Dalam Kesederhanaan Kata-Kata
Membaca sajak-sajak Kurniawan
Junaedhie (KJ) tak lain adalah membaca perjalanan sejarah seorang manusia, yang
penuh getar rasa maupun pikiran-pikiran, sehingga menghadirkan kepuitikalan.
Hal ini sebagaimana dikatakan Shelley, bahwa sajak merupakan rekaman
detik-detik yang paling indah dalam hidup seorang penyair. Peristiwa itu bisa
saja mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan,
kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang
yang sangat dicintai.
Kendati merupakan catatan
sejarah, tentu bukan buku sejarah biasa. Pasalnya, sebagaimana dikatakan
Theodore Watts-Dunton, sajak merupakan satu pengucapan konkrit dan artistik
tentang pikiran manusia melalui penggunaan bahasa yang emosional dan berirama.
Dan ini dilakukan KJ pada sajak-sajaknya.
Boleh jadi, karena dia sebagai
penyair selalu jujur pada hati dan pikirannya. Walau dengan bahasa sederhana,
bahkan seringkali menggunakan idiom-idiom B dari kata-kata sehari-hari, namun
getar dan luapan emosinya pun hadir dan terasa. Hal ini dapat kita simak pada
sajaknya:
SAAT HENDAK PISAH kalau aku
pergi, jangan suruh aku menangis,burung di udara sudah menyanyiawan di langit
sudah bergulungan ke penjuru duniakalau aku pergi, jangan suruh aku
menangis,jarak antara aku dan kamu tak pernah tercatat dalam petakalau ciumanku
dan remasan tanganku tak berasaaku akan bicara pada langit, jiwaku hampakalau
aku menangis,apakah bintang dan matahari akan menari dan kau ikut menemani?
1993(Cinta Seekor Singa, halaman 42)
Betapa terasa seorang lelaki yang
akan berpisah dengan kekasihnya. Pada bait pertama yang tiga baris, sudah
mengantarkan kepada pembacanya tentang kesengsaraan, namun saat aku lirik
mencoba menegarkan dirinya: kalau aku pergi, jangan suruh aku menangis, malah
KJ mengutarakan burung di udara sudah menyanyi walau dirinya mengakui
perpisahan itu amat memukul hatinya dengan metaforanya: awan di langit sudah
bergulungan ke penjuru dunia.
Keterusterangan itu makin tampak
pada bait kedua yang empat baris, bahwa ada kegalauan di hati penyair. kalau
aku pergi, jangan suruh aku menangis, pada baris ini pengulangan yang
menekankan akan aku lirik menegarkan dirinya. Namun aku lirik menyadari betapa
jarak antara aku dan kamu tak pernah tercatat dalam peta.
Bahkan, kalau ciumanku dan
remasan tanganku tak berasa yang seharusnya terasa, karena penuh kedalaman
cinta. Jika hal ini terjadi, dengan kegeramannya, aku lirik mengatakan aku akan
bicara pada langit, jiwaku hampa. Keterusterangan masgulnya hati dan akan
menggugat langit, sebuah suasana emosional yang membikin pembaca masuk ke dalam
kembara batinnya.
Kegeraman aku lirik terlihat pada
bait ke tiga yang tiga baris.Bahkan dalam geramnya, jika aku lirik tak
menegarkan dirinya dalam kesengsaraan ini,B maka sang kau lirik bakal
menertawainya dengan menari bersama bintang dan matahari. Dan kita amat
memahami bahwa bintang merupakan citra dari malam dan matahari adalah citra
dari siang.
Jika saja kita percaya bahwa
sajak adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah, sebagaimana kata
Samuel Taylor Coleridge.
Yang katanya, B bahwa penyair
memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya
seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat
berhubungannya, dan sebagainya. Namun bagi KJ, sajak ditulisnya dalam getar
puitik, bukan susanan kata-kata indah.Simak pada sajaknya:
PEMANDANGAN DINI HARI Untuk: Tina
K. jam tujuh petang di Jakarta.jam 5 subuh di Michigan. halo.aku mendengar kamu
kesepianaku mendengar kamu terisak di sini aku sedang menulis sajakmenuliskan
perpisahan dan penyesalanjam tujuh petang di Jakarta.jam 5 subuh di Michigan.
halo.telepon itu tergeletakdi samping sajak. 1994(Cinta Seekor Singa, halaman
67)
Walau KJ amat memperhitungkan
logika waktu, namun perasaan dan pikirannya dituliskan begitu saja, sesuai
gerak pikir dan rasa tadi. jam tujuh petang di Jakarta./jam 5 subuh di
Michigan./halo.//Dan dari sana penyair pun merasakan kau lirik yang kesepian,
terisak dan sang aku lirik menuliskan penyesalan perpisahan.
Agaknya sajak-sajak KJ
sebagaimana kata Wordsworth, adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu
perasaan yang direkakan atau diangankan. Malah kalau Auden menyatakan sajak itu
lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
Dan pada sajak KJ bertajuk
Pemandangan Dinihari, lebih tergambarkan pendapat Wordsworth maupun Auden
itu.Juga hal ini terasa pada sajak di bawah ini: SAJAK UNTUK LELAKI SIALAN aku
menangis seharian di dresi pagi tadi suara gerbong tua menyisir rel, di pagi
buta iniaku menangis seharian, melihatmu kuyup dalam hujanaku berpikir: kenapa
bulan Mei berjalan begitu lamban? seseorang bertanya, siapakah yang
kautangisi?aku tak menjawab sepatah punhatiku ngungun aku melihat sebuah
gerbong tua,menyisir rel, di pagi buta ini 1993(Cinta Seekor Singa, halaman 47)
Pertanyaan penyair yang sederhana terangkai, menghasilkan getar puitik: aku
berpikir: lenapa bulan Mei berjalan begitu lamban?
Yang kemudian diikuti oleh pertanyaan lain: seseorang bertanya, siapakah yang kautangisi?Dari pertanyaan itu, makin dapat dipahami, saat KJ membuka sajaknya dengan: aku menangis seharian di dresi pagi tadi/ suara gerbong tua menyisir rel, di pagi buta ini/aku menangis seharian, melihatmu kuyup dalam hujan. Betapa pengakuan aku lirik melihat dan membayangkan kau lirik, sehingga aku lirik berpendapat:B aku berpikir: lenapa bulan Mei berjalan begitu lamban?
Dan akhirnya, penulis sependapat
dengan Maman Mahayana, yang mengatakan: Meskipun hampir setiap orang dapat
membuat sajak, niscaya tidak semua orang dapat menjadi penyair. Lalu,
bagaimanakah seseorang dapat dikatakan sebagai penyair?
Pertama-tama tentu saja predikat
itu datang lantaran karya-karyanya dipandang berkualitas dan bukan sekadar
menulis puisi. Kuantitas bukanlah yang menjadi ukurannya. Oleh sebab itu,
banyak-tidaknya seseorang menulis puisi, belum menjadi jaminan untuk
menyebutnya sebagai seorang penyair. Kepenyairan seseorang semata-mata
ditentukan oleh kualitas karyanya yang mampu memberi pencerahan kepada
pembacanya.
Dan bagi penulis, KJ bukan
sekadar tukang tulis sajak, namun dia penyair dengan kesederhanaan kata,
kesederhanaan permasalahan, kesederhanaan ungkapan, melahirkan sajak-sajak yang
mencerahkan. ***
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 14 Juli 2012