Tampilkan postingan dengan label Lukas Luwarso. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lukas Luwarso. Tampilkan semua postingan

19 Desember 2007

Pers Indonesia, Pergulatan untuk Kebebasan

SIUTulisan Bung Lukas Luwarso --yang dulu saya kenal sebagai Ketua AJI-- ini saya pasang di sini, bukan semata karena beliau menggunakan buku saya sebagai referensinya, tetapi karena bahasannya cukup layak saya simpan, dan cukup penting untuk diketahui pembaca, terutama yang ingin mengetahui jejak sejarah pers kita, khususnya pada masa peralihan dari Orde Baru ke masa reformasi.

Banyak peristiwa masih akan terjadi dan bisa dicatat, atau terlupakan, dalam perkembangan Pers Indonesia. Pergulatan menuju pers bebas--dan beretika--sedang berkecamuk. Jatuhnya Soeharto, Mei 1998, segera memberi ruang terbuka bagi sesak nafas yang diderita Pers Indonesia hampir selama tiga dasawarsa. Sesaat kemudian, serbuan demam kebebasan mewabah. Suara-suara cemas terhadap anarkhi--dipicu oleh pers yang tak terkontrol--demikian kata sejumlah kalangan—ramai disuarakan. Tuntutan dikembalikannya “era normal” muncul dari sejumlah wakil rakyat, pejabat pemerintah dan segolongan masyarakat: Pers Indonesia sudah kebablasan[1], kontrol dan tindakan tegas harus kembali diterapkan.

Namun, yang tersisa dari jatuhnya kekuasaan tiran adalah kevakuman otoritas. Gagasan mengontrol kebebasan (pers) yang baru didapat, tidak mendapat tempat. Justru Departemen Penerangan[2], lembaga kontrol yang dua dasawarsa lebih menjadi hantu pencabut nyawa bagi pers, dibredel oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pada Oktober 1999. Presiden Wahid yang baru terpilih itu menegaskan, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrol negara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Masyarakat, tentunya. Itu sebabnya dua tahun terakhir ini (kelompok tertentu) masyarakat aktif “mengontrol” pers, dengan menduduki kantor redaksi, mengintimidasi wartawan dan memaksakan agar versi mereka dimuat di pers. Babak baru perkembangan pers Indonesia sedang berlangsung, belum ketahuan ke mana arahnya..

Yang sudah diketahui, catatan sejarah pers di Indonesia tidak lain adalah rekaman tekanan, intimidasi dan pemberangusan. Pers Indonesia terperangkap dalam ranjau-ranjau peraturan dan sensor yang dipasang pemerintah. Pengalaman di Indonesia, kebebasan itu seakan-akan merupakan berkah atau hadiah dari penguasa baru—yang muncul menggantikan penguasa otoriter sebelumnya. Periode kebebasan pers pernah dinikmati media di Indonesia padatahun 1945-1949, ketika merdeka dari penguasa kolonial Belanda dan Jepang; kemudian tahun 1966-1972, setelah tumbangnya Soekarno, dan paska tumbangnya Soeharto.

Jatuhnya Soeharto ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri berbagai persoalan. Periode transisi, di era Presiden Habibie berlanjut ke Presiden Abdurrahman Wahid, suasana keterbukaan justru memunculkan berbagai persoalan baru yang lebih kompleks, tidak sekadar hitam-putih. Rezim Habibie, tidak punya pilihan lain, selain harus melakukan liberalisasi dan itu pun bukan tanpa ancaman. Era Abdurrahman Wahid memperlihatkan kesungguhan untuk mengadopsi kebebasan pers, namun masih harus ditunggu sejauh mana keseriusan rezim Gus Dur-Megawati menegakkan kebebasan pers, mengingat basis pendukung dua pemimpin ini (Banser NU dan Satgas PDI Perjuangan) kini terbukti cenderung merongrong kebebasan pers melalui aksi-aksi intimidasi terhadap pers. Ancaman terhadap kebebasan pers yang semula datang dari pemerintah melalui berbagai aturan represif, beralih wujud melalui tekanan massa serta ancaman internal: tumbuhnya penerbitan pers yang sensational dan tidak mengindahkan
etika.

Negara Koloni: Represi Silih Berganti
Awal mula tradisi represi terhadap Pers Indonesia adalah warisan pemerintahan kolonial. Peraturan pertama mengenai pers di jaman Negara Hindia Belanda dituangkan pada 1856, dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, yang bersifat pengawasan preventif.

