Tampilkan postingan dengan label Diary. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Diary. Tampilkan semua postingan

08 September 2009

HB Jassin dan Google

Antara tahun 1974 sampai tahun 1990-an, hampir semua pengarang (muda) Indonesia tampaknya merasa belum sreg kalau karya-karyanya belum dibaca HB Jassin yang waktu itu dijuluki Paus Sastra Indonesia. Jassin dianggap punya aura dan punya wibawa, untuk menahbiskan setiap orang untuk jadi pengarang atau sekadar calon pengarang. Tidak usahlah dikomentari Pak Jassin, cukup dia simpan saja di Pusat Dokumentasi HB Jassin di TIM itu sudah sangat senang. Mereka mengira, HB Jassin sudah membacanya.

Pak Jassin meninggal pada 11 Maret 2000 pada umur 82 tahun. Sejak itu, udara pepat dalam kehidupan sastra terasa ada yang kosong. Tapi semangat bekarya nyatanya tetap tak pernah surut. Meski menjadi seniman sudah ditebak nasibnya, setiap hari muncul dan lahir pengarang baru. Setiap jam sajak dibuat dan cerpen ditulis. Angkatan baru itu tak kenal Pak Jassin. Kenal nama, mungkin sekadar sayup-sayup. Tapi yang penting, tampaknya memang sudah muncul HB Jassin baru. Mereka adalah Google, Yahoo dan mesin-mesin pencari lain di Internet. Benarkah kalau karya kita belum dicatat oleh Paus2 baru itu, kepengarangan kita belum sreg? Saya tidak berani menjawab. Hihihi... Coba saja, tuliskan nama Anda di sana, dan klik. Sudahkah Anda diakui sebagai pengarang oleh Gooogle dkk?

22 Januari 2009

Undangan Temu Kangen Anita Cemerlang

Semalam, atau persisnya petang kemarin ada hal yang saya lupa tulis. Yaitu, masuknya sebuah SMS dari seseorang yang namanya tidak ada dalam database HP saya. "Mas KJ, aku mau bikin temu kangen pengarang dan redaksi anita, 15 feb. Bgm pendapatmu, mas?" Berhubung saya penasaran, saya langsung reply: "Siapa nih?". Beberapa menit kemudian masuk jawaban: "Kurnia Effendi". Kurnia adalah pengarang cerpen dan penulis puisi yang sangat setia pada dunianya. Kurnia bukan orang asing bagi saya. Bahkan dia dan Arya Gunawan, pernah di suatu masa menginap di rumah kami di Ciputat. Saya jadi tersipu: "Maaf, HP saya baru, jadi database hilang semua. Hehehe"

Baru setelah itu saya protes, kenapa selalu acaranya dibuat dekat-dekat Valentine's Day? Seingat saya, dia pernah mengundang saya untuk sebuah acara, juga pas di Hari Valentin. Akibatnya saya tidak bisa datang. Padahal dia mengundang saya ke acara itu jauh-jauh hari; karena saya ingat, saya terima kabar itu pas lagi liburan akhir tahun di Bandung atau di Bali (?).

Hari Valentine memang selalu menjadi hari istimewa buat saya. Bukan karena urusan cinta tapi karena pada hari itu saya harus bantu istri untuk menyiapkan order2 Valentine. Ini sudah kayak acara tahunan. Pada saat itu, biasanya rumah saya siaga 24 jam, penuh orang, penuh bunga, sibuk luar biasa. Bahkan semua karyawan saya di kebun pun, saya tarik semua untuk membantu. Maklum. Ada ratusan bahkan ribuan rangkaian bunga pesanan orang sedunia yang harus kami kirim pada hari yang sama. Kalau telat saja kirimnya, wah leher taruhannya.

Menurut Kurnia, pilihan tanggal itu kebetulan saja. "Kami memilih Minggu biar yang kerja n luar kota bisa datang," katanya. Lalu, "Datanglah barang sebentar...." Acara akan dibin di Sizzler, Dukuh Atas, Sudirman dekat HI jam 11 pagi -3 sore.

Ya sudah. Saya bilang, saya memang belakangan kangen pengen ketemuan dengan komunitas seniman/ sastrawan. Butuh suasana baru, sedikitnya kembali ke habitat lama. Mudah2an, kalau tak ada aral, saya pasti datang.

