Tampilkan postingan dengan label Opera Sabun Colek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opera Sabun Colek. Tampilkan semua postingan

21 September 2014

MINGGU BERSAMA KURNIAWAN JUNAEDHIE


Jangan salah paham dulu. Aku memang menghabiskan hari minggu ini bersama Kurniawan Junaedhie, yang panggilan sayangnya KJ, tapi dengan membaca karya-karyanya. Dua kumpulan puisi, masing-masing "Perempuan Dalam Secangkir Kopi," dan "Sepasang Bibir Di Dalam Cangkir," serta satu kumpulan cerpen "Opera Sabun Colek." Terima kasih kirimannya, mas Jun. 

Sebagai penyair dan penulis mumpuni, KJ mencoretkan apa pun ide yang ada dalam kepalanya dengan santai, tanpa beban, dan lugas. Seluruhnya ia kemas tanpa banyak kosmetik, dan itu membuat aku sebagai pembaca merasa langsung intim tak berjarak. Mungkin kalau boleh kutambahkan, juga sangat maskulin. Selalu nampak ciri yang membedakan pada produk tulisan lelaki dan perempuan. 

Seperti di alam nyata, sifat lelaki yang simpel, akan juga tercermin dalam karyanya. Sebagaimana yang terjadi pada karya seorang perempuan yang jiwa dan susunan kimiawi tubuhnya lebih complicated (hahaha), maka bagaimanapun disembunyikannya, kesan complicated itu tetap akan merefleksi dalam tulisan. Tentu saja dalam beberapa kasus ada pengecualian. 

Aku yakin, KJ tidak bermaksud melucu dalam karya-karyanya, tapi entah kenapa aku berulang kali tertawa. Bukan karena isinya bersifat dagelan, tapi karena ia kerap kali dengan pas memindahkan situasi keseharian banyak orang dalam cerita yang diangkatnya. Sehingga boleh jadi, ketika tertawa, aku menertawakan diri sendiri. 

Seperti waktu membaca cerpen "Ingin Meninggalkan Susan Selamanya," aku merasa mas Jun mencubitku. Aku merasa Susan itu aku, atau representasi banyak perempuan lain, yaitu perempuan yang ketika sedang cemburu ingin dipahami dan dimengerti. Karna kecemburuan perempuan bukanlah kejahatan, sehingga harus dimarahi. Bukan refleksi rasa tak percaya, tapi...ah sudah ah. Hehehe

Mas Jun, puisi2nya juga hmm....sedap.

Thank you so much. Ketiga buku sdh habis kubaca seharian. Teruslah menulis, mas Jun. (Ewith Bahar)


https://www.facebook.com/photo.php?fbid=729077453794916&set=a.195050870530913.35583.100000780037197&type=1&theater

02 Januari 2014

OPERA SABUN COLEK : CERPEN YANG MENGHIBUR DAN MENCERDASKAN

27 Desember 2013 pukul 23:38

Oleh : Esti Ismawati

Opera Sabun Colek merupakan buku kumpulan 12 cerpen karya Kurniawan Junaedhie (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2011) yang bercerita tentang kehidupan di kota besar, yang ditulis dengan gaya lugas dan cerdas. Cerpen-cerpen ini layak diapresiasi di tengah sumpeknya kehidupan dunia karena dililit persoalan-persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan hankam yang tiada habisnya. Sebagai salah satu bentuk cipta sastra, cerpen-cerpen Kurniawan Junaedhie yang terkumpul dalam Opera Sabun Colek ini tentu mendukung fungsi sastra pada umumnya, yakni dulce et utile, indah dan bermakna. Indah karena bahasa yang digunakan dalam cerpen-cerpen ini segar, enteng, lucu, dengan ungkapan-ungkapan spontanitas yang gaul; bermakna karena isi atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menyangkut esensi kehidupan bersama dalam sebuah keluarga, meski dengan cara penyampaian yang santai (justru dengan cara seperti inilah nilai-nilai itu tanpa disadari telah masuk ke dalam alam bawah sadar pembaca dengan sendirinya tanpa merasa digurui). Hidup yang memang realitanya berat, disikapi dengan santai dan enteng dalam cerpen ini.

Banyak hal yang dapat ditelaah dari cerpen-cerpen Kurniawan Junaedhie ini, misalnya settingnya, penokohannya, alurnya, gaya penceritaannya, temanya, bagian-bagian ceritanya, kesan umumnya, dan seterusnya, tetapi yang sangat menarik dari semua itu adalah tokohnya. Tiga kali membaca cerpen-cerpen ini saya mendapatkan kesegaran jiwa yang betul-betul mengesankan karena keunikan dan kekocakan tokoh-tokohnya, teristimewa tokoh aku. Setiap mengingat tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen ini saya tersenyum sendiri, betapa piawai pengarang cerpen ini mengimajinasikan tokoh ciptaannya yang begitu lucu, unik, penuh kejutan, dan tak terduga. Kadang romantis, kritis, rindu kebebasan, penuh perjuangan, tetapi tak kurang tokoh-tokoh itu kadang-kadang nyeleneh, luweh-luweh, cuek bybeh, santai dalam menanggapi persoalan hidup, dan masih ada lagi tokoh unik lainnya, misalnya tokoh yang bisa berkomunikasi dengan alam gaib...seperti tak pernah kering imajinasi dan kreativitasnya.


Menurut Herman J Waluyo (2011) jo Tarigan (1984) ciri utama cerpen adalah singkat, padu, dan ringkas (brevity, unity, intensity); memiliki unsur berupa adegan, tokoh, dan gerakan (scene, character, and action); bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, and alert); mengandung impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan; memberikan efek tunggal dalam pikiran pembaca; mengandung detil dan insiden yang betul-betul terpilih; ada pelaku utama yang benar-benar menonjol dalam cerita; dan menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi. Apa yang diteorikan di atas sudah ter-realisasikan  dalam cerpen-cerpen Opera Sabun Colek ini. Marilah saya ajak pembaca untuk menguliti beberapa cerpen di dalamnya. (Tentu lebih puas jika pembaca menikmati langsung cerpennya, karena bisa tersenyum-senyum membayangkan perilaku tokoh aku dalam beberapa cerpen di sini).

Ketika saya membaca cerpen “Suatu Hari Ingin Meninggalkan Susan”, yang terekam dalam ingatan saya adalah sepasang suami isteri yang masing-masing mempunyai character berlainan namun saling mencintai. Sang suami, tokoh ‘aku’ merasa sudah banyak beban kerjanya tetapi selalu saja direcoki oleh urusan isteri yang remeh temeh, dicemburui, dicueki, sampai akhirnya ingin meninggalkan isterinya untuk selama-lamanya. Di luar dugaan, sang isteri sangat santai menanggapinya, bahkan dengan enteng mempersilahkan si aku untuk menuruti keinginannya. Dan setelah direnung-renungkan, si aku ternyata tak mampu meninggalkan isterinya, bahkan ingin mengajaknya ke ujung dunia..

“Menyadari resiko berpisah dengan isterinya, si aku mengatakan, “Tunggu. Lupakan ucapan-ucapanku yang tadi. Yang benar, aku mencintaimu. Sangat. Dan karena takut isterinya terlanjur ngambek, si aku segera menelponnya. Sambil menunggu telepon diangkat, si aku merasa menyesal sungguh-sungguh. Kenapa aku harus meninggalkannya?. Kenapa aku pergi tanpa mengajaknya?. Kenapa aku pergi tak memberi tahu sebelumnya? Kenapa aku harus berpisah dengannya?. Gila. Mestinya semalam aku bilang, besok kita jalan yuk. Ke Kroya. Ke korea. Ke Kairo. Ah itu pasti sebuah kejutan baginya....”

Cerpen lain, berjudul “Hidup ini Indah”, juga menampilkan tokoh yang unik. Si aku ingin membunuh isterinya dengan senapan, namun senapan itu justru yang membuat mereka berdua berpelukan erat karena ketika menyalak tetangganya gempar dan si isteri rupa-rupanya tidak mau berurusan dengan parapihak, maka seolah tak terjadi sesuatu, mereka berpelukan erat. Cerpen “Opera Jakarta” juga menmapilkan tokoh yang unik, bahkan absurd. Seorang pejabat yang sudah mati terbunuh tetapi masih bisa berkata-kata dan membayangkan apa yang sedang dialaminya. Di cerpen ini liku-liku kerja wartawan dipaparkan. Bagaimana seharusnya mewawancara yang baik. Bagaimana menghadapi masalah-masalah yang tiba-tiba, dan seterusnya. Dalam cerpen “Perempuan Beraroma Melati” mengisahkan betapa susah dan sulitnya mendapatkan hak sehat, hak pelayanan kesehatan yang layak, hak dimanusiakan sebagai manusia. Di cerpen ini kita juga disuguhi bagaimana beratnya beban psikhologis jika menghadapi kematian orang-orang yang kita cintai. Dalam cerpen “Kita Tidak Berjodoh, Sayang” pembaca disuguhi kisah menarik. Intinya, hidup tak perlu didramatisir.