Aturan ini pada 1906 diperbaiki menjadi bersifat represif, yang menuntut setiap penerbit mengirim karya cetak ke pemerintah sebelum dicetak. Dua puluh lima tahun kemudian, pada 1931, pemerintah kolonial melahirkan Persbreidel Ordonnantie. Aturan ini memberikan hak kepada Gubernur Jenderal untuk melarang penerbitan yang dinilai bisa “mengganggu ketertiban umum”[3] Selain itu pemerintah kolonial Belanda juga memiliki pasal-pasal terkenal,Haatzaai Artikelen, yang mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda—berlaku sejak 1918.

Selanjutnya, pada jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif. Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar. Tugas “penasehat” ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor, bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggota redaksi.[4]

Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara oleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie[5], terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembangan politik, pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai Artikelen ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963[6]. Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september 1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC, serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akan diberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.

Era Orde Baru: Bredel Enggan Berlalu
Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.[7]

Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers[8] dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya.

Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon,[9] dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto). [10]

Kisah pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an meminta korban antara lain: pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”. Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama
dinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial. Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit.[11] Deretan pembredelan itu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor dan Detik.

Pers Pancasila: Produk Asli Indonesia
Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan
pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.. Rumusan tersebut berbunyi:

Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.

Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.

Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut--secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah
media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media
menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.

Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan, pers Indonesia yang terpasung saat itu juga berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan rezim yang menindasnya. Sejumlah kiat pers agar tetap survive, ternyata secara tidak langsung ikut memperkuat cengkeraman rezim Soeharto. Pers dan wartawan Indonesia yang terbelenggu berperan besar dalam menginternalisasikan
slogan-slogan rezim tanpa mencoba menelaah secara kritis (Slogan-slogan seperti: bahaya laten komunis, stabilitas demi pembangunan, ABRI/militer sebagai dinamisator, termasuk slogan Pers Pancasila dan Pers Pembangunan adalah contoh slogan-slogan rezim yang disebarkan oleh pers dan harus ditelan oleh masyarakat sebagai kebenaran). [12]

Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut--terhadap kebebasan--pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan
keuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi--adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita. [13]

Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi dari bisnis pers menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasi represif, sulit bagi wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Apalagi dengan adanya “hantu” pencabutan lisensi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagi pers, dan pemerintah adalah malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiap waktu. Pencabutan SIUPP menjadi momok yang menakutkan bagi pers.

Terlebih-lebih saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteria untuk mendapat SIUPP tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yang dekat dengan kekuasaan saja lah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehingga muncul dugaan SIUPP sengaja dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikan pers. Selain itu, ketika pemerintah (Departemen Penerangan), pada akhir 1980an, memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUPP baru, selembar kertas
perizinan itu nilainya menjadi amat mahal untuk diperjualbelikan. Melalui sistem lisensi ini lah negara (pemerintah) menguasai “ruang publik”, bukan saja media massa harus mendapat ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuan publik (lebih dari lima orang) juga harus mendapat ijin.

Ruang publik tersebut adalah “wilayah” yang bebas dari kontrol negara dan modal. Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar dan berdebat tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa (politik dan ekonomi). Dan media massa merupakan salah satu ruang publik yang paling efektif untuk sarana itu. Namun, di Indonesia, ruang publik (media) telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktek jurnalisme di Indonesia, para wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat, jenderal dan tokoh bisnis. Selain karena demi keamanan kelanjutan penerbitan, juga berangsur-angsur muncul anggapan bahwa ucapan pejabat pemerintah memberikan legitimasi yang kuat terhadap berita.

Praktek jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudah dilakukan oleh para wartawan—juga menguntungkan bagi perusahaan pers, karena meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita. Sebaliknya, praktek news talking memberikan peluang besar bagi para politisi (dan pengamat) untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktek jurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan masyarakat (Humas)
kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan “segala informasi” untuk membantu kerja wartawan. Dengan maraknya “jurnalisme humas”, menyebabkan masyarakat semakin sulit memperoleh informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitian
yang diadakan oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harian berpengaruh di Indonesia (Kompas dan Suara Karya) memperlihatkan besarnya ketergantungan dua media tersebut terhadap narasumber pejabat pemerintah atau birokrat. Sekitar 89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 % berita bersumber dari pernyataan birokrat dan pejabat. Sedangkan menyangkut orientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita Suara Karya dan 78.9% berita di
Kompas berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah.[14]

Menentang Tirani: Mencari Alternatif
Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan arus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itu lah yang telah berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol.

Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak Republik Indonesia berdiri, cuma mengenal satu organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini setiap kali terperangkap dalam korporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan menggunakannya sebagai operator untuk merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam memperjuangkan hak, melindungi dan meningkatkan profesinya.

Sebaliknya, wartawan justru dikontrol dan dilumpuhkan secara sistematis oleh PWI. Pemerintahan Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadap pers melalui tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran dan pembredelan. Namun kontrol yang paling efektif justru dilakukan oleh orang pers sendiri, melalui Dewan Pers serta PWI. Pengurus dua organisasi ini dengan sadar memfungsikan diri sebagai operator pemerintah dalam menekan pers.

Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelan tiga media terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbeda dari berbagai pembredelan pers yang sering terjadi di Indonesia, penutupan tiga media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan masyarakat. Ratusan wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis NGO melakukan demonstrasi pada hari-hari setelah pembredelan.

Khusus di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang ada, PWI tidak memrotes pembredelan itu, sebaliknya malah “bisa memahami” sikap yang diambil rezim Soeharto. Bukan rahasia lagi, PWI merupakan kepanjangan birokrasi Departemen Penerangan. Sehingga, bukannya membela kepentingan, hak-hak dan aspirasi wartawan, PWI justru menjadi mesin teror bagi wartawan. Kalangan wartawan muda yang tidak puas atas sikap PWI ini pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan terbentuknya AJI sebagai wujud sikap “menolak wadah tunggal wartawan” dan sebagai organisasi alternatif bagi wartawan..

Berdirinya AJI segera mengguncangkan hegemoni PWI, ini terbukti Departemen Penerangan dan PWI dengan sengit mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWI memecat 13 anggotanya yang terlibat di AJI serta meminta perusahaan pers tidak mempekerjakan wartawan AJI. Belasan wartawan AJI disingkirkan dari kerja kewartawanan atau diminta mengundurkan diri.[15] Pemimpin redaksi yang dianggap tidak sejalan dengan garis pemerintah serta merta bisa dicabut rekomendasinya dan hilang haknya sebagai pemimpin redaksi. “Pokoknya orang AJI tidak boleh jadi wartawan, mereka boleh kerja di perusahaan pers sebagai tukang sapu,” demikian ancam seorang pengurus PWI ketika mengintimidasi pemimpin redaksi D&R yang diketahui mempekerjakan orang AJI.

Kelahiran AJI memang dipacu oleh pembredelan Juni 1994. Namun embrionya dimulai ketika wartawan muda di sejumlah kota mendirikan forum-forum diskusi wartawan. Mereka adalah Forum Wartawan Independen di Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta, Pers Club di Surabaya, dan Solidaritas Jurnalis Independen di Jakarta. Forum-forum wartawan yang berdiri awal 1990 an ini bersifat cair dan informal, karena untuk mendirikan organisasi formal wartawan di luar PWI, saat itu, hampir mustahil. Forum-forum diskusi wartawan semacam itu menjadi oase bagi kesumpekan wartawan yang menyadari mereka tak memiliki organisasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka.

Kecenderungan Rezim Soeharto mengkooptasi dan cuma mengakui satu organisasi bagi setiap sektor organisasi masyarakat, mulai mendapat perlawanan. Berdirinya organisasi alternatif untuk menolak ketentuan pemerintah juga terjadi sektor lain. Di kalangan buruh, pada 1992, berdiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan terhadap Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPSI) milik pemerintah. Untuk menandingi Dharma Wanita, telah muncul sejumlah kelompok NGO perempuan. Di kalangan mahasiswa, dibentuk berbagai “komite”atau “kelompok solidaritas” untuk menandingi organisasi kemahasiswaan yang diakui pemerintah.

Berbagai kelompok alternatif itu menggalang jaringan oposisi. Mencoba tampil di lingkup politik mengambil alih fungsi partai politik dan parlemen yang telah bungkam lembaga eksekutif. AJI membangun jaringan di kalangan wartawan muda di berbagai daerah, juga melakukan training dan pelatihan kepada aktivis pers mahasiswa, serta mengorganisir aksi.

Selain menjadi organisasi alternatif, AJI juga menerbitkan media alternatif tanpa SIUPP, Independen, sebagai sikap menolak politik perizinan. Selain Independen terdapat media yang aktif menyebarkan informasi alternatif seperti yang diterbitkan Pijar Indonesia, Kabar dari Pijar, media-media kampus serta bulletin terbitan NGO. Berbagi media tanpa SIUPP itu menjadi alternatif bagi pembaca yang tidak puas dengan isi berita media mainstream. Semula Independen diterbitkan sebagai newsletter bagi anggota AJI, dengan berita mengenai seputar pers. Pada perkembangannya Independen juga menyediakan ruang untuk berita-berita umum, khususnya untuk fakta-fakta yang tidak bisa disiarkan oleh pers mainstream. Independen menampung berita-berita hasil reportase wartawan AJI, yang tidak mungkin dicetak oleh pers mainstream.