Yang jelas, di kepala langsung saja terbayang bakal ketemu sohib2 lama Adek Alwi, Yani Wuryandari, Emji Alif, Yogi TR, Yani Pranowo,. Tika Wisnu, Tina K.....

Saya tanya: "Tuti Nonka, Yulie Ikayanti diundang?"
Lalu Kurnia tanya: "Punya nomor telpon Adhie Massardi?"

Adhie Massardi adalah pengarang seangkatan kami, yang belakangan namanya sohor sebagai jubir Indonesia Bangkit Rizal Ramli, dan sebelumnya sohor sebagai mantan Jubir Presiden Gusdur.

Saya kontak Mas Didin Abidin, penulis buku Rizal Ramli. Nomor didapat, saya langsung forward ke Kurnia.

Seru deh.

Bersamaan dengan itu datang SMS datang dari nomor yang juga tak saya kenal, isinya sama, undangan Reuni Anita, cuma gayanya lebih formal. Bahkan di situ disebutkan tarip hidangannya: "Buffet Launch 65rb/ orang. Mohon tidak bawa pasangan/ keluarga. Untuk penulis bernostalgia, bawalah copy 1 cerpenmu di Anita yang masih dimiliki."

Ternyata itu dari Yanthi Razalie. Siapa dia? Saya tidak mengenal nama itu. Kata Kurnia, dia adalah pengarang Anita angkatan Sanie B Kuncoro atau Satrio Arismunandar. Dia lagi mendata alumni Anita. Sudah sekitar 140 nama, tapi baru 60-an nama yang ada kontaknya, begitu kata Kurnia. Yanthie memang minta saya menyerahkan data, nama, alamat, nomor telpon, email dlsb karena akan dibuat mailing-list Anita Cemerlang. Mumpung saya lagi banyak waktu, maka semua saya bayar kontan: saya jawab saat itu juga.

Sulit membayangkan, di reunian yang tampaknya bakal disambi dengan makan steak itu, kita sudah tidak akan bertemu dengan Mbak Astuti Wulandari (adik Yanie Wuryandari, yang pernah jadi Redpel Anita di masa awal terbitnya), Lazuardi Adi Sage (yang pernah saya minta cerpennya di awal nomor2 perdana Anita), Mas Harry Suwandito (kakak Bens Leo, yang ikut sibuk dlm proses pendirian majalah Anita di awal terbitnya), dan tentu Pak Risman Hafil, sang bos/ pendiri. Mereka sudah membuat acara reunian terlebih dulu di alam baka.***

21 Januari 2009

Hasil Check Up Oke

Ada berita gembira. Obama dilantik jadi presiden AS bukan urusan saya. Saya girang karena hasil check up saya ternyata baik-baik saja. Kolesterol, gula, SGPT/ SGOT, asam urat fine-fine saja. Bahkan, kata dokter keluarga, menunjukkan gejala serius saja tidak. Cihuy... Kalaupun ada angka yang tingi, --meski di batas normal -- itu adalah kadar kolesterol saya. Sudah pasti itu gara-gara waktu libur Tahun Baru di Bandung, saya makan kepiting selama tiga hari berturut-turut, ditambah maka durian dan sekitar 40 tusuk sate kambing Hudori di depan Stasiun.

Belum terlambat menyadari, bahwa kesehatan ternyata numero uno.

17 Januari 2009

Puasa, dan Azwina Aziz Miraza

Semalam saya puasa. Jam 7 malam, di meja makan ada selembar kertas bertuliskan supidol: "Ayah, puasa. Jam 10, tidak boleh makan, tidak boleh minum, tidak boleh merokok."

Wow tugas berat. Pertama, saya biasanya tidur jam 2 dinihari. Sejk dulu saya merasa saya dijangkiti insomnia. Kedua, selama begadang sambil ngetik dan browse internet saya biasa menghabiskan 1 popmie, atau 2 keping roti Boy, atau 1 toples kacang bali/ kacang goreng dll. Dan ketiga, selama itu pula saya biasa menghabiskan 1 bungkus rokok. Jadi, "larangan untuk tidak boleh makan" itu sungguh berat untuk dijalankan.

Jam 7 malam, saya minta Maria telepon dokter keluarga, apakah saya boleh menelan obat yang bisa membuat saya segera tidur? Kata dokter kami itu, oke2 saja. "It's fine," katanya. Langsung obat itu saya tenggak. Akibatnya sambil nonton acara Kick Andy saya sudah ngantuk. Tapi karena acacara itu bagus, apalagi ada teman saya Theodore KS, wartawan musik yang berambut jambul, yang sangat hapal judul kaset, judul lagu dan penciptanya, saya jadi memaksakan terus nonton sampai acara itu usai.