Semua cerpen menyuguhkan cerita yang menarik, yang mengandung pesan kuat bahwa hidup ini tidak perlu disikapi dengan ekstrim-ekstriman. Antara suami isteri tidak perlu saling mencampuri urusan masing-masing, karena persoalan yang kecil sekalipun dapat menjadi penyebab pertengkaran. Lebih elok jika saling mendukung, tanpa mendominasi satu sama lain. Tidak perlu over protektif karena sesungguhnya alam sudah menyediakan segala kemungkinan yang saling terkait dengan sebab dan akibat. Hidup itu sendiri sudah suntuk dan kita perlu mengubahnya menjadi indah tur wangi dengan kreativitas kita. Inilah antara lain nilai-nilai yang dapat dipetik dari cerpen-cerpen Kurniawan Junaedhie yang berjudulOpera Sabun Colek. Disampaikan dengan gaya kocak, bahasa yang segar, dengan ungkapan-ungkapan gaul khas anak muada yang membikin kita awet muda.

Saya teringat kisah kawan saya yang kuliah di Jerman. Katanya, ibu-ibu di Jerman, jika belanja di pasar pasti membeli buku yang akan disantap setelah makan siang atau makan malam. Setiap belanja makanan, tidak lupa menyelipkan satu buku yang akan dibaca setetah makan. Buku-buku seperti Opera Sabun Colek inilah kiranya yang layak dibeli untuk dibaca oleh para ibu untuk keluarga mereka seteleh makan, karena buku seperti ini enak dibaca dan langsung menumbuhkan imajinasi baru yang berguna bagi penyegaran rohani kita setelah suntuk dalam dunia kerja. Opera Sabun Colek sungguh-sungguh menghibur dan mencerdaskan.


Klaten, 27 Desember 2013

Esti Ismawati.     

10 Maret 2012

Dunia yang Konyol ala Kurniawan Junaedhie


-- Rohyati Sofyan

SETIAP pengarang berhak menentukan cerita sesuai alur yang bermain dalam benaknya. Dan Kurniawan Junaedhie (KJ) pun tahu itu. Ia piawai memainkan alur cerita menjadi sesuatu yang konyol, aneh, absurd, surealis, sekaligus logis dalam dunia yang memang sudah jungkir balik. Ia menjungkirbalikkan realita dalam fiksinya yang sarat kejutan hingga layak ditertawakan sekaligus direnungkan. Ada begitu banyak satir terang-terangan.

Seno Gumira Adjidarma menulis dalam kata pengantarnya, Saya kira KJ telah menulis ceritanya dengan sangat santai dan bebas, tidak mengejan dan ceritanya tidak dibagus-bagusin. Tidak ada kompleks beban karya besar dalam cerita-ceritanya, tetapi justru dalam semangat produktif tanpa beban itulah pembaca akan tersentak dan terkejutkan oleh keajaiban. Ya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun keajaiban bukanlah sesuatu yang asing, tetapi hanya fiksi berpeluang menyampaikannya dengan tuntas (hal 5).

Apakah Anda sudah jenuh dengan realitas sehari-hari dalam hidup yang sebenarnya sering konyol cuma kelewat dibebani keseriusan? Kurniawan Junaedhie dengan serius mencipta tokoh laku-pikir yang mengejek pembaca untuk cengengesan. Itu jika mereka masih punya selera humor di sudut terdalam lubang hitam jiwanya.

Dari judul bukunya saja kita bisa menerka, KJ senang bermain plesetan kata sekaligus peristiwa. Opera sabun (soap opera) dulunya kata itu populer di tahun 1980-an, lewat acara televisi macam Dallas atau Dinasty. Itu untuk cerita intrik berlarat-larat. Zaman sekarang istilah opera sabun seolah raib dari rimba kehidupan, tergantikan istilah macam-macam yang sedang tren sesuai musim berbangsa dan bernegara di Indonesia.

KJ mungkin sedang membayangkan runyamnya peristiwa yang biasa digembar-gemborkan media massa seolah menjadi gawat, adalah opera sabun yang asyik untuk diimajinasikan. Kasus mayat dalam koper, yang dimutilasi, tidak dibidik KJ dari angle mengerikan, sebaliknya ia membidik hal lain, tokoh-tokoh di sekitar kematian Juni Kurniawan (JK), artis muda berbakat, sahibul yang dimutilasi dalam cerpen "Opera Sabun Colek".

Alkisah, seorang wanita muda menjadi korban mutilasi di Ragunan. Potongan tubuh korban ditemukan hanya 5 meter dari Jalan Raya Kebagusan, Jakarta Selatan. Potongan tubuh pertama yang berisi potongan tubuh dan kaki terbungkus travel bag hitam ditemukan di samping SDN Ragunan 14 Pagi.

Sementara itu, di lokasi kedua, di kebun yang ada di seberang lokasi pertama ditemukan potongan kepala dan badan. Tidak ditemukan identitas apa pun di lokasi penemuan potongan tubuh kecuali celana jeans biru dan kaus merah. Menilik cara pembunuhan dan cara memotong mayat, si pembunuh bukan orang sembarangan. Kalau tidak memiliki IQ tinggi, jelas dia adalah orang yang cerdik seperti kancil. Dan yang mengejutkan, berdasarkan hasil visum et revertum, korban diketahui tengah berbadan dua. Lalu yang membuat saya sempat tidak bisa tidur, korbannya adalah JK. Bagi berita biasa, hal itu niscaya tak akan membayangkan tokoh sial, yang kali ini jadi aku-tokoh utama, sebaliknya media akan merekam apa yang ada di sekitar korban dengan penuh spekulasi.

Terlalu gegabah jika tak bermain investigasi dulu. KJ lain lagi, dengan enteng ia bermain spekulasi, namun dengan tokoh-sial yang berkarakter unik, ia dijadikan tersangka karena memiliki keterkaitan dengan korban JK hanya sebagai seseorang yang mengenalnya begitu saja, padahal sudah divasektomi jadi tak mungkin bisa menghamili JK. Dunia fiksi dibiarkan KJ berkecambah liar, penuh berbagai kemungkinan yang mengejutkan, namun tidak menutup kemungkinan nyata adanya.

KJ tidak sekadar menulis cerpen, ia membiarkan dirinya disandera tokoh-tokoh dalam cerpennya yang melompat-lompat dalam berbagai alur peristiwa. Tokoh utama macam aku-tokoh tidak melulu orang baik atau cerdas, ia begitu manusiawi, menjadi dungu sekaligus bajingan. Begitu pun tokoh diaan, tak ada bedanya. Seperti seorang pemuda yang lolos jadi anggota parlemen padahal latar belakangnya adalah preman pasar yang sudah pernah membunuh orang "Seorang Pemuda Berambut Gondrong".

Terpilih menjadi hero hanya karena pernah dikeroyok 10 orang hingga babak belur namun tidak keder. Itu ironi adanya berbagai partai gombal. Sebaliknya pemuda itu, Joko Bodo, sama sekali tak peduli dengan keriuhan di dalam rumahnya yang sedang hajat besar, sibuk merayakan kemenangannya oleh orang-orang yang merasa berkepentingan, asyik cengengesan dengan HP-nya. Apa jadinya jika negara kita dipimpin preman? Namun nyata adanya seperti yang sering diberitakan di maedia massa tentang anggota partai yang masuk parlemen. Beginilah Indonesia Raya. Indah dan penuh duka.

Disadari atau tidak, gaya penulisan Kurniawan Junaedhie cenderung antihero. Ia membidik berbagai peristiwa, tokoh-tokohnya tidak sekadar boneka pengarang. Manifestasi yang menarik karena realitas sendiri sering tumpang tindih, antara kebenaran dengan rekayasa. KJ dengan pengalamannya sebagai jurnalis, mau tidak mau memengaruhi gaya berceritanya.

