Pak SP yang budiman,
Di Majalah Trubus edisi Juli 2008 saya mensinyalir bahwa pedagang tanaman hias naik 700 persen akibat booming Anthurium. Booming anthurium terjadi pada tahun 2007. Pada tahun 2008, situasi mulai berubah drastis. Sejak awal tahun 2008, bissnis tanaman ujug-ujuk melesu. Dikiranya karena orang habis berpesta Tahun Baru, ternyata sampai anak masuk sekolah, dan selesai harga BBM naik, situasi tak kunjung berganti.
Saya mungkin orang paling sedih, karena harus menjilat ludah sendiri, kalau mengatakan bahwa bsinis tanaman hias saat ini sungguh-sungguh menyedihkan. Banyak tip/ trik atau kiat yang saya tulis dalam buku saya Kiat Sukses Berbisnis Tanaman Hias (terbit pada tahun 2007), ternyata tidak mujarab sama sekali mengatasi kondisi yang ada saat ini.
Khusus untuk diri saya, Tuhan rupanya memberit ahu saya, bahwa saya masih belum pengalaman, saya masih harus belajar banyak dari kehidupan. Apa yang bisa saya petik dari pelajaran krisis global ini?
Tanaman ternyata memang sebuah komoditi yang unik. Betapa tidak. Pada saat BBM dan dollar naik, harga tanaman malah turun. Jelas realita ini menyesakkan dada. Terbukti karakter tanaman hias sebagai komditi, tidak sama persis dengan komditi-komoditi lain seperti bahan-bahan bangunan seperti kayu, besi atau semen, atau pot atau obat2an tanaman yang bisa mengambang (floating) dalam kondisi ekonomi apa pun.
Sangat menyesakkan dada, melihat kenyataan bahwa tanaman hias ternyata bukan komiditi yang adaptable dengan kondisi ekonomi, atau gampang dihantam resesi, beda dengan komoditi-komoditi lainnya. Contoh, pebisnis non-tanaman mungkin tetap tenang barang lama (yang dibeli dengan harga lama) menumpuk lama, karena kelak tetap bisa dijual dengan harga yang menyesuaikan keadaan. Coba kalau kita menyimpan banyak-banyak tanaman. Alih-alih harga bisa mengimbangi, tanaman kita malah bisa tidak terurus, dan lama-lama mampus.
Baru ngerti saya, diibanding pemain di lantai Bursa Efek Indonesia, pemain tanaman ternyata bisa lebih hebat. Saat kita asyik membelid an menikmati tanaman, pemain besar tanaman kita sudah berani melakukan aksi jual (murah) dan menarik tunai banyak-banyak. Akibatnya, kepercayaan emiten pun goyang. Harga tanaman merosot tajam. Kita pun terperangah dan terkena sentimen negatifnya.
Pak SP yang baik,
Saya bukan ingin menyurutkan semangat kita berbisnis tanaman dengan menulis seperti ini. Bagaimana pun penjual tanaman, tetap harus hidup, dan dibutuhkan. Saya justru ingin mengatakan bahwa beginilah memang seharusnya bisnis yang normal. Ada pasang surut. Ada saatnya rame, ada saatnya sepi. Tidak booming melulu seperti bisnis tanaman hias selama ini. Kalau bisnis booming melulu, namanya jelas bukan bisnis sejati, tetapi bisnis gelembung sabun (bubble), atau bisnis akal-akalan.
Jadi kalau saat ini nilai aset tanaman kita tiba-tiba merosot, --seperti harga saham--, tidak usah menangis. Insya Allah, nilai itu akan naik lagi. Cuma memang tidak dalam waktu pendek. Sebagaimana saham, tanaman hias adalah investasi jangka panjang. Saya tetap percaya bahwa apa yang terjadi saat ini tetap ada celah positifnya. Misalnya, jumlah pedagang yang naik 700 persen di zaman anthurium tadi, memang perlu diseleksi. Saya kira kita sepakat, dunia tanaman hias, harus diisi hanya oleh pedagang, kolektor dan petani yang tangguh, dan bukan oleh mereka yang sekadar ikut-ikutan atau petualang.
So, tetap semangat, Pak SP.
Salam,
KJ
(Bangun jam 8 pagi, ada miscall dari Pak SP: nagih artiketl SURAT DARI SERPONG karena sudah mau masuk cetak. Habis mandi, ngebut bikin tulisan ini, karena besok saya harus ke Lampung dengan teman2 Trubus dan Majalah Flona, diundang menjuri tanaman, takut tidak keburu lagi.)
Tampilkan postingan dengan label Menjadi Milyarder dari Anthurium Daun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menjadi Milyarder dari Anthurium Daun. Tampilkan semua postingan
31 Oktober 2008
Surat Dari Serpong:
Tetap Optimis
Index:
artikel tanaman kj,
Jurus Sukses Bisnis Tanaman Hias,
Menjadi Milyarder dari Anthurium Daun,
Mimpi Indah Bersama Anthurium,
Pesona Anthurium Daun,
Safruddin Pernyata,
Surat dari Serpong
29 Juni 2008
TERPENJARA OLEH MASA LALU
Oleh Kurniawan Junaedhie
Masih segar dalam ingatan, setahun lalu, kita semua, mengalami eforia luar biasa. Pamor anthurium melesat bak meteor. Orang mengalami apa yang disebut sebagai gegar budaya yang membuat struktur otak di kepala jadi jungkir balik. Mengeja angka 100 juta, dan uang Rp. 1 milyar seperti gula-gula saja meski tidak tahu berapa jumlah nol-nya. Kalau kalau ditawari motor harga 10 juta kita terperanjat tapi kalau ada tanaman dihargai Rp. 30 juta sampai Rp. 75 juta, dianggap biasa.
Fenomena Kesurupan
Dari satu perspektif, saat itu, sepanjang tahun 2007, tampaknya Indonesia menjadi sebuah negeri yang makmur lohjiwani. Meski angka kriminalitas tetap tinggi tapi ditaksir jumlah pengangguran di kampung-kampung merosot tajam. Upaya pemerintah SBY untuk menggalakkan sektor riil, kelihatan sukses. Orang malas menyimpan uang di bank; selain bunga di bank tidak menarik, orang lebih suka menginvestasikan di anthurium yang menjanjikan orang cepat jadi milyarder. Semangat enterprenership praktis melambung tinggi karena semua orang berniaga anthurium.
Bupati Karang Anyar Hj. Rina Iriani mengaku saat itu income warganya bisa mencapai Rp 3-7 juta/ bulan gara-gara anthurium. Daerah-daerah di sekitarnya pun tak malu-malu mengikuti jejaknya. Para pejabat ikutan sibuk menggalakkan pameran dan kontes anthurium. Lurah bikin pameran supaya di pilkada jadi camat. Camat bikin kontes, supaya di pilkada naik jadi walikota dan seterusnya. Jadi rupanya, hal ini bisa jadi ‘ajang kampanye’ juga. Rano Karno yang dikenal memiliki banyak anthurium terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang, konon juga karena petani di sana berharap fenomena anthurium bisa awet di bawah kepempinannya.
Tahun lalu saya menulis di TRUBUS (Oktober 2007) dengan judul, “Fenomena Kesurupan Anthurium”, dan di Tabloid Kontan saya menulis “Mimpi Indah Bersama Anthurium”. Di situ saya tulis, “ibu-ibu yang beli satu pot jenmanii kecambah saja sudah bermimpi bakal jadi milyarder.”
Atas permintaan sebuah penerbit, saya juga sempat menulis buku, “Jadi Milyarder dari Anthurium”. Waktu naskah siap cetak saya sebetulnya ingin menambahkan satu bab, yaitu (tentang kemungkinan) “Jadi Kere dari Anthurium” tapi telat. Ketika anthurium kemudian terpuruk, saya beruntung buku saya tidak dianggap, --misalnya,-- menyengsarakan rakyat.
