Anthurium”, dan di Tabloid Kontan saya menulis “Mimpi Indah Bersama Anthurium”. Di situ saya tulis, “ibu-ibu yang beli satu pot jenmanii kecambah saja sudah bermimpi bakal jadi milyarder.”

Atas permintaan sebuah penerbit, saya juga sempat menulis buku, “Jadi Milyarder dari Anthurium”. Waktu naskah siap cetak saya sebetulnya ingin menambahkan satu bab, yaitu (tentang kemungkinan) “Jadi Kere dari Anthurium” tapi telat. Ketika anthurium kemudian terpuruk, saya beruntung buku saya tidak dianggap, --misalnya,-- menyengsarakan rakyat.

Akhirulkalam, sekarang kita pun terjaga dari tidur, dan terbangun dari mimpi indah itu. Seperti halnya orang yang baru bangun tidur, kita pun kucek-kucek mata, menyadari situasi ternyata amat berbeda dengan mimpi kita.

Jumlah Nurseri Naik 700 Persen

Kini kita merasa takjub mengenang ada tanaman hias dinilai dengan sebuah mobil Inova, dan berharga sampai 1 Milyar. Kita juga ‘kaget’ bahwa ternyata semua orang kini memiliki tanaman dari keluarga arracae itu. Dan lebih kaget lagi, tanaman bersosok besar itu kini sudah beranak pinak, menghasilkan puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan biji atau bibitan yang nantinya juga akan menghasilkan jutaan tanaman bersosok raksasa.

Kini kita mulai menyadari bahwa tanaman itu sudah hampir ‘menenggelamkan’ Pulau Jawa, terutama di daerah-daerah Jawa Tengah. Pantas saja, teman-teman di Jawa Tengah setiap hari sibuk mengangkuti ke mana saja, termasuk ke luar pulau untuk memasarkannya dengan harga rendah, dengan semangat, --maaf,-- “membuang limbah”.

Situasi saat ini seperti orang kembung, yang menyebabkan badan tidak enak dan meriang semata tidak bisa buang angin. Tanaman yang konon digemari para bangsawan itu kini ngumpul, beranak pinak, tumbuh berkembang di sebuah ruangan yang tak ada jendela atau pintunya. Kalau tak ada upaya menjualnya ke luar negeri, saya takut lama-lama giliran negeri ini yang ditenggelamkan.

Kita baru sadar kenapa sekarang banyak pedagang tanaman yang bete. Kesenggol dikit, maunya ngamuk, sewot. Pantas saja, karena mereka sedang memeluk bola panas yang rupanya belum sempat dilepaskan.

Malu sungguh dulu kita sempat menuduh Greg Hambali sebagai ‘orang sirik’ karena selagi kita asyik menimang anthurium, dia bilang: Lonceng kematian bisnis ini sudah semakin dekat berdentang," (TRUBUS Edisi Okt. 2007). Tak hanya Greg, Rhenald Kasali pun pernah kita hujat karena mengatakan, bisnis anthurium seperti ikan lohan. (TRUBUS edisi Desember 2007)

Sembari kucek-kucek mata kita pun baru ngeh, bahwa jumlah pemilik dan pedagang anthurium, sekarang ternyata sudah meningkat hampir 600-700 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pantas saja semua orang bersikap ‘menjual’ daripada ‘membeli’. Yang dulu membeli sama kita, sekarang balik mau menjual ke kita. Tetangga yang dulu kelihatan antipati pada tanaman, tahu-tahu memelihara anthurium. Rupanya di tahun 2007 anthurium sempat jadi bagian dari life style juga.

Tapi ada yang mengatakan, yang sepi tak hanya anthurium. Aglaonema, sanse, puring dan, philo juga sepi. Kalau dibilang tidak ada yang beli salah juga. Tapi yang beli dalam jumlah besar, sehingga membuat grass root goyang memang tidak ada sama sekali. Kenapa? Banyak kolega saya bertanya: apa orang Indonesia sudah tidak lagi menyukai tanaman hias?

Harga tanaman sampai kwartal pertama tahun 2008, praktis bisa dibilang stabil, bahkan cenderung turun. Di pameran, yang terjadi malah orang sibuk membanting harga. Tapi orang ternyata masih malas masuk ke lapak, membuat transaksi. Yang dituduh malah krisis pangan, dan harga BBM yang naik. Apa juntrungannya?

