Sejak November males ngeblog. Lagi dapat menstruasi, 'kali. Padahal saban hari kalau gak di depan desktop, ya memangku laptop. Males saja. Kalau meminjam istilah anak saya, ngeblog "emang penting?"
Tapi supaya kelihatan urut, saya akan catat beberapa peristiwa yang bisa dianggp "emang penting" berikut ini:
Tanggal 24 November lalu saya ulangtahun. Malamnya saya sudah tahu.Tapi pagi2nya, bangun saya kura2 dalam perahu saja. HP yang setiap saya tidur saya setel ke flioght mode, saya nyalakan. Eh, masuk beberapa SMS. Selamat ulang tahun... dari anak2, Maria, adik2, ipar........ teman2 dekat al dari penyakir Adri Darmaji Woko yang tak pernah lupa hari2 penting saya. Teman dekat saya lainnya sepeerti dramawan Dharnoto, malah SMS keesokan harinya: "Wahuh lupa, Jun, gara2 sibuk menyiapkan surat untuk pensiun." Yah.... malamnya apa boleh buat, saya didaulat anak istri supaya makan bareng di Waroeng Soenda.
Tanggal 29 November, hari Minggu kalau gak salah, pagi2, ada SMS dari Rismuji, bahwa dia mau ke Serpong tapi tidak tau jalan. Ngapain ke Serpong? pikir saya. Terus ada telepon dari Widia tanya alamay Pecel Madiun di Serpong. Pecel Madiun? Waduh, baru ingat, hari ini, anak2 Tiara mau ngerayain ultah saya. Saya langsung angkat telepon ke Dharnoto selaku Event Organizernya, sembari agak kesel, kok tidak ada konfirmasi padahal hari ini saya rencana mau ke Bandung... Beliau cuma tertawa: Waduh sori... saya juga lupa. Tapi jalan terus saja. Kasihan yang sudah datang. Ini aku OTW (on the way)," kata dia. Singkatnya, kita ketemuan di DCost, Serpong, karena Pecel Madiun ternyata sudah di booked orang hajatan, sementara tempat lain yang siap menerima 20 tamu tidak ada.
Hadir antara lain: Victor Manahara, Ali Asim, Widya dan suami Coki, Mbak Ria Prabowo, Susanti Harini, Fit Yanuar, Herry Barus (yang datang bersama anaknya), Rismuji, Gusniar, Didik Setio Edi, Adlisal Rivai dll...... Wah, mengharukan, kita kumpul2 lagi setelah Tiara bubar.
Selama Desember, saya dengar Dharnoto sudah E Pendi (singkatan Pensiun Dini karena kaget, kadi pakai E). Saat itu juga saya baru tahu Mas Roy Watimena juga sudah pensiun, tapi alami karena usia. Tak lama kemudian saya dengar kabar, Yongki Dawanas juga E Pensiun Dini juga. Oya, Victor Manahara juga sudah beberapa sebelumnya mengundurkan diri dari Gramedia atas permintaan sendiri.
Dan pada tanggal 27 Desember, seperti biasa, kami ke Bandung, liburan akhir tahun untuk songsong tahun baru. Hari pertama ketemu Victor dan nyonya di sebuah FO di Dago, yang sedang kasih diskon 50 %. Alhasil waktu ketemu, dia menyampaikan info ada juga FO di Kebon Kawung yang lagi kasih diskon. Hahaha....Begitulah, kami melewatkan tahun 2008 di Bandung, dan mencicipi udara tahun 2009 di Bandung. Berita buruknya: saya dua kali makan kepiting. Yang pertama, kepiting saus padang dan yang kedua kepiting saus tiram. Kolesterolnya, alamak. Istri saya angkat tangan dan cuma berkata: Sudahlah, itung2 menikmati hidup di akhir tahun....
Tanggal 2 Januari kami pulang.
Tanggal 3 saya nengok kebun di Desa Sukamanah, Tiga Raksa, melihat tanaman alpokat yang saya tanam di sana.
