17 Maret 2009
Azwina Azis Miraza:
Yang Melangkah di Jalan Sastra
Yang Melangkah di Jalan Sastra
Oleh Adek Alwi
Sabtu, 31 Januari 2009
DUA kumpulan puisi Azwina Aziz Miraza diluncurkan di PDS HB Jassin, TIM, Jakarta, 16 Januari 2009. Ina, begitu ia biasa disapa, lahir pada 13 Januari 1960 dan wafat 8 September 2008. Jadi, walau agak terlambat peluncuran dua buku itu juga dimaksudkan rekan-rekan seniman di Jakarta sebagai peringatan 100 hari kepergian Azwina, sekaligus hari kelahiran dia. Dan Ina memang tak mungkin untuk tidak dikenang.
Ada beberapa hal bisa dicatat untuk menjelaskan itu; sebagian saya utarakan pada acara tersebut. Pertama, Azwina Aziz Miraza tergolong orang yang berserius menjadikan sastra sebagai pilihan; mendedikasikan hidup sejak usia belia hingga akhir hayat di dunia itu. Sajak-sajak awal Ina (dua diantaranya terdapat dalam "Di Setengahnya Adalah Kita"; 1 dari 2 kumpulan puisi yang diluncurkan hari itu) bertahun penulisan 1976, ketika dia 16 tahun.
Secara pribadi, saya pun sudah menangkap isyarat pilihan Ina itu saat kami sama-sama di Bengkel Sastra Ibukota (BSI) tahun 1980, sehingga saya bilang kepada Lazuardi Adi Sage (alm), "Ina ini lain nih, Las. Rajin benar!" Mungkin karena ia saya lihat datang terus di setiap diskusi yang kami selenggarakan seminggu sekali. Bahkan ikut menyusun AD/ART BSI di Cipayung, Bogor. Juga, sebagai wartawan, masih muda (saya 27, Ina 20 kala itu; makanya dia panggil 'kak' kami semua) saya kerap jumpa nona-nona di luar BSI tapi langka yang memilih 'dunia' yang dipilih Ina. Dan ucapan itu bak saya lanjutkan 27 tahun kemudian, 25 Juli 2007, juga kepada Las, saat peluncuran novel Naning Pranoto di PDS HB Jassin: "Kayaknya eksponen BSI, Ina, Pipiet (Pipiet Senja), Remmy (Remmy Novaris DM) yang ajek di jalan sastra, ya!"
Kedua, karena sastra adalah pilihan maka profesi di luar itu bagi Ina tak soal betul ditinggalkan. Atau, profesi wartawan misalnya (Ina pernah di Majalah Sarinah, Amanah), pupuk saja untuk sastra; sebab memungkinkan banyak jumpa manusia, masalah, sehingga dapat mempercepat pencapaian hakikat. Maka, bagi saya tak aneh jika usai jadi wartawan dia mengadakan lomba baca puisi untuk tukang becak, atau pengembangan anak jalanan, bahkan di tahun-tahun terakhir hidupnya aktif dalam penyembuhan penderita HIV/AIDS. Semua itu upaya memahami, sekaligus berbuat untuk hidup; lewat jalan sastra.
Itu agak beda dengan kami, sebutlah saya, Hendry Ch Bangun (yang sejak 1983 suami Ina), Lazuardi Adi Sage, Wahyu Wibowo, Kurniawan Junaedhie. Wahyu, selepas jadi wartawan lanjut di lapangan yang sejak dulu dia geluti, akademik; bergelar doktor. Las justru tumbuh jadi owner penerbit tabloid, buku. Kurniawan bos bunga-bunga mahal. Adapun Hendry (Wapemred Harian Warta Kota) dan saya, basitungkik terus di pers, bak tak rela meninggalkan. Makanya tahun 1991, saat saya (selaku Redpel Majalah InfoBank) sibuk dengan ekonomi Indonesia, kebijakan uang ketat Menkeu Sumarlin, kinerja bank yang menjamur sejak Paket Oktober 1987 Ina tiba-tiba muncul di kantor, Gedung Utama, Mampang. Ia tegur, "Kak Adek, mengarang lagi dong! Sibuk terus!" Walah, walah. Jauh benar rasanya jarak saya dengan sastra masa itu.
