Tampilkan postingan dengan label Boedi Ismanto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Boedi Ismanto. Tampilkan semua postingan

01 Maret 2011

Menyimak "Sepasang Bibir di Dalam Cangkir" Kumpulan Puisi Kurniawan Junaedhie

Catatan Kecil: Boedi Ismanto SA

 Menikmati puisi-puisi Jun, juga dalam kumpulan puisi "Sepasang Bibir di Dalam Cangkir" ini, mungkin sama halnya dengan menikmati beberapa "short story" yang ditulisnya berdasarkan pengalaman puitiknya dari satu kota ke kota lain seperti Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Namun dalam "cerpen-cerpen" itu, kita dapati pengalaman-pengalaman yang mestinya biasa saja layaknya ketika, tengah dan sehabis kita bertandang kemana-mana, sebab gaya penyampaian yang khas, semi surealis ala penyairnya, menjadikan "cerpen-cerpen" yang dikemas mirip prosa liris sebagaimana umumnya itu tidak biasa. Sekaligus, menjadikannya "story teller" yang baik. Ada lompatan imajinasi yang luar biasa menukik. Tajam ke "dalam" dan lalu memberikan pencerahan yang segar dan menawan.

Coba kita simak EPILOG, satu puisi yang ditulisnya 2010, halaman 40, yang membuktikan hal tersebut. Berangkat - berawal dari konsep sadar, kemudian melompat ke bawah sadar, lalu kembali kepada kesadaran penuh realitas.

EPILOG 

Aku sudah hapal jalan menuju rumahmu. Masuk tol, belok kiri, menikung kanan, kanan lagi, belok kanan, kanan lagi, lalu terus saja menuju hatimu. Sebaliknya bila pulang, aku belok kanan, menikung kiri, belok kiri, kiri lagi, lalu terus saja menempuh jalan pulang dengan hati lapang. Aku senang telah menyelami lubuk hatimu, merayapi jantung dan parumu, meski jalannya bersimpang-simpang. 

Dimana konsep sadarnya? Ialah yang diwakili kalimat sejak awal puisi itu ditulis sampai dengan sebelum: /lalu terus saja menuju hatimu./ Setelah itu, baru dia masuk membawa pembacanya kedalam alam bawah sadarnya, sampai dengan larik: /dan merayapi jantung dan parumu,/ kemudian mengajak pembacanya kembali kepada kesadaran penuh realitas sebagaimana disebut diatas. Realitas yang sekaligus merupakan simpul apa yang sebenarnya ingin disampaikannya: /meski jalannya bersimpang-simpang./

Jun menyuguhkan 36 sajak dalam buku setipis 42 halaman itu, yang ditulisnya 2009, 2010 dan 2011. Setting/layout yang cukup menarik dikerjakan Danar Satria Kinantan, dan disain sampul serta proofreader oleh anak-anaknya. Masing-masing Azalika Avilla Adinda dan Betsyela Bianca. "Sepasang Bibir di Dalam Cangkir" ini, merupakan cetakan pertama Kosa Kata Kita, penerbit Jakarta, Februari 2011, yang dikata pengantari sendiri oleh Kurniawan Junaedhie dengaan kaver kopi tumpah berwarna coklat kekuningan dan didedikasikan: Untuk hati dan paruku, yang selalu memompa optimismeku agar terus hidup dan mencintai!

Kita nikmati puisi selanjutnya. Yang dijadikannya judul buku di halaman 38 dan ditulis 9 Oktober 2010 di bawah ini:

SEPASANG BIBIR DI DALAM CANGKIR 

Aku sedang duduk di dalam kafe. Pelayan kafe meletakkan cangkir kopiku pelan-pelan di atas meja. Aroma kopi mengudara, membuat kaca kafe berembun seperti hari menjelang senja. Ketika si pelayan berlalu, tiba-tiba saja kulihat kamu sedang melambaikan tangan di kaca itu. Aku terkesiap dan memburu, membuat cangkir terguncang oleh sendok sehingga air kopi itu berpusing-pusing jatuh ke pisin, menitik di lantai, sebelum lelerannya jatuh berdenting. Ketika aku tengadah, kamu sudah mengabur dari kaca yang masih berembun oleh aroma kopi. Sekarang aku melihat sepasang bibir di dasar cangkir dekat air kopi di pisin menyeru-nyeru namaku. Siapa pemilik bibir itu? tanyaku sambil membaui aroma dan ampas kopi yang rebah di lantai. 

