Tampilkan postingan dengan label Cinta Seekor Singa (35 Tahun KJ Menyair). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cinta Seekor Singa (35 Tahun KJ Menyair). Tampilkan semua postingan

04 Desember 2009

Kurniawan Junaedhie dan "Cinta Seekor Singa"


Tanggal 24 November kemarin, pengarang Kurniawan Junaedhie berulangtahun yang ke-55. KJ -- begitu ia disapa -- berkiprah di ranah kepenulisan sejak masih duduk di bangku SD di Purwokerto, Jawa Tengah. Ia memulai kariernya dengan sajak-sajak. Lalu berkembang menjadi laporan untuk koran lantas menulis cerpen-cerpen populer.

KJ yang kini aktif berbisnis tanaman hias di bilangan Serpong, Tangerang Selatan ini hingga kini tak henti berkarya. Selain buku-buku panduan merawat tanaman hias, cerpen dan puisi-puisinya pun terus lahir. Akhir tahun ini, terbit kumpulan puisinya selama 35 tahun berkarya. Tujuh puluh sembilan sajak Kurniawan Junaedhie terdapat dalam kumpulan sajak terbarunya, Cinta Seekor Singa: Sajak-sajak 1974-2009, terbitan Bisnis2030. Dalam Cinta Seekor Singa dimuat sajak-sajak yang tentu dimaksudkan KJ menjadi cerminan karya-karyanya di empat periode itu. Tampillah 10 sajak mewakili periode 1970-an, periode 1980-an 18, periode 1990-an 38, periode 2000-an 13 sajak. Pemuatan sajak-sajak itu berurutan sesuai periode penulisannya.

Menurut sastrawan Adek Alwi dalam sebuah catatannya, dengan komposisi isi seperti itu, banyak hal dalam perjalanan kepenyairan KJ pun terlihat. Sebutlah bentuk sajak dia serta kecenderungannya, cakupan tema yang ia garap, dan hal-hal yang lenyap atau ditinggalkan di puisi-puisi yang ia tulis kemudian. Atau sebaliknya, hal-hal yang menetap serta tambah matang seiring jalan usia dan jam terbang KJ selaku penyair yang tahun ini memasuki tahun ke-35 itu. Dari segi bentuk, puisi-puisi KJ amat beraneka. Ada yang mirip dengan bentuk tradisional yaitu pantun, dengan empat larik tiap bait, seperti terlihat misalnya di sajak “Lagu Percintaan”, “Waktu”, “Sajak Orang Kasmaran”, “Januari 2003” dan lainnya. Tetapi panjang-pendek larik di sajak-sajak itu tidak seteratur pantun, begitu pula rima akhirnya. [est]

Diposting: Rabu, 25 Nopember 2009 / 05:27:46 Oleh: annida Kategori: Berita Penulis
http://www.annida-online.com/berita-penulis/kurniawan-junaedhie-dan-cinta-seekor-singa.html

22 Agustus 2009

Cinta Seekor Singa Beredar!!!


Persis memasuki bulan baik Ramadhan, beredar: CINTA SEEKOR SINGA, kumpulan puisi KJ (1974-2009). Buku setebal 158 halaman ini diterbitkan leh Penerbit Bisnis2030, dengan kata pengantar Handrawan Nadesul, dokter yang penyair, epilog Leonowens, penyair muda, disertai komentar 18 rekan sejawat.

Harga: Rp.42.600.

Mohon aaf, buku puisi ini tidak tersedia di TB Gramedia dan toko2 buku lainnya. Buku ini hanya tersedia dan dijual secara online di bookoopedia.com, dan kutubukusampurna.com.