Akhirulkalam, sekarang kita pun terjaga dari tidur, dan terbangun dari mimpi indah itu. Seperti halnya orang yang baru bangun tidur, kita pun kucek-kucek mata, menyadari situasi ternyata amat berbeda dengan mimpi kita.
Jumlah Nurseri Naik 700 Persen
Kini kita merasa takjub mengenang ada tanaman hias dinilai dengan sebuah mobil Inova, dan berharga sampai 1 Milyar. Kita juga ‘kaget’ bahwa ternyata semua orang kini memiliki tanaman dari keluarga arracae itu. Dan lebih kaget lagi, tanaman bersosok besar itu kini sudah beranak pinak, menghasilkan puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan biji atau bibitan yang nantinya juga akan menghasilkan jutaan tanaman bersosok raksasa.
Kini kita mulai menyadari bahwa tanaman itu sudah hampir ‘menenggelamkan’ Pulau Jawa, terutama di daerah-daerah Jawa Tengah. Pantas saja, teman-teman di Jawa Tengah setiap hari sibuk mengangkuti ke mana saja, termasuk ke luar pulau untuk memasarkannya dengan harga rendah, dengan semangat, --maaf,-- “membuang limbah”.
Situasi saat ini seperti orang kembung, yang menyebabkan badan tidak enak dan meriang semata tidak bisa buang angin. Tanaman yang konon digemari para bangsawan itu kini ngumpul, beranak pinak, tumbuh berkembang di sebuah ruangan yang tak ada jendela atau pintunya. Kalau tak ada upaya menjualnya ke luar negeri, saya takut lama-lama giliran negeri ini yang ditenggelamkan.
Kita baru sadar kenapa sekarang banyak pedagang tanaman yang bete. Kesenggol dikit, maunya ngamuk, sewot. Pantas saja, karena mereka sedang memeluk bola panas yang rupanya belum sempat dilepaskan.
Malu sungguh dulu kita sempat menuduh Greg Hambali sebagai ‘orang sirik’ karena selagi kita asyik menimang anthurium, dia bilang: Lonceng kematian bisnis ini sudah semakin dekat berdentang," (TRUBUS Edisi Okt. 2007). Tak hanya Greg, Rhenald Kasali pun pernah kita hujat karena mengatakan, bisnis anthurium seperti ikan lohan. (TRUBUS edisi Desember 2007)
Sembari kucek-kucek mata kita pun baru ngeh, bahwa jumlah pemilik dan pedagang anthurium, sekarang ternyata sudah meningkat hampir 600-700 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pantas saja semua orang bersikap ‘menjual’ daripada ‘membeli’. Yang dulu membeli sama kita, sekarang balik mau menjual ke kita. Tetangga yang dulu kelihatan antipati pada tanaman, tahu-tahu memelihara anthurium. Rupanya di tahun 2007 anthurium sempat jadi bagian dari life style juga.
Tapi ada yang mengatakan, yang sepi tak hanya anthurium. Aglaonema, sanse, puring dan, philo juga sepi. Kalau dibilang tidak ada yang beli salah juga. Tapi yang beli dalam jumlah besar, sehingga membuat grass root goyang memang tidak ada sama sekali. Kenapa? Banyak kolega saya bertanya: apa orang Indonesia sudah tidak lagi menyukai tanaman hias?
Harga tanaman sampai kwartal pertama tahun 2008, praktis bisa dibilang stabil, bahkan cenderung turun. Di pameran, yang terjadi malah orang sibuk membanting harga. Tapi orang ternyata masih malas masuk ke lapak, membuat transaksi. Yang dituduh malah krisis pangan, dan harga BBM yang naik. Apa juntrungannya?
Sampai di sini kata-kata saya memang pahit. Tapi dari perspektif sempit pula, saya memang berpendapat, rakyat masih marah, kecewa, dan dendam pada anthurium, yang dianggap telah menyengsarakan mereka, dan sebagian kecil saja mungkin yang menikmati bonanza anthurium. Sebagian dari mereka mengalami paranoid, atau phobia akut mengakibatkan benci pada semua tanaman. Ada juga yang malah kesal pada pedagang tanaman yang dianggap menjerumuskan hidupnya. Majalah atau tabloid tanaman yang mencoba menawarkan alternatif baru saja ikut dimusuhi. Rupanya, mereka tak rela melepas mimpi indahnya.
Selalu Optimis
Anjuran saya sederhana saja: cuci muka adalah cara terbaik setelah kita bangun tidur. Maksudnya, supaya wajah kita segar dan pandangan tidak nanar. Dengan itu kita pasti akan lebih mahir dan cerdas menyongsong hari esok. Apa misalnya?
Kalau nanti ada jagoan baru, selalu ambil posisi yang jelas, jangan bersikap ambigu. Kalau mau jadi pedagang, jadilah pedagang sejati, bukan spekulan atau penjudi. Kalau Anda mau jadi pedagang harusnya tidak banyak cincong: kalau sudah untung, lepas saja. Jangan mencoba-coba menahan harga dengan harapan harga naik terus. Anthurium mengajarkan kita bahwa spekulan –seperti penjudi—ujung-ujungnya hanya ada istilah kalah dan menang, win or lose.
Kalau mau jadi breeder, jadilah breeder sejati dan professional. Jangan jadi breeder merangkap pedagang. Pedagang berpikir jangka cepat, menjual hanya barang yang fast moving. Sebaliknya, seorang breeder atau petani, kita kudu sabar, berpikir jangka menengah dan jangka panjang.
Yang tak kalah penting, jangan suka menuding pihak lain sebagai pembuat harga tanaman suka jatuh. Dalam kasus anthurium, yang disalahkan barang impor. Kita lihat sendiri, yang bikin ulah ternyata kita sendiri. Sangat konyol, pistol kita arahkan ke depan, teman di belakang justru menohok kita.
Dan yang juga penting dicatat, kita sekarang tahu betapa pentingnya peran pemerintah untuk membantu membuka keran ekspor seluas-luasnya. Pemeritah harus tahu bahwa kita punya potensi, yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.
Karena saya suka dengar anggapan orang luar bahwa tanaman kita tidak steril, mungkin Deplu harus sudah mulai bikin PR bahwa tanaman Indonesia sehat dan bebas hama. Selanjutnya Deptan atau pihak terkait di Indonesia harus segera menderegulasi semua aturan yang bikin susah sekaligus memberi insentif kepada pengekspor. Kalau Thailand bisa, kenapa kita tidak? Ini berlaku untuk tanaman apa saja, seperti aglaonema silangan Greg Hambali, sanse, puring dan lain-lain. Tanaman adalah jenis komoditi yang bisa beranak pinak. Jangan sampai setelah over supply, kita baru merasakan dampak pahitnya.
Ringkasnya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Tapi jangan mau terpenjara oleh masa lalu, betapa pun indahnya masa lalu itu.***
Kurniawan Junaedhie adalah wartawan & pecinta tanaman hias
Dimuat TRUBUS edisi JULI 2008 dengan judul "NAIK 700%".
Masih segar dalam ingatan, setahun lalu, kita semua, mengalami eforia luar biasa. Pamor anthurium melesat bak meteor. Orang mengalami apa yang disebut sebagai gegar budaya yang membuat struktur otak di kepala jadi jungkir balik. Mengeja angka 100 juta, dan uang Rp. 1 milyar seperti gula-gula saja meski tidak tahu berapa jumlah nol-nya. Kalau kalau ditawari motor harga 10 juta kita terperanjat tapi kalau ada tanaman dihargai Rp. 30 juta sampai Rp. 75 juta, dianggap biasa.
