Tampilkan postingan dengan label Surat dari Serpong. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Surat dari Serpong. Tampilkan semua postingan

02 Februari 2009

Surat dari Serpong (5):
Musim Sensi

Pak SP yang budiman

Apa kabar? Semoga kabar baik-baik saja. Tanpa kabar rasanya hidup kita hampa. Inilah, katanya kebiasaan orang kita. Kalau tanpa kabar yang benar, muncul kabar yang tidak akurat alias gossip. Kalau Anda tanya apa kabar bisnis tanaman, saya harus jawab dengan jujur, ya begitulah, memble.

Tentang kenapa majalah-majalah tanaman kebanggaan kita seperti Trubus dan Flona sudah lama tidak menurunkan artikel utama tentang tanaman hias, saya bisa jawab, saya sangat amat bisa memahami. Karena kalau menulis satu dua artikel, nanti dibilang sedang menggoreng. Kalau nulis harga lagi turun, lebih celaka.Bilangharga bagus, bisa dituduh kebohongan publik. Repot kan?

Jadi beginilah kita sekarang. Dengan tidak ada artikel2 sama sekali di majalah tersebut situasi jadi tambah mencekam. Kita seperti hidup dalam dunia horror. Ada apa ini?

Ada yang bilang memang sekarang orang tanaman lagi sensi (singkatan dari sensitip). Teman2 saya di majalah itu sendiri mengakui, Nulis salah, tidak nulis salah. Akhirnya pilih jalan paling aman: nulis rambutan, alpokat, kucai mini dan sebagainya. Pemain duren dkk itu kebetulan memang jinak-jinak katimbang pemain anthurium dan aglaonema, kata mereka lagi. Hahaha…. Saya ketawa.

Soal sensi tadi memang iya. Harga sekarang lagi amburadul. Kalau menyebut harga, ada sebagian orang yang kebakaran jenggot, terutama pedagang, tentu saja. Di kalangan komunitas tanaman, hal itu masih bisa dicegah, pst, jangan bilang2 soal harga, katanya. Tapi di pameran, di tempat umum, siapa bisa cegah?

Saya sering ketemu, orang-prang pulang dari nonton pameran tananman, cengar-cengir pamerdan bangga baru beli tanaman yang harganya sangat murah untuk ukuran zaman dulu. Celakanya, orang itu juga lapor ke teman2 lain.. Akibatnya bisa diduga, brand tanaman tadi merosot, harga tanaman tersebut langsung dianggap sudah murah, dan imagenya jadi murahan. Kita harus tahu, rupanya orang lebih suka beli harga daripada beli tanaman. Tidak perduli tanaman itu bagus atau memble, yang penting harga murah. Gitu.

Repotnya orang lupa melacak, siapa penjual barang murah tadi. Coba saja Anda ikut jadi detektif. Yang menjual tanaman murah itu biasanya jenis-jenis orang yang lagi BU, kepepet butuh uang, atau panik takut tanaman mampus karena cuaca lagi tidak menentu, atau harga tanaman akan bernasib kayak anthurium. Hm. Rupanya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran bagi orang. Baik pelajaran yang bener, maupun pelajaran yang ngaco. (Oke, nanti kita bicara di surat lain, pak)

Kembali ke soal sensi tadi, jadi penjual tanaman murah itu biasanya orangyang BU dan tidak bermental kolektor, tetapi orang yang memang dari sononya beli untuk investasi, atau untuk mengharap harga melambung.

Sekarang kita bias tau, mana kolektor sejati dan mana yang kolekdol. Setahu saya, yang kolektor sejati sampaisaat ini tidak pernah melego tanamannya murah2. Mereka tetap bertahan, dan punya nyali tinggi. “Mending tanaman itu mati di tangan saya daripada saya jual murah2,” kata mereka. Suer.

Sedang yang selama kita anggap kolektor, karena punya indukan banyak dalam jumlah banyak tapi kemudian menjual murah2, ya itulah yang namanya kolekdol itu. Mereka sih bilang sama kita, yah, saya sih seperti air saja, ngikut. Kalau murah ya jual murah. Wong saya sudah untung. Tapi, kalau kita juga sensi, kita tahu dia bilang begitu sambil nangis. Jadi kalau mereka jual murah2, mau apa? Kepada mereka, kita angkat tangan. Saya sendiri tidak mau tanggung kalau tanamannya kemudian mati, dan dia merasa uangnya mati di situ.