Tampilkan postingan dengan label Gusniar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gusniar. Tampilkan semua postingan
11 Januari 2009
Dari Menstruasi sampai Kepiting Kolesterol
Index:
Ayi,
Dharnoto,
Diary,
Ela,
Gusniar,
Herry Barus,
Maria Nurani,
Victor Manahara
28 Mei 2008
Sebidang Tanah di Desa Sukamanah


Sekitar bulan Februari 2008, teman saya Gusniar 'pamer' bahwa dia baru saja beli sebidang tanah seluas 1500 meter persegi di daerah Parung Panjang. Nama Parung Panjang bukan nama asing bagi saya selaku warga Banten. Jaraknya, katanya 22 kilometer dari Gading Serpong menuju ke arah Tigaraksa, kantor Wakil Bupati Tangerang Rano Karno dan Bupati Ismet. Jadi, atas dasar jiwa solider sekaligus untuk menyenangkan hatinya, saya nebeng mobil Avansanya ke sana.
Setelah berbelok ke kanan ke kiri, setelah hampir 1 jam perjalanan, sampailah kami di sebuah lokasi. Namanya Desa Sukamanah. Gusniar yang jenggot dan cambangnya mirip Yesus itu lantas turun di pinggir jalan, dengan gaya petentengan, dan menuding, "Tuh, pak, tanah saya. Dari jalan, ke situ, turun sampai ke bawah."
Wow, sebuah tanah persawahan, dari atas berundak-undak ke bawah. Terasiring. Dia berjongkok, menggenggam tanah. "Lihat nih pak, tanahnya bagus. Hitem," katanya lagi
Saya menebarkan pandangan ke seantero penjuru. Luas tak terkira.
Arkian, saya pun tergoda. Ketika mobil mau balik pulang saya lihat ada tanah dalam posisi di huk, menghadap dua jalan raya,. Halamannya teduh, karena banyak pohon kayu tumbuh di dalamnya. Mobil langsung saya setop. "Kalau ini saya mau nih, pak, kalau murah," kata saya iseng.
Gusniar langsung angkat HP. Seseorang datang dengan motor. Mereka kasak-kusuk. Lalu balik ke saya, "dia minta 25, pak. 25 rebu semeter. Ada 1.300 meter persegi."
Saya jawab sekenanya, "Kalau 20 rebu, oke, saya nggak banyak cingcong.
Hari itu juga saya dipertemukan dengan pemiliknya, Pak Pulung namanya. Kepada sang pemilik saya ulangi pernyataan saya. Saya paling tekankankan, bahwa tentu kalau ada jodoh. Karena menurut saya, jual beli tanah itu tidak mudah. Pemilik butuh uang pun belum tentu ada yang mau beli, sementara kita butuh, belum tentu ada yang mau menjual. Saya tekankan lagi, bahwa saya dalam posisi butuh-tidak-butuh. "Jadi, kalau 20 rebu oke, saya langsung bayar. Bagaimana?"
Pak Pulung minta pikir-pikir dulu, dan mau bermusyawarah dahulu dengan keluarganya.
Lusanya, dia pengen ketemu saya. Malam2 kami ketemu di lapak Gusniar. Dia tunjukkan bukti pembayaran PBB, fotokopi akta tanah, dan berkas-berkas lain. Saya lihat sepintasan saja sekadar basa-basi. "Jadi bagaimana, pak, boleh" tanya saya.
"Kalau di bawah 25 tidak bisa, pak"
"Ya sudah," kata saya cuek.
"Saya paling bisa kasih harga 24 saja."
"Ya sudah kalau begitu. Saya maunya 20."
Karena sampai kami pisah tidak ada kejelasan, perkara itu saya anggap sudah selesai. Case closed. Saya tidak mau membuka kasus itu lagi.
Tapi beberapa hari kemudian, ada lagi yang menemui saya. Namanya Pak Andok. Dia punya tanah seluas sekitar 1300 meter persegi juga, tak jauh dari tanah Pak Pulung. Tanah itu juga ada di huk, persis di jalan raya. Seperti kepada Pak Pulung saya ulangi kata2 saya, "kalau 20rebu per meter saya nggak lihat deh, saya langsung bayar, percaya saja."