Fenomena Kesurupan
Dari satu perspektif, saat itu, sepanjang tahun 2007, tampaknya Indonesia menjadi sebuah negeri yang makmur lohjiwani. Meski angka kriminalitas tetap tinggi tapi ditaksir jumlah pengangguran di kampung-kampung merosot tajam. Upaya pemerintah SBY untuk menggalakkan sektor riil, kelihatan sukses. Orang malas menyimpan uang di bank; selain bunga di bank tidak menarik, orang lebih suka menginvestasikan di anthurium yang menjanjikan orang cepat jadi milyarder. Semangat enterprenership praktis melambung tinggi karena semua orang berniaga anthurium.
Bupati Karang Anyar Hj. Rina Iriani mengaku saat itu income warganya bisa mencapai Rp 3-7 juta/ bulan gara-gara anthurium. Daerah-daerah di sekitarnya pun tak malu-malu mengikuti jejaknya. Para pejabat ikutan sibuk menggalakkan pameran dan kontes anthurium. Lurah bikin pameran supaya di pilkada jadi camat. Camat bikin kontes, supaya di pilkada naik jadi walikota dan seterusnya. Jadi rupanya, hal ini bisa jadi ‘ajang kampanye’ juga. Rano Karno yang dikenal memiliki banyak anthurium terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang, konon juga karena petani di sana berharap fenomena anthurium bisa awet di bawah kepempinannya.
Tahun lalu saya menulis di TRUBUS (Oktober 2007) dengan judul, “Fenomena Kesurupan Anthurium”, dan di Tabloid Kontan saya menulis “Mimpi Indah Bersama Anthurium”. Di situ saya tulis, “ibu-ibu yang beli satu pot jenmanii kecambah saja sudah bermimpi bakal jadi milyarder.”
Atas permintaan sebuah penerbit, saya juga sempat menulis buku, “Jadi Milyarder dari Anthurium”. Waktu naskah siap cetak saya sebetulnya ingin menambahkan satu bab, yaitu (tentang kemungkinan) “Jadi Kere dari Anthurium” tapi telat. Ketika anthurium kemudian terpuruk, saya beruntung buku saya tidak dianggap, --misalnya,-- menyengsarakan rakyat.
Akhirulkalam, sekarang kita pun terjaga dari tidur, dan terbangun dari mimpi indah itu. Seperti halnya orang yang baru bangun tidur, kita pun kucek-kucek mata, menyadari situasi ternyata amat berbeda dengan mimpi kita.
Jumlah Nurseri Naik 700 Persen
Kini kita merasa takjub mengenang ada tanaman hias dinilai dengan sebuah mobil Inova, dan berharga sampai 1 Milyar. Kita juga ‘kaget’ bahwa ternyata semua orang kini memiliki tanaman dari keluarga arracae itu. Dan lebih kaget lagi, tanaman bersosok besar itu kini sudah beranak pinak, menghasilkan puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan biji atau bibitan yang nantinya juga akan menghasilkan jutaan tanaman bersosok raksasa.
Kini kita mulai menyadari bahwa tanaman itu sudah hampir ‘menenggelamkan’ Pulau Jawa, terutama di daerah-daerah Jawa Tengah. Pantas saja, teman-teman di Jawa Tengah setiap hari sibuk mengangkuti ke mana saja, termasuk ke luar pulau untuk memasarkannya dengan harga rendah, dengan semangat, --maaf,-- “membuang limbah”.
Situasi saat ini seperti orang kembung, yang menyebabkan badan tidak enak dan meriang semata tidak bisa buang angin. Tanaman yang konon digemari para bangsawan itu kini ngumpul, beranak pinak, tumbuh berkembang di sebuah ruangan yang tak ada jendela atau pintunya. Kalau tak ada upaya menjualnya ke luar negeri, saya takut lama-lama giliran negeri ini yang ditenggelamkan.
Kita baru sadar kenapa sekarang banyak pedagang tanaman yang bete. Kesenggol dikit, maunya ngamuk, sewot. Pantas saja, karena mereka sedang memeluk bola panas yang rupanya belum sempat dilepaskan.
Malu sungguh dulu kita sempat menuduh Greg Hambali sebagai ‘orang sirik’ karena selagi kita asyik menimang anthurium, dia bilang: Lonceng kematian bisnis ini sudah semakin dekat berdentang," (TRUBUS Edisi Okt. 2007). Tak hanya Greg, Rhenald Kasali pun pernah kita hujat karena mengatakan, bisnis anthurium seperti ikan lohan. (TRUBUS edisi Desember 2007)
Sembari kucek-kucek mata kita pun baru ngeh, bahwa jumlah pemilik dan pedagang anthurium, sekarang ternyata sudah meningkat hampir 600-700 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pantas saja semua orang bersikap ‘menjual’ daripada ‘membeli’. Yang dulu membeli sama kita, sekarang balik mau menjual ke kita. Tetangga yang dulu kelihatan antipati pada tanaman, tahu-tahu memelihara anthurium. Rupanya di tahun 2007 anthurium sempat jadi bagian dari life style juga.
Tapi ada yang mengatakan, yang sepi tak hanya anthurium. Aglaonema, sanse, puring dan, philo juga sepi. Kalau dibilang tidak ada yang beli salah juga. Tapi yang beli dalam jumlah besar, sehingga membuat grass root goyang memang tidak ada sama sekali. Kenapa? Banyak kolega saya bertanya: apa orang Indonesia sudah tidak lagi menyukai tanaman hias?
Harga tanaman sampai kwartal pertama tahun 2008, praktis bisa dibilang stabil, bahkan cenderung turun. Di pameran, yang terjadi malah orang sibuk membanting harga. Tapi orang ternyata masih malas masuk ke lapak, membuat transaksi. Yang dituduh malah krisis pangan, dan harga BBM yang naik. Apa juntrungannya?
Sampai di sini kata-kata saya memang pahit. Tapi dari perspektif sempit pula, saya memang berpendapat, rakyat masih marah, kecewa, dan dendam pada anthurium, yang dianggap telah menyengsarakan mereka, dan sebagian kecil saja mungkin yang menikmati bonanza anthurium. Sebagian dari mereka mengalami paranoid, atau phobia akut mengakibatkan benci pada semua tanaman. Ada juga yang malah kesal pada pedagang tanaman yang dianggap menjerumuskan hidupnya. Majalah atau tabloid tanaman yang mencoba menawarkan alternatif baru saja ikut dimusuhi. Rupanya, mereka tak rela melepas mimpi indahnya.
Selalu Optimis
Anjuran saya sederhana saja: cuci muka adalah cara terbaik setelah kita bangun tidur. Maksudnya, supaya wajah kita segar dan pandangan tidak nanar. Dengan itu kita pasti akan lebih mahir dan cerdas menyongsong hari esok. Apa misalnya?
Kalau nanti ada jagoan baru, selalu ambil posisi yang jelas, jangan bersikap ambigu. Kalau mau jadi pedagang, jadilah pedagang sejati, bukan spekulan atau penjudi. Kalau Anda mau jadi pedagang harusnya tidak banyak cincong: kalau sudah untung, lepas saja. Jangan mencoba-coba menahan harga dengan harapan harga naik terus. Anthurium mengajarkan kita bahwa spekulan –seperti penjudi—ujung-ujungnya hanya ada istilah kalah dan menang, win or lose.
Kalau mau jadi breeder, jadilah breeder sejati dan professional. Jangan jadi breeder merangkap pedagang. Pedagang berpikir jangka cepat, menjual hanya barang yang fast moving. Sebaliknya, seorang breeder atau petani, kita kudu sabar, berpikir jangka menengah dan jangka panjang.
