Tampilkan postingan dengan label Pipiet Senja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pipiet Senja. Tampilkan semua postingan

20 Desember 2007

Lazuardi Adi Sage Yang Kukenal

(Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan saya sebelumnya tentang teman saya Lazuardi Adi Sage. Hari ini gelap dua bulan, sahabat saya pergi. )

Tahun 1977. Kampus Sekolah Tinggi Publisistik, Jalan Kramat Raya, Jakarta, sore hari. Seorang pemuda gondrong, kucel tapi berwajah tampan (terus terang saya susah mencari pilihan kata yang tepat selain kata ini karena menurut saya dia tidak jelek2 amat) mencari saya dan ingin berkenalan. Sebagai anak udik yang sedang kuliah di ibukota, tentu saja saya senang menyambut perkenalannya. Dia menjabat tangan saya. Disebutkan namanya. Terus terang sebagai sesama penulis puisi, nama pemuda itu bukan nama asing bagi saya. Lazuardi Adi Sage adalah penulis puisi dan penulis kronik (berita-berita kesenian) yang rajin. Cuma, sebagai penyair --hehehe---- kelas Las, --begitu pikiran saya kala itu-- masih berada di bawah level penyair muda sekaliber Adri Darmadji, Yudhistira, B Priyono dkk. Cuma kelebihannya, Las punya Kolase Klik. (Waktu itu, hampir semua penyair rasa2nya punya semacam 'sanggar'. Kalau Las punya Kolase Klik, seingat saya almarhum Syarifuddin Ach punya Sanggar Roda Pedati, almarhum Sutjahjono R punya SanggarPrakarya dlsb.). Saya, seperti teman2nya, memanggilnya, 'Las' dengan lafal bukan "z". (Las, kependekan dari Lazuardi, tapi juga akronim dari namanya, Lazuardi Adi Sage.)

Karena orangnya enak, kami cepat berteman, dan tak hanya itu kami dengan segera menjadi sahabat. Misalnya, kami suka bolos rame2, pergi ke TIM, nonton teater atau pameran lukisan. Saya suka juga diajak ke rumahnya di daerah Karet, tepatnya Gang Haji Jalil.

Di Karet, ia tinggal bersama ibu, kakak perempuan satu2nya dan keempat adik lelakinya. Di situ saya tahu, ia dibesarkan dan dididik ibunya, karena ayahnya bercerai. (Tentang ayahnya, Las tak banyak bercerita, dan tampaknya tak terlalu antusias jika pembicaraan kami nyerempet2 ke sana.)

Ibunya senang kaktus. Pada suatu hari, karena saya menyukainya, beliau memberinya satu pot untuk saya. "Ini untuk Kurniawan," katanya. Sering saya diajak ngobrol ibunya. Dengan kakak perempuannya saya juga akrab. Adik2nya apalagi. Mereka memanggil saya, "Bang Kur".

Tidak jarang saya disuruh tidur di kamar Las. Makan. Mandi. Pokoknya, saya dekat dengan Las dan keluarganya. Sebaliknya, Las juga dekat dengan keluarga saya. Ibu saya kenal dengan Las, suka ngobrol2. Ayah saya kenal baik. Seperti saya suka menyambangi rumahnya, Las juga suka mampir ke rumah kontrakan saya di Ciledug yang berdinding rumbia dan berlantai tanah. Di situ, dia betah berlama-lama.

Waktu saya pindah kontrak ke Jalan Kemandoran, Grogol Utara, dia suka naik sepeda motor datang ke rumah saya. Waktu saya bisa naik motor, saya juga suka ke rumahnya. Makan di warung2 sederhana di dekat rumahnya. Atau yang paling saya ingat, ketika dia mengajak saya makan di sebuah warung di pojok daerah Bendungan Hilir. Rupanya, saya diajak makan sop tulang. Entang tulang apa. Yang jelas, kami disuguhi semangkok kuah dan tulang belulang. Dia makan lahap, seperti sudah berpengalaman makan di situ, sedang saya kikuk karena tidak terbiasa. Sampai sekarang, makan sop tulang itu saya kenang sebagai sebuah kenangan manis bersama Las.