Ada setidaknya dua misteri dalam sajak di atas. Yang pertama mengapa dipilihnya kosa kata senja untuk akhir kalimat: /Aroma kopi mengudara membuat kaca kafe berembun seperti hari menjelang senja./ dan yang ke dua: /Siapa pemilik bibir itu?/ Mengapa senja dan bukannya pagi? Sebab bukankah berembun itu tanda dimulainya pagi lewat dini hari? bukan senja hari? Entahlah apa sebenarnya yang ingin diceritakannya. Hanya dia sendiri yang tahu arti dan makna kata itu rasanya. Sementara untuk misteri ke dua, meski tidak menyebut nama, namun dia yang memiliki bibir itu, yang mengilhami dan mempengaruhi suasana hatinya itu, diisyaratkannya dalam sajak berjudul BIBIR DI BAWAH BANTAL, yang justru ditulisnya 21 Januari 2009, halaman 11:

BIBIR DI BAWAH BANTAL 
Untuk si pemilik bibir 

Ada bibir perempuan terjatuh dari genting yang bocor. Pluk. Bibir itu terjerembab di kasur rumahku. Kelopak bibir itu basah merekah. Merah seperti delima. Kelopak itu menengadah, seperti pasrah. Pasrah kepada siapa? Sedang aku tak tahu ini bibir siapa? Di luar, langit hijau semata karena tertutup hujan yang turun tergesa. Pemandangan kabur. Pohon-pohon tampak baur ditiup angin. Aku termangu dan bertanya-tanya, siapa kiranya si pemilik bibir. Jangan-jangan ia seorang perempuan yang sedang duduk di kedai kopi, yang geram, kepada suaminya sehingga bibirnya terlempar ke udara lalu masuk ke rumahku. Atau ia seorang perempuan yang sedang kesepian lalu mengerang sehingga bibirnya meloncat ke langit, dan masuk ke dalam jendela kamar tidurku. Jangan-jangan ia malah sengaja mencopot bibirnya, lalu melemparkannya ke arahku untuk mengusik tidurku. Apa salahku? Sedang aku tak tahu ini bibir siapa? Aku termangu, menatap bibir itu dari bawah bantal, sementara hujan terus turun berayun-ayun dari langit berembun. 

Puisi-puisi Jun sepintas barangkali terkesan personal akan tetapi sebenarnya tidak. Ia membagi pengalaman puitiknya agar tidak meninggalkan kesan semacam itu, dan menjadi pengalaman puitik para pembacanya juga dengan simpul-simpul kontemplatif yang diberikannya - yang selanjutnya mereka merasakannya pula. Bahwa apa yang sesungguhnya diceritakan Jun, dialami dan diiyakan sebagai kebenaran yang diperoleh, pada suatu hari, bulan atau bahkan tahun yang telah dan/atau tengah dilaluinya. Demikianlah Jun yang kita kenal, bukan pribadi egois dengan subyektivitas eksklusif, tidak mengenal siapa-siapa, sebab siapa-siapa adalah siapa-siapa yang sesungguhnya kepadanya berbagi pengalaman puitik dengannya pula.*** . .

Yogyakarta, 28 Februari 2011

24 November 2010

Seikat Sajak Buat Jun

Sajaksajak Boedi Ismanto SA

SEIKAT SAJAK BUAT JUN

/1/

jun merangkai kata kerja dari purwokerto
hingga jakarta. betapa panjang. dijadikannya
huruf hidup kalimat kehidupan dan diberinya makna,
juga buat kalian camkan dan cerna

bahwa nasib memang sudah ditakdirkan
tapi ia rubah dalam puisi. fiksi mini. cerpen. bukubuku
yang diterbitkan dan menjanjikan. selain canda
yang hangat dan sangat bersahabat, yang membuat
panjang usia dan mulia sampai ulang tahunnya hari ini
yang entah untuk ke berapa kalinya

kenalkah kalian dia? kurniawan junaedhie - sahabat
lamaku juga? mari kita pun saling mendoakan senantiasa,
senantiasa

/2/

aih ada yang kulupa kiranya. susy ayu sahabatku juga
dia 2 tahun sedang kami sudah menulis dimanamana,
menata kata kerja menjadikan huruf hidup - kalimat
kehidupan bermakna pula

kenalkah kalian dia. betapa tulus dia. betapa ikhlas
dia. memandang segala penuh cinta, kasih
dan sayang-Nya

/3/

coba bayangkan bagaimana keceriaan dia
senyumnya tersungging senantiasa,
kacamatanya seperti ikut berkedip
saat tertawa

dia memang istimewa
ada 100 haiku dibuat,
dalam 6 jam untuknya

/4/

jun bilang penyair bisa tua
kecuali hatinya selalu mencinta,
katanya

/5/

saat kami bertemu di jogja
20 november 2010 - setelah
35 tahunan tak jumpa, dia
tak berubah sedikit pun. selain

kulit dan wajahnya kian putih
bersih seperti hatinya

/6/

di jakarta, di jakarta,
jun baru bisa merasakan
menjadi manusia - ketika

malam hari tiba

/7/

bagi jun harihari terasa aneh
tetapi tidak sejak ia menemukan
kekasih hatinya

/8/

aku pun berharap cerita berakhir
bukan seperti sampek engtay
namun endless love adanya

/9/

pada hari ulang tahun jun
banyak sahabat mengkado sajak
aku pun berkirim seikat dan ingin
begitu ingin semua bertambah erat

/10/

selamat ulang tahun, sahabat
senja tidak lagi dekat

(yk, 24 november 2010)