Ada kekuatan dari 12 cerpennya. Ia tidak cuma piawai memainkan alur pikir dan rasa tokoh-tokohnya, latar tak diabaikannya sebagai penunjang cerita. Ada parodi sekaligus kepahitan, ada misteri sekaligus sensualitas. Antitesisnya, tugas pengarang tidak cuma menuliskan kebohongan menjadi kebenaran, seperti yang ditulis KJ dalam "Pengarang yang Disandera Tokoh Cerpennya".

Maka, membaca kumcer Opera Sabun Colek, kita akan menyaksikan sahibul hikayat riwayat yang tak sekadar dibaca untuk tamat, ada kenang yang akan menggenang.***

Limbangan, Garut, Februari 2012

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 3 Maret 2012

07 November 2010

Pengarang Yang Disandera Tokoh Cerpennya

.

Cerpen: Kurniawan Junaedhie
DIMUAT DI JURNAL NASIONAL 7 NOVEMBER 2010


Ruangan itu dingin temaram. Baunya aneh, mengesankan bahwa rumah itu sudah lama tidak berpenghuni. Hanya ada terang dari tungku pembakaran yang merah menyala berkobar-kobar. Mengingat suhu yang dingin, ditambah ada tungku pembakaran, aku sempat berpikir, apakah aku sedang berada di sebuah rumah di sebuah negeri semacam Amsterdam, Oostende, Paris, Stuttgart, Brussels, atau Manhattan, New York? Nama-nama kota yang sesungguhnya hanya kutahu dari sajak-sajak para penyair Indonesia. Anehnya, aku juga merasa seperti berada dalam sebuah tempat di mana tinggal makhluk-makhluk aneh seperti yang digambarkan Lewis Carrol dalam Alice in Wonderland.

Begitulah. Dalam cerita ini, dikisahkan aku telah dibawa ke rumah itu oleh tokoh perempuan dalam salah satu cerpenku. Padahal beberapa menit lalu, aku masih asyik bekerja di ruang kerjaku. Tiba-tiba perempuan itu muncul, mengerdipkan mata, dan --seperti dihipnotis,-- aku patuh saja pada perintahnya untuk membuka garasi, menyalakan mobil, menjalankannya, menutup pintu garasi, dan meninggalkan rumah. Padahal aku yakin, saat itu aku sedang tidak bermimpi sambil berjalan atau noctabulism*). Karena kalau aku mengalami somnambulism*) , seharusnya ada yang melihatku, dan mencegahku. Nyatanya tidak. Jadi ini sebuah cerita yang sungguh mustahil, absurd dan tidak masuk akal sama sekali seperti cerita-cerita rekaan Kafka.

Di dalam ruangan itu juga ada lampu gantung yang bergoyang-goyang. Hanya sinarnya lemah, kalah oleh benderang tungku perapian. Sehingga sempat pula aku membayangkan bahwa tempat ini semacam Kastil Neuschwanstein, yang letaknya di bukit dekat Hohenschwangau di selatan Bavaria, Jerman. Atau paling tidak aku merasa sedang berada di sebuah rumah bergaya gotik (kalau istilah ini benar). Ini juga mengherankan. Aku tidak pernah membuat cerita dengan setting seperti ini.

Sebagai pengarang, aku dikenal tidak pandai melukiskan rumah-rumah yang sophisticated, karena aku bukan dari kalangan itu. Jadi itulah nasibku. Akibat ketidakbecusanku menulis cerita-cerita glamor (seperti novel pop, novel metro pop), sains fiksi dan sejenisnya, maka aku hanya bisa menulis cerita tentang cinta yang abstrak dan tentang perempuan, dua hal yang siapa pun bisa melakukannya, apalagi karena semua itu dengan setting kemiskinan, sesuai kemampuanku.

Aku jelas bukan pengarang sekaliber Budi Darma yang bisa menulis Orang-Orang Blomingtoon, atau Umar Kayam yang menulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, atau Sitor Situmorangyang menulis Paris La Nuit. Aku bukan jenis pengarang yang bisa menulis tentang salju, musim gugur, atau karpet Parsi seperti Goenawan Mohamad. Aku sendiri sebetulnya tak yakin benar, apakah kalau berada di luar negeri maka ilham akan bermunculan dan kata-kata berhamburan seperti salju? Aku tidak berani mengira-ira. Yang jelas, aku hanya bisa memeras-meras daya khayalku agar bisa menuliskan kebohongan menjadi kebenaran. Hanya itu tugasku, dan inilah hasilnya.

****

Bunyi sepatu yang dipakai perempuan itu menyadarkanku bahwa saat itu aku tidak sendirian. Dibantu tempias cahaya dari perapian dan lampu gantung, samar-samar aku menangkap sosoknya. Perempuan itu hadir persis seperti tokoh yang kugambarkan dalam salah satu cerpenku: tinggi semampai, cantik, tubuhnya padat, dadanya membusung, berambut panjang dan umurnya 37 tahun. Mirip Ken Dedes.

Karena dia diam, dan aku tak sabar menunggu, maka akulah yang memulai percakapan.

“Apa yang akan kamu katakan sehingga membawaku ke tempat ini?” tanyaku.

Aku menunggu jawabannya. Tapi perempuan itu tidak juga menjawab. Jadi aku meneruskan,

“Kalau ini menyangkut ceritaku yang membawa-bawa dirimu, katakan saja terus terang, biar aku mengerti. Percayalah, itu sekadar bualanku. Bualan itu pun tidak bermaksud untuk menjelek-jelekan kamu. Saat itu aku sedang suntuk di depan komputer, lalu karena tidak menemu kata untuk menulis sajak, maka aku coba mereka-reka cerita. Itulah awalnya,” sambungku.

Lagi-lagi, perempuan itu tak bergeming, diam seperti patung. Itu membuatku dalam posisi yang sangat inferior. Aku hanya melihat dia menggeser posisinya sehingga sekarang berdiri di depan perapian. Oleh cahaya dari perapian, tubuh perempuan yang dibalut gaun panjang transparan itu tentu saja menghasilkan sebuah siluet yang sangat indah. Mungkin seperti lukisan S Sudjojono, atau Hardi. Pada saat ini aku sesungguhnya sedang menyesali, kenapa sebagai pengarang aku tidak mau belajar di luar masalah-masalah kepengarangan, seperti, membuat film dokumenter, geografi, teknologi, astronomi……? Mengapa hari-hari senggangku hanya kuhabiskan untuk nongkrong-nongkrong di kafe, sekadar membahas daun gugur, kepak burung, ricik air? Mestinya waktu yang banyak itu juga bisa kugunakan untuk bisa belajar berdebat, atau atau membaca buku-buku agar khasanah sastraku bertambah luas.

Amboi. Perempuan itu sekarang beranjak. Ia duduk di kursi bar. Kakinya mengangkang. Aku lihat betis dan pahanya yang seperti lilin. Benar kan? Aku merasa sebagai Ken Arok yang sedang terpana melihat betis Ken Dedes. Perempuan itu tetap menatapku sekaligus membuatku kikuk. Aku ingat peristiwa di hotel itu. Dia membugil di depanku, menyodorkan payudaranya yang sintal. Saat itu aku sedang mengambil air minum, tiba-tiba dia meraih pundakku, menjatuhkan tubuhku ke ranjang, dan melucutinya. Untuk sejurus lamanya dia bergerak-gerak di atas tubuhku: pelan, kemudian cepat, selanjutnya cepat sekali. Hm. Kalau orang hanya melihat mimiknya yang tidak berdosa, mana mungkin orang percaya pada kenyataan itu? Pasti dikiranya aku yang membual. Dasar pengarang.

Perempuan itu tetap tak bergeming. Dia masih duduk dengan posisi seperti tadi: mengangkang. Aku lihat paha dan betisnya yang seperti lilin. Aku sungguh-sungguh merasa seperti Ken Arok melihat betis Ken Dedes.

Kudengar suara hujan dan halilintar menyambar-nyambar. Di tengah kegelapan, di antara cahaya api yang muncul berkobar dari tungku perapian, kulihat juga ada cahaya mengerjap yang ditimbulkan oleh cahaya kilat. Tahulah aku bahwa saat itu hujan turun dengan lebat di luar rumah. Bahkan rumah itu pun seperti terpengaruh, terbukti lampu gantungnya ikut bergoyang. Saat itu juga aku merasa limbung, seperti lampu yang dipermainkan angin.