Nah, terhadap pertanyaan Anda berikut: bagaimana omzet penjualan saya saat ini, saya terus terang juga takut menjawabnya, karena ini juga termasuk yang sensi. Kalau saya jawab, bagus, Anda pasti kaget, menduga saya bohong. Kalau saya jawab, omzet saya amburadul, lebih celaka lagi. Nanti Anda kecil hati, dan membayangkan dunia bakal runtuh. Paling aman saya jawab standar saja: "Ya, ada2 saja, alhamdulillah....." Mau bilang apa lagi? Semua penghuni dunia rasanya sudah tahu apa yang sedang terjadi.

Oke begitu saja dulu kabar dari saya, pak. Saya janji akan menulis di surat lain soal trauma anthurium tadi.

Tetap semangat, pak.

Salam,
KJ

31 Oktober 2008

Surat Dari Serpong:
Tetap Optimis

Pak SP yang budiman,

Di Majalah Trubus edisi Juli 2008 saya mensinyalir bahwa pedagang tanaman hias naik 700 persen akibat booming Anthurium. Booming anthurium terjadi pada tahun 2007. Pada tahun 2008, situasi mulai berubah drastis. Sejak awal tahun 2008, bissnis tanaman ujug-ujuk melesu. Dikiranya karena orang habis berpesta Tahun Baru, ternyata sampai anak masuk sekolah, dan selesai harga BBM naik, situasi tak kunjung berganti.

Saya mungkin orang paling sedih, karena harus menjilat ludah sendiri, kalau mengatakan bahwa bsinis tanaman hias saat ini sungguh-sungguh menyedihkan. Banyak tip/ trik atau kiat yang saya tulis dalam buku saya Kiat Sukses Berbisnis Tanaman Hias (terbit pada tahun 2007), ternyata tidak mujarab sama sekali mengatasi kondisi yang ada saat ini.

Khusus untuk diri saya, Tuhan rupanya memberit ahu saya, bahwa saya masih belum pengalaman, saya masih harus belajar banyak dari kehidupan. Apa yang bisa saya petik dari pelajaran krisis global ini?

Tanaman ternyata memang sebuah komoditi yang unik. Betapa tidak. Pada saat BBM dan dollar naik, harga tanaman malah turun. Jelas realita ini menyesakkan dada. Terbukti karakter tanaman hias sebagai komditi, tidak sama persis dengan komditi-komoditi lain seperti bahan-bahan bangunan seperti kayu, besi atau semen, atau pot atau obat2an tanaman yang bisa mengambang (floating) dalam kondisi ekonomi apa pun.

Sangat menyesakkan dada, melihat kenyataan bahwa tanaman hias ternyata bukan komiditi yang adaptable dengan kondisi ekonomi, atau gampang dihantam resesi, beda dengan komoditi-komoditi lainnya. Contoh, pebisnis non-tanaman mungkin tetap tenang barang lama (yang dibeli dengan harga lama) menumpuk lama, karena kelak tetap bisa dijual dengan harga yang menyesuaikan keadaan. Coba kalau kita menyimpan banyak-banyak tanaman. Alih-alih harga bisa mengimbangi, tanaman kita malah bisa tidak terurus, dan lama-lama mampus.

Baru ngerti saya, diibanding pemain di lantai Bursa Efek Indonesia, pemain tanaman ternyata bisa lebih hebat. Saat kita asyik membelid an menikmati tanaman, pemain besar tanaman kita sudah berani melakukan aksi jual (murah) dan menarik tunai banyak-banyak. Akibatnya, kepercayaan emiten pun goyang. Harga tanaman merosot tajam. Kita pun terperangah dan terkena sentimen negatifnya.