Salah satu laporan investigatif Independen yang banyak mendapat reaksi adalah edisi nomor 10, terbit menjelang Hari Pers Nasional, Februari 1995. Dalam edisi itu, Independen mengungkap kepemilikan saham-saham Menteri Penerangan (saat itu) Harmoko dan keluarganya di beberapa media massa. Bagi kalangan pers, kabar Menteri Penerangan Harmoko memiliki saham di berbagai perusahaan pers, sudah banyak diperbincangkan, meskipun bisik-bisik. Independen menuliskannya dalam laporan utama.

Laporan itu mengungkapkan, Menteri Penerangan atau keluarganya memiliki sebagian saham di 32 media massa, termasuk di sejumlah media terkemuka. Sebagian dari saham di media itu memang tidak langsung atas nama Harmoko. Di sebuah mingguan ekonomi umpamanya, 28% sahamnya atas nama salah seorang adik Harmoko. Bahkan di harian berbahasa Inggris terkemuka, The Jakarta Post, 5% sahamnya atas nama istri Harmoko. Tentu saja, pemilikan saham itu sah-sah saja, sejauh saham itu diperoleh dengan membeli. Tapi, umum diketahui, saham-saham itu diperoleh keluarga Harmoko dengan gratis. Bahkan pemilikan sebagian saham itu digunakan sebagai syarat untuk memperlancar keluarnya SIUPP baru.

Ketika wartawan Independen mengkonfirmasi ke Menteri Penerangan Harmoko, dia menolak menjawab, dan kemudian mengusir wartawan Independen yang disebutnya sebagai “penerbitan liar”. Sebulan kemudian, pada 28 Maret 1995, pemerintah resmi melarang Independen. Pada edisi Maret 1995 itu, Independen mengungkap tentang “Soeharto Sakit, Elit Politik Bertarung.” Majalah bulanan setebal 32 halaman, yang pernah mendapat penghargaan dari international, itu dilarang karena dianggap telah menyebarkan kebencian, mengadu domba, menyebabkan keresahan dan menyebarkan permusuhan di kalangan masyarakat.[16]

Hantaman Krisis: Pers Menggeliat
Pers Indonesia semakin kehilangan nyali pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Khususnya periode setelah terjadi huru-hara Peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996 sampai dengan Pemilu 1997. Pers mainstream cuma berharap agar tetap selamat di hadapan kekuasaan yang gampang marah, akibat konfigurasi politik yang bergeser, sambil mengais
keuntungan dari peluang pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan. Pers mainstream yang “mati suri” selama tiga tahun (1994-1997), mulai menggeliat bangun pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melanda Indonesia pada akhir 1997 mempengaruhi kinerja pers. Banyak pers yang terancam bangkrut akibat nilai rupiah yang terjun bebas, mengakibatkan
ongkos produksi harga kertas dan tinta mengangkasa. Manajemen penerbitan pers menerapkan penghematan total: jumlah halaman koran dikurangi, gaji wartawan dipangkas sampai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi wartawan.

Dalam kondisi sulit akibat krisis moneter ini Pers Indonesia semakin ditekan. Ramainya aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, yang kemudian menjadi berita di berbagai media, memicu tuduhan pemerintah bahwa Pers Indonesia tidak proporsional dalam memberikan gambaran sesungguhnya tentang situasi akhir-akhir ini.[17] Intimidasi terhadap pers pada awal 1998 langsung disuarakan oleh Presiden Soeharto.

Bulan Januari 1998, Soeharto menuduh pemberitaan pers sebagai penyebab kepanikan masyarakat yang menyerbu toko dan supermarket untuk memborong bahan kebutuhan pokok (panic buying). Bulan Februari, seusai penandatanganan nota kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF), Soeharto menuduh pers Indonesia telah memanas-manasi situasi berkaitan dengan krisis moneter yang sedang terjadi dan menyebabkan rupiah semakin turun. Pernyataan itu ditegaskan lagi dalam sambutan pidato pertanggungjawaban presiden di depan
Sidang Umum MPR, Maret 1998. Berbagai tekanan kepada pers itu tidak berujung pada pembredelan, mengingat pemerintahan Soeharto mulai goyah legitimasinya.[18]

Namun rezim yang mulai sekarat itu masih mencoba menggertak pers dengan kasus sampul Soeharto sebagai “Raja Sekop” di majalah D&R, awal Maret 1998. Menteri Penerangan Hartono[19] bermaksud menuntut D&R ke pengadilan karena melakukan penghinaan terhadap kepala negara, melecehkan konstitusi dan menurunkan martabat bangsa. Namun sebelum pengadilan berlangsung, D&R sudah terlebih dulu divonis. PWI menskorsing pemimpin redaksi D&R selama dua tahun. Kasus D&R ini kemudian mengambang dan tidak ada penyelesaiannya..