Sampai di sini kata-kata saya memang pahit. Tapi dari perspektif sempit pula, saya memang berpendapat, rakyat masih marah, kecewa, dan dendam pada anthurium, yang dianggap telah menyengsarakan mereka, dan sebagian kecil saja mungkin yang menikmati bonanza anthurium. Sebagian dari mereka mengalami paranoid, atau phobia akut mengakibatkan benci pada semua tanaman. Ada juga yang malah kesal pada pedagang tanaman yang dianggap menjerumuskan hidupnya. Majalah atau tabloid tanaman yang mencoba menawarkan alternatif baru saja ikut dimusuhi. Rupanya, mereka tak rela melepas mimpi indahnya.

Selalu Optimis

Anjuran saya sederhana saja: cuci muka adalah cara terbaik setelah kita bangun tidur. Maksudnya, supaya wajah kita segar dan pandangan tidak nanar. Dengan itu kita pasti akan lebih mahir dan cerdas menyongsong hari esok. Apa misalnya?

Kalau nanti ada jagoan baru, selalu ambil posisi yang jelas, jangan bersikap ambigu. Kalau mau jadi pedagang, jadilah pedagang sejati, bukan spekulan atau penjudi. Kalau Anda mau jadi pedagang harusnya tidak banyak cincong: kalau sudah untung, lepas saja. Jangan mencoba-coba menahan harga dengan harapan harga naik terus. Anthurium mengajarkan kita bahwa spekulan –seperti penjudi—ujung-ujungnya hanya ada istilah kalah dan menang, win or lose.

Kalau mau jadi breeder, jadilah breeder sejati dan professional. Jangan jadi breeder merangkap pedagang. Pedagang berpikir jangka cepat, menjual hanya barang yang fast moving. Sebaliknya, seorang breeder atau petani, kita kudu sabar, berpikir jangka menengah dan jangka panjang.

Yang tak kalah penting, jangan suka menuding pihak lain sebagai pembuat harga tanaman suka jatuh. Dalam kasus anthurium, yang disalahkan barang impor. Kita lihat sendiri, yang bikin ulah ternyata kita sendiri. Sangat konyol, pistol kita arahkan ke depan, teman di belakang justru menohok kita.

Dan yang juga penting dicatat, kita sekarang tahu betapa pentingnya peran pemerintah untuk membantu membuka keran ekspor seluas-luasnya. Pemeritah harus tahu bahwa kita punya potensi, yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.

Karena saya suka dengar anggapan orang luar bahwa tanaman kita tidak steril, mungkin Deplu harus sudah mulai bikin PR bahwa tanaman Indonesia sehat dan bebas hama. Selanjutnya Deptan atau pihak terkait di Indonesia harus segera menderegulasi semua aturan yang bikin susah sekaligus memberi insentif kepada pengekspor. Kalau Thailand bisa, kenapa kita tidak? Ini berlaku untuk tanaman apa saja, seperti aglaonema silangan Greg Hambali, sanse, puring dan lain-lain. Tanaman adalah jenis komoditi yang bisa beranak pinak. Jangan sampai setelah over supply, kita baru merasakan dampak pahitnya.

Ringkasnya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Tapi jangan mau terpenjara oleh masa lalu, betapa pun indahnya masa lalu itu.***

Kurniawan Junaedhie adalah wartawan & pecinta tanaman hias
Dimuat TRUBUS edisi JULI 2008 dengan judul "NAIK 700%".

31 Mei 2008

Abi, Peliput Tabloid TUMBUH Emang Penjiplak

ISENG2 masuk ke mesin pencari, eh, nemu tulisan ini. Rupanya sepucuk surat yang ditulis Bapak Aganto Seno untuk Redaksi Tumbuh. Apa isinya? Lagu lama. Soal plagiat. Rupanya nasib beliau sama dengan saya: tulisannya dijiplak mentah2 oleh orang bernama ABI. Berikut kutipannya:

Surat di bawah ini adalah email yang saya kirim ke redaksi TUMBUH ( tumbuh_redaksi@yahoo.co.id ) dan redaksi KOMPAS ( redaksikcm@kompas.com ) pada tanggal 28 April 2008 yang lalu, namun tidak ada balasan ataupun komentar dari kedua redaksi. Sayang sekali kita masih banyak memelihara para penjiplak. Isi email tersebut persis seperti di bawah ini:

Yth. Bpk Eko Wahyudi selaku pemimpin redaksi sekaligus pemimpin perusahaan PT. Nanda Permata Millenium, sebagai pemilik Tabloid TUMBUH, saya sungguh menyesalkan adanya penjiplakan di tabloid anda. Salah satunya adalah tulisan saya di web-blog dengan judul "Anggrek di Taman Nasional Komodo" yang saya upload bulan Juli 2007 pada http://anggrekindonesia.blogspot.com/2007/07/anggrek-di-taman-nasional-komodo.html telah dijiplak oleh Ewe/Abi pada tulisannya dengan judul "Pesona Anggrek Dendrobim Taman Nasional Komodo".

Tulisan tersebut dimuat tabloid TUMBUH pada edisi No 07/Th.1/05-19 Desember 2007 hal 14. Saya baru menyadari bahwa tulisan saya (termasuk foto-foto yang saya ambil di Pulau Komodo dan Rinca) telah dibajak ketika salah seorang teman kantor (Balai Taman Nasional Komodo) membawa tabloid tersebut ke kantor seminggu yang lalu.

Kontan saja banyak teman yang protes dan menyarankan untuk mengirim surat atau email ke redaksi taboid tersebut dan juga ke redaksi KOMPAS agar semua orang bisa membaca.

Ketika saya membuka web dan mencari website Tabloid TUMBUH, saya malah mendapat keluhan dari "korban" yang lain yaitu Kurniawan Junaedhie yang menyatakan bahwa tulisannya dengan judul "Mimpi Indah Bersama Anthurium" yang dimuat Tabloid KONTAN edisi khusus, Oktober-Nopember 2007 rupanya juga telah dibajak oleh Abi pada edisi tabloid TUMBUH yang sama. Keluhan ini bisa dibaca di http://kurniawan-junaedhie.blogspot.com/2008/01/artikel-ohartikel.html atau http://kurniawan-junaedhie.blogspot.com/2008/03/tulisan-saya-di-kontan-diplagiat-abi.html

Semoga saja pak Eko selaku pemimpin perusahaan/redaksi telah mengambil sikap terhadap kondisi ini, sehingga kejadian yang memalukan seperti ini tidak terulang lagi.

Best,
Aganto Seno
Staf Balai Taman Nasional Komodo
Jl. Kasimo, Labuan Bajo, Flores 86554
Telp. 0385-41005

13 Maret 2008

Abi Oh Abi, Teganya Dikau Menyontek Tulisan Orang Lain

Seorang pembaca Kontan menulis surat terlampir dan dimuat di Kontan MInggu III Des. 2007. Dia heran, tulisan MIMPI INDAH BERSAMA ANTHURIUM tulisan saya yang dimuat di Kontan edisi Khusus Okt-Nov 2007 kok sama dengan yang dimuat ditablod TUMBUH edisi 7, 5-19 Des. 2007 dengan nama penulis berbeda yaitu Abi. Sebagai wartawan, pengarang dan penulis fiksi selama hampir 25 tahun, saya cuma bisa mengelus dada dan gemas. Banyak sekali orang2 muda seperti Abi yang suka menerabas, dan tidak mau melewati proses. Mereka ingin cepat2 sukses tidak mau repot. Adalah orang2 seperti ini, ketika nanti menjadi orang, akan melakukan segala cara untuk mencapai keinginannya.

Di sebuah blog, pernah juga ada yang menanyakan hal yang sama tentang perkara yang sama, dan saya kutip juga di blog ini. Waktu itu reaksi saya mungkin agak lebih emosional. Hehehe. Sekarang mah santai.

Sebagai penulis yang tulisan2nya banyak di muat di media massa, terus terang bukan baru sekali ini, tulisan2 saya dibajak atau diplagiat orang seperti Abi di Tabloid Tumbuh. Dulu cerpen2, novelet2 maupun puisi2 saya juga sering dibajak orang. Jadi komentar saya, ya, no comment. Mau apa? Marah? Saya lebih baik menganggap Abi sengaja mengutip tulisan saya; tapi lupa--atau malas-- menyebut sumbernya. Cuma nakalnya, --kata surat di bawah, -- Abi masih menambah tiga paragraf. Sungguh terlalu dan tidak tau malu.