“Cobalah berempati sedikit, seandainya kamu berada di pihakku. Bukankah cukup fair, kalau aku hanya mengambil sedikit saja dari realitas, mungkin 10 sampai 25 persen; selebihnya hanya bualanku belaka. Bukankah itu fair?” kataku menjelaskan. “Lagi pula kamu toh tahu, aku bukan pengarang yang dengan gampang membuat fakta menjadi fiksi. Tugasku hanyalah membuat sebuah bualan menjadi sebuah kenyataan tanpa harus membuat pembaca merasa dibohongi, risi, dihina intelektualitasnya, dibodohi, atau direndahkan. Lihat. Masih banyak pengarang yang mengambil hampir seluruh bagian dan peristiwa dari dirinya sendiri, dan malah mengubahnya seolah-olah menjadi fiksi. Mereka menjadi tokoh dalam fiksinya. Kenapa kamu timpakan kesalahan, hanya padaku? Ini sungguh tidak adil,” aku ingin memekik.

Sekelebat aku ingat kata-kataku dalam cerpen itu:

Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.

“Oh, kalau itu masalahnya, sesungguhnya karena aku hanya ingin melukiskan kepada pembaca betapa sensualnya dirimu. Tidak lebih tidak kurang. Aku merasa punya hak untuk mengatakan bahwa kamu memang melakukan hal itu,” kataku terbata. “Dan cobalah kamu ingat-ingat lagi. Tak sedikitpun aku menceritakan adegan yang lebih dari itu. Apalagi dalam kisah itu aku melukiskan diriku sebagai seorang pria budiman. Apakah aku salah?”

Aku menekuk pandangan.

Perempuan dalam cerpen itu sekarang turun dari kursi barnya. Sekilas tampak belah dadanya. Bersamaan dengan adanya kilat yang disusul halilintar, lagi-lagi muncul running text yang menampilkan bagian kalimat dalam cerpenku itu:

Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang.

“ Jadi kamu mau menyanggahnya?”

Aku lihat reaksinya. Wajahnya dingin, seperti patung lilin. Dia sekarang melangkah memutariku. Aku ikut memutar pandangan mengikuti gerakannya. Terdengar tik-tok sepatunya yang berhak tinggi di antara renyai hujan.

“Atau kamu malah ingin menolak semua fakta itu dengan mengatakan bahwa tulisanku mencemarkan nama baikmu?” Aku menangis. Terus terang, aku menangis mengingat peristiwa di hotel itu. Alangkah sialnya, kenapa pada hari itu aku harus menemui perempuan itu. Padahal dia datang diantar oleh suaminya yang hanya menurunkannya di teras hotel untuk selanjutnya menggeblas pergi. Saat itu juga aku sempat bertanya, kenapa suaminya tidak ikut turun supaya kita bisa berkenalan? Tapi perempuan itu hanya tersenyum, dan mengatakan dia akan langsung pulang, karena harus menjaga anak-anak mereka yang sedang belajar di rumah. Saat itu bahkan dia menampakkan wajah gembira, dan mengatakan bahwa keadaan itu lebih baik karena kita bisa bebas. ‘Bebas untuk apa?’ Saat itu aku sudah ingin berteriak. Tapi, itulah salahku, aku malah ikut saja ajakannya untuk ke kamar hotel itu.

Aku sekarang menangis.

“Aku ingin minta maaf pada suamimu,” teriakku pada perempuan itu.

Suasana hening itu tiba-tiba pecah oleh suara tokek di balik lemari. Aku lihat perempuan itu masuk ke dalam gelap. Hanya kulihat punggungnya yang mulus sekelebatan karena pantulan api pembakaran dari tungku pembakaran. Lampu gantung tetap terayun dengan sinar lampu yang lemah. Tubuhku mendadak jadi dingin dan lapar. Aku merasa dalam sebuah ketidakpastian. Linglung tak berdaya. Bersamaan dengan itu, aku juga mulai putus asa.***

BSD/ Serpong, 2010

Catatan:
[1] Noctambulism: Berjalan dalam tidur tergolong gangguan dalam kelompok parasomnia. Penderita biasanya terjaga saat tidur atau masih terjaga namun berada dalam kondisi seperti tidur (sleeping state).
[2] Somnambulism: Gangguan yang membuat orang berjalan dalam keadaan tidur



DIMUAT DI JURNAL NASIONAL 7 NOVEMBER 2010

08 September 2009

Perempuan Pemuja Kata

Cerita Pendek: Kurniawan Junaedhie

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)

Sungguh menakjubkan. Perempuan itu tidak hanya cantik, tetapi juga pandai menyusun kata. Dan kata itu oleh dia, --menurut hemat saya-- ditekuk-tekuknya, lalu dibentuknya menjadi kalimat, dan kalimat-kalimat itu kemudian ditata dan dipatut-patutkannya dalam sebuah rangkaian puisi atau prosa. Maka besar dugaan saya, ia telah menuliskan banyak kata selama hidupnya. Tapi kemudian dia menyanggah.

Perempuan itu menurut pengakuannya sendiri berusia 37 tahun. Ia adalah ibu dari dua anak yang berusia 17 tahun dan 12 tahun. Ketika si bungsu lahir, sekitar umur 3 bulan, suaminya kabur dengan perempuan lain. Sejak itu ia tidak pernah bersua lagi dengan suaminya, kecuali ketika mengurus surat perceraiannya. Itu pun tak sempat bertemu, karena si suami kemudian menyerahkan urusan perceraiannya kepada pengacaranya.

Dengan cara bodoh saja, saya bisa menaksir bahwa ia menikah sedikitnya pada saat berusia 20 tahun. Itu pun dengan catatan, begitu menikah, dia hamil dan langsung melahirkan si sulung tadi. Dan sejak 12 tahun lalu, kalau keterangan yang diberikan benar dan sahih, maka sejak saat itu pula ia tidak pernah tidur bersama lelaki lainnya, kecuali suami sialan itu. Hanya ada keterangan tambahan: saat dia berjilbab dan berusia 20 tahun dia diperkosa.

Kalau saya mengatakan tubuhnya langsing, jangan kaget. Tapi memang, ketika saya kemudian mengetahui lebih jauh, sungguh menakjubkan bahwa, ternyata perutnya tetap pipih. Tak ubahnya perut seorang gadis. Sepengetahuan saya, itu bukan perut ibu dari dua orang anak yang biasanya sudah berlipat-lipat, membentuk undak-undakan. Dan ketika saya pun kemudian menyentuh tubuhnya, --subhanallah-- semakin takjublah saya, bahwa payudaranya ternyata masih sintal. Kedua gunung kembar itu berdiri gagah: tegak dan tidak loyo. Sekali lagi, aneh. Ini jelas bukan gambaran lumrah untuk payudaya seorang ibu dari dua anak yang biasanya sudah menggelambir.

Tapi begitulah kira-kira urutannya, bagaimana saya bisa mengenal perempuan berperut pipih yang pintar bermain kata itu. Apakah karena ia jarang disentuh lelaki lain setelah pisah dari suaminya? Kenapa ia suka merangkai kata? Kenapa ia tetap cantik? Semua itu menjadi pertanyaan saya, setelah beberapa kali pertemuan.

Ia menelepon saya pada suatu Sabtu. Karena saya sedang bersama keluarga, telepon tidak saya angkat. Saya kirim SMS, agar ia kirim pesan singkat saja. Beberapa detik kemudian, ia mengirim pesan, bahwa ia ingin bertemu saya.

Saya segera meluncur dan bertemu di sebuah kafe, di bilangan Sabang. Kafe itu bernama Kopi Thiam Oey, katanya, milik Bondan Winarno. Siapa Bondan, tak penting benar. Saya hanya ingin mengatakan bahwa, saya bertemu di sana di suatu hari Sabtu, di mana kafe itu biasanya penuh sesak dengan tetamu.

Penerangan lampu di kafe itu remang-remang. Enak untuk main mata dan bisa untuk saling menjawil tanpa diketahui orang.

“Kenapa kamu mau berkenalan dengan saya?” itulah pertanyaan yang sering saya ulang-ulang setiap bertemu. “Saya hanya lelaki berumur. Kalau kamu mau, kenapa kamu tidak memilih saja lelaki lain, yang jauh lebih muda?”

Perempuan itu tersenyum dan menyandarkan kepalanya di pundak saya.

Hubungan kami sebetulnya baru berlangsung 3 bulan. Tapi kami merasa sudah akrab satu sama lain. Mungkin karena hampir setiap menit, kami berkirim pesan pendek. Atau kalau kebetulan kami sedang membuka internet, kami berkirim pesan lewat inbox atau chatting. Pekerjaan itu bisa memakan waktu dari pagi sampai subuh dinihari. Nah, ini dia.

