
Menikmati puisi-puisi Jun, juga dalam kumpulan puisi "Sepasang Bibir di Dalam Cangkir" ini, mungkin sama halnya dengan menikmati beberapa "short story" yang ditulisnya berdasarkan pengalaman puitiknya dari satu kota ke kota lain seperti Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Namun dalam "cerpen-cerpen" itu, kita dapati pengalaman-pengalaman yang mestinya biasa saja layaknya ketika, tengah dan sehabis kita bertandang kemana-mana, sebab gaya penyampaian yang khas, semi surealis ala penyairnya, menjadikan "cerpen-cerpen" yang dikemas mirip prosa liris sebagaimana umumnya itu tidak biasa. Sekaligus, menjadikannya "story teller" yang baik. Ada lompatan imajinasi yang luar biasa menukik. Tajam ke "dalam" dan lalu memberikan pencerahan yang segar dan menawan.
Coba kita simak EPILOG, satu puisi yang ditulisnya 2010, halaman 40, yang membuktikan hal tersebut. Berangkat - berawal dari konsep sadar, kemudian melompat ke bawah sadar, lalu kembali kepada kesadaran penuh realitas.
EPILOG
Aku sudah hapal jalan menuju rumahmu. Masuk tol, belok kiri, menikung kanan, kanan lagi, belok kanan, kanan lagi, lalu terus saja menuju hatimu. Sebaliknya bila pulang, aku belok kanan, menikung kiri, belok kiri, kiri lagi, lalu terus saja menempuh jalan pulang dengan hati lapang. Aku senang telah menyelami lubuk hatimu, merayapi jantung dan parumu, meski jalannya bersimpang-simpang.
Dimana konsep sadarnya? Ialah yang diwakili kalimat sejak awal puisi itu ditulis sampai dengan sebelum: /lalu terus saja menuju hatimu./ Setelah itu, baru dia masuk membawa pembacanya kedalam alam bawah sadarnya, sampai dengan larik: /dan merayapi jantung dan parumu,/ kemudian mengajak pembacanya kembali kepada kesadaran penuh realitas sebagaimana disebut diatas. Realitas yang sekaligus merupakan simpul apa yang sebenarnya ingin disampaikannya: /meski jalannya bersimpang-simpang./
Jun menyuguhkan 36 sajak dalam buku setipis 42 halaman itu, yang ditulisnya 2009, 2010 dan 2011. Setting/layout yang cukup menarik dikerjakan Danar Satria Kinantan, dan disain sampul serta proofreader oleh anak-anaknya. Masing-masing Azalika Avilla Adinda dan Betsyela Bianca. "Sepasang Bibir di Dalam Cangkir" ini, merupakan cetakan pertama Kosa Kata Kita, penerbit Jakarta, Februari 2011, yang dikata pengantari sendiri oleh Kurniawan Junaedhie dengaan kaver kopi tumpah berwarna coklat kekuningan dan didedikasikan: Untuk hati dan paruku, yang selalu memompa optimismeku agar terus hidup dan mencintai!
Kita nikmati puisi selanjutnya. Yang dijadikannya judul buku di halaman 38 dan ditulis 9 Oktober 2010 di bawah ini:
SEPASANG BIBIR DI DALAM CANGKIR
Aku sedang duduk di dalam kafe. Pelayan kafe meletakkan cangkir kopiku pelan-pelan di atas meja. Aroma kopi mengudara, membuat kaca kafe berembun seperti hari menjelang senja. Ketika si pelayan berlalu, tiba-tiba saja kulihat kamu sedang melambaikan tangan di kaca itu. Aku terkesiap dan memburu, membuat cangkir terguncang oleh sendok sehingga air kopi itu berpusing-pusing jatuh ke pisin, menitik di lantai, sebelum lelerannya jatuh berdenting. Ketika aku tengadah, kamu sudah mengabur dari kaca yang masih berembun oleh aroma kopi. Sekarang aku melihat sepasang bibir di dasar cangkir dekat air kopi di pisin menyeru-nyeru namaku. Siapa pemilik bibir itu? tanyaku sambil membaui aroma dan ampas kopi yang rebah di lantai.
Ada setidaknya dua misteri dalam sajak di atas. Yang pertama mengapa dipilihnya kosa kata senja untuk akhir kalimat: /Aroma kopi mengudara membuat kaca kafe berembun seperti hari menjelang senja./ dan yang ke dua: /Siapa pemilik bibir itu?/ Mengapa senja dan bukannya pagi? Sebab bukankah berembun itu tanda dimulainya pagi lewat dini hari? bukan senja hari? Entahlah apa sebenarnya yang ingin diceritakannya. Hanya dia sendiri yang tahu arti dan makna kata itu rasanya. Sementara untuk misteri ke dua, meski tidak menyebut nama, namun dia yang memiliki bibir itu, yang mengilhami dan mempengaruhi suasana hatinya itu, diisyaratkannya dalam sajak berjudul BIBIR DI BAWAH BANTAL, yang justru ditulisnya 21 Januari 2009, halaman 11:
BIBIR DI BAWAH BANTAL
Untuk si pemilik bibir
Ada bibir perempuan terjatuh dari genting yang bocor. Pluk. Bibir itu terjerembab di kasur rumahku. Kelopak bibir itu basah merekah. Merah seperti delima. Kelopak itu menengadah, seperti pasrah. Pasrah kepada siapa? Sedang aku tak tahu ini bibir siapa? Di luar, langit hijau semata karena tertutup hujan yang turun tergesa. Pemandangan kabur. Pohon-pohon tampak baur ditiup angin. Aku termangu dan bertanya-tanya, siapa kiranya si pemilik bibir. Jangan-jangan ia seorang perempuan yang sedang duduk di kedai kopi, yang geram, kepada suaminya sehingga bibirnya terlempar ke udara lalu masuk ke rumahku. Atau ia seorang perempuan yang sedang kesepian lalu mengerang sehingga bibirnya meloncat ke langit, dan masuk ke dalam jendela kamar tidurku. Jangan-jangan ia malah sengaja mencopot bibirnya, lalu melemparkannya ke arahku untuk mengusik tidurku. Apa salahku? Sedang aku tak tahu ini bibir siapa? Aku termangu, menatap bibir itu dari bawah bantal, sementara hujan terus turun berayun-ayun dari langit berembun.
Puisi-puisi Jun sepintas barangkali terkesan personal akan tetapi sebenarnya tidak. Ia membagi pengalaman puitiknya agar tidak meninggalkan kesan semacam itu, dan menjadi pengalaman puitik para pembacanya juga dengan simpul-simpul kontemplatif yang diberikannya - yang selanjutnya mereka merasakannya pula. Bahwa apa yang sesungguhnya diceritakan Jun, dialami dan diiyakan sebagai kebenaran yang diperoleh, pada suatu hari, bulan atau bahkan tahun yang telah dan/atau tengah dilaluinya. Demikianlah Jun yang kita kenal, bukan pribadi egois dengan subyektivitas eksklusif, tidak mengenal siapa-siapa, sebab siapa-siapa adalah siapa-siapa yang sesungguhnya kepadanya berbagi pengalaman puitik dengannya pula.*** . .
Yogyakarta, 28 Februari 2011