Saya tidak pernah melarang tulisan saya dikutip. Dan setahu saya banyak juga pemilik website dan blog, yang mengutip tulisan2 saya, dan sejauh ini mereka tetap menyebut sumber tulisan dan nama penulisnya, yaitu saya. Saya tentu ikut senang karena mereka --seperti juga wartawan-- telah ikut menyebarkan informasi.

Artikel Sama, Beda Penulis

SAYA adalah orang yang punya hobi membaca, terutama yang berkaitan dengan anthurium dan aglaonema, walau tidak sebatang anthurium pun tertanam di rumah saya. Saya hanya memiliki beberapa batang aglaonema Dona Carmen mahakarya Greg Hambali.

Kenapa saya sebut mahakarya karena memang aglaonema jenis inilah yang termurah dan yang paling merakyat, tidak pandang pangkat, derajat, golongan, kaya, maupun miskin.

Berkenaan dengan hobi membaca tersebut, saya menemukan artikel Fenomena Anturium pada Tabloid Tumbuh Edisi 7, 5-19 Desember 2007 dengan penulis Saudara Abi. Artikel yang sama telah dimuat pada Tabloid KONTAN Edisi Khusus Oktober-November 2007 dengan judul Mimpi Indah Bersama Anthurium oleh Saudara Junaedhi seperti yang dikutip secara fair pada website Toekang Keboen Nursery dengan menyebutkan penulis dan penerbitnya secara lengkap.

Artikel pada Tabloid Tumbuh tersebut sama persis dengan yang dikutip oleh Toekang Keboen di website-nya dari Tabloid KONTAN, kecuali dengan adanya tambahan tiga paragraf terakhir.

Seandainya Saudara Abi bukan alias dari Saudara Junaedhi, bisa dikatakan Saudara Abi adalah seorang plagiator. Ingat kita sudah memiliki Undang-Undang Hak Cipta, dan pemerintah sekarang ini sedang giat-giatnya melindungi hak cipta intelektual termasuk karya tulis yang dimuat di media massa.

Adalah tidak fair apabila Saudara Abi adalah Saudara Junaedhi sendiri, bila memang betul demikian adanya, seharusnya tulisan pada Tabloid Tumbuh ditambahkan keterangan yang menyatakan bahwa artikel tersebut telah diterbitkan oleh Tabloid KONTAN secara lengkap. Itu baru fair.

Brontho Dwiatmoko,
Tangerang

06 Januari 2008

Tulisan Saya di Kontan Dibajak Abi di Tabloid Tumbuh?

(Tanpa sengaja, saya menemukan surat yang ditulis Retty N. Hakim ini di wikimu.com. Tak disangka, menyebut nama saya, dan juga tulisan saya di Tabloid Kontan, Mimpi Indah Bersama Anthurium, (dimuat Tabloid KONTAN Edisi Khusus, Oktober - November 2007). Rupanya tulisan tersebut telah dibajak dan dimuat di tabloid Tumbuh (edisi 7, terbitan 5 - 19 Desember 2007) dengan nama penulis bernama Abi. Saya belum pernah membaca tulisan dimaksud di Tumbuh. Saya juga tidak membaca surat Brontho Dwiatmoko (Tangerang), pembaca, yang mempersoalkan duplikasi tulisan itu. Redaksi KONTAN sendiri tidak pernah meminta klarifikasi saya. Untuk diketahui, tulisan saya itu adalah atas pesanan redaksi, dan saya tulis khusus untuk KONTAN. Sebagai seorang penulis dan lama berkecimpung di dunia pers, tentu sangat naif saya mengirim ulang tulisan pesanan khusus ke tempat lain dengan menggunakan nama lain. Ketika saya bekerja sebagai redaktur sejumlah media dulu, saya termasuk yang paling tidak bisa mentoleransi penulis yang mengirim tulisan ganda ke beberapa penerbitan sekaligus. Jadi mungkin saja, redaksi KONTAN bersikap seperti saya, no comment saja. Hanya sungguh menyedihkan, sampai sekarang masih banyak orang/ penulis memilih jalan pintas. Malas berkreasi dan malas berpikir. kj)

Artikel ...oh...Artikel!
Oleh: Retty N. Hakim
Sabtu, 22-12-2007 20:35:59

Ketika tulisan saya yang berjudul "Apa Arti Kejujuran dan Integritas Seorang Penulis?" saya turunkan ke wikimu, sebenarnya saya mengharapkan para wartawan senior memberikan sedikit tuntunan etika jurnalistik.