Data buku:
Judul: Cinta Seekor Singa (Sajak-sajak 1974-2009)
Pengarang: Kurniawan Junaedhie
ISBN : 9786028543194
Rilis : 2009
Halaman : 158p
Ukuran: 14,5 20 cm
Penerbit : Bisnis2030
Bahasa : Indonesia
Harga : Rp.42.600

20 Agustus 2009

Nostalgi Padang - Bukittingi


-Untuk keluarga Arifin

1.
Malam begitu panjang terentang
Antara Padang – Bukittinggi
Ada bunyi saluang
Teringat Marah Rusli

2.
Di Ngarai Sianok
Kubayangkan Siti Nurbaya bernyanyi:

Ditampi bareh ditampi
Ditampi badadak juo
Diganti alah diganti
Yo nan lamo takana juo

Darahku mendidih
Teringat Datuk Maringgih

3.
Di Teluk Bayur,
Ibunda tercinta
merasuk amarah
Malin pun jadi batu
Kita menjelma jadi rongsok kayu

4.
Di Ranah Minang,
sejumlah putri datang dan pergi
Teringat Sabai:

Nan di ujuang pisau,
Sansaro badan
Sansaro badan

1983

(Dimuat dalam buku kumpulan puisi Cinta Seekor Singa, Penerbit Bisnis2030, Jakarta)

14 Agustus 2009

Sajak Orang Merdeka


Orang merdeka berjalan gagah di jalanan
Di gedung-gedung tinggi, di bawah langit
tanpa menghamba

Orang merdeka duduk tanpa merunduk
Wajahnya binar dengan mata berpendar
di mana saja: di kafe dan di kedai nasi

duduk sama rendah berdiri sama tinggi

kemerdekaan milik siapa juga
tak cuma milik sekawanan ikan atau sekelompok unggas
bahkan seekor singa yang nestapa
boleh mencintai siapa saja & kapan saja

dan aku mencintai kamu, ma
seperti bintang mencintai rembulan
tanpa paksaan
tanpa tekanan
karena majikanku adalah diriku sendiri
dan owner-ku adalah gusti allah maha tinggi

maka menyaksikan bintang yang jutaan jumlahnya
cinta rasanya begitu indah untuk dikandangkan
karena luas semesta bukan buatan
karena kata-kata tak cukup melukiskan

Agustus 2009

10 Agustus 2009

Laki-Laki Sontoloyo Ingin Menjadi Singa


Bulan mencorong di antara gedung2
bagai kuda loyo dia berjalan terhuyung
kepalanya tertunduk kelu
tanah basah lengket pada sepatu

dia terus melayap dalam pendar2 waktu
dan menyergap hatimu di situ
mendekam, seperti keong di sela batu
Begitulah nasib laki2 yang nglokro
hanya layak jadi teman kecoa
dan sahabat ternak
yang suka makan rumput2an

Kalau orang seperti itu mati
dia hanya jadi bangkai
tak disebut siapa-siapa
dan bagiku, dia pun sudah selesai

Hiduplah yang gagah bagai singa
yang garang mukanya
bengis cakarnya
dan sanggup hidup di segala cuaca

Hiduplah yang gagah bagai singa
yang siap menghadapi tipu daya kehidupan
yang berlaku tanpa juntrungan
sementara bulan terus memancarkan sinarnya

November 2008

Di Antara Kambing, Teringat Kamu

Desain sampul: Bastian Wirawan. Penerbit Bisnis2030, Jakarta, 2009


angin bertiup sempoyongan di udara yang basah
satu demi satu daun rontok berguguran
sampah bergundukan di jalanan
kodok dan kadal sembunyi di baliknya
betapa ringsek hatiku mengenang dirimu

di cibinong, di antara kawanan kambing
aku membayangkan diriku singa
mengaum dan mencakar maunya
ingin terus hidup di segala cuaca layaknya
bertahan sebisanya, karena itulah kodrat kita

cuma karna kamu,
aku ogah bongkok, seperti barang rongsok
cuma karna kamu
aku ingin gagah,
seperti pohon pisang tanpa pelepah

di cibinong, di antara kawanan kambing
dan sampah bergundukan di jalanan
aku ingin menggandeng tanganmu
dan menggigit bibirmu seperti singa menggigit mangsanya

Agustus 2009

22 Juli 2009

KJ di Antara Waktu, Realisme, dan Estetika

Oleh: Leonowens SP


"Don't look at your form, however ugly or beautiful. Look at love and at the aim of your quest..." (Jalalud'din Rumi)

Kumpulan puisi-puisi Kurniawan Junaedhie (KJ) yang terhimpun dalam antologi “Cinta Seekor Singa,” merupakan karya puisi yang bergumul dengan realitas dan estetikanya. Tentu hal ini adalah bagian dari seni ekspresi emosional seorang KJ dalam berkarya puisi. Demikianlah dengan permaknaan teologis, renungan, replika ruang, dan ragam metamorfosa pada alur berpikir; merupakan hasil dari rentang waktu yang dialektis dengan pemahamannya akan beberapa nilai kehidupan. Rentang waktu merupakan suatu peran untuk mengabstraksikan beberapa ilustrasi praktis dari puisi KJ.