Mestinya saya langsung tidur. Tapi biasa, saya pengen merokok barang sebatang sebelum puasa. Jadi saya merokok, sambil ngebrowse sampai jam 11 malam. Celakanya Maria keluar kamar, memergoki saya lagi merokok. Dia langsung menyembunyikan rokok saya dan mematikan puntung saya. Ya sudah. Saya tutup komputer, dan mencoba tidur.

Menjelang tidur, perut keroncongan. Bahkan malamnya --seingat saya-- saya pun bermimpi, kehujanan, tapi hujan yang mengucur itu berupa nasi goreng.

Tapi sebentar dulu. Ngapain saya puasa sebegitu rupa? Tumben amat.

Begini: Pagi ini, saya diambil darahnya, test gula darah. Orang lab datang pukul 08.00. Jam 8 pagi saya dibangunin Maria. Orang Lab sudah tiba sejak tadi, katanya. Saya sigap bangun untuk segera diambil darahnya. Suster mencabut jarum dari tempatnya. "Masih steril ya pak?" tanyanya minta saya jadi saksi bahwa jarum itu stril dari penyakit2 menular. Saya diam saja. Tangan saya rentangkan, mata saya alihkan ke layar televisi. "Jangan tegang2, pak, gak sakit, kok. Kecuali kalau saya goyang2," kata suster. Bles, dan beres.

Suer, soal dimasuki jarum saya tidak takut, kata anak saya paling kayak digigit semut. Yang saya takut, terus terang hasilnya.

Celakanya berhubung hari ini Sabtu, dan besok Minggu, maka hasilnya akan ketahuan Senin. Bagaimana hasilnya? Wah, mudah2an tidak kurang suatu apa. Maklum, sejak tidak jadi pegawai Gramedia, sudah lama saya absen check up.

Suster pergi saya buka puasa: menenggak teh manis pencahar, menyambar Kompas, dan masuk ke kamar mandi. Begitu buka Kompas, saya baca berita, semalam atau kemarin ada acara peluncuran buku puisi Azwina Aziz Miraza almarhumah, teman saya di Bengkel Sasra Ibukota, yang jadi istri Hendri CH Bangun, wartawan yang kini jadi bos di Warta Kota. Di sana hadir teman2 saya semua: Wahyu Wibowo yang sudah jadi dosen, Dharmadi, Kurnia Efendi dll. Sambil nongkrong dan menyedot rokok saya berpikir: kalau saya datang mungkin asyik juga ya bisa reunian.....

Keluar dari "ruang baca", ada SMS masuk. Eh dari Adri Darmaji Woko, penyair mengabarkan hal yang sama. Kayak dia tau bahwa saya habis baca saja. "Sayang sekali tak ada Kurniawan Junaedhie, Remy Soetansyah, Rahadi Zakaria dan LAS almarhum...."

Begitulah kabar hari ini....***

11 Januari 2009

Dari Menstruasi sampai Kepiting Kolesterol

Sejak November males ngeblog. Lagi dapat menstruasi, 'kali. Padahal saban hari kalau gak di depan desktop, ya memangku laptop. Males saja. Kalau meminjam istilah anak saya, ngeblog "emang penting?"

Tapi supaya kelihatan urut, saya akan catat beberapa peristiwa yang bisa dianggp "emang penting" berikut ini:

Tanggal 24 November lalu saya ulangtahun. Malamnya saya sudah tahu.Tapi pagi2nya, bangun saya kura2 dalam perahu saja. HP yang setiap saya tidur saya setel ke flioght mode, saya nyalakan. Eh, masuk beberapa SMS. Selamat ulang tahun... dari anak2, Maria, adik2, ipar........ teman2 dekat al dari penyakir Adri Darmaji Woko yang tak pernah lupa hari2 penting saya. Teman dekat saya lainnya sepeerti dramawan Dharnoto, malah SMS keesokan harinya: "Wahuh lupa, Jun, gara2 sibuk menyiapkan surat untuk pensiun." Yah.... malamnya apa boleh buat, saya didaulat anak istri supaya makan bareng di Waroeng Soenda.