Berkah Internet: Pertarungan di Alam Maya
Sejak 1995, Internet memainkan peran penting dalam penyebaran informasi di kalangan aktivis dan pengakses internet. Demam internet di Indonesia dijangkitkan oleh kehadiran Apakabar, mailing-list yang dikelola oleh John McDougall dari Amerika. Melalui Apakabar berbagai pandangan disebarkan, dari yang paling radikal hingga puritan, dari aktivis pro-demokrasi sampai aparat intel-militer. Selain berisi polemik berbagai pendapat dan pandangan,
Apakabar juga menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri, yang berkaitan dengan situasi terbaru di Indonesia.

Sukses Apakabar ini kemudian diikuti munculnya berbagai situs internet dan mailing-list yang dikelola para aktivis di Indonesia. Para wartawan eks-Tempo mengelola Tempo Interaktif, diikuti sejumlah mailing list seperti SiaR, KDPnet, AJInews, X-pos, Demidemokrasi, Indo-News.com, dll. Informasi yang disebarkan melalui internet mampu memuaskan masyarakat yang haus informasi, materi dari internet seringkali di down-load dan difotokopi sehingga bisa dibaca oleh mereka yang tidak memiliki akses ke internet. Selain itu, sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, dengan mem-black out halaman koran atau majalah asing yang memuat tentang Indonesia, tidak bisa diterapkan di internet.

Materi yang paling banyak beredar di internet adalah menyangkut kekayaan Soeharto dan praktek KKN rezim Orde Baru, disamping diskusi tentang demokrasi, hak asasi manusia serta menebarkan gagasan oposisi. Selain itu melalui internet aktivis pro-demokrasi juga saling berbagi informasi serta melakukan koordinasi, seperti menentukan waktu dan tempat aksi unjuk rasa. Setelah rezim Soeharto tumbang, media on-line yang berorientasi profit semakin tumbuh menjamur, seperti detik.com, mandiri.com, satunet.com, berpolitik.com, astaga.com. disamping itu sebagian besar media mainstream, seperti Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Forum, dll., juga memiliki versi on-line

Pasca Soeharto: Pers Bebas tanpa Etika?
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan internet. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhir
menjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi”. Soeharto marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah.

Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan.

Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP—yang menjadi sangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Bandingkan dengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun kekuasaannya.

Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 40[20]. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru.

Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakan masyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnya pernah mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para wartawan yang lama terkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untuk mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.

Banyak pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama yang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak, Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: trial by the press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satu atau dua bulan, dan berhenti terbit.

Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinya media partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang “berafiliasi” dengan partai politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai Amanat Nasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar.
Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yang murni merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali ini terbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok Jawa Pos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu.

Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers. Pada bulan Juni 1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada
wartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bisa digagalkan, berkat gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi).

Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasi masyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikan secara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung, ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritik Habibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27
Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian.

Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang,
Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.[21] Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.

Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagain sahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalama manajerial.

Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.

Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai “kelewat batas” dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media (media
watch)[22]. Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya.[23] Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersama—yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999.[24]

Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998
membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudian menjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusi dan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999.[25]

Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003.[26]

Pers dalam Ancaman Massa
Pers Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpuruk dalam cengkeraman kontrol kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujud melalui ancaman publik. Tekanan dan ancaman di era Soeharto sangat efektif meskipun tidak langsung (remote) sedangkan ancaman massa bersifat fisik, sehingga lebih nyata. Pemakaian sarana koersif untuk menekan dan mengancam pers melalui pencabutan SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukan ancaman nyata, sementara ancaman kekerasan dan teror massa jauh lebih konkrit dampaknya.

Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, maka “publik” kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka sendiri.

Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi dan
membujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan politisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.

Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bisa diinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jika
pemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalan pintasnya adalah melabrak dan mengancam—yang ternyata memang terbukti sangat efektif.

