Tampilkan postingan dengan label herman syahara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label herman syahara. Tampilkan semua postingan

03 Desember 2014

Tumpeng untuk KJ: Dari Peluncuran "Sang Peneroka" di Klaten (II)

DALAM rangkaian acara peluncuran Kitab Puisi Sang Peneroka, Jumat (28 November 2014) lalu, sebagai peringatan hut ke-60 penulis Kurniawan Junaedhie (KJ), penulis, penyair, dan aktivis penerbit buku-buku sastra Kosakata Kita, diwarnai dengan pemotongan tumpeng. 

"Ini adalah acara peluncuran buku sastra pertama dan terbesar sejak kampus ini berdiri puluhan tahun lalu," kata Dr Esti Ismawati, dalam sambutannya di hadapan seratusan tamu yang terdiri civitas akademika, penyair, dan tamu undangan lainnya. 

Berikut adalah sebagian foto acara tersebut (Herman Syahara).






PUISI “GAGAL” ADALAH PUISI YANG TAK PERNAH DITULIS

Dari Acara Peluncuran Antologi Puisi “Sang Peneroka” di Klaten:


PUISI “GAGAL” ADALAH PUISI YANG TAK PERNAH DITULIS

PUISI yang “gagal” adalah puisi yang tak pernah ditulis. Tulislah puisi tentang apa saja, karena kehidupan ini terlalu luas untuk hanya terikat pada satu tema penulisan saja. 


Demikian salah satu poin yang menarik dirangkum dari acara bincang sastra bersama penyair Adri Darmadji Woko,Handrawan Nadesul, dan Kurniawan Junaedhie , dalam rangkaian acara Peluncuran Antologi Puisi “Sang Peneroka”, di Auditorium Gedung Pasca Sarjana Unwidha (Universitas Widya Dharma), Klaten, Jawa Tengah, Jumat (28 November 2014). 


Acara yang dipandu oleh dosen Unwidha Dr Esti Ismawati itu mengundang antusiasme seratusan peserta yang terdiri dari sejumlah guru, mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan sastra, dosen, dan para penyair dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta. Beberapa di antara guru tampil ke muka mengajukan pertanyaan menyangkut pengajaran sastra di sekolahnya. 


Rangkuman pendapat di atas menjadi semacam “sikap kritis” penyair terhadap pendapat Dr Agus Yuliantoro, Dosen Pasca Sarjana Unwidha, yang menjadi pembahas Buku Antologi Puisi “Sang Peneroka”. Dalam kesempatan itu Agus membandingkan beberapa karya penyair. Menurutnya, dari pengamatan sekilas, ada tiga tipe penulisan puisi dalam antologi tersebut. 


Pertama, ada puisi yang sudah “baik” karena telah mengalami masa pengendapan dan mudah difahami. Kedua, ada yang terkesan ditulis langsung dan spontan sehingga lebih terasa sebagai sebuah “laporan” ketimbang sebuah puisi. Dan ketiga, puisi yang sulit difahami secara tekstual dan kontekstual sehingga memerlukan telaah lain, seperti sosiokultural di mana penyairnya berasal atau tinggal. 


“Namun, teori yang paling sederhana adalah memahami puisi langsung seperti ini, secara tekstual, melalui teksnya,” ujarnya. 


Dengan latar belakang sebagai seorang dosen yang sehari-harinya berhadapan dengan calon pendidik, Agus Yuliantoro seolah ingin menegaskan bahwa sebuah puisi idealnya telah melalui pengendapan, tidak “berbelit”, sederhana, dan muda dicerna. Ini penting agar para pendidik (guru bahasa dan sastra) yang rata-tata kesulitan mengajarkan mata pelajaran sastra (puisi) karena tak bisa menulis dan memahami puisi, dapat tertolong saat mengajarkan sastra di depan muridnya. 

Puisi, katanya, juga harus memiliki pesan edukatif karena nantinya akan berhadapan dengan pembaca yang luas dan beragam. “Jangan seni hanya untuk seni yang karyanya hanya difahami oleh penyairnya sendiri. ” katanya. 

Puisi gagal


“Puisi gagal adalah puisi yang tak pernah ditulis,” ujar Adri Darmadji Woko. Jadi, katanya, untuk mengetahui proses apresiasi berikutnya, pertama-tama puisi harus ditulis dulu. 


Dan untuk mulai menuliskan puisi, imbuh Handrawan Nadesul dan Kurniawan Junaedhie, seseorang tidak harus mengikat diri pada satu tema saja, misalnya soal pendidikan saja. Handrawan mencontohkan, dirinya yang dokter tidak harus menulis soal kesehatan. “Kehidupan ini sangat luas untuk dijadikan inspirasi menulis puisi. Misalnya saya, sebagai dokter tidak harus menulis puisi tentang kesehatan saja,” katanya. 


Sementara Kurniawan Junaedhie menegaskan, sebuah karya puisi yang sudah dilempar penyairnya ke publik akan menjalani nasibnya sendiri. “Penulisnya sudah tidak bisa ikut campur dari penilaian publik pembaca,” katanya. Herman Syahara







https://www.facebook.com/herman.syahara.1/media_set?set=a.851355181595858.100001641523328&type=3

Ekspresi Enam Wanita Penyair dari Launching Sang Peneroka (I)









JUMAT malam, 28 November 2014, berlangsung acara Peluncuran Kitab Puisi Sang Peneroka, di Auditorium Gedung Pasca Sarjana Universitas Widia Dharma (Unwidha) , Klaten, Jawa Tengah. Kitab puisi yang memuat karya 106 penyair dari berbagai daerah ini diluncurkan berkaitan dengan HUT penulis dan aktivis penerbitan buku-buku sastra Kurniawan Junaedhieke-60 dengan kurator Esti Ismawati

Penerbitan buku ini juga dijadikan momentum kegiatan Sastra Masuk Sekolah yang ditandai dengan pembagian buku puisi kepada 10 SMTA di Kab. Klaten. Selain memuat puisi, dalam buku setebal 492 ini juga memuat ulasan, testimoni, dan celoteh sejumlah sahabat KJ (demikian panggilan lelaki pengelola penerbitanKosakatakita ini). 

Mereka antara lain Adri Darmadji Woko,Soni Farid Maulana, Adek Alwi, Esti Ismawati, dan dr Handrawan Nadesul. Acara peluncuran dimeriahkan oleh pembahasan karya puisi, bincang proses kreatif penyair, bincang sehat bersama dr Handrawan Nadesul, pembacaan puisi oleh penyair dan art performance oleh Bambang Eka Prasetya dan teater mahasiswa Unwidha. 

Seratusan pengunjung yang hadir dari berbagai pelosok kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta, bertahan sampai acara puncak. Berikut adalah ekspresi enam penyair wanita yang memukau para hadirin. Herman Syahara

https://www.facebook.com/herman.syahara.1/media_set?set=a.850904558307587.100001641523328&type=3