Pada mulanya adalah, kata.

Ia menulis begini di dinding Fesbuknya:

Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu (Kahlil Gibran)

Bagi saya, kalimat ini agak aneh. Kahlil Gibran bagi saya kedengarannya sudah kuno. Kenapa perempuan itu menyukai Gibran? Adakah kelebihannya?

“Dari mana kamu tahu?” tanya saya.

“Saya membaca The Prophet dalam versi aslinya,” jawabnya.

Untung saya tidak sedang berhadapan muka. Kalau tidak, dia tahu perubahan wajah saya, karena saya cuma membaca hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Bahrum Rangkuti pada tahun 1949.

Beberapa hari kemudian, dia menulis lagi begini:

Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. (SGA)

Saya merasa tidak asing dengan kalimat itu. Siapa SGA? Saya juga tidak merasa asing dengan akronim ini. Langsung aku menanyakan, pemilik kalimat itu, di bawahnya. “Aku pemuja Seno Gumira Adjidarma,” tulisnya kemudian. “Aku bahkan kenal istrinya. Ike namanya.” Dia melanjutkan.

Saya bertanya, bukankah kamu pemilik dan pemuja banyak kata, kenapa kamu mengutip tulisan itu?

“Bagi saya kata-kata cuma benda yang bisa ditekuk-tekuk, atas kemauan saya. Sayalah majikan atas kata-kata itu. Saya tidak pasrah pada kemauan kata-kata. Kata-kata yang dibiarkan memang akan liar seperti anjing hutan. Kata-kata yang dibiarkan juga akan seperti serpihan batu, yang tidak kuat bobotnya. Kata-kata harus diarahkan agar sesuai tujuan kita,” tulisnya mengejutkan.

“Jadi apa arti puisi-puisimu selama ini?”

“Tangkaplah dari apa yang kumau. Jangan kamu mau terpedaya kata-kata di dalamnya.”
Saya bukan sastrawan, bukan pujangga. Tapi dari situ saya tahu bahwa dia tidak hanya bercitarasa tinggi, tetapi juga asyik. Saya senang berkenalan dengan perempuan seperti ini. Jarang-jarang ada perempuan seperti ini. Kami keterusan bermain kata. Sampai akhirnya perempuan itu minta ketemuan di sebuah Mal. Saya sempat merasa aneh.

“Bagaimana suamimu?” tanya saya.

“Saya punya suami tapi itu tidak penting benar.”

Aku melongo. Perempuan itu malah balik bertanya, “Apa yang salah?”

Saya agak terpojok.

“Tentu tidak apa-apa,” saya cepat mengelak dan mengalihkan perhatian. “Tapi mal itu pasti luas. Saya belum pernah ke mal itu.”

“Kita ketemu di JCO saja. Dari luar, sudah tampak mereknya. Siapa datang duluan, duduk saja di situ.”

“Oke.”

Seorang lelaki setengah umur seperti saya jelas tidak nyaman berduaan di tempat umum dengan seorang perempuan. Meski saya bukan selebritis, bukan tidak mungkin ada saja kenalan di mal itu yang melihat kami. Karena itu saya mengajak dia mencari tempat yang lebih afdol. Tanpa dinyana dia menawari masuk karaoke. Yang surprise, perempuan yang kata-katanya romantis itu, tak segan-segan menyanyi dengan riang. Dan sekali tempo, menyerahkan mike agar saya juga ikut menyanyi. Aku mulai berpikir bahwa perempuan ini sesungguhnya kesepian. Dia pada dasarnya membutuhkan teman, untuk berbagi perasaan dan bertukar pikiran. Dan saya dianggapnya orang yang tepat untuk itu. Dan meski tempatnya remang-remang, kami tidak melakukan apa-apa, kecuali bercakap-cakap, atau berbisik-bisik. Seingat saya dia sempat menyandar di pundak saya. Tapi kemudian, dia minta maaf, merasa tidak pada tempatnya. Kami minum bir, ngobrol ringan, menyanyi, Begitulah, kami berada di karaoke itu sampai karaoke itu tutup.

Karena hari sudah malam, saya menawarkan diri untuk mengantarnya ke rumah. Nah di dalam mobil, saya mulai melihat dia agak genit. Dia duduk seenaknya di samping saya menyetir. Dia menyilangkan kaki bahkan, mengangkat kakinya di dashboard seperti orang slebor sehingga roknya tersingkap. Dengan sendirinya, diterpa lampu-lampu jalanan, dengan sangat jelas saya bisa melihat celana dalamnya. Saya pikir, dia mabuk, kebanyakan alkohol. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Perempuan memang sering tak terduga.

Tepat di depan rumahnya saya turunkan dia. Dia agak lama berkutat sebelum turun, padahal central lock sudah saya buka. Dalam kegelapan di dalam mobil itu, saya merasa, dia terus memandangi saya.

“Ada apa?” saya bertanya mendadak ke arahnya.

“Aku senang berkenalan denganmu,” jawabnya. Senyumnya lucu. Tidak nakal.

Karena tidak turun-turun juga saya pikir, dia mungkin ingin kami berciuman dulu seperti dalam film-film. Saya mengangsurkan wajah. Saya pegang tangannya. Tapi dia langsung membuka pintu. Melompat keluar. Saya dibuat terkesima. Padahal saya ingin mengucapkan salam untuk suaminya.

Minggu berikutnya saya janji ketemuan lagi. Bukan di JCO, tapi di toko buku masih di mal itu. Karena saya pria berumur yang tak ingin dilihat orang sedang kencan dengan perempuan lain, saya ajak dia keluar dari mal. Kali ini tanpa ragu saya ajak dia ke motel. Kalau pun dia menolak, atau tersinggung saya sudah siap jawabannya. Tapi perempuan itu tidak menolak.

Begitu pelayan pembawa air minum meninggalkan kami, dia sudah memeluk saya. Saya agak kaget. Terkesiap. Dia menciumi saya. Mencopoti pakaian saya sambil juga mencopoti gaunnya sehingga kami berpelukan dalam keadaan telanjang. Dia melakukan apa saja yang selama ini tidak pernah saya bayangkan.

Sehabis itu, bahkan selama di mobil waktu saya antar pulang, kami tidak bercakap sepatah kata pun. Kata-kata tiba-tiba menjadi tidak berarti. Di depan rumah, saya turunkan dia. Juga tanpa ciuman seperti dalam film. Saya membayangkan, suaminya sedang mengintai dari balik pintu.

Besok paginya, begitu bangun tidur saya membuka Facebook. Saya tidak menemukan pesan atau kalimat-kalimatnya. Di kantor, saya buka lagi. Masih tidak saya temukan apa-apa di fesbuk. Kemana dia? Apa dia menyesal telah bertemu saya face to face? Saya punya nomor handphonenya. Tapi kalau benar dia telah menyesal berjumpa saya, buat apa saya menghubunginya?

Malamnya saya tidur gelisah. Saya seperti membaca baliho besar iklan rokok yang betuliskan, Gak Ada Loe, Gak Rame. Saya ingat suara perempuan itu. Saya ingat waktu dia pegang microphone di tempat karaoke. Saya ingat aroma rambutnya ketika dia secara tak sengaja menyandarkan kepalanya di pundak saya. Saya ingat kakinya mengangkang di dashboard itu. Saya ingat celana dalam itu. Saya ingat bagaimana dia seperti ular membelit saya, dan menggigit saya. Pokoknya saya gelisah. Saya membuka laptop. Lampu layar laptop benderang dalam kegelapan kamar. Cahaya di layar itu menimpa wajah istri saya sedang tidur terlelap. Tapi kata-kata perempuan itu tidak ada di layar. Layar seperti kehilangan kata-kata bersama hilangnya perempuan itu. Saya kemudian membayangkan bahwa suaminya sesungguhnya tahu semua perbuatan istrinya, tapi tak mampu berkata-kata. ***



Serpong, 9 Sept. 2009

(Dimuat dalam buku OPERA SABUN COLEK. Segera terbit, 2009)

Hidup Ini Indah

Cerpen: Kurniawan Junaedhie

“Aku akan bunuh diri,” kata saya mengancam, pada istri.

Istri balik mengancam.

“Mana mungkin kau berani.”

“Aku berani. Apa yang kutakuti?”

“Coba pikir-pikir dulu.”