Kasus pendudukan Jawa Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa pers tidak berdaya manakala gerombolan orang (massa Banser NU) memaksakan pendapatnya terhadap koran tersebut. Jawa Pos bertekuk lutut dan tergopoh meminta maaf, menyatakan pemberitaannya salah.Tidak ada pengujian secara adil dan logis menyangkut kesalahan atau ketidaksalahan Jawa Pos terhadap berita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid atau NU.

Kisah lain menimpa SCTV, stasiun TV swasta itu harus menghentikan penayangan opera sabun yang sangat populer, Esmeralda, setelah 60 orang dari Front Pembela Islam (FPI) berunjukrasa ke SCTV (4 Mei). Telenovela itu dianggap secara sengaja menghina Islam, memberikan gambaran palsu dan menyesatkan kepada penontonnya, karena salah satu tokoh dalam film
tersebut bernama Fatimah. Di kalangan Islam, Fatimah dikenal sebagai nama putri Nabi Muhammad SAW dan figur yang dihormati, sementara Fatimah dalam Esmeralda merupakan antagonis yang berperangai buruk. Tawaran SCTV untuk mengganti nama tokoh Fatimah ditolak FPI, vonis telah diputus: Esmeralda yang digemari banyak penonton itu tidak boleh disiarkan[27].

Sebelumnya sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror dengan perangai kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telah mengancam, melakukan kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliput kegiatannya. Selain mengancam secara fisik maupun teror psikologi, laskar yang gemar mengacungkan pedang itu juga diskriminatif terhadap wartawan perempuan dan wartawan non muslim. Tiga wartawan sempat disekap dan dianiaya
di lokasi kamp latihan mereka di Desa Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal Bogor (9 April)[28].

Tabloid Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar oleh Laskar Jihad karena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskar ini merasa tersinggung karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenai NII. Laskar Jihad menuntut agar tabloid Semanggi meminta maaf dan mengklarifikasi. Ancaman serupa menimpa harian Radar Bogor. Koran ini, pada 9 April, didatangi satu truk anggota Laskar Jihad dengan membawa senjata
pedang dan pisau komando. Mereka marah karena Radar Bogor dinilai telah menyebarkan berita yang mengadu domba antara laskar jihad dengan masyarakat Kayumanis (lokasi latihan) dan aparat keamanan setempat. Tekanan massa Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) terhadap Radio PTPN Rasitania, Solo, sempat menghentikan siaran radio tersebut selama 27 jam. Sekitar 300 anggota FPIS protes atas siaran dialog interaktif berjudul “Usaha Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama” pada 24 Februari.

Epilog: Pers Mengatur Sendiri
Kebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleks ketimbang era tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang di Indonesia, telah ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karena dianggap telah “bebas terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saat ini terlihat semakin nyata dengan banyak bermunculannya media partisan, sensasional, termasuk yang menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalah munculnya banyak media yang mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurang menghargai etika. Banyak pula muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnis pers: menerbitkan media, dua bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku, kemudian menerbitkan media baru lainnya.

Seserius apakah ekses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soal ketika menyangkut pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (seperti kasus Ambon), sebagian media telah memposisikan diri sebagai corong kelompok tertentu. Ada pula media yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerang atau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi: munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pula gagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yang bermutu dituntut untuk mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agar masyarakat tidak membaca media yang buruk. Agar dalam market place of ideas ide-ide baik menang terhadap gagasan buruk.
Setelah halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui
pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengah kegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bisa bersimaharajalela, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan.

Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrol masyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan terus terjadi.

* Penulis adalah Country Direktur Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