Tanggal 29 November, hari Minggu kalau gak salah, pagi2, ada SMS dari Rismuji, bahwa dia mau ke Serpong tapi tidak tau jalan. Ngapain ke Serpong? pikir saya. Terus ada telepon dari Widia tanya alamay Pecel Madiun di Serpong. Pecel Madiun? Waduh, baru ingat, hari ini, anak2 Tiara mau ngerayain ultah saya. Saya langsung angkat telepon ke Dharnoto selaku Event Organizernya, sembari agak kesel, kok tidak ada konfirmasi padahal hari ini saya rencana mau ke Bandung... Beliau cuma tertawa: Waduh sori... saya juga lupa. Tapi jalan terus saja. Kasihan yang sudah datang. Ini aku OTW (on the way)," kata dia. Singkatnya, kita ketemuan di DCost, Serpong, karena Pecel Madiun ternyata sudah di booked orang hajatan, sementara tempat lain yang siap menerima 20 tamu tidak ada.

Hadir antara lain: Victor Manahara, Ali Asim, Widya dan suami Coki, Mbak Ria Prabowo, Susanti Harini, Fit Yanuar, Herry Barus (yang datang bersama anaknya), Rismuji, Gusniar, Didik Setio Edi, Adlisal Rivai dll...... Wah, mengharukan, kita kumpul2 lagi setelah Tiara bubar.

Selama Desember, saya dengar Dharnoto sudah E Pendi (singkatan Pensiun Dini karena kaget, kadi pakai E). Saat itu juga saya baru tahu Mas Roy Watimena juga sudah pensiun, tapi alami karena usia. Tak lama kemudian saya dengar kabar, Yongki Dawanas juga E Pensiun Dini juga. Oya, Victor Manahara juga sudah beberapa sebelumnya mengundurkan diri dari Gramedia atas permintaan sendiri.

Dan pada tanggal 27 Desember, seperti biasa, kami ke Bandung, liburan akhir tahun untuk songsong tahun baru. Hari pertama ketemu Victor dan nyonya di sebuah FO di Dago, yang sedang kasih diskon 50 %. Alhasil waktu ketemu, dia menyampaikan info ada juga FO di Kebon Kawung yang lagi kasih diskon. Hahaha....Begitulah, kami melewatkan tahun 2008 di Bandung, dan mencicipi udara tahun 2009 di Bandung. Berita buruknya: saya dua kali makan kepiting. Yang pertama, kepiting saus padang dan yang kedua kepiting saus tiram. Kolesterolnya, alamak. Istri saya angkat tangan dan cuma berkata: Sudahlah, itung2 menikmati hidup di akhir tahun....

Tanggal 2 Januari kami pulang.
Tanggal 3 saya nengok kebun di Desa Sukamanah, Tiga Raksa, melihat tanaman alpokat yang saya tanam di sana.

20 November 2008

Lagu Sunyi

Saya lagi flu. Korban pancaroba. Dianjurkan untuk istirahat, tidur, selimutan. Jangan duduk di depan komputer dlsb. Mana bisa?

Banyak teman2 nanya prediksi, kondisi, nasib, prospek dan peruntungan bisnis tanaman di masa depan. Pusing juga jawabnya. Kali ini saya pilih no comment saja. Saya kira saya juga berada di barisan para penanya itu. Emang saya juga tidak susah?

Karena saya juga ikut susah, kemarin saya coba nagih kawan yang berutang. Dijawab, "Aduh, bos, maaf, saya lagi malas mikirin bayar utang saya sama sampeyan. Soalnya saya lagi konsentrasi untuk cari uang buat makan.... Tanaman engga laku. Sudah bulan tidak ada pemasukan...." Hati robek juga jadinya....

Ada terpikir mau bikin usaha baru: buka digital print, tanam alpokat, bikin skenario sinetron, ternak kambing otawa, nulis novel dengan latar belakang sejarah dlsb. Tapi rencana selalu berubah2. Kadang muncul semangat berkobar2, kadang padam begitu saja.

14 November 2008

Nostalgia Baca Puisi di TIM

Ayah baca puisi? Hahaha... anak-anak saya --Ayi dan Ela-- tertawa ngakak membaca berita ini. "Ngomong aja ngaco, kok ayah baca puisi...." Begitu kata anak2 saya.