Ketiga, terkait dengan hal pertama serta kedua di atas, Azwina berjalan konsisten, istikamah, di jalan sastra; sikap yang juga kelihatan melekat pada Chairil Anwar, ataupun Sutardji Calzoum Bachri, misalnya. Dan saya terangguk-angguk mengamatinya dari jauh.
Setelah tahun 1991 itu saya memang tak pernah jumpa lagi dengan Ina, tapi lewat kawan-kawan dan pemberitaan, kiprahnya saya ikuti. Misalnya kala buku-bukunya terbit, baik kumpulan puisi maupun kumpulan cerpen. Ada 9 buku puisi dan 4 kumpulan cerpen yang lahir dari tangannya, termasuk "Tango Kota Air" (1980), yang merupkan kumpulan sajak dia berdua dengan Hendry Ch Bangun, pada era Bengkel Sastra Ibukota, dan zaman pacaran mereka yang tentunya indah.
* * *
SEJAK awal-awal pula saya dapat kesan sajak-sajak Ina adalah sajak-sajak yang saya sebut 'gagah'. Maksudnya, tak jatuh ke sentimental apalagi cengeng, sekalipun yang digarap soal-soal yang menyentuh. Ada sebentuk kedewasaan dalam memahami masalah, yang terwujud dalam pilihan kata, pencitraan, bangunan larik. Saya kutip bait ke-2 dari 3 bait sajak "Tango Kota Air" yang ditulis pada masa BSI tahun 1980: Jangan bilang besok hendak jadi apa/ nasib bukan humus kotamu, lumut airku/ dia singgah di kisar waktu/ dan pada saat tertentu/ kota air sansai tak pernah selesai/ meski pucuk trauma/ dalam kita tenggelamkan bersama//.
'Kegagahan' itu hemat saya terus dipelihara; makin kuat, mengkristal, bak terlihat pada bait akhir dua bait sajak "Mabuk" yang ditulis kemudian, tahun 1989: Aku mabuk/ Dia kepayang kemaruk nafsu/ diseling raungku yang melengking./ Air matanya meleleh/ dia kalap mendekap gelap hingga pekat//. Atau pada sajak-sajak yang ditulis pada tahun terakhir kehidupan Ina, 2008, umpamanya sajak "Di Setengahnya Adalah Kita" yang bait akhirnya demikian: Seperti bulan setengah, matahari bergerak terengah/ himpitan embun terbelah/ deras hujan meluntur beban, begitu indah/ seperti waktu yang kulalui setengah/ malam yang menyimpanmu setengah/ di setengah bayangmu, aku melangkah//.
Karena sudah memilih lalu terus istikamah di jalan sastra itu (bahkan tak mengapa meninggalkan profesi lain seperti kewartawanan karena itu hanya jalan saja untuk dapat pupuk sajak; yang akan mempercepat pencapaian hakikat), maka bagi saya pun wajar bila sajak-sajak terakhir Ina merebak aroma religi yang kuat. Hal ini misalnya terlihat pada sajak-sajak yang dia tulis tahun 2008, semisal puisi "Tuhan, Aku Sendirian." yang bagi saya merupakan pengaduan Penyair kepada Tuhan-nya tatkala semua menolak keyakinan yang dia tawarkan. Padahal, "Keyakinanku berbentuk sederhana:/ "Ikhlas, tulus, selaras ucapan berdasar kasih sayang".
Sajak "Tuhan, Aku Sendirian." itu pun dijadikan judul kumpulan sajak Azwina yang diluncurkan bersamaan dengan kumpulan sajak "Di Setengahnya Adalah Kita" pada Jumat sore 16 Januari 2009 itu. "Di Setengahnya Adalah Kita" diulas-pengantari Wahyu Wibowo, sedang "Tuhan, Aku Sendirian." oleh Maman S Mahayana.