Pak SP yang baik,

Saya bukan ingin menyurutkan semangat kita berbisnis tanaman dengan menulis seperti ini. Bagaimana pun penjual tanaman, tetap harus hidup, dan dibutuhkan. Saya justru ingin mengatakan bahwa beginilah memang seharusnya bisnis yang normal. Ada pasang surut. Ada saatnya rame, ada saatnya sepi. Tidak booming melulu seperti bisnis tanaman hias selama ini. Kalau bisnis booming melulu, namanya jelas bukan bisnis sejati, tetapi bisnis gelembung sabun (bubble), atau bisnis akal-akalan.

Jadi kalau saat ini nilai aset tanaman kita tiba-tiba merosot, --seperti harga saham--, tidak usah menangis. Insya Allah, nilai itu akan naik lagi. Cuma memang tidak dalam waktu pendek. Sebagaimana saham, tanaman hias adalah investasi jangka panjang. Saya tetap percaya bahwa apa yang terjadi saat ini tetap ada celah positifnya. Misalnya, jumlah pedagang yang naik 700 persen di zaman anthurium tadi, memang perlu diseleksi. Saya kira kita sepakat, dunia tanaman hias, harus diisi hanya oleh pedagang, kolektor dan petani yang tangguh, dan bukan oleh mereka yang sekadar ikut-ikutan atau petualang.

So, tetap semangat, Pak SP.


Salam,
KJ

(Bangun jam 8 pagi, ada miscall dari Pak SP: nagih artiketl SURAT DARI SERPONG karena sudah mau masuk cetak. Habis mandi, ngebut bikin tulisan ini, karena besok saya harus ke Lampung dengan teman2 Trubus dan Majalah Flona, diundang menjuri tanaman, takut tidak keburu lagi.)

01 Agustus 2008

Surat dari Serpong (3):
MENJADI PETANI

Pak SP yang baik,

Hingga tahun 2008 bisnis secara umum dilanda sepi. Tidak hanya tanaman hias, tapi konon juga komoditi lain. Saya menulis di TRUBUS (Juli 2008), masalahnya ada di daya beli yang merosot tajam. Tapi blessing in disguise. Selalu ada hikmah di balik musibah. Selama kurun itu kita ternyata bisa belajar tentang banyak hal.

Salah satunya, akibat tanaman tidak (cepat) laku, maka kita tiba-tiba ‘’disuruh’’ menjadi perawat tanaman dengan harapan tanaman itu akan tumbuh besar dan beranak pinak. Ringkasnya kita menjadi petani, dan harus memelihara sejumlah tanaman. Karena bukankah kita adalah pecinta tanaman?

Tanpa sadar kita pun mulai berandai-andai. Tiara, atau Hot Lady kita yang berjumlah 10 pot, mungkin pada suatu hari –jika tanaman-tanaman itu diberi panjang umur tentunya—maka jumlahnya akan bertambah dua-tiga kali lipat karena tanaman itu akan beranak pinak. Perasaan kita pun melambung membayangkan kalau pada saat itu harga tanaman itu makin mahal, atau sedikitnya ajeg. Tapi bagaimana kalau harga turun? Atau malah tidak lagi dikerling orang?

Pak SP,

Dulu saya beranggapan bahwa tanaman punya daur ulang. Keyakinan saya berangkat dari kenyataan bahwa ragam hayati kita sangat kaya, dan tidak akan pernah ada tanaman yang baru lagi sejak zaman Adam. Sehingga tanaman-tanaman itulah yang akan berputar-putar terus, tergantung ada-tidaknya kebutuhan masyarakat. Tapi maaf, saya sekarang meralat pendapat itu..

Ternyata belakangan saya menyadari, banyak tanaman yang nilai intrinsiknya bisa tiba-tiba terpuruk ke titik nadir. Tidak usahlah saya menyebut nama, kerena kuatir akan membuat pengagumnya tersinggung. Yang jelas, kita tahu bahwa tanaman-tanaman itu dulu pernah memiliki pamor yang bagus dan punya nilai yang tinggi tapi kini akibat populasi yang tak terkendali dan perubahan selera masyarakat, tanaman-tanaman itu tidak memiliki nilai jual lagi.

Adakah tanaman yang sedang kita rawat dengan susah payah ini akan memberi arti bagi kita di kemudian hari? Apakah kita cukup terhibur hanya karena kita menganggap diri sebagai seorang pecinta tanaman, sekalipun kita tahu nilai instrinsiknya sudah jatuh ke titik nol?