“Sudah aku pikirkan. Anak tidak punya. Orangtua tidak punya. Apa yang kutakuti?”

“Coba saja, kalau berani.”

Saya berkelebat ke dapur, dan mengambil pisau dapur. Saya acung-acungkan pisau itu ke arah istri saya.

“Coba saja, kalau berani.”

Ya Allah. Dia tidak menggubris sama sekali, dan matanya tetap melotot ke arah layar televisi. Dia sama sekali tidak takut bahwa pisau itu saya hunjamkan ke jantung saya. Dia sama sekaki tidak cemas bahwa jika hal itu terjadi, maka seisi kampung akan gempar, dan dia akan dibikin repot. Karena geram, saya lempar pisau itu ke sofa. Clep. Pisau itu nyungsep di sofa. Barulah istri saya melotot ke arah saya, “He, kau pikir, kita bisa beli sofa baru?”

Malamnya, saya tidak bisa tidur. Saya bergulingan di tempat tidur. Sementara di sebelahku, istri, enak-enak saja tidur terlelap dan ngorok. Seolah-olah persoalan percobaan bunuh diriku tidak menjadi beban pikirannya. Rupanya dia menganggap peristiwa seorang suami mengacung-acungkan pisau untuk menghabisi hidupnya itu hanya angin lalu. O perempuan, macam apa pula yang ada di depanku ini?

Sudah lama saya dan istri ingin bercerai. Ya, sejak saya merasa bahwa rumah seperti neraka layaknya. Saya tidak bohong, atau berlebih-lebihan. Bayangkan. Kehidupan saya dan istri tak ubahnya seperti petasan bersumbu pendek saja. Dari hal remeh-temeh, bisa melebar ke mana-mana. Saya ngomong ke timur, istri saya bicara ke barat. Pokoknya, tidak pernah nyambung sama sekali. Dan seperti saya bilang tadi: Keributan bisa muncul begitu saja dari hal-hal sepele seperti ada kucing mengeong tiba-tiba, atau hanya sekedar ada seekor tikus lewat di sudut tembok. Atau sekadar pintu kamar mandi.

Suatu kali, saya menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Sebetulnya, tidak kasar. Hanya karena pintu melengkung karena perubahan cuaca, maka pintu tidak pas masuk ke kusen sehingga saya paksakan masuk. Istri yang sedang nonton televisi di kamar keluar. Dia menyarankan agar saya berhati-hati, karena harga pintu kamar mandi sangat mahal. Saya tersinggung merasa dibilang tidak tahu harga pintu. Istri lalu mengatakan, begitu saja marah. Saya pun tambah marah. Pertengkaran berkobar. Gelas piring dibanting. Istri masuk kamar, mengunci pintu, menyetel televisinya keras, mungkin supaya tetangga tidak perlu mendengar kegaduhan kami.

Meski saya bukan suami yang baik, sekali tempo saya mencoba juga berusaha menjadi seorang suami pengertian.

Ada beberapa kali sepulang kantor, saya coba membawakan makanan. Tapi saya mendapati istri saya cemberut di depan televisi. Dan kadang hanya karena membaui saya pulang, dia langsung ngumpet di kamar. Saya mencoba sabar. Baik-baik saya letakkan penganan di meja makan, maksudnya agar dia mengambil dengan sendirinya, kalau lapar. Tapi hal itu tak dia gubris. Saya mengalah, masuk ke kamar. Sekitar beberapa jam kemudian, merasa ruangan sudah sunyi, saya keluar lagi, dan hlo, makanan saya masih tergeletak di meja makanan. Tidak disentuhnya sama sekali. Besoknya saya tanya, kenapa dia tidak makan penganan yang saya bawa? Dengan ringan dia menjawab, tidak kepingin.

Pokoknya saya merasa bahwa kehidupan keluarga saya sangat ganjil. Ada yang salah. Kalau bukan saya, pasti dia. Atau sebaliknya.

Betapa pun dengan keadaan seperti itu, saya merasa gagal menjadi suami. Dengan demikian, dia mestinya juga merasa gagal menjadi istri. Tapi kenapa dia tidak mengakuinya sekalipun suaminya sudah mencoba melakukan upaya bunuh diri?

***

Setahun lalu seseorang telah menjodohkan saya dengan perempuan ini. Pada suatu malam, selagi asyik membaca buku sambil nonton warta berita malam, ada orang mengetuk pintu. Orang itu, lelaki paruh baya, datang bersama seorang wanita muda sepantaran anaknya. Saya sama sekali tidak kenal kedua orang itu sebelumnya. Lelaki paruh baya itu mengenakan peci. Berjenggot putih. Yang wanita, mengenakan rok terusan, dan tidak memakai make up apa pun. Polos.

Lelaki paruh baya berpeci dan berjenggot putih itu langsung mengatakan bahwa, dia disuruh oleh seseorang untuk mengantar wanita itu ke rumah saya.

“Mengantar? Untuk saya? Siapa orang itu?”

Dia menyebut sebuah nama.

“Ah, saya tidak mengenalnya.”

“Anda kenal atau tidak, tidak penting buat saya. Yang penting adalah bahwa dia yang menyuruh saya. Saya berani sumpah,” kata lelaki paruh baya berjenggot putih berpeci itu mengangkat telunjuknya.

“Maksudnya?” saya menyelidik.

“Saya diminta membawa wanita ini untuk Anda nikahi.”

Gila. Dahi saya berlipat. Saya memukul kening, dan mengelus rambut. Saya menengok arloji. Jam sepuluh limabelas. Bukan mimpi. Tapi bagaimana mungkin, mereka bisa tahu bahwa saya adalah seorang bujang lapuk? Bukankah sangat banyak lelaki di kampung saya? Kenapa harus saya?

“Saya kira Anda salah alamat,” kata saya mulai bersikap defensif.

“Memang Andalah yang dimaksud,” katanya.

“Anggap saja ini amanah,” kata pria berpeci berjanggut putih setengah baya itu menimpali.

Saya mengerling wanita belasan tahun itu. Seperti kesan pertama tadi, dia tidak jelek. Bahkan, kalau tidak bisa dikatakan cantik pun bisa saya katakan, wajahnya lumayan rupawan. Kulitnya bersih. Tingginya 160 centian, lurus sepundak saya, tapi tidak terlalu gemuk. Matanya bulat. Hidungnya bangir. Bibirnya mungil.

Ini pasti akal-akalan. Bukan tidak mungkin, mereka adalah komplotan penipu yang ingin membodohi saya. Informasi bahwa saya seorang perjaka dengan mudah bisa saja diakses dari pak RT atau pak RW. Dan bisa juga mereka tahu bahwa beberapa tahun lalu saya memasang nama dan alamat saya di rubrik jodoh. Apa susahnya?

“Jadi saya harus mengawini dia? Haha, gampang amat?” saya tertawa dengan getir.

“Apa boleh buat. Ini amanah” kata pria setengah baya berjenggot putih dan berpeci itu dengan yakin.

Saya langsung menyelinap masuk kamar. Diam-diam saya menghubungi pak RT melalui telepon. Saya bilang, ada orang mencurigakan datang ke rumah saya dan tampaknya ingin menipu saya. Karena itu sebaiknya dia segera datang, sebelum saya main hakim sendiri.

Sejurus kemudian, pak RT datang. Saya minta mereka bercakap-cakap sendiri, sementara saya masuk untuk melanjutkan membaca dan nonton televisi.

Tak lama kemudian pak RT masuk dan membisiki , “Tidak saya lihat perbuatan jahat yang dibawa para tamu ini. Mereka berniat baik. Yaitu agar kamu menikahi wanita itu.”

Saya menggeram.

“Ini memang aneh. Tapi anggap saja ini, keajaiban. Ini datang dari Allah. Sebagaimana takdir dan mati, jodoh datangnya dari Allah. Ingat kata Allah: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Hanya Allah yang maha tahu.

Malam itu, sekitar pukul 12.00, saya dinikahkan dengan wanita itu di depan penghulu, dan dua saksi yang dipanggil secara dadakan melalui SMS.