[1] Istilah bahasa Jawa yang berarti “melewati batas” ini kemudian menjadi sangat popular untuk menghujat Pers secara keseluruhan. Misalnya dalam seminar “Media dan Pemerintahan: Mencari Jalan Keluar” (di Jakarta, 23-24 Maret 1999), soal pers yang kebablasan ini nyaring disuarakan, oleh para wakil rakyat dan pejabat, sejumlah wartawan, yang hadir dalam seminar tersebut-- termasuk usulan agar sistem perijinan (SIUPP) diperketat kembali, Seminar besar yang melibatkan aparat pemerintah, pers dan masyarakat ini diselenggarakan atas kerjasama UNESCO, Departemen Penerangan dan Komunitas Media Indonesia
[2] Pada era Soeharto, Departemen Penerangan, menjadi mesin birokrasi yang sangat berkuasa. Dengan wewenang mengontrol media (dalam dan luar negeri), menerapkan sensor, melarang terbit, menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh memiliki ijin untuk menerbitkan media, termasuk siapa yang boleh dan tidak boleh menjadi pemimpin redaksi media, melarang masuk atau membatalkan visa wartawan asing yang tidak disukai. Departemen Penerangan kemudian bahkan menjadi “kerajaan bisnis” pada era Menteri Penerangan dijabat oleh Harmoko (periode 1983-1997), dengan memperjualbelikan ijin penerbitan (SIUPP) serta meminta saham kosong kepada pers yang diberi ijin terbit. Meskipun demikian dibawah Menteri Junus Josfiah (Mei 1998-Oktober 1999), Departemen Penerangan berubah menjadi lembaga yang progresif dalam mendukung dan memfasilitasi kebebasan pers.
[3] Abdurrachman Surjomihardjo (red), Beberapa segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, LEKNAS-LIPI, 1980, hal. 145-146
[4] ibid. hal. 148-149
[5] Dari aturan ini lah kemudian muncul istilah popular dalam kosa kata Bahasa Indonesia “bredel”, yang berarti pelarangan terbit untuk sementara atau selamanya terhadap media yang dinilai melanggar aturan pemerintah.
[6] Penpres ini baru dicabut secara resmi setelah lahir UU Pokok Pers 1966, undang-undang pertama yang mengatur pers Indonesia.
[7] Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal. 181
[8] Penerbitan pers yang ditutup adalah: Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Harian KAMI, Nusantara, Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Majalah Ekspress (Jakarta), Suluh Berita (Surabaya), Mingguan Mahasisswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang). Lihat Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya, Jakarta: LSPP, 1996.
[9] Bredel melalui telepon ini dilakukan oleh Kepala Dinas Penerangan Laksusda Jaya, yang memberitahukan pada tanggal 20 Januari 1978 malam bahwa pada hari berikutnya (per 21 Jnuari) Koran-koran yang bersangkutan dilarang terbit . Keputusan tertulis, katanya, akan dikeluarkan Departemen Penerangan. Namun, sampai Koran-koran itu diijinkan terbit kembali—dua minggu kemudian—keputusan tertulis mengenai pelarangan terbit dan alasannya, tidak pernah dikeluarkan. LihatAbdurrachman Surjomihardjo. opcit. Hal..171
[10] Lihat Atmakusumah, Kebebasan Pers dan Informasi, hal. 99-100, dalam Mulya Lubis (ed.), Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia 1980, Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum dan Pustaka Sinar Harapan, 1981.
[11] Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1991. hal. 145-146
[12] Lihat Lukas Luwarso, The Liberation of The Indonesian Press, dalam News in Distress: The Southeast Asian Media in A Time of Crisis, Philipine Center for Investigative Journalism & Dag Hammarskjold Foundation, 1999. hal 91-99.
[13] Ibid. hal. 95
[14] Rizal Mallarangeng. Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Harian Kompas dan Suara Karya. Fisipol UGM dan Rajawali Pres, 1992.
[15] Sebagian wartawan AJI yang medianya dibredel, apabila ingin bekerja lagi sebagaiwartawan harus meminta maaf pada PWI. Banyak wartawan yang cuma bersimpati, namun mengakui tak berani terlibat dalam AJI. Karena jika ketahuan menjadi anggota AJI, risikonya adalah dipecat atau disingkirkan dari tugas kewartawanan. Atau lebih buruk lagi dipenjara. Sedikitnya enam anggota AJI dipenjara, empat karena menerbitkan majalah bawah tanah Independen, dua lainnya karena aktivitas liputannya