Suatu ekspresi manusiawi KJ, ketika perasaan dan ketajaman emosional telah bekerja sedemikian praktis dalam pengelolaan kata dan kalimat yang tidaklah metafora. Unsur romantis ekspresif telah terjalin dalam kalimat “kukecup bekas ciumanmu/ semalam” (“Puisi Bulan September”, 1974). Tentu dalam puisi ini bukan mengundang suatu pembiasan makna dari setiap pembacanya, jika diperbandingkan dengan kalimat “tak mungkin kulupa/ terbagi kesadaranku” (“Tanah Lahir”, 1977); atau dengan puisi yang berjudul “Sajak Kelereng.”

Kita akan kembali dipertanyakan tentang rentang perjalanan hidup KJ dan proses yang membentuk karakter dalam penulisan puisinya. Hal tersebut tidak hanya dapat disimplikasikan dengan beberapa catatan dan kesaksian dari orang-orang yang berada di sekitarnya, tetapi kita perlu untuk memahami penawaran dan realitas yang dibangun dalam puisi-puisinya tersebut. Demikianlah ketika dunia menggali realitas dari karya-karya puisi dan rentang masa kehidupan Al-Mutanabbi, seorang penyair klasik Arab di tahun 915-965.

Makna filosofis yang cukup kental akan relasi ruang, logika sentris, dan beberapa material yang mendukung timbulnya hasrat hingga rasa; terkandung dalam puisi-puisi KJ yang termaktub pada beberapa judul karyanya, antara lain: “Saat Edelweiss Diputar” (1977), “Tamat” (1979), “Jurang” (1982), “Ingin Berjumpa” (1982), “Antara Padang-Bukit Tinggi” (1983), “Waktu” (1985), “Di Perpustakaan“ (1986), “Sajak Untuk Orang Kecewa” (1993), “Sajak Untuk Orang Kasmaran” (1993), “Kau Pun Menghilang Di Balik Awan” (1994), dan “Sajak Untuk Ibunda Tercinta” (2008).

Inilah keindahan dari seni ekspresi emosional, ketika KJ tidak terjebak dalam suatu sentimen berlebihan di dalam puitika yang melukis gejolak rasanya. “Tidak./ aku tak boleh menangis/ Aku adalah pilar besi/ aku harus tetap berdiri/meski ada yang tiba-tiba hilang” (“Kau Pun Menghilang Di Balik Awan”, 1994); kalimat dalam baris puisi ini telah berkontribusi bagi suatu keeksotisan dari ungkapan rasa yang jujur. KJ sangat meminimalisir suatu ego yang bersifat semantik dalam pengungkapan realitasnya di balik kata-kata.

Mungkin cukup naif, jika analisis kita hanya memberi dimensi kepada karya-karya KJ dalam batas “gejolak rasa” atau tersaji hal-hal subyektif yang terdapat pada keindividualannya, seperti: cinta, penyesalan, penghormatan, kekecewaan, kerinduan, amarah, keloyalitasan, kecemburuan, dan unsur kenangan atau nostalgia tertentu; tanpa mengolaborasikan nilai-nilai yang tengah bergulir, hingga mendukung terjadinya penciptaan puisi tersebut. Salah satu nilai yang dipertaruhkan, agar puisi-puisi itu menjadi suatu kisah yang tidak menghilangkan sentuhan puisi adalah: keestetikaan.

Namun keestetikaan dalam kata akan menjadi sesuatu yang tidak bertanggung jawab, jika tidak mengalami pemilahan: ruang dan pencitraan tentang ruang tersebut dalam kata yang tepat dan mampu mewakili keberadaan ruang. Demikianlah halnya dengan suatu momentum, yang harus terwakili oleh pengondisian waktu. Puisi-puisi yang berjudul: “Di Bogor” (1979), “Ciawi” (1983), “Nyanyian Pagi” (1985), “Di Rimba Jakarta” (1992), “Aufwidersehe” (1994), “Dari Ujung Dunia” (1994), dan “Sketsa Di Rumah Wilson” (1996); adalah puisi yang merepresentasi pencitraan ruang dalam pengondisian waktu.