Belum lama ini saya bertelepon-ria dengan seorang kenalan di Parakan, Pak Congyan. Dia kolektor, penggemar aglaonema dan anthurium. Koleksinya banyak, dan praktis hanya yang terbaik yang dia punya. Ketika pembicaraan menyentuh ke masalah perkembangan harga aglaonema dan anthurium yang kini merosot, nada suaranya pun tampak berubah. Saya coba menghibur dengan mengatakan, bahwa baginya tentu harga merosot tidak masalah karena toh dia tidak akan berniat menjual lagi. Tapi apa jawabnya? “Yah…. kalau harga di luar merosot, saya tentu jadi tidak bersemangat lagi…”

Apapun yang terjadi saya berharap Bapak tetap semangat. Karena itulah ‘harta’ kita yang berharga saat ini.

Salam,
KJ

(Ditulis khusus untuk TABLOID HIAS SAMARINDA)

24 Mei 2008

Surat dari Serpong (2):
Nasib Pedagang

Pak SP*) yang budiman,

Belum lama ini saya keliling Jawa untuk sekadar refreshing, sambil melihat situasi kondisi bisnis tanaman, terutama menjelang harga BBM naik. Ternyata pameran tanaman masih banyak diselenggarakan. Tidak ada yang berubah, baik semangat, dan jenis tanaman yang diperdagangkan di sana. Seperti saya bilang dalam sebuah tulisan, di bawah matahari ini tak ada lagi tanaman baru. Yang ada daur ulang tanaman. Saat ini ditendang, besok ditimang-timang, atau saat ini disayang-sayang besok lusa bisa saja ditendang-tendang. Mungkin itulah nasib tanaman.

Saya bertemu beberapa pedagang yang mukanya mulai berseri-seri. Salah satunya Pak Budi, pemilik Meteor Garden, salah satu nursery anthurium terbesar di Jawa Tengah yang berlokasi di Banjarnegara. Green house-nya banyak, mentereng dan keren. Buka tutup lubang udara saja menggunakan remote control. Untuk merancang green house setinggi 7 meter tersebut, dia sengaja mendatangkan pakarnya dari Jakarta. Tentu tak terbilang beaya investasi, di luar nilai tanaman. Saya tanya, bagaimana sikap dia ketika tanaman loyo tempo hari? Dia jawab, enjoy-enjoy saja. Ketika harga turun, dan kebetulan tanamannya panen serentak, dia mengaku tidak panik. Bahkan, supaya pasar tetap bergairah, dia ikut meladeni dengan menurunkan harga. Dengan itu dia merasa bermain sky air. Kemana gelombang beringsut, dia ikuti saja iramanya. “Asyik…,” katanya.

Menjelang BBM naik, dia masih bisa menjual bibitan Jenmanii 2 daunan dengan harga Rp. 50rb per tanaman. Angka itu menjadi signifikan karena dia menjual per kompot isi 100 tanaman. Dan dia bisa menjual sampai 10 kompot sekaligus dalam setuiap transaksi. Demikian juga bibitan Black Beauty, yang dia jual per tanaman Rp. 400rb. Dengan mudah, dia menjual hampir beberapa puluh kompotan sekaligus.

Pak SP yang baik,

Kalau orang lain merasa susah menjual borongan seperti itu, mungkin karena orang juga percaya kredibilitasnya. Maklum, pembeli bibitan atau biji bisa melihat indukannya, bahkan kalau perlu, katanya, bisa petik langsung dari pohonnya.

Pak Budi, tak bisa dibilang orang lama di tanaman. Dia jatuh cinta pada anthurium karena terpesona pada sosok dan bentuk daun Black Beauty. Ketika booming anthurium terjadi, dia seperti halnya kita, tergerak ikut membeli Jenmanii, dan Gelombang Cinta. Bedanya kalau orang lain, membeli kelas bibitan atau kelas remaja, Pak Budi hanya mau membeli khusus untuk jenis indukan, yang bertongkol. Kita pikir waktu itu, orang ini sinting juga mengingat harga indukan saat itu rata-rata bisa mencapai Rp. 50 juta.