Wahyu, Maman, dan Kurnia Effendi pun tampil sebagai pembicara di sesi diskusi. Kurnia Effendi segenerasi di bawah Azwina di jalan sastra. Tapi bukan hanya Kurnia dan generasinya yang hadir. Pun para sahabat lama: Adri Darmadji Woko, Dharmadi, Remmy Novaris DM, Salimi Akhmad, Kamsudi Merdeka, Syafrial Arifin yang pernah sekantor dengan Ina di Harian Pelita. Tentunya juga Hendry Ch Bangun, serta Diah Hadaning, K Usman, Hamsad Rangkuti. Di tengah-tengahnya terdapat saya. ***
17 Januari 2009
Puasa, dan Azwina Aziz Miraza
Wow tugas berat. Pertama, saya biasanya tidur jam 2 dinihari. Sejk dulu saya merasa saya dijangkiti insomnia. Kedua, selama begadang sambil ngetik dan browse internet saya biasa menghabiskan 1 popmie, atau 2 keping roti Boy, atau 1 toples kacang bali/ kacang goreng dll. Dan ketiga, selama itu pula saya biasa menghabiskan 1 bungkus rokok. Jadi, "larangan untuk tidak boleh makan" itu sungguh berat untuk dijalankan.
Jam 7 malam, saya minta Maria telepon dokter keluarga, apakah saya boleh menelan obat yang bisa membuat saya segera tidur? Kata dokter kami itu, oke2 saja. "It's fine," katanya. Langsung obat itu saya tenggak. Akibatnya sambil nonton acara Kick Andy saya sudah ngantuk. Tapi karena acacara itu bagus, apalagi ada teman saya Theodore KS, wartawan musik yang berambut jambul, yang sangat hapal judul kaset, judul lagu dan penciptanya, saya jadi memaksakan terus nonton sampai acara itu usai.
Mestinya saya langsung tidur. Tapi biasa, saya pengen merokok barang sebatang sebelum puasa. Jadi saya merokok, sambil ngebrowse sampai jam 11 malam. Celakanya Maria keluar kamar, memergoki saya lagi merokok. Dia langsung menyembunyikan rokok saya dan mematikan puntung saya. Ya sudah. Saya tutup komputer, dan mencoba tidur.
Menjelang tidur, perut keroncongan. Bahkan malamnya --seingat saya-- saya pun bermimpi, kehujanan, tapi hujan yang mengucur itu berupa nasi goreng.
Tapi sebentar dulu. Ngapain saya puasa sebegitu rupa? Tumben amat.
Begini: Pagi ini, saya diambil darahnya, test gula darah. Orang lab datang pukul 08.00. Jam 8 pagi saya dibangunin Maria. Orang Lab sudah tiba sejak tadi, katanya. Saya sigap bangun untuk segera diambil darahnya. Suster mencabut jarum dari tempatnya. "Masih steril ya pak?" tanyanya minta saya jadi saksi bahwa jarum itu stril dari penyakit2 menular. Saya diam saja. Tangan saya rentangkan, mata saya alihkan ke layar televisi. "Jangan tegang2, pak, gak sakit, kok. Kecuali kalau saya goyang2," kata suster. Bles, dan beres.
Suer, soal dimasuki jarum saya tidak takut, kata anak saya paling kayak digigit semut. Yang saya takut, terus terang hasilnya.
Celakanya berhubung hari ini Sabtu, dan besok Minggu, maka hasilnya akan ketahuan Senin. Bagaimana hasilnya? Wah, mudah2an tidak kurang suatu apa. Maklum, sejak tidak jadi pegawai Gramedia, sudah lama saya absen check up.
Suster pergi saya buka puasa: menenggak teh manis pencahar, menyambar Kompas, dan masuk ke kamar mandi. Begitu buka Kompas, saya baca berita, semalam atau kemarin ada acara peluncuran buku puisi Azwina Aziz Miraza almarhumah, teman saya di Bengkel Sasra Ibukota, yang jadi istri Hendri CH Bangun, wartawan yang kini jadi bos di Warta Kota. Di sana hadir teman2 saya semua: Wahyu Wibowo yang sudah jadi dosen, Dharmadi, Kurnia Efendi dll. Sambil nongkrong dan menyedot rokok saya berpikir: kalau saya datang mungkin asyik juga ya bisa reunian.....