Ada sedikit perbedaan dengan puisi berikut: “Kesepian melindas hatiku di Amsterdam/ hari hampir malam/suasana dingin muram/ kudengar suara orang menggumam/ o, suara william” (“Sketsa di Rumah William”, 1996); suatu keestetikaan dari puisi yang ditempatkan di antara ruang, pengondisian waktu, dan akhiran kata yang serupa hingga menghasilkan ritme pelafalan yang cenderung stabil. Puisi tersebut adalah salah satu contoh karya puisi yang mensubordinasi keegoan penyairnya dalam mengelola kata-kata secara berlebihan (eufemisme), dan tidak membiaskan makna.

Tentang perbandingan antara keestetikaan dan keindahan dalam puisi-puisi yang dibangun oleh KJ, dapat kita analogikan dengan karya lukis retable[1] oleh Van Eyek; bahwa ketika keindahan itu tidak hanya dapat terukur di beberapa nilai keestetikaan yang tersirat, namun dapat ditempatkan di ruang yang memahami kebenaran waktu dan masa mengenai makna dari keindahan itu. Artinya, ketika kesempurnaan dari suatu karya haruslah mampu mengekspresikan hal yang imajiner. Puisi “Pantun Hati Rindu” (2009), merupakan representasi yang cukup berani.

Kenapa puisi tersebut sedemikian berani? Puisi itu telah berdiri di antara pantun dan kuartrin, dalam perbendaharaan teoritisnya. Namun sangatlah tragis jika kita hanya terjebak di dalam suatu perdebatan teoritis, tanpa mewakili beberapa nilai fundamental tentang simbol-simbol dan bentuk kulturasi untuk melahirkan karyanya. Perbandingan dari keberanian yang cukup baik dari puisi “Pantun Hati Rindu” (2009), adalah puisi “Ketika Limbung” (2003). Sesuatu yang simbolis dan liris telah dihadirkan dalam momen dan fenomena varian rasa dari seorang KJ.

Modifikasi kata yang minim, namun menampilkan ide dasar secara terskenario dan terkonstruksi dengan proposisional adalah basis dari kekuatan kontemplasi pada puisi-puisi KJ, seperti: “Lagu Percintaan” (1985), “Umur” (1991), “Cinta Ibu” (1995), “Surat Untuk Seorang Teman” (1995), dan “Lagu Perkawinan” (1995); adalah beberapa percontohan puisi, ketika kontemplasi dan kelugasan filosofi saling berkesinambung dalam struktur tulisan yang menggunakan pola “konteks di antara teks.” Hampir sama halnya pada roman Tristan and Yseult[2], ketika rangkaian cerita berkontemplasi dari beberapa sentuhan yang filosofis.

Puisi yang berjudul: “Kenangan Untuk Si Dia” (2009), adalah demonstrasi kata yang cukup signifikan kepada penalaran subyek yang dipampangnya. Namun, apakah subyek yang dimaksud oleh penulisnya adalah entitas dari beberapa obyek di dalam sisi perpuisiannya? KJ telah membangun unsur-unsur pemenuhan syarat “rangkaian kata menuju suatu tanya yang memaknai,” sehingga mampu mengasah nalar pembacanya. Dua baris kalimat: “dipalu gelisah/ ditikam gelisah,” tentu melahirkan multi intrepretasi yang berefek dari keseluruhan isi pada puisi Kenangan Untuk Si Dia.

Unsur relijiusitas dan hal-hal yang berkarakter abstrak dalam beberapa puisi KJ, termaktub kata-kata seperti: surga, firdaus, tuhan, akhirat, takdir, Allah; merupakan tahapan transendental yang dipercaya, dikenyam, atau dialami oleh penulisnya. Dan, KJ mengeksplorasi dunia konotasi yang imajiner, misalkan tertera kalimat: “1000 masalah dunia” (“Sajak Untuk Ibunda Tercinta”, 2008). Penempatan kata yang tepat di antara tuntutan untuk mengilustrasikan suatu obyek yang dituju, adalah ketika kata-kata harus mampu menata adanya representasi dari realita.