Bacalah berita ini: "Puisi-puisi Kurniawan Junaedhie, Adek Alwi, dibacakan di halaman depan Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki, Rabu, 18 November 1981". Tulisan pendek ini, saya temukan iseng2 ketika saya seperti biasa, bermain mesin pencari Google, dengan alamat http://catalogue.nla.gov.au/Record/273864.

Tentu saja saya katakan pada anak2, bahwa meski kedengarannya ganjil, jelek-jelek berita itu faktual alias tidak bohongan. Kalau Anda juga meragukannya, --karena harap maklum, tidak sembarang orang bisa baca puisi di tempat itu -- kejadian bahwa saya dan pengarang cerpen Adek Alwi membaca puisi di TIM itu sungguh-sungguh benar adanya. Cuma kalau ditanya untuk urusan apa saya diundang baca puisi di sana, memang saya lupa.

Oya, saksi-saksinya juga banyak. Saya masih ingat, Yongke, adik saya, jauh-jauh dari rumahnya di Kebayoran Lama (waktu itu), datang ke TIM naik bis, untuk nonton saya. Saya juga ingat bebarapa seniman senior waktu itu nonton. Dan saya masih ingat benar, seusai acara itu, ketika saya membelanjakan honor baca puisi itu di kedai depan TIM, saya diumpat-umpat pelukis Hardi. "Aduh. Di luar bayangan saya, seorang Kurniawan membaca puisinya begitu jelek," katanya.

Jadi meski membaca puisinya jelek, betapa pun, tulisan ini telah melemparkan saya, jauh ke masa lalu.***

10 November 2008

Tips Penting Bagi Wartawan Lengser

Belum lama ini saya banyak diminta saran, pendapat atau nasehat oleh beberapa teman wartawan yang akan menjadi anggota Komunitas Pendi. (Pendi-=Pensiun Dini). Sebagai anggota Komunitas Pendi senior, tentu saja saya banyak menasehati mereka.

Intinya, saya mengakui bahwa sebagai wartawan yang bekerja di penerbitan pers, kita memang disegani dan punya relasi yang sangat luas. Dulu, misalnya, saya kenal mulai dari artis sinetron, presenter beken, kiyai kondang, penyanyi terkenal, aktivis, rektor, dirjen sampai menteri. Waktu itu saya bahkan bisa telepon mereka kapan saja sayamau, bahkan seenaknya kirim SMS meski isinya sekedar guyonan. Tentu saja, karena waktu itu saya memimpin sebuah penerbitan pers dan mereka jelas punya kepentingan dalam berdekatan dengan saya. Tapi bagaimana kalau kita tak lagi memiliki 'posisi' penting?

Di zaman saya bekerja di penerbitan pers sebagai redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi, hal ini selalu saya katakan pada wartawan-wartawan. Saya selalu minta agar mereka tidak gampang belagu setelah kenal dengan pejabat dan pengusaha, dan jangan punya pendapat bahwa para narasumber itu akan menolong kita setelah kita tidak bekerja di kantor.

Ketika saya pensiun dini tahun 2001, saya mempraktekkan hal itu. Sebelum mereka men-delete nomor HP dan menghapus account email saya, saya lebih dulu 'menyembunyikan diri' dari mereka, alih-alih minta job atau proyek. Dan meskipun sebagai wartawan saya merasa tidak pernah pensiun atau mengundurkan diri, memang belakangan saya ingat2, tidak ada lagi dari para narasumber saya itu yang mau menghubungi saya. Positifnya, saya weruh sedurung winarah sehingga saya terbebas dari post power sindrom.

Tentu tidak semua seperti itu. Terbukti, Dr. Rhenald Kasali menjadi salah satu relasi saya dari begitu banyak relasi saya yang terkenal, yang tidak melupakan saya, setelah saya lengser. Bahkan di suatu kurun waktu, (mungkin kuatir saya tidak memperoleh nafkah lagi setelah tidak lagi dapat gaji dari Kompas Gramedia)dia memberi job saya dengan cara elegan, yaitu sering pesan bunga ke istri saya. Jeleknya, selama itu, saya tetap mencoba tidak mau berkontak langsung dengan beliau sehingga kesannya saya sombong 'kali. (Padahal saya cuma ingin tau diri)

Tentu saja tetap berhubungan baik adalah pekerjaan mulia, karena itu bagian dari silaturahmi. Cuma saya cuma ingin mengatakan, jangan terlalu mengandalkan mereka. Apalagi kalau yang diandalkan adalah hidup (keluarga) Anda.