***


Sembari tidur, saya amat-amati wajah wanita yang jadi istri saya itu. Saya dengar bunyi nafasnya. Saya lihat bibirnya ternganga. Tidak jelek, pikir saya. Beginikah wajah malaikat yang suka dibicarakan di mesjid-mesjid dan gereja itu? Hm. Saya tidak tau. Yang pasti, wanita yang jadi istri saya ini tidak punya sayap dan punggungnya rata. Dia juga tidak bercahaya, sebagaimana yang saya tahu dari gambar malaikat dan bidadari. Wujud malaikat mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang, karena mata manusia tercipta dari unsur dasar tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk tidak akan mampu melihat wujud dari malaikat yang asalnya terdiri dari cahaya, bahkan Muhammad sendiri pun disebutkan secara jelas hanya mampu melihat wujud asli dari malaikat Jibril sebanyak dua kali. Tapi seandainya benar dia malaikat, lalu siapa dia? Jibril? Mikail? Israfil? Malik? Munkar dan Nankir? Atau Ridwan?

Sekali lagi saya amat-amati wajahnya yang lelap tertidur. Saya lihat bibirnya yang terkatup. Sungguh sulit dipahami bahwa dari bibir mungil itu semua umpatannya terlontar padaku. Segar dalam ingatan bagaimana perilaku perempuan ini terhadap suaminya. Astagfirullah. Rasa benci tiba-tiba menggelucak.

Saya kontan berbalik memunggungi. Bersamaan dengan itu tiba-tiba hidung saya seperti membaui bau yang tak sedap. Jelas, bau itu muncul dari hati busuk wanita yang ada di samping saya.

Serta merta saya teringat sesuatu.

Saya memiliki senapan angin dengan kaliber 4,5 mm untuk berburu yang kutaruh di dinding meja makan. Kalau saya tembak dia sekarang, maka tamat sudah riwayatnya, pikirku. Dengan sendirinya, berakhir pula penderitaan saya selama ini. Sambil berpikir begitu saya melompat dari tempat tidur, dan berlari ke ruang makan, tempat dimana senapan itu diletakkan.

Saya sambar senapan itu dari tempatnya, dinding ruang makan. Beberapa butir proyektil masih bersisa di dalamnya. Saya kokang. Senapan dalam posisi siap tembak. Saya berlari menerobos gorden kamar dengan membawa senapan itu.

“Hei, bangun. Bangun,” kata saya berteriak, meminta wanita itu bangun. Saya berdiri di pinggir tempat tidur, dalam posisi siap menembak.

Mendengar saya berteriak, istri saya terbangun. Dia mengucek mata. Dan karena melihat saya berdiri dengan senapan, dia nampak kaget, dan mencoba duduk.

“Jangan gila. Apa yang akan kau lakukan? Menembakku?” tanyanya.

“Jangan banyak mulut.” Senapan sudah kuacungkan kea rah jantungnya.

Dia menguap sebentar. Lalu bangkit berdiri dan menghampiri saya.

“Jangan gila,” katanya menonjok dadaku, sambil berlalu.

Saya terhuyung. Namun demikian senapan itu terus saya acungkan ke arahnya.

Pendeknya, kapan saja, saya sudah siap menembaknya.

“Hei, kau mau ke mana? Aku akan menembakmu. Sumpah.”

Dia menatap saya dengan tenang. Tidak takut sama sekali.

Padahal dia tahu benar, bahwa senapan ini pernah saya gunakan untuk menembak seekor anak kerbau.

“Mau ke belakang. Pipis.”

“He, kamu tidak takut?” saya menggertak.

“Ada apa sebenarnya?”

Mukanya bego.

“Aku ingin menembakmu.”

“Mana berani kau melakukannya?”

Karena geram tanpa pikir panjang, saya tarik pelatuk. Dan dor…dor...dor... Senapan menyalak beberapa kali. Kaca jendela hancur berkeping-keping. Dalam sekejap, orang sekampung menerobos masuk ke dalam rumah, dan mendapati saya terduduk dengan wajah kosong dengan senapan terkulai di tangan. Wanita yang menjadi istri saya itu menangis sejadi-jadinya di samping saya. ***


Serpong, 5 September 2009


(Dimuat dalam buku OPERA SABUN COLEK. Segera terbit 2009)

06 September 2009

Sepatu Elvis

Cerpen: Kurniawan Junaedhie


Meski sudah beberapa kali ditawari membeli sepatu baru, Farhan tetap ogah dan bersikukuh bahwa dia tidak memerlukannya. Padahal, menurut istrinya, sepatu yang selama ini dia pakai, sudah tidak up to date lagi. Kulitnya saja sudah berkerut-kerut, seperti kulit nenek-nenek. Warna hitamnya pun sudah bulukan. Bahkan cenderung sudah berjamur. Tapi karena rajin dirawat dan disemir, kerut-kerut itu nyaris tidak tampak dan warnanya tetap kinclong. Saking setia pada sepatu itu, warga di kompleks perumahan di mana Farhan tinggal sangat familiar dengan sepatunya. Bahkan beberapa anak muda tetangga suka meledek bahwa saking kinclongnya, sepatunya bisa untuk bercermin. Mereka menjuluki sepatu Farhan sebagai Sepatu Elvis, sepatu yang dulu konon sering dipakai mendiang Elvis Presley. Haknya tinggi, dan ujungnya lancip.

Tapi baru-baru ini, sikap Farhan berubah drastis. Dia merasa bosan dengan sepatu Elvisnya. Dia ingin membeli, memiliki dan memakai sepatu baru. Alasannya, musim hujan akan segera tiba. Dia takut bila sepatu lama itu menginjak tanah, solnya copot tertinggal di tanah becek mengingat usianya yang sudah tua. Sudah banyak kejadian seperti itu yang dilihatnya, dan itu pasti akan membuat pemiliknya malu luar biasa. Untungnya sekarang membeli sepatu tidak harus di Pasar Baru. Di mana pun tersedia. Maka Farhan pun dengan cepat mendapat penggantinya.

Persoalannya, bagaimana nasib sepatu yang lama? Dia merasa sayang jika sepatu Elvis itu dibuang begitu saja. Dia tidak mau jika sepatu itu sampai ke tangan para pemulung karena para pemulung akan tega mencacah-cacahnya untuk bahan daur ulang.

“Lagipula, sudah banyak kenangan tersimpan dalam sepatu itu,” kata Farhan pada istri dan anak-anaknya. “Dia yang menemani kita ke mana pun kita pergi selama ini. Bahkan dia menemani kita ketika kita kawin dulu. Masak kau tak ingat? Butut-butut begitu, dia juga yang menemani langkahku sejak merintis karier sampai sekarang.”

Karena itu sepatu lama disepakati untuk disimpan saja sebagai kenang-kenangan. Apalagi istri Farhan pandai mendokumentasikan benda-benda bersejarah seperti itu. Mulai dari tiket pesawat, pulpen, batu batere, tas kresek sampai nota-nota pembelian sudah berhasil disimpannya. Barang-barang itu kini berdesak-desakan di kamarnya, sebagian di kamar anaknya dan sebagian di ruang tamu.

Dasar Farhan, meski sudah memiliki sepatu baru, ia masih saja suka kepingin melirik sepatu Elvis-nya. Mungkin, karena, seperti katanya kepada siapa pun, ia melihat sejarah hidupnya di sana. Bahkan karena itu, suatu hari, suami istri itu nyaris bertengkar hebat.

“Mana sepatu lamaku?” tanya Farhan.

“Ada di tumpukan,” jawab istrinya

“Tumpukan yang mana? Begitu banyak tumpulan di rumah ini. Yang mana?”

“Heran, sudah punya sepatu baru masih juga mencari sepatu lama,” gerutu istrinya.

“Sudahlah. Jangan cerewet. Tolong cari sepatuku. Hayo…”

“Kalau mencari barang jangan pake mulut dong,” kata istrinya kesal. Istrinya mulai mencari dan mengubek-ubek seluruh sudut rumah. Tapi karena banyak tumpukan benda-benda bersejarah di rumahnya, sepatu itu belum juga ketemu. Farhan sudah mulai tidak sabar. Rupanya dia sudah ngebet dan kangen melihat sepatu lamanya.

“Ayo cari, pokoknya cari sampai ketemu,” katanya meledak-ledak.

Istrinya stres dibuatnya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh anggota rumah –termasuk si Mbak-- untuk mencarinya.

Penyisiran dilakukan di semua sudut rumah. Semua lemari digeledah Semua kardus yang dicurigai dibongkar. Meja kursi disingkirkan. Alhamdulillah, sepatu lama itu akhirnya ketemu juga. Di sebuah sudut yang tak terduga. Dekat WC.

“Keterlaluan. Sepatu bersejarah kok ditaruh sembarangan,” ujar Farhan mengumpat-umpat.