Karena Pak Andok lagi BU untuk beli Pik Up, dia langsung oke. Saya bayar beberapa hari kemudian setelah surat jadi.
Jadi saya akan jadi tetangga Gusniar. Begitulah............ Adapun foto tanah tersebut, bisa dilihat di atas. Yang gondrong krempeng dan berbaju kuning itulah Gusniar, kawan saya itu.***
Setelah berbelok ke kanan ke kiri, setelah hampir 1 jam perjalanan, sampailah kami di sebuah lokasi. Namanya Desa Sukamanah. Gusniar yang jenggot dan cambangnya mirip Yesus itu lantas turun di pinggir jalan, dengan gaya petentengan, dan menuding, "Tuh, pak, tanah saya. Dari jalan, ke situ, turun sampai ke bawah."
Wow, sebuah tanah persawahan, dari atas berundak-undak ke bawah. Terasiring. Dia berjongkok, menggenggam tanah. "Lihat nih pak, tanahnya bagus. Hitem," katanya lagi
Saya menebarkan pandangan ke seantero penjuru. Luas tak terkira.
Arkian, saya pun tergoda. Ketika mobil mau balik pulang saya lihat ada tanah dalam posisi di huk, menghadap dua jalan raya,. Halamannya teduh, karena banyak pohon kayu tumbuh di dalamnya. Mobil langsung saya setop. "Kalau ini saya mau nih, pak, kalau murah," kata saya iseng.
Gusniar langsung angkat HP. Seseorang datang dengan motor. Mereka kasak-kusuk. Lalu balik ke saya, "dia minta 25, pak. 25 rebu semeter. Ada 1.300 meter persegi."
Saya jawab sekenanya, "Kalau 20 rebu, oke, saya nggak banyak cingcong.
Hari itu juga saya dipertemukan dengan pemiliknya, Pak Pulung namanya. Kepada sang pemilik saya ulangi pernyataan saya. Saya paling tekankankan, bahwa tentu kalau ada jodoh. Karena menurut saya, jual beli tanah itu tidak mudah. Pemilik butuh uang pun belum tentu ada yang mau beli, sementara kita butuh, belum tentu ada yang mau menjual. Saya tekankan lagi, bahwa saya dalam posisi butuh-tidak-butuh. "Jadi, kalau 20 rebu oke, saya langsung bayar. Bagaimana?"
Pak Pulung minta pikir-pikir dulu, dan mau bermusyawarah dahulu dengan keluarganya.
Lusanya, dia pengen ketemu saya. Malam2 kami ketemu di lapak Gusniar. Dia tunjukkan bukti pembayaran PBB, fotokopi akta tanah, dan berkas-berkas lain. Saya lihat sepintasan saja sekadar basa-basi. "Jadi bagaimana, pak, boleh" tanya saya.
"Kalau di bawah 25 tidak bisa, pak"
"Ya sudah," kata saya cuek.
"Saya paling bisa kasih harga 24 saja."
"Ya sudah kalau begitu. Saya maunya 20."
Karena sampai kami pisah tidak ada kejelasan, perkara itu saya anggap sudah selesai. Case closed. Saya tidak mau membuka kasus itu lagi.
Tapi beberapa hari kemudian, ada lagi yang menemui saya. Namanya Pak Andok. Dia punya tanah seluas sekitar 1300 meter persegi juga, tak jauh dari tanah Pak Pulung. Tanah itu juga ada di huk, persis di jalan raya. Seperti kepada Pak Pulung saya ulangi kata2 saya, "kalau 20rebu per meter saya nggak lihat deh, saya langsung bayar, percaya saja."
Karena Pak Andok lagi BU untuk beli Pik Up, dia langsung oke. Saya bayar beberapa hari kemudian setelah surat jadi.
Jadi saya akan jadi tetangga Gusniar. Begitulah............ Adapun foto tanah tersebut, bisa dilihat di atas. Yang gondrong krempeng dan berbaju kuning itulah Gusniar, kawan saya itu.***
Index:
Diary,
Gusniar,
Kebun Cibinong
Langganan:
Postingan (Atom)