
35 tahun menulis puisi, bukan perkara mudah. Ini persis seperti kalau kita menikah dengan orang yang sama selama 35 tahun. Ada saatnya menemukan kegairahan tetapi ada sekali tempo kita mengeluh, bosan, marah dan ngambek. Bahkan mungkin saja, dalam kasus saya, hal-hal jelek-jelek itu lebih berkepanjangan saya rasakan. Jadi kalau ada orang bilang saya loyal dan setia pada sastra (puisi), kadang saya malu sendiri. Saya pernah nulis artikel rumahtangga, nulis cerpen remaja, mengisi kolom di sebuah tabloid dangdut, nulis artikel dan buku tentang jurnalisme, nulis kolom dan buku tentang tanaman dan sibuk jadi petani dan juri tanaman hias . Saya tidak punya nyali seperti Sutardji Calzoum Bachri, misalnya yang berani hidup melulu dari kesusastraan. Tapi harus saya akui, itu semualah yang telah menghidupi kepenyairan saya selama itu, sembari numpang hidup sebagai wartawan selama 32 tahun lamanya, dan --setelah pensiun, -- melakukan bisnis ‘kecil-kecil’an. Nyatanya, selama masa yang panjang itu, saya terus menulis puisi meski untuk konsumsi sendiri.
Puisi pertama saya tulis sebetulnya dimuat di sebuah rubrik remaja Koran Pelita Minggu, asuhan Yatim kelana (alm) pada tahun 1971, ketika duduk di SMP. Baru pada tahun 1974, ketika saya duduk di bangku SMA, saya mulai menulis puisi lagi, dengan cita-cita kepingin jadi Chairil Anwar. Kalau Chairil Anwar bisa, kenapa saya tidak? Kalau Chairil Anwar nyentrik, kenapa saya tidak? Itu mungkin gara-gara HB Jassin menokohkan dia sebagai Tokoh Penyair Angkatan 45, dan bukan menokohkan Amir Hamzah yang lebih santun dan bangsawan.
Buku kumpulan puisi saya terbit tahun itu juga, bersama Ahita Teguh Susilo, dibuat dengan sangat ‘memalu’kan, persis dengan semangat Chairil Anwar. Saya mencetak buku itu dengan cara stensil manual pinjaman dan dijilid kawat seperlunya. Tentu saja hasilnya belang-belang. Toh dengan rasa percaya diri, buku itu saya kirim per pos ke beberapa penyair besar, di antaranya Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro. Entah becanda atau apa, tahu-tahu ada berita di kronik budaya Kompas ditulis wartawan bernama Sides Sudyarto Ds. Di situ Umbu, ’guru’ penyair Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, RS Rudhatan, dan Suwarno Pragolapati itu dikutip menyebut saya sebagai “penyair muda di lapis teratas.” Lalu secara kebetulan pula dalam waktu bersamaan, Handrawan Nadesul dan Piek Ardijanto Soeprijadi datang ke kota saya mengadakan pertemuan kecil dengan para seniman setempat. Dua minggu setelah itu, tahu-tahu di koran muncul tulisan mereka mengenai potensi saya sebagai penyair. Padahal selama pertemuan itu saya sama sekali tidak buka mulut semili pun. Hidung saya pun mekar, dan rasanya semakin mantaplah saya untuk jadi penyair. Sejak itu saya mulai banyak menulis di media massa.
Antara 1974 sampai 1976, --masih duduk di bangku SMA-- praktis, puisi-puisi saya hampir setiap minggu bersimaharajalela di media massa yang terbit di Pulau Jawa, buku-buku puisi saya berterbitkan, dan bersamaan dengan itu rumah saya di Purwokerto menjadi rumah persinggahan bagi para sastrawan seperti Sides Sudyardo DS, Toto Prawoto, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Handrawan dan sejumlah penyair muda lainnya.
Saat itu pula saya mulai mengirim ke majalah Horison, yang saat itu menjadi kiblat sastra Indonesia. Tujuannya tidak lain, agar saya diakui sebagai 'sastrawan Indonesia'. Seingat saya tanpa banyak kesulitan, cerpen saya tembus juga di majalah itu. Anehnya majalah itu lebih sering memuat cerpen saya daripada puisi saya. Sapardi Djoko Damono redakturnya waktu itu, rupanya menganggap saya lebih berbakat sebagai cerpenis daripada penyair. Jelas pendapat Sapardi membuat saya 'tersinggung'. Saya sempat ngambek nulis cerpen, dan kembali menulis puisi secara massal. Semata hanya ingin menunjukkan bahwa saya lebih berbakat jadi penyair; meski sampai sekarang, saya tidak tahu apakah saya berbakat jadi penyair atau tidak. Atau, apakah saya layak jadi penyair atau tidak. Yang saya tahu, saya telah banyak menulis puisi. Dan itu cukup membuat sejumlah kawan iri pada produktitivitas saya dan beberapa kawan lainnya, --terutama yang cewek,— sempat tersanjung dan tergombali.
Di suatu masa, misalnya, saya pernah juga diundang penyair Piek Ardiyanto Soeprijadi dan cerpenis SN Ratmana, membaca puisi di SMA Negeri Tegal, bersama Handrawan Nadesul, Adri Darmadji dan Dharmadi . Di situ, untuk pertama kalinya, sebagai penyair, saya merasa seperti selebritis. Begitu kami turun panggung, murid-murid berhamburan meminta tandatangan. Beberapa waktu kemudian, bersama Ahita Teguh Susilo, Emha, Linus, Adri Darmadji dan Poernomo MP, saya juga diundang ke Semarang oleh Darmanto Jatman, --bahkan menginap di rumahnya-- untuk membaca puisi di Undip dan ikut sarasehan sastra yang diselenggarakan oleh Yudiono KS dan dimentori Sutardji Calzoum Bachri. Waktu kelas dua SMA, saya diundang oleh guru di SMA lain untuk diajak berkenalan dengan murid-murid sebaya di kelas. Waktu saya tanya, apa yang membuat mereka senang puisi, murid-murid cewek berebut menunjukkan jari dan bertanya: mas sudah punya pacar belum?