Rupanya, dia punya argumen sendiri. Dan sekarang, ketika harga melorot, dia membuktikan dirinya tetap bintang. Bayangkan, setiap hari, setiap pohon menghasilkan ribuan, bahkan belasan ribu biji yang dijual murah pun, tetap menghasilkan laba. Kalau dia lagi memetik biji-biji itu, saya membayangkan, orang yang lagi menarik uang dari Auto Teller Machine saja.

Tak syak, Pak Budi adalah tipikal seorang pedagang, yang kebetulan mencintai tanaman. Imannya teguh, meski harga runtuh. Ketika orang lain memicingkan mata pada tanaman yang dianggap sudah tak laku, dia malah setiap hari tekun merawat tanaman-tanamannya. Ketika orang lain, dengan kesal merobohkan green house-nya karena merasa tanaman sudah tidak laku, dia malah menambah green house-nya karena tanamannya makin banyak. Jadi, tak hanya intuisinya bagus, dan bersikap smart, dia juga pengagum mahkluk hidup.

Di Wonogiri, saya ketemu Pak Bian Gie. Dia juga nasibnya sama. Saat harga anthurium jatuh akhir tahun 2006, dia borong semua yang bertongkol. Ketika pasar anthurium mengalami peak tahun lalu, dia kipas-kipas. Padahal dulu saya kira, dia juga orang sinting. Masak, anthurium lagi tidak laku, dia malah beli banyak-banyak….

Sekian saja dulu kabar dari Serpong.

Empat kali empat
enambelas,
kalau tidak sempat,
bapak enggak usah balas
.:-)

Salam dari Serpong,

KJ
Kurniawan Junaedhie adalah wartawan dan pecinta tanaman

*) SP: adalah Safruddin Pernyata, pecinta tanaman hias, pemilik Shalma Shofa, sehari-hari Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kaltim.
Foto: dixna.wordpress.com/.../


Sumber tulisan: toekangkeboen.com

Surat dari Serpong (1):
Hobiis, Pedagang atau Spekulan *)

Pak SP yang baik,

Turunnya pamor anthurium, harus diakui telah membuat banyak orang kini dalam kesulitan financial. Terutama mereka yang serakah. Ketika harga merangkak pelan tapi pasti, banyak yang merasa cerdas, untuk langsung memborong banyak-banyak tanaman tersebut. Tak sedikit yang ‘nekad’ menggadaikan rumah, atau sepeda motor, sekadar untuk menangkap moment itu. Tapi, apa mau dikata? Kita tahu kemudian, harga dengan lekas ambrug secara semena-mena.

Ketika anthurium turun panggung, saya masih punya 14 pot Jenmanii dan sejumlah Gelombang Cinta indukan. Sungguh, saya tidak merasa kalah main. Anthurium itu saya simpan dan saya rawat baik-baik di green house yang malah saya bikin khusus untuk itu. Bahkan, saya suka mengajak teman-teman minum kopi, sambil memandanginya.

Ada teman yang punya nasib serupa: menyimpan banyak anthurium ketika harga turun. Berbeda dengan saya, dengan nada penyesalan, dia suka menghitung harga pembelian masing-masing tanaman itu. “500 juta,” katanya, “Sebesar itulah uang yang telah saya keluarkan. Coba kalau waktu itu saya jual tanpa banyak cingcong…..”.

Banyak juga teman-teman yang sekarang merasa empet kalau melihat tanaman-tanaman itu ‘teronggok’ di kebunnya karena ketika ditawar dengan harga bagus, tidak mau dilepaskannya. Sekarang, dia dilanda trauma berat. Jangankan merawat, menyentuh dan melihat pun ogah.

Pak SP yang budiman,

Kalau dibilang akibat anthurium-anthurium itu, uang saya mati, anggapan itu tidak salah. Coba kalau anthurium sebanyak itu saya jual murah saja, mungkin nilainya hampir mencapai 1 M. Sayangnya, saya tidak terlalu suka berandai-andai seperti itu.