Yang tak kalah penting, jangan suka menuding pihak lain sebagai pembuat harga tanaman suka jatuh. Dalam kasus anthurium, yang disalahkan barang impor. Kita lihat sendiri, yang bikin ulah ternyata kita sendiri. Sangat konyol, pistol kita arahkan ke depan, teman di belakang justru menohok kita.
Dan yang juga penting dicatat, kita sekarang tahu betapa pentingnya peran pemerintah untuk membantu membuka keran ekspor seluas-luasnya. Pemeritah harus tahu bahwa kita punya potensi, yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.
Karena saya suka dengar anggapan orang luar bahwa tanaman kita tidak steril, mungkin Deplu harus sudah mulai bikin PR bahwa tanaman Indonesia sehat dan bebas hama. Selanjutnya Deptan atau pihak terkait di Indonesia harus segera menderegulasi semua aturan yang bikin susah sekaligus memberi insentif kepada pengekspor. Kalau Thailand bisa, kenapa kita tidak? Ini berlaku untuk tanaman apa saja, seperti aglaonema silangan Greg Hambali, sanse, puring dan lain-lain. Tanaman adalah jenis komoditi yang bisa beranak pinak. Jangan sampai setelah over supply, kita baru merasakan dampak pahitnya.
Ringkasnya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Tapi jangan mau terpenjara oleh masa lalu, betapa pun indahnya masa lalu itu.***
Kurniawan Junaedhie adalah wartawan & pecinta tanaman hias
Dimuat TRUBUS edisi JULI 2008 dengan judul "NAIK 700%".
Index:
artikel tanaman kj,
Menjadi Milyarder dari Anthurium Daun,
Mimpi Indah Bersama Anthurium,
Tabloid Kontan,
TRUBUS
21 Maret 2008
Totalitas Itu Penting Dalam Berbisnis

Alasannya simple saja. “Saya masih dibutuhkan pada saat itu. Namun, saya butuh untuk mengaktualisasikan diri,” ujar pria yang berdomisili di Serpong, Tangerang ini. “Saya mau wiraswasta dan saya mau merdeka”, katanya dengan mantap.
Berdasarkan tekad itu, Kur memilih tanaman hias sebagai sasaran bisnisnya. Memelihara tanaman hias memang salah satu hobinya. Dengan mengandalkan kolega dan komunitas yang ia punya, informasi akan bisnis ini pun ia dapatkan dengan mudah.
Jika ditanya soal modal, dengan tegas ia menjawab tidak ada. “Karena yang dijual adalah koleksi saya. Koleksi itu kan nggak bisa saya katakan modal. Wong, saya jajan kok. Jadi sewaktu saya jual kan merasa bukan modal,” katanya. “Kalaupun bicara masalah modal, waktu itu modal saya hanya 10 tanaman adenium dan 50 tanaman euphorbia yang merupakan ‘hutangan’ dari teman saya. Nah, terus saya perbanyak sendiri sampai sekarang,” tambahnya.
‘Kecelakaan’ yang menguntungkan
Bak gayung bersambut, nampaknya niat Kur untuk menjalankan bisnis inipun berjalan sesuai harapan. Bahkan, iapun tak pernah memimpikan untuk memiliki gerai sendiri. Hingga suatu saat, salah satu dari tukang tanaman langganannya menawarkan sebidang tanah.
Awalnya gerai itu memang kosong. Namun, baginya, tanaman itu beranak-pinak. Dari sana, kesuksesan ia peroleh.
“Saya orang beruntung,” katanya. “Jadi, pada saat memulai bisnis ini empat tahun lalu saya mengalami apa yang dialami senior saya. Booming anthurium,” kata pemilik gerai toekangkeboen ini.
Meski baru empat tahun menjalani bisnis ini, nampaknya Kur sudah cukup mampu bersanding dengan para seniornya. Kur pun mengakui bahwa yang membedakan dirinya dengan pebisnis lain adalah background-nya sebagai seorang wartawan.
Manajemen bisnis tanaman hias ala Kur
Berbagai cara pun ia lakukan untuk membuat gerainya maju dan terkenal. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan modern. Mulai dari spanduk, menjual minuman untuk para tamu yang mengunjungi gerainya, sistem pembayaran dengan menggunakan kartu kredit, dan membuka situs web toekangkeboen.com. Namun, dari sekian banyak pendekatan yang Kur lakukan, satu hal yang tidak bisa ditiru adalah dirinya sebagai penulis. “Saya bikin buku dan talkshow. Ini tidak bisa ditiru. Di sanalah letak perbedaannya,” katanya menambahkan.
Bagi pria berkulit putih ini, yang ia jual di gerainya bukan hanya tanaman. Ibarat jualan ayam goreng, yang dijual tidak cuma ayam, melainkan pula sambalnya. Karena sambal itulah yang membedakan.
Menurutnya, inti dari manajemen bisnisnya adalah memberi rasa nyaman. “Orang masuk ke sini, kemahalan aman. Artinya orang bisa memarahi saya. Kalau ada konsumen merasa kemahalan, bisa memarahi saya. Dibandingkan dengan kita beli sama orang yang jualnya sambil cemberut. Memang murah, tapi kalau dikomplain dia marah. Berarti nggak aman kan?” aku pria yang juga hobi bermain gitar dan menyanyi ini.
Positioning dalam bisnis tanaman hias
Ketika kita memutuskan untuk memasuki bisnis tanaman hias, banyak posisi yang bisa kita fokuskan. Mau jadi pedagang atau kolektor?
Menurut penulis buku Jurus Sukses Bisnis Tanaman Hias (AgroMedia, 2007) ini, penempatan posisi inilah yang kerap kali salah dilakukan oleh orang-orang yang akan memulai bisnis tanaman hias.
“Kalau ingin seperti saya, harus memosisikan diri sebagai pedagang. Pedagang itu menjual barang yang laku. Pedagang itu menjual yang terbaik. Kalau pedagang, yang bagus disodorin. Yang jelek, ya bilang jelek,” ujarnya. Hal inilah yang membedakan dengan dengan kolektor tanaman.
Jujur adalah kuncinya. Karena dari kejujuran itulah, kepercayaan dan rasa aman konsumen akan terjalin. Namun semua itu kembali lagi pada penerapan yang kita lakukan. Apakah sudah benar atau masih kurang tepat?
Prospek bisnis tanaman hias
Selain menjadi orang yang beruntung, Kur ternyata juga memiliki kelebihan untuk memprediksikan tanaman hias apa yang akan booming. Tak ayal, banyak orang yang menanyakan padanya, bagaimana prosepek bisnis ini ataupun tanaman apa yang bakal naik di tahun 2008.
Dengan penuh keyakinan, Kur pun menjawab, “Bagus!”, saat ditanya mengenai prospek bisnis tanaman hias ini. Baginya, bisnis tanaman merupakan komoditi yang luar biasa.
Namun, menurutnya, kita masih kekurangan orang yang dedicated terhadap bisnis ini. Kebanyakan dari mereka yang membuka bisnis ini hanya menjadikannya sebagai usaha sampingan. “Kita harus total. Artinya, harus memerhatikan,” tambahnya.
Dari totalitas inilah, Kur memperoleh banyak pengetahuan. Salah satunya adalah siklus tanaman hias. “Orang pada mengeluh sekarang. Kok sepi ya, kok sepi ya? Bagi saya aneh. Setelah saya memerhatikan dan mempelajari, siklus itu memang ada. Setiap habis lebaran, atau tahun baru. Ya, kita tinggal tunggu saja. Nggak usah dipusingin. Sebenarnya mereka itu ngerti, tapi nggak pernah memperhatikan,” kata pria yang juga menulis buku Panduan Praktis Perawatan Aglaonema (AgroMedia, 2006), Pesona Anthurium Daun (AgroMedia, 2006), dan Menjadi Milyarder Dari Anthurium Daun (AgroMedia, 2007).