Keluar dari "ruang baca", ada SMS masuk. Eh dari Adri Darmaji Woko, penyair mengabarkan hal yang sama. Kayak dia tau bahwa saya habis baca saja. "Sayang sekali tak ada Kurniawan Junaedhie, Remy Soetansyah, Rahadi Zakaria dan LAS almarhum...."
Begitulah kabar hari ini....***
20 Desember 2007
Lazuardi Adi Sage Yang Kukenal
Tahun 1977. Kampus Sekolah Tinggi Publisistik, Jalan Kramat Raya, Jakarta, sore hari. Seorang pemuda gondrong, kucel tapi berwajah tampan (terus terang saya susah mencari pilihan kata yang tepat selain kata ini karena menurut saya dia tidak jelek2 amat) mencari saya dan ingin berkenalan. Sebagai anak udik yang sedang kuliah di ibukota, tentu saja saya senang menyambut perkenalannya. Dia menjabat tangan saya. Disebutkan namanya. Terus terang sebagai sesama penulis puisi, nama pemuda itu bukan nama asing bagi saya. Lazuardi Adi Sage adalah penulis puisi dan penulis kronik (berita-berita kesenian) yang rajin. Cuma, sebagai penyair --hehehe---- kelas Las, --begitu pikiran saya kala itu-- masih berada di bawah level penyair muda sekaliber Adri Darmadji, Yudhistira, B Priyono dkk. Cuma kelebihannya, Las punya Kolase Klik. (Waktu itu, hampir semua penyair rasa2nya punya semacam 'sanggar'. Kalau Las punya Kolase Klik, seingat saya almarhum Syarifuddin Ach punya Sanggar Roda Pedati, almarhum Sutjahjono R punya SanggarPrakarya dlsb.). Saya, seperti teman2nya, memanggilnya, 'Las' dengan lafal bukan "z". (Las, kependekan dari Lazuardi, tapi juga akronim dari namanya, Lazuardi Adi Sage.)
Karena orangnya enak, kami cepat berteman, dan tak hanya itu kami dengan segera menjadi sahabat. Misalnya, kami suka bolos rame2, pergi ke TIM, nonton teater atau pameran lukisan. Saya suka juga diajak ke rumahnya di daerah Karet, tepatnya Gang Haji Jalil.
Di Karet, ia tinggal bersama ibu, kakak perempuan satu2nya dan keempat adik lelakinya. Di situ saya tahu, ia dibesarkan dan dididik ibunya, karena ayahnya bercerai. (Tentang ayahnya, Las tak banyak bercerita, dan tampaknya tak terlalu antusias jika pembicaraan kami nyerempet2 ke sana.)
Ibunya senang kaktus. Pada suatu hari, karena saya menyukainya, beliau memberinya satu pot untuk saya. "Ini untuk Kurniawan," katanya. Sering saya diajak ngobrol ibunya. Dengan kakak perempuannya saya juga akrab. Adik2nya apalagi. Mereka memanggil saya, "Bang Kur".
Tidak jarang saya disuruh tidur di kamar Las. Makan. Mandi. Pokoknya, saya dekat dengan Las dan keluarganya. Sebaliknya, Las juga dekat dengan keluarga saya. Ibu saya kenal dengan Las, suka ngobrol2. Ayah saya kenal baik. Seperti saya suka menyambangi rumahnya, Las juga suka mampir ke rumah kontrakan saya di Ciledug yang berdinding rumbia dan berlantai tanah. Di situ, dia betah berlama-lama.
Waktu saya pindah kontrak ke Jalan Kemandoran, Grogol Utara, dia suka naik sepeda motor datang ke rumah saya. Waktu saya bisa naik motor, saya juga suka ke rumahnya. Makan di warung2 sederhana di dekat rumahnya. Atau yang paling saya ingat, ketika dia mengajak saya makan di sebuah warung di pojok daerah Bendungan Hilir. Rupanya, saya diajak makan sop tulang. Entang tulang apa. Yang jelas, kami disuguhi semangkok kuah dan tulang belulang. Dia makan lahap, seperti sudah berpengalaman makan di situ, sedang saya kikuk karena tidak terbiasa. Sampai sekarang, makan sop tulang itu saya kenang sebagai sebuah kenangan manis bersama Las.