Saya sendiri tidak pernah melihat hal itu dari perspektif sempit. Saya tahu kapan jadi pedagang dan tahu kapan berperan sebagai hobiis. Sebagai hobiis, saya jjustru beperpendapat, saya beruntung karena sekarang saya bisa punya anthurium sebanyak itu. Sementara setahun lalu, bermimpi punya satu pot pun saya tidak berani. Saya malah sedang bercita-cita jadi breeder. Sudah ada beberapa yang menghasilkan biji sampai saya kewalahan untuk menyemainya. Itung-itung, kalau saya jual murah untuk mengimbangi pedagang yang suka membanting harga pun, saya sudah berani.

Sebagai pedagang saya selamat karena yang 14 pot itu, kalau harus jujur, itu hanya sekitar 5-8 persen dari yang telah saya perdagangkan selama ini. Dari situ saya tentu saja untung, termasuk yang 14 pot itu. Kenapa saya selamat? Sekali lagi karena pada waktu itu, --ketika harga meroket,-- saya memposisikan diri sebagai pedagang bukan sebagai hobiis apalagi pedagang yang spekulan. Atau kombinasi dari itu.

Seorang pedagang sejati, tahu kapan saatnya membeli dan tahu kapan saatnya harus menjual. Sebagai pedagang saya lebih memilih hanya membeli tanaman yang laku, daripada membeli tanaman yang murah. Saya tidak pernah kikir membeli barang mahal, selama tanaman itu menguntungkan. Sebaliknya saya tak punya nyali membeli tanaman murah, kalau saya tidak bisa menjualnya.

Sebagai pedagang, patokan saya jelas. Tanaman akan saya jual kalau saya sudah untung seperak, tapi pasti tidak akan saya jual kalau saya rugi seperak. Sebagai pedagang saya hanya menjual tanaman yang prima, dan tidak letoy. Sebaliknya kalau saya sedang menjadi kolektor atau hobiis, saya mungkin tidak akan menjualnya meski ditawar dengan harga tinggi. Sebagai kolektor atau hobiis, mungkin saya juga ‘hanya’ akan menjual tanaman yang kurang bagus, dan lebih memilih memiliki hanya yang bagus-bagus saja untuk dirinya.

Jadi, kalau Anda membeli tanaman karena Anda berharap akan mendapat untung belaka, saya berani bilang: Anda adalah penjudi. Nasib penjudi hanya ada dua: kalah atau menang. Jadi kalau Anda kalah, sebaiknya ya legowo, mosok maunya menang terus?

Kalau tanaman Anda ditawar Rp. 75 juta (padahal sudah untung berlipat ganda), tapi Anda tetap bertahan karena Anda berharap untung lebih banyak lagi, saya kira Anda bukan pedagang, tapi spekulan. Kaum spekulan juga punya dua kemungkinan: kalah atau menang. Kalau sekarang tanaman tersebut tidak laku dijual, maka jangan salahkan siapa-siapa.

Terus terang, saya tahu kapan saya menjadi hobiis dan kapan sedang menjadi pedagang. Itulah sebabnya, saya tidak pernah risau, malah bahagia dan bersiul-siul ketika memandangi tanaman di green house saya itu. Karena saat itu, sesungguhnya saya sedang berperan sebagai seorang hobiis.

Bagi seorang hobiis, booming atau tidak, tak penting-penting amat. Yang penting Anda suka, karena tanaman itu unik (mungkin karena corak warna, bentuk, tekstur, urat dan tangkai daun, bonggol, tajuk) , langka, atau pertimbangan lainnya. Sebagai pedagang, tugas saya hanyalah menjual, tidak ada lainnya.

“Saya senang dengan semua tanaman hias, aglo, anthurium, philo, anggrek, tilandsia, bromelia dan tanaman hias lainnya, kecuali satu yang saya benci: spekulan.”

Hehehe,… Itu bukan kata-kata saya, Pak. Itu kata Bapak. Masih ingat?

Salam dari Serpong,

KJ
Kurniawan Junaedhie, adalah wartawan dan pecinta tanaman hias di Serpong

*) Artikel ini ditulis secara khusus untuk Tabloid Hias, Samarinda (direncanakan akan menjadi sebuah rubrik tetap) atas permintaan Bapak Safruddin Pernyata, pengelola tabloid tersebut, seorang penikmat tanaman hias di Samarinda, yang sehari-hari adalah Kepala Dinas Pendidikan Nasional di Kaltim.


Sumber tulisan: toekangkeboen.com