Saat ditanya mengenai tren tanaman hias di tahun 2008 ini, Kur hanya menjawab, “Saya belum tahu. Sampai bulan Maret ini, memang belum bisa diprediksi. Siklusnya memang seperti ini,” katanya sambil menutup percakapan.
(Dikutip dari: agromedia.net)
Index:
Agromedia,
Jurus Sukses Bisnis Tanaman Hias,
Menjadi Milyarder dari Anthurium Daun,
Panduan Praktis Aglaonema,
Pesona Anthurium Daun,
Toekang Keboen
14 Desember 2007
Kurniawan Junaedhie. Sukses Mengembangkan Bisnis Nursery di Internet
[Tulisan ini dipublikasikan oleh Wirausaha.com. http://www.wirausaha.com/profil_bisnis/387-kurniawan_junaedhie__sukses_mengembangkan_bisnis_nursery_di_internet.html]
Tak seperti pebisnis tanaman hias kebanyakan yang hanya menggunakan lahan dan nursery sebagai etalase produk yang dijajakan, Kurniawan Junaedhie memilih internet sebagai etalase online melengkapi pelayanan di bagian penjualan bagi pembeli. Toko online 24 jam tersebut diberi nama toekangkeboen.com yang dimulai semenjak tahun 2004. Tentu saja ketika itu belum banyak orang yang menjalankan hal serupa. Jika pun ada, pebisnis tanaman lebih familiar dengan hanya memajang iklan baris di internet.
Justru hal yang belum biasa tersebut mendorong keyakinan pasangan Kurniawan Junaedhie dan Maria Nurani untuk memajang nursery di internet dalam sebuah website khusus sehingga siapa pun dan di mana pun berada bisa memesan dengan mudah dari penjuru Tanah Air. Bagi sebagian orang mungkin membayangkannya sebagai bisnis yang rumit. Mengirimkan pesanan tanaman ke berbagai daerah di Tanah Air. Tapi pasangan ini justru telah berhasil menjalankannya.
Memang semua tak selalu berjalan mulus. Di awal usaha, beberapa kali komplain datang dan tak jarang yag meminta ganti rugi. aklum, produk pertanian termasuk rentan untuk mengalami kerusakan dalam perjalanan. Namun belajar dari pengalaman, sambung Kurniawan, semenjak 2 tahun terakhir masalah tersebut dapat diatasi dan tidak pernah muncul lagi.
Awal order dipenuhi dengan tanaman koleksi Kurniawan. Ya, Kurniawan merupakan pencinta tanaman hias, dan suka mengoleksi. “Saya hobiis, suka mengumpulkan tanaman. Dan ketika sudah merasa overstock, akhirnya dijual,” kata Kurniawan.Pesanan yang berdatangan siap dilayani dengan pengiriman yang selalu sedia. Buka 24 jam untuk pemesanan, dan pembeli cukup menanti di tempatnya, itu lah kelebihan yang ditawarkan melalui toekangkeboen.com. Sesuai layanan yang diberikan tentu saja sasaran pasar disesuaikan. “Dari awal Kami optimistis dengan bisnis ini. Sasarannya ada para profesional muda yang sibuk dan telah biasa dengan internet,” ujar Maria.
Meskipun kini telah semakin banyak bisnis sama bermunculan, toekangkeboen menurut Junaedhie tetap punya kelebihan. Maklum, pria yang pernah berprofesi sebagai wartawan selama 25 tahun ini selalu membuat websitenya dinamis, selalu ada informasi up date, selalu aktif berjualan, bahkan menyempatkan diri menulis buku seputar bisnis tanaman hias. Dari empat buku, dua diantaranya diterbitkan pada tahun 2006 berjudul Buku Panduan Praktis Perawatan Aglaonema dan Pesona Anthurium Daun. Sementara dua buku terbaru yang akan terbit September 2007 ini berjudul Jurus Sukses Jual Tanaman Hias dan Jadi Kaya dengan Berbisnis Anthurium.
Pada awalnya Junaedhie mengakui kurang menyadari pentingnya nursery sebagai toko offline yang sama pentingnya dengan toko online. Baru di tahun yang ketiga ia membenahi toko offline, showroom tempat di mana pembeli bisa langsung berinteraksi dan memilih tanaman yang diinginkan. Alhasil, saat ini permintaan di toko online dan offline imbang, 50:50.
Semakin hari toekangkeboen.com pun semakin dikenal dan lebih banyak mendapat order. Di Awal usaha, promo di beberapa tempat seperti pada yahoo, google pernah dilewati. Dalam perjalanan kemudian toekangkeboen juga sering dibahas di berbagai media. Alhasil dengan perkembangannya, hingga saat ini menurut Maria, toekangkeboen.com bisa meraih omset hingga Rp100 juta per bulan. Bicara keuntungan, Kurniawan mengatakan bisnis tanaman biasa mengumpulkan keuntungan minmal 20% dari omset.
Peluang Waralaba
Bicara soal bisnis ke depan, Kurniawan masih punya beberapa obsesi. Diantaranya lebih mengembangkan usaha sehingga lebih banyak menampung tenaga kerja. Saat ini menurutnya, ada 7 karyawan yang ada di showroom dan 4 orang di kebun. Itu baru karyawan tetap. Selain itu keinginan untuk mewaralabakan toekangkeboen.com tengah berusaha ia diwujudkan. Kami sedang buat sistemnya. Tapi saat ini beberapa pecobaan telah dijalankan, diantaranya di Lampung dan Purwokerto, dengan nama yang sama, barang disediakan. Targetnya, franchise toekangkeboen.com akan dimulai pada tahun 2008.
Usaha ini dirintis pertama kali dalam bentuk showroom seluas 1 (satu) kavling di Bursa Tanaman Hias BSD City, berlokasi di samping kawasan German Centre, BSD, yang kini menjadi Pusat Hiburan Keluarga Ocean Park.
Belum genap setahun menempati kompleks tersebut, tepatnya Februari 2006, gerai toekangkeboen 'dipindahkan' ke tempat baru, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Pusat Tanaman Hias BSD CITY, persisnya pada Mei 2006, nursery lebih luas, menempati dua kavling dengan total luas 500 meter persegi, yang kemudian beberapa bulan berikutnya menambah 1 kavling baru sehingga menempati 3 kav dengan luas total 750 meter persegi. (SH)
Showroom dan Nursery:
Kav. 16, 17 & 18 Pusat Tanaman Hias BSD City
Serpong, Tangerang, 15322
Tak seperti pebisnis tanaman hias kebanyakan yang hanya menggunakan lahan dan nursery sebagai etalase produk yang dijajakan, Kurniawan Junaedhie memilih internet sebagai etalase online melengkapi pelayanan di bagian penjualan bagi pembeli. Toko online 24 jam tersebut diberi nama toekangkeboen.com yang dimulai semenjak tahun 2004. Tentu saja ketika itu belum banyak orang yang menjalankan hal serupa. Jika pun ada, pebisnis tanaman lebih familiar dengan hanya memajang iklan baris di internet.
Justru hal yang belum biasa tersebut mendorong keyakinan pasangan Kurniawan Junaedhie dan Maria Nurani untuk memajang nursery di internet dalam sebuah website khusus sehingga siapa pun dan di mana pun berada bisa memesan dengan mudah dari penjuru Tanah Air. Bagi sebagian orang mungkin membayangkannya sebagai bisnis yang rumit. Mengirimkan pesanan tanaman ke berbagai daerah di Tanah Air. Tapi pasangan ini justru telah berhasil menjalankannya.