Saat itu saya bekerja sebagai wartawan majalah keluarga Dewi, dan kebetulan saya dikirim ke Palembang karena ada Festival Film di sana. Ternyata Las ikut. Karena ssaya tidak termasuk wartawan terdaftar, saya dan Las naik kapal laut. Dari Lampung kami naik sepur ke Palembang. Itu juga pengalaman mengesankan bersama Las.
Waktu saya bekerja di Majalah Intan dengan penulis Harry Tjahjono, pada awal tahun 1980-an Las juga saya ajak ikut bergabung. Kami sempat menugaskan diri pergi ke Banjarnegara, untuk meliput Ebiet G Ade (meskipun gagal) dan bersama2 kami jadi juri lomba baca puisi di Purwokerto.
Tak bisa dipungkiri hubungan saya dengan Las sangat akrab. Terbukti, tak seperti teman-teman lain di STP yang memanggil saya dengan, 'Kur', maka Las memanggil saya, 'Jun', seperti keluarga dan teman2 dekat saya.
Tentang namanya pun saya tahu ikhwalnya. Nama Lazuardi Adi Sage adalah nama samaran, bukan nama asli. Nama aslinya, Adi Mahyudin. Nama Mahyudin diambil dari nama ayahnya. Di rumah, ibu, kakak perempuannya dan adik-adiknya selalu memanggil Adi, atau Bang Adi.
Kalau nama Adi Mahyudin jadi nama Lazuardi Adi Sage, tentu ada ceritanya. Spekulasi saya: Las seperti teman2 seniman lain, kala itu paling senang dengan kata2 semacam, horizon, kakilangit, lazuardi dan hal2 semacamnya yang dikatakan sangat asosiatif. Jadi, boleh jadi, Las kemudian memilihnya sebagai nama depannya. Tentang Sage, alasannya agak konyol, atau istilah anak2 zaman sekarang, garing. Kata Las, itu kependekan dari gabungan dua zodiac, Sagitarius dan Gemini. Sagitarius adalah zodiaknya, sedang Gemini adalah zodiac pacar pertamanya.
Sebagai sastrawan muda, Las menonjol bakat kepemimpinannya, dan banyak ide2nya. Pada tahun 1978, misalnya, bersama saya dan penyair Wahyu Wibowo, Las mendirikan Bengkel Sastra Ibukota. Markasnya, di Gelanggang Remaja Kuningan, Jakarta. Karena waktu itu Jakarta tidak macet seperti sekarang, kami pun sering reriungan di situ secara periodik, ngobrol masalah kesusastraan. Seingat saya, yang datang ke situ, antara lain, Pipiet Senja, Yulius Yusijaya, Adek Alwi, Salimi Achmad, Hendry CH Bangun dan istrinya, dll.
Sebagai sesama penyair, kami berdua juga sering membuat dan menerbitkan antologi, atau buku kumpulan puisi bersama. Tapi kalau boleh jujur, menurut saya, puisi2nya tidak terlalu luar biasa. Karena meski hatinya puitis, kenapa pilihan kata2 dan idiom2nya kasar? Ada yang berpendapat, ini mencerminkan jiwanya yang bergolak. Mungkin saja. Toh saya tak bisa menyembunyikan perasaan untuk sering mengkritik puisi2nya. Seperti biasa, Las berkelit dan membalas mengejek puisi saya. Saya tak bisa menyembunyikan kesan, dia memang seperti anak kecil kalau berdebat dengan saya. Umpama, soal nama asli tadi, dia selalu, 'mengancam' saya untuk menyelidiki siapa nama asli saya, karena kata dia, nama saya adalah nama samaran juga. Tentu saja, itu dikatakannya sambil terbahak-bahak.
Beberapa kali dia merasa 'terkalah'kan oleh saya, dan berkali-kali pula dia mengatakan, dia akan 'mengalah'kan saya. Padahal saya tidak pernah merasa bersaing dengan dia. Saya kira, ini memang sisi jeleknya dalam hubungan karib saya dengan dia.