Hal berikut yang saya utarakan kepada teman2 itu adalah kenyataan bahwa ide wartawan itu memang banyak. Tapi kalau dicermati, setelah tidak lagi bekerja di penerbitan pers, ternyata ilmu kita cuma satu, yaitu menulis. Sehingga kita sebagai wartawan lengser sering punya cita-cita baku: membuat suratkabar atau media cetak. Kita rupanya lupa, perusahaan penerbitan pers tidak sama dengan toko onderdil, atau bengkel motor. Seorang kutukupret di bengkel motor, kalau mau, dan serius, bisa saja menyaingi bekas majikannya dengan ikut membuka bengkel motor. Tapi wartawan lengser yang mau bikin penerbitan pers, perusahaan radio atau televisi? Mungkin saja, kalau Anda beruntung bertemu dengan investor yang mau percaya menitipkan uangnya untuk dipertaruhkan oleh Anda. Tapi jangan lupa, dengan cara itu Anda masih tetap jadi orang gajian, dan belum naik pangkat. Buat apa lengser dong?

Hehehe.... tidak lagi menerima gaji bulanan, kehilangan tunjangan2 lain dan kehilangan jabatan empuk emang enak? Maka, bagi mereka yang masih bertengger sebagai bos, waspadalah. Mungkin sekarang Anda bisa petentengan di lingkungan kantor, tetapi sesungguhnyalah Anda bukan apa-apa ketika Anda berada di radius 10 meter dari bangunan kantor Anda. Apalagi kalau Anda ditaruh di tengah masyarakat..... berani?***

04 Oktober 2008

Mohon Maaf Lahir Batin

Banyak cerita tidak sempat kuungkap di sini, sejak 29 Agustus, berhubung saya sibuk, dan teramat sibuk. Sibuk apa?

Sibuk mempersiapkan Hari Idul Fitri, soal jualan parcel di internet, yang sudah merupakan tradisi keluarga saya sejak 9 tahun terakhir. Jadi, saya ikut istri ke Makro, Carefour, Giant, WTC dll untuk belanja bahan-bahan parcel. Sesudah itu, barang-barangh itu saya minta dirangkai sedemikian rupa oleh pak Salim, agar layak jadi parcel. Sesudah itu, satu demi satu parcel itu saya foto, saya masukkan ke website. Butuh persiapan 1 bulan lebih sebelum hari H tiba kalau mau dianggap profesional.

Lalu tak lupa saya utak-atik lagi website kami: indoflorist.com, indokado.com dll..... Begitulah, jadi repot. Teman2 tentu saja suka menganggu dengan chatting di YM selagi saya sibuk itu. Ya biar saja.... Toh, memori dan hardisk saya banyak. Jadi sekali kerja bisa dua tiga pulau terlampaui.

Menjelang 2 minggu lebaran, seperti yang sudah diprediksi, pesanan mulai banyak. Mula2 cuma satu dua. Lama2, beberapa perusahaan mengorder. Ringkasnya, laris manis.

Dalam keadaan letih luar biasa, istri mengajak saya menemani kulakan lagi. Sudah dianggap pas, eh, ada tambahan pesanan lagi, jadilah kami kulakan lagi. Jontor deh.

Di tengah2 kesibukan itu saya suka menelpon dan ditelpon oleh Pak Teguh Susila, sohib saya di Purwokerto. Arkian, beliau berhasil menjual tanah seluas hampir 2800 meter persegi dengan harga Rp 1 M. Tanah itu, memang terpaksa dijual, karena, dia harus membayar kewajiban kepada bank. Saya kira dari kasus Pak Teguh ini, banyak pelajaran bisa kita petik.

Pertama, berbisnis itu tidak boleh serakah. Serakah itu menyangkut mentalitas. Sama sekali bukan karena membeli banyak, dan tidak laku. Bukan.

Kedua, kulakan hanya barang yang laku, dan bukan barang yang tidak laku, atau baru diharapkan laku. Karena menurut kredo saya, jika Anda kulakan mestinya karena barang kulakan itu sudah ada yang bakal membeli.

Ketiga, jangan cuma membeli barang karena murah. Buat apa beli murah kalau tidak bisa dijual. Kalau saya pilih beli barang yang laku, jadi bukan soal mahal atau murah. Kalau pun secara nominal mahal pun, selama saya bisa menjual dengan beroleh untung, sudah oke.