Memang semua tak selalu berjalan mulus. Di awal usaha, beberapa kali komplain datang dan tak jarang yag meminta ganti rugi. aklum, produk pertanian termasuk rentan untuk mengalami kerusakan dalam perjalanan. Namun belajar dari pengalaman, sambung Kurniawan, semenjak 2 tahun terakhir masalah tersebut dapat diatasi dan tidak pernah muncul lagi.
Awal order dipenuhi dengan tanaman koleksi Kurniawan. Ya, Kurniawan merupakan pencinta tanaman hias, dan suka mengoleksi. “Saya hobiis, suka mengumpulkan tanaman. Dan ketika sudah merasa overstock, akhirnya dijual,” kata Kurniawan.Pesanan yang berdatangan siap dilayani dengan pengiriman yang selalu sedia. Buka 24 jam untuk pemesanan, dan pembeli cukup menanti di tempatnya, itu lah kelebihan yang ditawarkan melalui toekangkeboen.com. Sesuai layanan yang diberikan tentu saja sasaran pasar disesuaikan. “Dari awal Kami optimistis dengan bisnis ini. Sasarannya ada para profesional muda yang sibuk dan telah biasa dengan internet,” ujar Maria.
Meskipun kini telah semakin banyak bisnis sama bermunculan, toekangkeboen menurut Junaedhie tetap punya kelebihan. Maklum, pria yang pernah berprofesi sebagai wartawan selama 25 tahun ini selalu membuat websitenya dinamis, selalu ada informasi up date, selalu aktif berjualan, bahkan menyempatkan diri menulis buku seputar bisnis tanaman hias. Dari empat buku, dua diantaranya diterbitkan pada tahun 2006 berjudul Buku Panduan Praktis Perawatan Aglaonema dan Pesona Anthurium Daun. Sementara dua buku terbaru yang akan terbit September 2007 ini berjudul Jurus Sukses Jual Tanaman Hias dan Jadi Kaya dengan Berbisnis Anthurium.
Pada awalnya Junaedhie mengakui kurang menyadari pentingnya nursery sebagai toko offline yang sama pentingnya dengan toko online. Baru di tahun yang ketiga ia membenahi toko offline, showroom tempat di mana pembeli bisa langsung berinteraksi dan memilih tanaman yang diinginkan. Alhasil, saat ini permintaan di toko online dan offline imbang, 50:50.
Semakin hari toekangkeboen.com pun semakin dikenal dan lebih banyak mendapat order. Di Awal usaha, promo di beberapa tempat seperti pada yahoo, google pernah dilewati. Dalam perjalanan kemudian toekangkeboen juga sering dibahas di berbagai media. Alhasil dengan perkembangannya, hingga saat ini menurut Maria, toekangkeboen.com bisa meraih omset hingga Rp100 juta per bulan. Bicara keuntungan, Kurniawan mengatakan bisnis tanaman biasa mengumpulkan keuntungan minmal 20% dari omset.
Peluang Waralaba
Bicara soal bisnis ke depan, Kurniawan masih punya beberapa obsesi. Diantaranya lebih mengembangkan usaha sehingga lebih banyak menampung tenaga kerja. Saat ini menurutnya, ada 7 karyawan yang ada di showroom dan 4 orang di kebun. Itu baru karyawan tetap. Selain itu keinginan untuk mewaralabakan toekangkeboen.com tengah berusaha ia diwujudkan. Kami sedang buat sistemnya. Tapi saat ini beberapa pecobaan telah dijalankan, diantaranya di Lampung dan Purwokerto, dengan nama yang sama, barang disediakan. Targetnya, franchise toekangkeboen.com akan dimulai pada tahun 2008.
Usaha ini dirintis pertama kali dalam bentuk showroom seluas 1 (satu) kavling di Bursa Tanaman Hias BSD City, berlokasi di samping kawasan German Centre, BSD, yang kini menjadi Pusat Hiburan Keluarga Ocean Park.
Belum genap setahun menempati kompleks tersebut, tepatnya Februari 2006, gerai toekangkeboen 'dipindahkan' ke tempat baru, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Pusat Tanaman Hias BSD CITY, persisnya pada Mei 2006, nursery lebih luas, menempati dua kavling dengan total luas 500 meter persegi, yang kemudian beberapa bulan berikutnya menambah 1 kavling baru sehingga menempati 3 kav dengan luas total 750 meter persegi. (SH)
Showroom dan Nursery:
Kav. 16, 17 & 18 Pusat Tanaman Hias BSD City
Serpong, Tangerang, 15322
Index:
Jurus Sukses Bisnis Tanaman Hias,
Maria Nurani,
Menjadi Milyarder dari Anthurium Daun,
Panduan Praktis Aglaonema,
Pesona Anthurium Daun,
Toekang Keboen,
Waralaba,
Wirausahawan.com
13 Desember 2007
Mengapa Saya Bikin Gramedia Majalah Undercover...
(Tulisan ini saya tulis khusus untuk blog saya: http://gramediamajalah-undercover.blogspot.com/)
Banyak teman2 di Gramedia Majalah kirim SMS saya. Tumben2an. Ada yang protes, ada yang marah, ada yang malah ngompori, ada yang cekakakan, ada yang cekikikan. Awalnya saya tidak tahu juntrungannya. Lama-lama sadar, mereka sudah membaca blog ini.
Rupanya judul blog: GRAMEDIA MAJALAH UNDERCOVER telah membuat pirsawan, punya asosiasi ke mana-mana. Maklum, sebelumnya ada novel dan film berjudul, "JAKARTA UNDERGROUND", terus ada buku laris karangan Dr. Inu, dosen IPDN, "IPDN UNDERCOVER". Bahwa judul itu diharapkan seru, tentu saja, iya. Tapi, bahwa saya berpretensi jadi Dr. Inu, tentu tidak. Apalah saya. Dr.Inu punya penyakit gula, saya tidak. Dr. Inu nekad, saya orangnya hati2. Mau terkenal? Tidak juga. Nama saya masih dikenal baik di kalangan sastrawan2 Indonesia yang tahu dulu saya suka nulis cerpen, dan puisi di majalah serius maupun majalah tidak serius.
Di dunia pers saya sudah menghasilkan sedikitnya 3 buku: ENSIKLOPEDI PERS INDONESIA (Gramedia pustaka Utama, 19990), MENGGEBRAK DUNIA WARTAWAN INDONESIA (Puspa Swara, 1993), dan RAHASIA DAPUR MAJALAH INDONESIA (Gramedia Pustaka Utama, 1995). Di dunia yang saya geluti sekarang, saya sudah menerbitkan sedikitnya 5 buku tentang tanaman hias, antara lain: PEDOMAN MERAWAT AGLAONEMA, PESONA ANTHURIUM DAUN, JURUS SUKSES BERBISNIS TANAMAN HIAS dan JADI MILYARDER DARI ANTHURIUM, semuanya terbitan PT Agro Media Pustaka. Dengan portofolio yang saya punya, saya masih dipercaya jadi anggota dewan juri Yayasan Buku Utama selama bertahun2. Hehehehe.... Mau cari sensasi? Boro-boro. Saya sudah tua, giginya tinggal dua, impiannya cuma suarga. Sekadar contoh, kalau mau tahu tentang saya, klik saja di Google.
Mungkin saya frustrasi? Jangan memfitnah. Saya orangnya suka cengengesan. Frustrasi waktu kerja di Gramedia? Ah mosok? Seingat saya, karier saya bagus selama hampir 15 tahun bekerja di sana. Dua tahun jadi Redpel dan Wapemred Jakarta-Jakarta, kemudian 10 tahun dipercaya jadi Pemred TIARA, dan setahun dipercaya mengurus Kompas Online bersama Mas Ninok Laksono.