[16] Larangan terbit Independen diumumkan bersama larangan sejumlah buku, termasuk bulletin Kabar dari Pijar (Kdp). Itu artinya bagi siapapun yang diketahui membaca Independen, bisa dikenai hukum. Pelarangan itu disertai dengan penangkapan tiga anggota AJI, Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo, serta pemimpin redaksi Kdp, Tri Agus Siswodihardjo. Mereka diadili dan dihukum dua sampai tiga tahun penjara. Kantor AJI dan Pijar digeledah aparat keamanan, sejumlah pengurus AJI dan Pijar diburu aparat intelejen, dan terpaksa bersembunyi. Independen beberapa bulan kemudian diterbitkan kembali dengan nama Suara Independen, menjadi majalah bawah tanah, baik pengelolaan maupun peredarannya. Suara Independen semakin dicari dan ditunggu kehadirannya--termasuk diburu aparat keamanan. Pada pertengahan 1996 majalah itu kembali “meminta korban”. AndiSyahputra, distributor Suara Independen, yang tidak tahu menahu soal isi majalah itu, ditangkap dan dihukum 30 bulan penjara.
[17] Presiden Soeharto tidak suka dengan cara pers memberitakan berbagai aksi unjuk rasa, menurutnya pers memberikan disinformasi. “Di Indonesia ini seolah-olah kejadiannya hanya demonstrasi mahasiswa, tetapi tidak disebutkan hal-hal lain,” kata Menteri Penerangan Alwi Dahlan merujuk pada pernyataan Presiden Soeharto. Kompas, 17 Aprol 1998.
[18] Lihat Pers Diterpa Krisis, Laporan Tahunan 1997/1998, Jakarta Aliansi Jurnalis Independen dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1998.
[19] Pada 6 Juni 1997, posisi Menteri Penerangan berganti sebelum habis masa jabatan. Harmoko yang telah tiga periode menjabat Menteri Penerangan diganti oleh Jendral Hartono--sebelumnya Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Pergantian ini, menurut analisa, merupakan indikasi ketidakpercayaan Presiden Soeharto terhadap Harmoko, yang belakangan dinilai gagal “mengendalikan” pers. Harmoko diberi posisi sebagai Menteri Negara Urusan Khusus (Juni 1997-Oktober 1997), sebelum akhirnya menjadi Ketua DPR/MPR.
[20] Jumlah ini merupakan data terakhir Departemen Penerangan per Oktober 1999. Banyak diantara organisasi wartawan baru tersebut hanya tercatat dalam daftar, selanjutnya tidak terdengar aktivitasnya.
[21] Mereka adalah Metro TV dikelola PT Media Televisi Indonesia (Grup Surya Persindo milik Surya Paloh), Trans TV dikelola PT Televisi Transformasi Indonesia (Grup Para milik Chairul Tanjung), PT Pasaraya Media Karya (Alatief Corporation milik Abdul Latief), PT Telesindo Prima Lestari, PT Cakrawala Tiara Kencana dan PT Tifar Admanco. Dua stasiun lagi memilih
siaran local (PT Pupuk Kaltim) dan siaran internasional (IFTIHAR). Lihat Pers Indonesia Pasca-Soeharto, Laporan Tahunan 1998/1999, Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999, hal. 52.
[22] Sejumlah jurnal dan lembaga pengawas media yang cukup aktif antara lain: Independen Watch (AJI), Bakorpers, Pantau (ISAI), Media Development Centre, Media Ramah Keluarga, Lembaga Konsumen Pers, LSPS (Surabaya) KIPPAS (Medan), LSIM (makasar), Lespi (Semarang)
[23] Ketua Pengurus Harian Dewan Pers, Jakob Oetama, secara informal sempat menyatakan bahwa Dewan Pers lama “membubarkan diri” (demisioner, sampai terbentuknya Dewan Pers baru yang Independen) dan meminta maaf atas kiprah Dewan Pers di era Soeharto. Hal itudikemukakan dalam sambutan pidato pada Rapat Koordinasi antara Dewan Pers dan organisasi-organisasi wartawan di Bandung, Maret 1999. Rapat koordinasi tersebut bertema: “Dengan Semangat Reformasi Kita Wujudkan Kebebasan Pers Nasional.”.
[24] KEWI bersifat ringkas dan padat, terdiri dari tujuh pasal, waktu yang diperlukan sejak awal sampai pada rumusan akhir hampir selama tujuh bulan.
[25] UU Pers 1999 ini menurut Toby Mendel dari Article XIX, Inggris, merupakan salah satu UU Pers yang terbaik di Asia, karena isinya mencerminkan ketegasan dalam menjamin kemerdekaan pers.
[26] Pengurus Dewan Pers 2000-2003 adalah Atmakusumah Astraatmadja (Ketua), R.H. Siregar (wakil), Atang Ruswita, Azkarmin Zaini, Benjamin Mangkoedilaga, Jakob Oetama, Goenawan Mohamad, Surya Paloh, Zainal A Suryokusumo. Kepengurusan ini disahkan oleh SK Presiden No. 96/M tahun 2000 pada 19 April 2000.
[27] Jakarta Post, 12 Mei 2000, halaman 2
[28] Setelah menganiaya, mereka dikabarkan juga mengancam akan membunuh para wartawan ini jika membeberkan tindak kekerasan itu di media massa. Ketiga wartawan itu masing-masing Usman Asyari (senior produser BBC Indonesia), Victor Cahyadi (AFP) dan Hinarius (freelance). Ketiga wartawan tersebut datang ke lokasi latihan itu bermaksud mewawancarai Komandan Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib.

[Dikutip dari: http://www.mail-archive.com/indonews@indo-news.com/msg07768.html]