Bung Berthold Sinaulan, salah satu komentator dalam artikel itu, adalah wartawan senior di media cetak. Tapi entah kemana wartawan senior lain yang sering saya lihat namanya di wikimu (Mohon maaf bagi komentator lain yang mungkin saja adalah wartawan senior juga).

Tidak berapa lama kemudian penulis yang saya singgung dalam tulisan di atas mengirimkan e-mail kepada saya dengan penjelasan yang sedikit lebih panjang dari tulisan penjelasan beliau di Kompas.

Pertama dia menjelaskan bahwa dia merasa benar karena seorang redaktur Opini harian Kompas dalam mengisi in house training di The Indonesian Institute menjelaskan bahawa dalam menulis opini sah-sah saja mendaur ulang tulisan dengan catatan bahwa tulisan yang didaur ulang sebaiknya dikirimkan kembali ke media cetak yang sama, serta masih adanya relevansi untuk daur ulang tulisan tersebut.

Kemudian hal lain yang diangkatnya adalah bahwa pada tanggal 11 September ada juga pembaca yang protes mengenai tulisan ganda Radhar Panca Dahana. Tapi pada kesempatan itu surat pembaca dan surat penjelasan dari Radhar Panca Dahana terbit bersamaan.

Kemarin (21 Desember 2007) secara kebetulan saya membaca dua buah surat pembaca yang mempermasalahkan artikel ganda.

Satu surat saya baca di Mingguan bisnis dan investasi Kontan, Minggu ke-tiga Desember 2007. Dalam kolom surat dan opini dari Brontho Dwiatmoko (Tangerang) dipertanyakan kesamaan antara artikel "Mimpi Indah Bersama Anthurium" oleh Junaedhi yang sudah dimuat oleh Tabloid Kontan edisi khusus Oktober 2007 (serta sudah dikutip dengan mencantumkan sumber oleh website Toekang Keboen Nursery), dengan tulisan "Fenomena Anturium" pada Tabloid Tumbuh edisi 7, terbitan 5 - 19 Desember 2007 oleh seorang penulis bernama Abi. Pak Brontho ingin tahu apakah Abi dan Junaedhi adalah orang yang sama atau berbeda, dan bila ia adalah orang yang sama apakah boleh menurunkan artikel yang sama dengan nama berbeda.

Surat kedua saya temukan di harian Bisnis Indonesia, 21 Desember 2007, sebuah penjelasan tentang artikel ganda yang terbit bersamaan pada tanggal 19 Desember 2007 di dua media cetak Indonesia. Tulisan opini berjudul "Pengelolaan Surat Berharga Negara 2008" tulisan Bhimantara Widyajala (Direktur Surat Berharga Negara, dari Dirjen Pengelolaan Utang) ini bisa muncul bersamaan karena penulis yang merasa tidak memperoleh tanggapan dari editorial Kompas menarik kembali tulisannya via e-mail (18 Desember 2007, setelah menunggu kabar selama satu minggu dari 11 Desember 2007). Harian Bisnis Indonesia sedikit mempersalahkan penulis karena tidak menginformasikan bahwa sudah mengirim tulisan yang sama ke harian berbeda.

Penolakan sebuah artikel dari sebuah media cetak nasional memang sangat tergantung dari editorialnya. Dalam pengalaman saya, harian Kompas termasuk yang cukup rajin menanggapi naskah walaupun isinya adalah penolakan naskah! Tapi ada harian yang setelah berbulan-bulan tak ada kabar baru mengirimkan penolakan. Dan ada lagi yang tidak ada kabar sama sekali. Sebagai penulis terkadang nilai jual berita sangat tergantung kecepatan terbitnya naskah. Karena itu tidak heran kalau Radhar Panca Dahana dan Bhimantara Widyajala ketika merasa tidak mendapat tanggapan, langsung mengirimkan tulisan yang sama ke redaksi harian lain (setelah merasa menarik kembali tulisannya). Sebenarnya apakah ini kesalahan mereka? Bila mereka mencantumkan telah mengirimkan tulisan itu ke harian lain dan menariknya, apakah redaksi harian yang kedua akan memuatnya?