Saya mundur dari Gramedia Majalah juga bukan karena dipecat. Lagi enak-enak ngobrol dan ngopi, saya langsung menjabat tangan Widi Krastawan, pamitan. (Tentu saja sebelumnya saya sudah main mata dengan pihak Kompas, bahwa tenaga saya diharapkan banget). Kepada Widi saya bilang, mulai besok saya tidak datang lagi ke Jalan Panjang, tapi mau mau ngantor di Palmerah. Pak Widi, atasan saya yang budiman itu, melongo. Sebelum dia bertanya, saya sudah kabur dan melambaikan tangan. Itulah cara saya mengundurkan diri. (Ah, belakangan saya menyesal, kali2 Mas Widi menganggap saya tidak sopan.)
Saya mungkin satu2nya orang yang keluar dari Gramedia Majalah yang tidak pernah direpotkan oleh urusan administrasi. Umpamanya, saya tidak pernah diminta mengajukan surat pengunduran diri atau harus bertemu dengan para pejabat di PSDM Majalah. Pokoknya, otomatis saya sudah berstatus karyawan Kompas (Asal Anda tahu, untuk level yang sama, gaji di Kompas tingkatnya lebih tinggi dibanding di Majalah).
Di Kompas, saya diterima dengan baik oleh Mas Ninok Laksono,Mas Robby Sugiantoro, Mas Andrey Handoko, dan Mas Tommy (Pemimpin Redaksi). Saya dibuatkan newsroom, ditanya apa kebutuhannya, dan suka diajak rapat2. Di Kompas, saya sendiri bersikap pandai2 membawa diri, tidak mentang2 bekas pimpinan. Syukurnya, teman2 di Kompas, pandai juga menempatkan saya pada tempat yang pas. Sering mengajak saya ngobrol Rudy Badil, Liem Bun Cay, Maria Hartiningsih, FX Mulyadi, Dono, Rene dll.
Waktu kemudian saya mau keluar dari perusahaan Kompas/ Gramedia, saya menghadap Mas RB Sugiantoro. Ternyata itu pun tidak gampang, saya diminta berpikir ulang sampai 3 bulan, ditawari gaji naik, dan posisi lebih bagus. Saya tidak bergeming. Iman saya cukup kuat. Saya cuma terkenang pada Teori Maslow.
Ada wartawan senior Kompas mengingatkan bahwa anak saya masih kecil2 sehingga tak perlu keluar, tapi saya langsung potong: Justru anak saya masih kecil2, maka saya keluar. Wartawan senior lain, menyarankan saya tidak usah keluar. "Kalau sudah malas kerja, masuk kantor saja cukup. Tapi Anda jangan keluar," katanya. Dia lalu menunjuk Si A, yang rajin masuk kantor tiap pagi, tapi langsung kabur, si B, yang masuk kantor setiap hari, langsung ngetik, tapi tidak pernah ada tulisannya yang dimuat di Kompas, si C yang masuk kantor cuma tanggal 25, saat ambil gaji. "Pokoknya jangan keluar. Tiru saja tipe mana yang Anda inginkan."
Tapi saya tetap emoh. Dalam hati, kalau bisa, saya malah mau membayar, asal saya boleh keluar. Nyatanya saya dapat uang. Utang2 saya pada perusahaan dilunasi. Karena menurut perusahaan, saya punya jasa pada perusahaan. Alhamdulillah.
Setelah tidak lagi jadi orang kantoran, ternyata saya masih pula banyak dilamar perusahaan penerbitan besar. Saya cuma tertawa, "Ah, sampeyan gimana sih. Kalau saya mau bekerja, mah saya gak perlu keluar dari Gramedia," begitu kata saya. Ada juga yang menawari posisi bos. Saya geli sampai sakit perut. "Gaji berapa pun tidak membuat saya ngiler, Mas. Bagi saya yang penting, saya bisa merdeka." Itu jawab saya, seakan-akan anak konglomerat saja.
Tak terasa sudah hampir 7 tahun saya mundur dari Kompas, dan 8 tahun saya mundur dari Gramedia Majalah, tapi justru sekarang saya merasa banyak hal penting yang harus disimak, dan dikaji.
Tempat saya bekerja, yaitu sebuah kebun di BSD, bersifat terbuka. Siapa saja boleh datang dan pergi. Beli tidak beli, tetap tengkyu, begitu kata pabrik kaos Jogger, Bali. Di antara yang datang, adalah teman2 dan kolega2 saya di Gramedia Majalah dan Kompas, ada juga teman2 dari The Jakarta Post. Sering kami ngobrol sembari ngopi. Awalnya tentu saja membahas tanaman, tahu-tahu ngobrol tentang kerjaan, dan kemudian merembet ke suasana perusahaan, ngrasani para bos, nggosipin kebijakan perusahaan dlsb.
Terus terang dari sini saya jadi merasa keep in touch terus dengan almamater saya, tanpa saya minta, meski kalau mau jujur saya sudah ingin membuang kenangan jadi employee. Dari sini pula, timbul ide membuat blog ini. Kalau pegawai pabrik las, keluar bermimpi jadi tukang las, dan karyawan pabrik kaos kalau keluar pengen punya pabrik kaos sendiri, maka saya keluar dari perusahaan majalah, tidak pengenan bikin majalah. Bisa bikin blog, syukurlah. Apalagi, sebuah blog yang dibaca oleh Anda-Anda, yang dengan sukacita mau membuang waktu membacanya, meski dengan hati was2 karena takut namanya kesenggol. Rasain deh.
Jadi, wahai pembaca, blog ini pada dasarnya sebuah homage (penghormatan) bagi almamater saya, Gramedia Majalah, tempat "kudibesarkan". Kenapa disebut UNDERCOVER? Jelas saja, karena tulisan-tulisan di sini bersifat tidak resmi, dan sekadar catatan belaka yang ditulis di bawah meja. Bahwa di sana-sini ada kritik, jangan berhati tipis. Bersikaplah, positive thingking. Cuma kalau Anda membayangkan (atau mengharapkan) di sini akan ada tulisan2 yang membongkar skandal atau kebobrokan perusahaan, semacam Gramedia Majalah-Gate, lihat saja nanti perkembangannya. Saya enggak janji.
Merdeka! Sekali merdeka tetap merdeka.
Banyak teman2 di Gramedia Majalah kirim SMS saya. Tumben2an. Ada yang protes, ada yang marah, ada yang malah ngompori, ada yang cekakakan, ada yang cekikikan. Awalnya saya tidak tahu juntrungannya. Lama-lama sadar, mereka sudah membaca blog ini.
Rupanya judul blog: GRAMEDIA MAJALAH UNDERCOVER telah membuat pirsawan, punya asosiasi ke mana-mana. Maklum, sebelumnya ada novel dan film berjudul, "JAKARTA UNDERGROUND", terus ada buku laris karangan Dr. Inu, dosen IPDN, "IPDN UNDERCOVER". Bahwa judul itu diharapkan seru, tentu saja, iya. Tapi, bahwa saya berpretensi jadi Dr. Inu, tentu tidak. Apalah saya. Dr.Inu punya penyakit gula, saya tidak. Dr. Inu nekad, saya orangnya hati2. Mau terkenal? Tidak juga. Nama saya masih dikenal baik di kalangan sastrawan2 Indonesia yang tahu dulu saya suka nulis cerpen, dan puisi di majalah serius maupun majalah tidak serius.