Sensasi, sentuhan humor, dan kerumitan yang minim dalam pengelolaan setiap rangkai kata yang tersaji; telah mempertegas adanya suatu hubungan puisi dengan proses pencerdasan bagi setiap kalimatnya, atau ketika makna yang harus dilontarkan kepada para pembaca tanpa membiaskan nilainya. Dalam kaitan ini, KJ bukanlah mewakili karakter Julien Sorel[3] yang bersifat terus terang dengan memaksa diri untuk menjadi ambisius dan enerjik. Tetapi KJ adalah seseorang yang telah berdiri di antara waktu, realisme, dan estetika; tanpa lebih cenderung kepada salah satu ciri tersebut.***



Jakarta, Juli 2009

Leonowens SP

Leonowens, adalah penyair, penulis esei, solilokui kelahiran Jakarta Desember 1977, tinggal di Medan. Buku puisinya antara lain Larapuan Prahara Tabir.



[1] Lukisan di belakang altar.
[2] Salah satu roman eropa pada abad ke 12.
[3] Tokoh dalam roman “Le Rouge et Le Noir,” karya Stendhal.

11 Juli 2009

Handrawan Nadesul:
Membaca Perjalanan Sajak-sajak Jun*)

Membaca sajak-sajak Jun sampai sekarang, seperti membaca kembali saat hari pertama kali ketemu Jun di Purwokerto lebih tigapuluh tahun lalu. Saya kira mulut Jun tidak lebih lincah dari pikiran-pikiran yang mengalir dalam sajaknya. Saya sudah melihat sajak-sajak Jun waktu itu bukan sajak biasa.

Lebih tigapuluh tahun kemudian, sore 10 Juli 2009 ini nyatanya saya tidak ingin berhenti membaca seluruh sajak produksi sampai tahun 2009 yang ia email dalam format Pdf. Tak kurang dari dua jam suntuk saya membaca semuanya, dengan beberapa kali ada yang perlu saya mengulang membacanya.

Membaca kembali sajak-sajak itu saya seperti sedang membaca kembali masa lalu milik banyak siapa, dan saya ikut meleleh begitu saja bersamanya. Enak juga rasanya melayang-layang bersamanya di sana, ketika sekarang hidup di luar habitat penyair saya sendiri makin merasa asing.

Jun memang istimewa. Masih seperti dulu, ia centil dalam pikiran, nakal dan liar imajinasinya, sajaknya mengalir sangat lentur dan encer, lalu mengena di hati. Kata orang, sajak tak perlu dimengerti, tapi dinikmati. Saya sudah menikmatinya.

Sajak Jun lahir dari momen pilihan yang ranum, yang dipungutnya dari mana-mana. Mungkin hanya cipratan kenangan, tidak dari awang-awang, bukan pula harus yang berbunga-bunga. Sajak-sajaknya sosok yang sederhana tapi buat saya sungguh menyentuh sekali.

Lebih dari itu, Jun jujur sekali. Tema-tema sajaknya milik siapa saja. Tapi bagaimana pikiran, perasaan, dan sikap Jun yang saya duga apa adanya terhadap tema yang dipungutnya bisa dari mana saja, dan entah kapan saja itulah yang menjadikannya bukan sajak biasa.

Imajinya kaya. Nuansa yang dibangunnya terstruktur mengantar kita menyelami ketajamannya membuahkan pikiran-pikiran, kedalamannya beremosi, dan keteguhannya bersikap. Sajak yang senantiasa terasa memberi gelegak, dan kita terpagut olehnya justru karena dituang seadanya, dengan jujur sekali.

Sekali lagi kekuatan saja-sajak Jun kesederhanaan menuangkan kecerdasannya berpikir tentang tema yang diusungnya. Jun saya kira penyair yang cerdas. Kecerdasan dalam menyair penting kalau sajak masih mau dibaca orang. Dan pada Jun amat ditunjang oleh pengalaman emosi, penggalan kenangan, dan nostalgia yang seakan tak pernah selesai. Ihwal kerinduan, rasa sepi, rasa cinta, sesal, dan kecewa menjadi kendaraan pilihan dari mana Jun, atau siapa pun penyairnya, memberangkatkan semua catatan hati dan pikirannya. Jun tidak salah arah dan benar pula cara menempuhnya.