Ujung-ujungnya, saya diundang Dewan Kesenian Jakarta membaca puisi bersama Adek Alwi dalam Forum Penyair Muda Jakarta. Hanya sialnya, selesai acara itu, saya diumpat-umpat Pelukis Hardi, yang baru tahu, betapa buruknya cara saya membaca puisi.
Tapi betapa pun, jalan hidup dengan menulis puisi tetap menarik diikuti.
Contohnya, ketika pada tahun 1977 saya hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik, lagi-lagi puisi telah menyelamatkan saya. Atas bantuan Mas Gardjito, redaktur Buana Minggu, saya diizinkan membuka rubrik Lintasan Seni di mana saya setiap minggu boleh mengisinya, yang honornya bisa saya gunakan untuk membayar kuloiah saya. Sementara itu, atas kebaikan hati Mbak Poppy Donggo Hutagalung saya juga dipersilakan mengisi berita-berita kesenian di rubrik yang diasuhnya, dengan tujuan yang sama. Di sisi lain, saya juga disambut dengan hangat oleh kawan-kawan penyair di Jakarta seperti Lazuardi Adi Sage, Adek Alwi, Sugiono MP, Sutjahjono R, Syarifuddin Ach, B Priyono, Eddy Yoenanto, dan Rahadi Zakaria. Ketika menjalani masa plonco di Sekolah Tinggi Publisistik pun, beberapa kali saya diselamatkan oleh ‘hukuman’ Kakak Senior, karena dia tahu saya ‘penyair terkenal’.
Selama kurun waktu tahun 1977-1984, hidup saya praktis sudah bergelandangan mirip –mungkin— penyair pujaan saya Chairil Anwar itu. Sering tidak pulang ke rumah kontrakan, dan lebih banyak menghabiskan waktu tidur di TIM, Balai Budaya atau di rumah teman. Kadang makan, kadang juga tidak. Biar puisinya bagus, begitu almarhum Suwarno Pragolapati mengajarkan pada saya di awal-awal kepenyairan saya. Tapi ada saatnya saya mencoba berjarak dengan dunia kepenyairan, dan mengkalkulasi hasil jerih payah selama itu.
Ada suatu masa, misalnya, di mana saya merasa bahwa nulis puisi itu sia-sia sehingga saya tidak perlu serius, dan puisi itu hanya sekadar permainan kata. Apalagi setelah puisi ‘mainan’ saya “Sajak Kelereng” yang dimuat di Majalah Top, kemudian dikutip di media massa dan ditulis oleh para kritikus sohor.
Pernah juga, ketika teman-teman saya sibuk di LSM untuk melakukan perubahan, saya tiba-tiba kecil hati. Karena saya merasa puisi tidak memberi arti. Lebih sering sampai pada suatu kesimpulan, mestinya agar puisi bisa ditulis dengan baik sebaiknya ditulis ketika perut kita kenyang.
Dalam hal menulis puisi, tentu saja saya harus mengakui begitu banyak pengaruh menerpa saya tanpa bisa saya tolak. Pernah suatu waktu saya mabok kepayang dengan puisi-puisi Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM dan Sapardi Djoko Damono. Tapi pernah juga suatu waktu saya tergila-gila pada sajak-sajak Soebagio Sastrowardoyo, dan Sitor Situmorang. Meski demikian saya sebenarnya pengagum Amir Hamzah dan Remi Silado. Saya juga merasa begitu banyak ‘provokator’, yang membuat saya sampai terjerumus begitu dalamnya dalam dunia ini seperti Piek Ardijanto Soepriyadi (almarhum), Sides Sudyarto DS, Handrawan Nadesul, dan Adri Darmadji. Kalau sekarang saya merasa dunia sastra begitu indahnya, tentu saja pada tempatnya saya mengucapkan terimakasih pada mereka. Mereka banyak menulis tentang saya, dan selalu mengatakan --mudah-mudahan tidak bohong-- bahwa saya memiliki bakat untuk menjadi penyair.
Selama 35 tahun menulis puisi, dan kemudian mengumpulkannya dalam sebuah buku, akhirnya saya seperti melihat wajah sendiri di depan cermin, bak kata pepatah, buruk muka, cermin dibelah. Tapi seburuk-buruk muka saya, tentu tak hendak saya membelah cermin. Memang tidak semua puisi yang pernah saya tulis selama itu, dimuat dalam buku ini. Ada proses seleksi, khususnya supaya buku ini tidak terlalu tebal dan harga tidak mahal.
Tapi jelek-jelek, inilah sebagian perjalanan hidup saya. Ada masa-masa penuh luka, kecewa, konyol, malu-maluin, penuh gairah, putus asa, dan ada masa-masa penuh pengharapan. Begitulah hidup. Tak selamanya mulus, rupanya.
Buku ini saya persembahkan untuk Anda, dan untuk almarhumah ibu saya: Wita Nuryani, yang rajin mengompori saya agar jadi penyair hebat. Juga secara khusus untuk istri serta kedua putri saya: Maria, Azalika dan Betsyiela, belahan jiwa saya.
I love you full!
Serpong, 8 Juli 2009
Kurniawan Junaedhie
*) Kata Pengantar KJ untuk buku kumpulan puisi Cinta Seekor Singa, 35 Tahun KJ Menyair