Di dunia pers saya sudah menghasilkan sedikitnya 3 buku: ENSIKLOPEDI PERS INDONESIA (Gramedia pustaka Utama, 19990), MENGGEBRAK DUNIA WARTAWAN INDONESIA (Puspa Swara, 1993), dan RAHASIA DAPUR MAJALAH INDONESIA (Gramedia Pustaka Utama, 1995). Di dunia yang saya geluti sekarang, saya sudah menerbitkan sedikitnya 5 buku tentang tanaman hias, antara lain: PEDOMAN MERAWAT AGLAONEMA, PESONA ANTHURIUM DAUN, JURUS SUKSES BERBISNIS TANAMAN HIAS dan JADI MILYARDER DARI ANTHURIUM, semuanya terbitan PT Agro Media Pustaka. Dengan portofolio yang saya punya, saya masih dipercaya jadi anggota dewan juri Yayasan Buku Utama selama bertahun2. Hehehehe.... Mau cari sensasi? Boro-boro. Saya sudah tua, giginya tinggal dua, impiannya cuma suarga. Sekadar contoh, kalau mau tahu tentang saya, klik saja di Google.
Mungkin saya frustrasi? Jangan memfitnah. Saya orangnya suka cengengesan. Frustrasi waktu kerja di Gramedia? Ah mosok? Seingat saya, karier saya bagus selama hampir 15 tahun bekerja di sana. Dua tahun jadi Redpel dan Wapemred Jakarta-Jakarta, kemudian 10 tahun dipercaya jadi Pemred TIARA, dan setahun dipercaya mengurus Kompas Online bersama Mas Ninok Laksono.
Saya mundur dari Gramedia Majalah juga bukan karena dipecat. Lagi enak-enak ngobrol dan ngopi, saya langsung menjabat tangan Widi Krastawan, pamitan. (Tentu saja sebelumnya saya sudah main mata dengan pihak Kompas, bahwa tenaga saya diharapkan banget). Kepada Widi saya bilang, mulai besok saya tidak datang lagi ke Jalan Panjang, tapi mau mau ngantor di Palmerah. Pak Widi, atasan saya yang budiman itu, melongo. Sebelum dia bertanya, saya sudah kabur dan melambaikan tangan. Itulah cara saya mengundurkan diri. (Ah, belakangan saya menyesal, kali2 Mas Widi menganggap saya tidak sopan.)
Saya mungkin satu2nya orang yang keluar dari Gramedia Majalah yang tidak pernah direpotkan oleh urusan administrasi. Umpamanya, saya tidak pernah diminta mengajukan surat pengunduran diri atau harus bertemu dengan para pejabat di PSDM Majalah. Pokoknya, otomatis saya sudah berstatus karyawan Kompas (Asal Anda tahu, untuk level yang sama, gaji di Kompas tingkatnya lebih tinggi dibanding di Majalah).
Di Kompas, saya diterima dengan baik oleh Mas Ninok Laksono,Mas Robby Sugiantoro, Mas Andrey Handoko, dan Mas Tommy (Pemimpin Redaksi). Saya dibuatkan newsroom, ditanya apa kebutuhannya, dan suka diajak rapat2. Di Kompas, saya sendiri bersikap pandai2 membawa diri, tidak mentang2 bekas pimpinan. Syukurnya, teman2 di Kompas, pandai juga menempatkan saya pada tempat yang pas. Sering mengajak saya ngobrol Rudy Badil, Liem Bun Cay, Maria Hartiningsih, FX Mulyadi, Dono, Rene dll.
Waktu kemudian saya mau keluar dari perusahaan Kompas/ Gramedia, saya menghadap Mas RB Sugiantoro. Ternyata itu pun tidak gampang, saya diminta berpikir ulang sampai 3 bulan, ditawari gaji naik, dan posisi lebih bagus. Saya tidak bergeming. Iman saya cukup kuat. Saya cuma terkenang pada Teori Maslow.
Ada wartawan senior Kompas mengingatkan bahwa anak saya masih kecil2 sehingga tak perlu keluar, tapi saya langsung potong: Justru anak saya masih kecil2, maka saya keluar. Wartawan senior lain, menyarankan saya tidak usah keluar. "Kalau sudah malas kerja, masuk kantor saja cukup. Tapi Anda jangan keluar," katanya. Dia lalu menunjuk Si A, yang rajin masuk kantor tiap pagi, tapi langsung kabur, si B, yang masuk kantor setiap hari, langsung ngetik, tapi tidak pernah ada tulisannya yang dimuat di Kompas, si C yang masuk kantor cuma tanggal 25, saat ambil gaji. "Pokoknya jangan keluar. Tiru saja tipe mana yang Anda inginkan."
Tapi saya tetap emoh. Dalam hati, kalau bisa, saya malah mau membayar, asal saya boleh keluar. Nyatanya saya dapat uang. Utang2 saya pada perusahaan dilunasi. Karena menurut perusahaan, saya punya jasa pada perusahaan. Alhamdulillah.
Setelah tidak lagi jadi orang kantoran, ternyata saya masih pula banyak dilamar perusahaan penerbitan besar. Saya cuma tertawa, "Ah, sampeyan gimana sih. Kalau saya mau bekerja, mah saya gak perlu keluar dari Gramedia," begitu kata saya. Ada juga yang menawari posisi bos. Saya geli sampai sakit perut. "Gaji berapa pun tidak membuat saya ngiler, Mas. Bagi saya yang penting, saya bisa merdeka." Itu jawab saya, seakan-akan anak konglomerat saja.
Tak terasa sudah hampir 7 tahun saya mundur dari Kompas, dan 8 tahun saya mundur dari Gramedia Majalah, tapi justru sekarang saya merasa banyak hal penting yang harus disimak, dan dikaji.
Tempat saya bekerja, yaitu sebuah kebun di BSD, bersifat terbuka. Siapa saja boleh datang dan pergi. Beli tidak beli, tetap tengkyu, begitu kata pabrik kaos Jogger, Bali. Di antara yang datang, adalah teman2 dan kolega2 saya di Gramedia Majalah dan Kompas, ada juga teman2 dari The Jakarta Post. Sering kami ngobrol sembari ngopi. Awalnya tentu saja membahas tanaman, tahu-tahu ngobrol tentang kerjaan, dan kemudian merembet ke suasana perusahaan, ngrasani para bos, nggosipin kebijakan perusahaan dlsb.
Terus terang dari sini saya jadi merasa keep in touch terus dengan almamater saya, tanpa saya minta, meski kalau mau jujur saya sudah ingin membuang kenangan jadi employee. Dari sini pula, timbul ide membuat blog ini. Kalau pegawai pabrik las, keluar bermimpi jadi tukang las, dan karyawan pabrik kaos kalau keluar pengen punya pabrik kaos sendiri, maka saya keluar dari perusahaan majalah, tidak pengenan bikin majalah. Bisa bikin blog, syukurlah. Apalagi, sebuah blog yang dibaca oleh Anda-Anda, yang dengan sukacita mau membuang waktu membacanya, meski dengan hati was2 karena takut namanya kesenggol. Rasain deh.
Jadi, wahai pembaca, blog ini pada dasarnya sebuah homage (penghormatan) bagi almamater saya, Gramedia Majalah, tempat "kudibesarkan". Kenapa disebut UNDERCOVER? Jelas saja, karena tulisan-tulisan di sini bersifat tidak resmi, dan sekadar catatan belaka yang ditulis di bawah meja. Bahwa di sana-sini ada kritik, jangan berhati tipis. Bersikaplah, positive thingking. Cuma kalau Anda membayangkan (atau mengharapkan) di sini akan ada tulisan2 yang membongkar skandal atau kebobrokan perusahaan, semacam Gramedia Majalah-Gate, lihat saja nanti perkembangannya. Saya enggak janji.
Merdeka! Sekali merdeka tetap merdeka.
Index:
Diary,
Gramedia Majalah Undercover,
Jurus Sukses Bisnis Tanaman Hias,
Menjadi Milyarder dari Anthurium Daun,
Panduan Praktis Aglaonema,
Pesona Anthurium Daun,
Widi Krastawan,
Yayasan Buku Utama
Langganan:
Postingan (Atom)