Tulisan pertama saya ke Ohmy News International adalah artikel daur ulang dari sebuah artikel yang telah beberapa minggu tidak ditanggapi oleh redaksi harian yang saya kirimi berita. Hal ini saya cantumkan pada berita kepada editor, bahwa berita tersebut sudah saya kirimkan tapi sudah saya cabut kembali via e-mail karena tidak ada tanggapan dari redaksi.

Dahulu saya sedikit berprasangka pada redaksi media cetak Indonesia. Setelah artikel yang saya tuliskan saya kirimkan, tidak ada tanggapan sama sekali. Tapi beberapa waktu kemudian tulisan sejenis muncul dengan pengolahan yang lebih mendalam dan lebih menarik. Terus terang saya merasa ide saya tercuri. Tapi setelah mengenal wikimu.com, sebuah portal jurnalisme warga, saya bisa melihat sendiri betapa pada saat yang sama bisa ada beberapa orang yang mempunyai ide tulisan yang sama.

Di wikimu hal ini lebih terasa karena editorial, yang dalam istilah Bung Berthold dalam artikel terbarunya (http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=5367), menjadikan "dunia jurnalistik" yang dikenalnya menjadi "cair". Ketika Gus Wai sudah lebih dahulu menaikkan tulisannya tentang pemenang Asian Idol, tulisan saya yang masuk kemudian juga dinaikkan oleh editor. Satu hal yang sama, dari sudut pandang yang mungkin hampir sama, suatu hal mustahil bisa terjadi di media cetak konvensional.

Demikian juga di Ohmy News International, ketika saya menaikkan tulisan tentang perasaan saya sebagai warga yang gubernurnya merasa terhina oleh Australia ternyata seorang citizen reporter lain yang bermukim di Jepang sudah menaikkan pula tulisannya dari sudut pandang yang berbeda. Karena sudut pandang berbeda ini mungkin editor meloloskan kedua tulisan tersebut.

Menulis opini memang agak berbeda dengan reportase perjalanan misalnya. Bagi saya pribadi sebuah opini terkadang agak sulit untuk dituliskan kembali dengan sudut pandang berbeda. Tulisan pertama saya di Ohmy News International mengalami daur ulang yakni penambahan sudut pandang subyektif dari penulis. Ini satu ciri berbeda dari media cetak konvensional yang lebih menekankan pandangan obyektif dengan media jurnalisme partisipatori warga yang lebih personal. Media cetak konvensional saat inipun tampaknya mulai bergeser semakin personal dalam menyampaikan opini.

Setelah memperoleh kesempatan langka berkunjung ke Seoul, selain beberapa tulisan untuk Wikimu dan Ohmy News International saya juga sempat mengirimkan tulisan ke harian Jakarta Post dan Tabloid Rumah (sayang tidak online). Sudut pandang yang saya turunkan tentunya berbeda-beda walaupun tempat yang saya kunjungi adalah tempat yang sama. Tulisan saya di harian Jakarta Post memakai nama panggilan saya Retty N. Hakim, sementara tulisan saya yang berhubungan dengan arsitektur di Tabloid Rumah memakai nama KTP saya Maria Margaretta. Perbedaan nama ini memang karena dari dulu bila saya menulis tulisan yang bersifat arsitektur saya lebih suka memakai nama lengkap yang mungkin akan dikenali oleh mantan dosen saya (Biar beliau-beliau itu bangga ilmunya tidak saya buang percuma).

Sebenarnya saya sendiri agak ragu-ragu menulis calon tulisan saya ke dalam blog karena takut tiba-tiba tulisan tersebut sudah terbit di sebuah harian tanpa pernah saya ketahui sudah dibajak. Tapi dengan memiliki komunitas yang mengusung partisipatori warga, saya percaya akan banyak teman yang akan saling memberitahukan bila tiba-tiba saja tulisan kontributor di wikimu muncul dalam nama orang lain di sebuah harian ataupun di sebuah blog (tanpa mengutip asal berita dan nama penulis). Dan ketika tulisan saya tidak sempat saya kirimkan ke media cetak (karena sekarang lebih banyak mendahulukan media internet daripada media konvensional) maka portal citizen journalism maupun blog saya akan menampung tulisan saya agar suara saya ada gaungnya.

Bagaimana dengan anda? Bagaimana dengan etika pengiriman tulisan menurut pandangan redaktur profesional dari media konvensional?