Saya kira Jun masih seorang penyair. Roh sajak-sajaknya kental dan pekat. Sekali lagi perlu dibilang, kekuatan sajak-sajak Jun dalam hal membuahkan pikiran-pikiran yang dengan keinsafan penuh tidak mau terjebak menjadi emosional, namun longgar dan bersahaja saja.

Kalau ada kekurangan Jun dan sajak-sajaknya yang perlu diungkap, Jun sudah membuat saya cemburu. Cemburu karena Jun jeli dan cerdik membuat yang sederhana menjadi akbar. Sekurang-kurangnya pada perasaan hati saya sendiri. Proficiat Jun, dan terima salam tabik dari saya, masih Hans yang dulu.


Jakarta Juli 2009
Handrawan Nadesul

*) Komentar untuk buku kumpulan puisi Cinta Seekor Singa, 35 Tahun KJ Menyair

Sekadar Pengantar:
Buruk Muka, Cermin Jangan Dibelah*)

35 tahun menulis puisi, bukan perkara mudah. Ini persis seperti kalau kita menikah dengan orang yang sama selama 35 tahun. Ada saatnya menemukan kegairahan tetapi ada sekali tempo kita mengeluh, bosan, marah dan ngambek. Bahkan mungkin saja, dalam kasus saya, hal-hal jelek-jelek itu lebih berkepanjangan saya rasakan. Jadi kalau ada orang bilang saya loyal dan setia pada sastra (puisi), kadang saya malu sendiri. Saya pernah nulis artikel rumahtangga, nulis cerpen remaja, mengisi kolom di sebuah tabloid dangdut, nulis artikel dan buku tentang jurnalisme, nulis kolom dan buku tentang tanaman dan sibuk jadi petani dan juri tanaman hias . Saya tidak punya nyali seperti Sutardji Calzoum Bachri, misalnya yang berani hidup melulu dari kesusastraan. Tapi harus saya akui, itu semualah yang telah menghidupi kepenyairan saya selama itu, sembari numpang hidup sebagai wartawan selama 32 tahun lamanya, dan --setelah pensiun, -- melakukan bisnis ‘kecil-kecil’an. Nyatanya, selama masa yang panjang itu, saya terus menulis puisi meski untuk konsumsi sendiri.

Puisi pertama saya tulis sebetulnya dimuat di sebuah rubrik remaja Koran Pelita Minggu, asuhan Yatim kelana (alm) pada tahun 1971, ketika duduk di SMP. Baru pada tahun 1974, ketika saya duduk di bangku SMA, saya mulai menulis puisi lagi, dengan cita-cita kepingin jadi Chairil Anwar. Kalau Chairil Anwar bisa, kenapa saya tidak? Kalau Chairil Anwar nyentrik, kenapa saya tidak? Itu mungkin gara-gara HB Jassin menokohkan dia sebagai Tokoh Penyair Angkatan 45, dan bukan menokohkan Amir Hamzah yang lebih santun dan bangsawan.

Buku kumpulan puisi saya terbit tahun itu juga, bersama Ahita Teguh Susilo, dibuat dengan sangat ‘memalu’kan, persis dengan semangat Chairil Anwar. Saya mencetak buku itu dengan cara stensil manual pinjaman dan dijilid kawat seperlunya. Tentu saja hasilnya belang-belang. Toh dengan rasa percaya diri, buku itu saya kirim per pos ke beberapa penyair besar, di antaranya Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro. Entah becanda atau apa, tahu-tahu ada berita di kronik budaya Kompas ditulis wartawan bernama Sides Sudyarto Ds. Di situ Umbu, ’guru’ penyair Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, RS Rudhatan, dan Suwarno Pragolapati itu dikutip menyebut saya sebagai “penyair muda di lapis teratas.” Lalu secara kebetulan pula dalam waktu bersamaan, Handrawan Nadesul dan Piek Ardijanto Soeprijadi datang ke kota saya mengadakan pertemuan kecil dengan para seniman setempat. Dua minggu setelah itu, tahu-tahu di koran muncul tulisan mereka mengenai potensi saya sebagai penyair. Padahal selama pertemuan itu saya sama sekali tidak buka mulut semili pun. Hidung saya pun mekar, dan rasanya semakin mantaplah saya untuk jadi penyair. Sejak itu saya mulai banyak menulis di media massa.