Karena kapok mengalami kejadian serupa, istrinya sekarang sengaja menaruh sepatu Elvis Farhan di ruang keluarga. Dengan demikian, bila Farhan kangen, sepatu itu dengan mudah ditemukannya. Tapi pada suatu hari, muncul kegemparan baru. Anak-anak Farhan yang biasanya nonton televisi di ruang itu, merasa terganggu oleh bau-bau yang tidak sedap.

“Baunya seperti terasi,” kata anak sulungnya.

“Terasi yang sudah busuk,” sambung anak keduanya.

“Jangan-jangan ada bangkai tikus.”

Akibat bau tak sedap itu darah tinggi Farhan ikut kumat. Dia meminta istrinya segera mengusut sumber bau-bauan itu.

“Ini tidak sehat. Setiap hari kita menghisap udara di ruang ini. Bisa-bisa kita kena radang paru,” katanya setengah berteriak.

“Heran ya, saya kok tidak membaui apa-apa,” kata istrinya sambil mendengus-dengus.

“Tentu saja, kamu kan setiap hari di rumah. Jadi hidungmu sudah terbiasa,” jawab Farhan.

Tapi meski sudah dicari, sumber bau rupanya tak mudah ditemukan. Maka seisi rumah pun uring-uringan. Anak-anak mulai tidak betah di rumah. Pulang sekolah mereka tidak langsung pulang ke rumah tetapi melancong dulu ke mal. Alasannya, tidak tahan dengan bau menyegat di ruang tamu. Untung, sumber bau segera ditemukan. Ia berada dalam sebuah kardus yang isinya tak lain tak bukan adalah sepatu lama Farhan.

“Heran, Ayah tidak hapal pada bau sepatunya sendiri,” gerutu anak-anaknya.

“Iya ya, bisa-bisanya aku tidak hapal bau sepatu sendiri,” komentar Farhan tersipu-sipu.

“Tentu saja, Ayahmu setiap hari memakainya. Jadi hidungnya sudah kebal,” istrinya menyindir.

Karena dianggap bau sepatu itu sudah mengusik keharmonisan rumahtangga, dan Farhan masih juga bersikukuh tidak akan membuangnya, kali ini disepakati sepatu Elvis diletakkan di ruang tamu saja. Paling tidak jauh dari ruang pertemuan keluarga.

“Bagaimana kalau tamu-tamu terusik oleh baunya?” tanya istrinya.

“Gampang. Nanti saya tarok di atas lemari pajang biar baunya tidak perlu mengusik orang yang berada di bawahnya,” kata si Mbak yang punya usul. Dan si Mbak juga meyakinkan bahwa selama itu dia akan rajin menyemprot air freshner. Benar saja. Bau sepatu mulai bisa diredam. Para tamu, terbukti tak ada yang sampai menutup hidung kecuali jika tamu itu berlama-lama.

Farhan senang. Dia masih bisa menjumpai sepatunya dengan mudah, meski Cuma memandang kardusnya saja dari bawah. Sedang istri dan si Mbak senang, karena mereka tidak perlu lagi direpotkan oleh hal-hal yang tidak perlu.

Tapi pada suatu hari terjadi sesuatu yang mengejutkan. Gara-gara seekor kucing yang memburu tikus, kardus sepatu Elvis tersenggol, terjatuh, dan –alamak-- menimpa seorang tamu yang ada di bawahnya. Farhan dan istri kaget bukan main. Karena merasa bersalah, Farhan dan istri terbungkuk-bungkuk minta maaf pada sang tamu. Farhan yang merasa malu, marah besar pada istri. Istri menimpakan kesalahan pada si Mbak yang menaruh kardus sepatu di atas lemari. Si Mbak tak mau disalahkan begitu saja. Dia menyalahkan kucing yang seenaknya melompat ke atas lemari pajangan.

Diam-diam istri dan si Mbak mulai tidak senang dengan sepatu itu. Juga anak-anak. Sepatu itu sudah terlalu menyusahkan mereka. Maka mereka mulai berkomplot, bagaimana caranya mengenyahkan sepatu itu tanpa harus diketahui Farhan.

“Kardusnya tetap kita pasang, tapi sepatunya kita buang,” usul anak-anaknya. Si Mbak ditugaskan membuang sepatu butut itu.

“Terserah buang ke mana. Ke laut kek atau ke sumur, sebodo. Pokoknya jangan ada di rumah ini. Bikin sial,” kata anak-anak itu meluap emosinya.

“Beres,” kata si Mbak.

Sejak itu, keluarga itu mulai menikmati kedamaiannya kembali. Masing-masing anggota keluarga bekerja kembali sesuai fitrahnya. Setiap hari Farhan berangkat dan pulang kantor seperti biasa. Istri Farhan mengurus rumahtangga. Anak-anak kuliah. Si Mbak bekerja di dapur. Hari-hari berjalan dengan nyaman. Sekarang tak ada lagi yang perlu mengendus-endus bau yang tak sedap. Tak ada lagi perasaan saling mencurigai, dan orang yang berbicara meledak-ledak di rumah. Farhan sendiri mulai merasakan kebahagian tersendiri. Bau tak sedap sudah tak ada lagi. Kardus sepatu juga masih di tempatnya. Kalau lagi kangen ia masih bisa mengerling kardus sepatu Elvis-nya.

Namun kedamaian itu rupanya tak berlangsung lama. Keluarga itu masih harus menerima ujian. Di suatu pagi, terjadi peristiwa yang mungkin tak akan bisa mereka lupakan seumur hidup. Keluarga itu belum menyadari apa-apa, ketika Si Mbak berteriak dengan panik pada suatu pagi.

“Banjir..banjir…!”

Si Mbak menggedor pintu majikannya. Betapa kaget Farhan, ketika dia bangun dan hendak mencari sendalnya, lantai kamarnya sudah digenangi air. Ia pun melompat dan bersijingkat keluar. Tahulah sekarang, air sudah menggenangi seluruh rumahnya hampir setinggi 5 centi. Rupanya banjir melanda di kompleks perumahannya akibat hujan turun semalaman. Bukan hanya rumah, tetapi air hujan itu juga menggenangi sebuah mushala, lapangan voli, dan sebuah taman kanak-kanak yang berada di kompleks. Dan yang bikin para ibu kesal, toko-toko penjual air mineral, gas elpiji dan beras juga tutup. Pemiliknya sibuk menyelamatkan harta bendanya dari amukan air. Akibatnya para bapak tidak bisa berangkat kerja, dan anak-anak bolos sekolah.

Seperti tetangga lain, tanpa pikir panjang Farhan menyuruh istri, anak dan si Mbak untuk menyelamatkan buku, majalah, koran, timbangan badan, dan aneka kardus ke atas meja atau lemari agar tidak basah atau terhanyut oleh genangan air.

Untunglah, musibah itu tak berlangsung lama. Sekitar jam 8, genangan air itu mulai menyusut. Jam 10, praktis genangan air sudah lenyap, berganti lumpur yang berserakan di seluruh kompleks.

Tapi sekitar pukul 11, mendadak ia mendengar suara gaduh di halaman rumah.

Ada segerombolan orang terdiri dari kaum bapak, kaum ibu dan pemuda yang mencoba menerobos masuk ke rumah Farhan tapi mereka sedang dihalang-halangi oleh Satpam kompleks.

Mereka menuding-nuding Farhan yang muncul di pintu, dengan penuh amarah.

“Apa salah saya?” tanya Farhan dengan bloon.

Salah seorang yang marah itu melempar sesuatu ke kaca rumah,

“Ini salahmu,” kata pemuda itu.

Kaca jendela nako hancur berkeping-keping.

Di antara kepingan itu, ternyata terdapat sepatunya yang sebelah kiri.

“Kenapa dengan sepatu saya?” tanya Farhan belum memahami keadaan sambil tergugu melihat sepatu Elvisnya dilempar orang dalam keadaan bonyok.

“Jangan belagak pilon !” teriak mereka.

Lagi-lagi, salah seorang di antara kerumunan yang marah itu melempar sesuatu ke arah jendela yang lain. “Gara-gara sepatu Elvis butut milik Bapak itulah, got jadi macet dan menimbulkan banjir.”

Kaca jendela utama pun pecah terbelah lalu berkeping-keping.

Dan di antara kepingan kaca itu, terdapat sepatunya yang sebelah kanan. Lengkap sudah penderitaan Farhan.***

Serpong, 7 September 2009


(Dimuat dalam buku OPERA SABUN COLEK. Segera terbit, 2009)