Saat itu saya bekerja sebagai wartawan majalah keluarga Dewi, dan kebetulan saya dikirim ke Palembang karena ada Festival Film di sana. Ternyata Las ikut. Karena ssaya tidak termasuk wartawan terdaftar, saya dan Las naik kapal laut. Dari Lampung kami naik sepur ke Palembang. Itu juga pengalaman mengesankan bersama Las.

Waktu saya bekerja di Majalah Intan dengan penulis Harry Tjahjono, pada awal tahun 1980-an Las juga saya ajak ikut bergabung. Kami sempat menugaskan diri pergi ke Banjarnegara, untuk meliput Ebiet G Ade (meskipun gagal) dan bersama2 kami jadi juri lomba baca puisi di Purwokerto.

Tak bisa dipungkiri hubungan saya dengan Las sangat akrab. Terbukti, tak seperti teman-teman lain di STP yang memanggil saya dengan, 'Kur', maka Las memanggil saya, 'Jun', seperti keluarga dan teman2 dekat saya.

Tentang namanya pun saya tahu ikhwalnya. Nama Lazuardi Adi Sage adalah nama samaran, bukan nama asli. Nama aslinya, Adi Mahyudin. Nama Mahyudin diambil dari nama ayahnya. Di rumah, ibu, kakak perempuannya dan adik-adiknya selalu memanggil Adi, atau Bang Adi.

Kalau nama Adi Mahyudin jadi nama Lazuardi Adi Sage, tentu ada ceritanya. Spekulasi saya: Las seperti teman2 seniman lain, kala itu paling senang dengan kata2 semacam, horizon, kakilangit, lazuardi dan hal2 semacamnya yang dikatakan sangat asosiatif. Jadi, boleh jadi, Las kemudian memilihnya sebagai nama depannya. Tentang Sage, alasannya agak konyol, atau istilah anak2 zaman sekarang, garing. Kata Las, itu kependekan dari gabungan dua zodiac, Sagitarius dan Gemini. Sagitarius adalah zodiaknya, sedang Gemini adalah zodiac pacar pertamanya.

Sebagai sastrawan muda, Las menonjol bakat kepemimpinannya, dan banyak ide2nya. Pada tahun 1978, misalnya, bersama saya dan penyair Wahyu Wibowo, Las mendirikan Bengkel Sastra Ibukota. Markasnya, di Gelanggang Remaja Kuningan, Jakarta. Karena waktu itu Jakarta tidak macet seperti sekarang, kami pun sering reriungan di situ secara periodik, ngobrol masalah kesusastraan. Seingat saya, yang datang ke situ, antara lain, Pipiet Senja, Yulius Yusijaya, Adek Alwi, Salimi Achmad, Hendry CH Bangun dan istrinya, dll.

Sebagai sesama penyair, kami berdua juga sering membuat dan menerbitkan antologi, atau buku kumpulan puisi bersama. Tapi kalau boleh jujur, menurut saya, puisi2nya tidak terlalu luar biasa. Karena meski hatinya puitis, kenapa pilihan kata2 dan idiom2nya kasar? Ada yang berpendapat, ini mencerminkan jiwanya yang bergolak. Mungkin saja. Toh saya tak bisa menyembunyikan perasaan untuk sering mengkritik puisi2nya. Seperti biasa, Las berkelit dan membalas mengejek puisi saya. Saya tak bisa menyembunyikan kesan, dia memang seperti anak kecil kalau berdebat dengan saya. Umpama, soal nama asli tadi, dia selalu, 'mengancam' saya untuk menyelidiki siapa nama asli saya, karena kata dia, nama saya adalah nama samaran juga. Tentu saja, itu dikatakannya sambil terbahak-bahak.

Beberapa kali dia merasa 'terkalah'kan oleh saya, dan berkali-kali pula dia mengatakan, dia akan 'mengalah'kan saya. Padahal saya tidak pernah merasa bersaing dengan dia. Saya kira, ini memang sisi jeleknya dalam hubungan karib saya dengan dia.