Antara 1974 sampai 1976, --masih duduk di bangku SMA-- praktis, puisi-puisi saya hampir setiap minggu bersimaharajalela di media massa yang terbit di Pulau Jawa, buku-buku puisi saya berterbitkan, dan bersamaan dengan itu rumah saya di Purwokerto menjadi rumah persinggahan bagi para sastrawan seperti Sides Sudyardo DS, Toto Prawoto, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Handrawan dan sejumlah penyair muda lainnya.

Saat itu pula saya mulai mengirim ke majalah Horison, yang saat itu menjadi kiblat sastra Indonesia. Tujuannya tidak lain, agar saya diakui sebagai 'sastrawan Indonesia'. Seingat saya tanpa banyak kesulitan, cerpen saya tembus juga di majalah itu. Anehnya majalah itu lebih sering memuat cerpen saya daripada puisi saya. Sapardi Djoko Damono redakturnya waktu itu, rupanya menganggap saya lebih berbakat sebagai cerpenis daripada penyair. Jelas pendapat Sapardi membuat saya 'tersinggung'. Saya sempat ngambek nulis cerpen, dan kembali menulis puisi secara massal. Semata hanya ingin menunjukkan bahwa saya lebih berbakat jadi penyair; meski sampai sekarang, saya tidak tahu apakah saya berbakat jadi penyair atau tidak. Atau, apakah saya layak jadi penyair atau tidak. Yang saya tahu, saya telah banyak menulis puisi. Dan itu cukup membuat sejumlah kawan iri pada produktitivitas saya dan beberapa kawan lainnya, --terutama yang cewek,— sempat tersanjung dan tergombali.

Di suatu masa, misalnya, saya pernah juga diundang penyair Piek Ardiyanto Soeprijadi dan cerpenis SN Ratmana, membaca puisi di SMA Negeri Tegal, bersama Handrawan Nadesul, Adri Darmadji dan Dharmadi . Di situ, untuk pertama kalinya, sebagai penyair, saya merasa seperti selebritis. Begitu kami turun panggung, murid-murid berhamburan meminta tandatangan. Beberapa waktu kemudian, bersama Ahita Teguh Susilo, Emha, Linus, Adri Darmadji dan Poernomo MP, saya juga diundang ke Semarang oleh Darmanto Jatman, --bahkan menginap di rumahnya-- untuk membaca puisi di Undip dan ikut sarasehan sastra yang diselenggarakan oleh Yudiono KS dan dimentori Sutardji Calzoum Bachri. Waktu kelas dua SMA, saya diundang oleh guru di SMA lain untuk diajak berkenalan dengan murid-murid sebaya di kelas. Waktu saya tanya, apa yang membuat mereka senang puisi, murid-murid cewek berebut menunjukkan jari dan bertanya: mas sudah punya pacar belum?

Ujung-ujungnya, saya diundang Dewan Kesenian Jakarta membaca puisi bersama Adek Alwi dalam Forum Penyair Muda Jakarta. Hanya sialnya, selesai acara itu, saya diumpat-umpat Pelukis Hardi, yang baru tahu, betapa buruknya cara saya membaca puisi.

Tapi betapa pun, jalan hidup dengan menulis puisi tetap menarik diikuti.

Contohnya, ketika pada tahun 1977 saya hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik, lagi-lagi puisi telah menyelamatkan saya. Atas bantuan Mas Gardjito, redaktur Buana Minggu, saya diizinkan membuka rubrik Lintasan Seni di mana saya setiap minggu boleh mengisinya, yang honornya bisa saya gunakan untuk membayar kuloiah saya. Sementara itu, atas kebaikan hati Mbak Poppy Donggo Hutagalung saya juga dipersilakan mengisi berita-berita kesenian di rubrik yang diasuhnya, dengan tujuan yang sama. Di sisi lain, saya juga disambut dengan hangat oleh kawan-kawan penyair di Jakarta seperti Lazuardi Adi Sage, Adek Alwi, Sugiono MP, Sutjahjono R, Syarifuddin Ach, B Priyono, Eddy Yoenanto, dan Rahadi Zakaria. Ketika menjalani masa plonco di Sekolah Tinggi Publisistik pun, beberapa kali saya diselamatkan oleh ‘hukuman’ Kakak Senior, karena dia tahu saya ‘penyair terkenal’.

Selama kurun waktu tahun 1977-1984, hidup saya praktis sudah bergelandangan mirip –mungkin— penyair pujaan saya Chairil Anwar itu. Sering tidak pulang ke rumah kontrakan, dan lebih banyak menghabiskan waktu tidur di TIM, Balai Budaya atau di rumah teman. Kadang makan, kadang juga tidak. Biar puisinya bagus, begitu almarhum Suwarno Pragolapati mengajarkan pada saya di awal-awal kepenyairan saya. Tapi ada saatnya saya mencoba berjarak dengan dunia kepenyairan, dan mengkalkulasi hasil jerih payah selama itu.

Ada suatu masa, misalnya, di mana saya merasa bahwa nulis puisi itu sia-sia sehingga saya tidak perlu serius, dan puisi itu hanya sekadar permainan kata. Apalagi setelah puisi ‘mainan’ saya “Sajak Kelereng” yang dimuat di Majalah Top, kemudian dikutip di media massa dan ditulis oleh para kritikus sohor.

Pernah juga, ketika teman-teman saya sibuk di LSM untuk melakukan perubahan, saya tiba-tiba kecil hati. Karena saya merasa puisi tidak memberi arti. Lebih sering sampai pada suatu kesimpulan, mestinya agar puisi bisa ditulis dengan baik sebaiknya ditulis ketika perut kita kenyang.

Dalam hal menulis puisi, tentu saja saya harus mengakui begitu banyak pengaruh menerpa saya tanpa bisa saya tolak. Pernah suatu waktu saya mabok kepayang dengan puisi-puisi Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM dan Sapardi Djoko Damono. Tapi pernah juga suatu waktu saya tergila-gila pada sajak-sajak Soebagio Sastrowardoyo, dan Sitor Situmorang. Meski demikian saya sebenarnya pengagum Amir Hamzah dan Remi Silado. Saya juga merasa begitu banyak ‘provokator’, yang membuat saya sampai terjerumus begitu dalamnya dalam dunia ini seperti Piek Ardijanto Soepriyadi (almarhum), Sides Sudyarto DS, Handrawan Nadesul, dan Adri Darmadji. Kalau sekarang saya merasa dunia sastra begitu indahnya, tentu saja pada tempatnya saya mengucapkan terimakasih pada mereka. Mereka banyak menulis tentang saya, dan selalu mengatakan --mudah-mudahan tidak bohong-- bahwa saya memiliki bakat untuk menjadi penyair.

Selama 35 tahun menulis puisi, dan kemudian mengumpulkannya dalam sebuah buku, akhirnya saya seperti melihat wajah sendiri di depan cermin, bak kata pepatah, buruk muka, cermin dibelah. Tapi seburuk-buruk muka saya, tentu tak hendak saya membelah cermin. Memang tidak semua puisi yang pernah saya tulis selama itu, dimuat dalam buku ini. Ada proses seleksi, khususnya supaya buku ini tidak terlalu tebal dan harga tidak mahal.

Tapi jelek-jelek, inilah sebagian perjalanan hidup saya. Ada masa-masa penuh luka, kecewa, konyol, malu-maluin, penuh gairah, putus asa, dan ada masa-masa penuh pengharapan. Begitulah hidup. Tak selamanya mulus, rupanya.

Buku ini saya persembahkan untuk Anda, dan untuk almarhumah ibu saya: Wita Nuryani, yang rajin mengompori saya agar jadi penyair hebat. Juga secara khusus untuk istri serta kedua putri saya: Maria, Azalika dan Betsyiela, belahan jiwa saya. I love you full!

Serpong, 8 Juli 2009
Kurniawan Junaedhie

*) Kata Pengantar KJ untuk buku kumpulan puisi Cinta Seekor Singa, 35 Tahun KJ Menyair