Keempat, juga persis dengan kredo saya selama ini, berbisnis itu bukan ditunjukkan hanya bisa membeli barang jualan banyak, tetapi diukur dari seberapa banyak kita punya pembeli/ calon pembeli.

Oya, di tengah bulan puasa, saya dapat 'THR' dari Telkom sebesar 75 juta. Lumayan.... Terus terang saya tidak butuh2 amat. Saya ikut mengajukan kredit UKM itu sebetulnya karena solidaritas belaka. Kata teman2, saya harus ikut, karena saya sudah terlanjur jadi contoh kisah sukses Telkom. Saya sih tetap ragu2. Buat apa? Tahun lalu memang saya tidak ikut, padahal uang sudah siap cair. Tahun ini, apa boleh buat, saya ikut. Eh, dapat lumayan..... Karena kata orangtua, rejeki tidakboleh ditampik, ya saya syukuri.

Libur lebaran pun tiba. Karyawan mudik. Indokado dan Toekangkeboen tutup. Ada saat cari uang ada saat berkontemplasi. Saya dan anak istri langsung cabut ke Bandung. Tidak ada salahnya sekali tempo beristirahat.... Dari kota bunga itu, saya pun melihat perilaku saya selama ini. Ternyata....... ternyata, salah satunya baru disadari bahwa saya sudah tua.... tapi tidak merasa sudah tua, sehingga banyak ucapan saya yang ceplas-ceplos, yang kadang terasa nyinyir, sikap saya yang urakan, yang mungkin membuat banyak teman tersungging, kheki, kecewa dan kesal. Jadi, izinkan sekarang di hari baik ini, saya menghaturkan, Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin................***

29 Agustus 2008

Ayi ke Singapura

Ada satu hal bersejarah yang harus saya catat hari ini --selagi ada waktu buat update blog--selain kambing.

Nanti sore, saya akan menjemput putri pertama saya, Azalika dari Singapura. Ceritanya, putri saya ikut program pertukaran pelajar di sekolahnya, SMP Penabur Gading Serpong. Dia bersama 60 kawannya, harus ikut belajar di sekolah di kota Singa selama hampir 5 hari,. sejak Senen 25 Agustus lalu.

Umur Ayi --begitu nama panggilannya-- masih 13 tahun, tanggal 17 Agustus lalu. Ini perjalanan pertama ke luar negeri, dan tanpa kami. Atau tepatnya, ini pertama kali kami --saya, mamah dan Ela, adiknya-- ditinggal dia ke luar negeri. Wajar saya sebagai ayahnya jadi bete sejak dia pergi. Apalagi saya tidak bisa telepon sama sekali. Padahal saya sudah menggunakan XL dan Telkomsel.

Baru dari sana dia SMS saya (seperti biasa dengan bahasa gaul yang sulit saya pahami, tanpa diterjemahkan dulu oleh adiknya) yaitu, supaya saya pakai nomor Indosat.

"Ayah kalo mnw tlvn pke no indosat aj. byar ga ptus2."

Jadi saya langsung pasang kartu Mentari. Barulah, kami, saya, mamahnya dan adiknya bisa ngobrol.

Banyak acara selain pelajaran di kelas. Misalnya ke Santosa Island.

"ini ud di sntosa. hbs naek cble car n lugr. blg i love u m mama n other. mwah..."

Dia juga sempat ke Bugis Street. Saya wanti-wanti, supaya hati2, dan saya bilang kangen padanya. Dia pun SMS saya:

"ayi jga kgn tau!

Sebagai anak kelas dua SMP, atau kelas 8, istilah di sekolahnya, saya senang dia bisa jauh lebih pinter dari orangtuanya. Dia mengikuti pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Dan rupanya itu tidak hanya selagi di Singapura, karena setiap hari di sekolahnya, ternyata dia juga mendapat pelajaran dalam bahasa Inggris.

Dia juga ikut kursus Mandarin dan les musik. Untuk yang terakhir ini, dia memilih belajar jadi drummer. Padahal mau saya dia belajar biola, organ, piano atau gitar. Tapi yah.... sebagai ortu saya cuma bisa tut wuri handayani.

Dulu rasanya saya mengajari dia memegang mouse, tapi kini dia mahir luar biasa memencet keyboard laptopnya. Oya, dia aktif di friendster. Kalau saya chatting pakai YM, dia pakai MSN. YM dibilangnya jadul. Dan kalau laptop saya pakai Windows XP, maka dia maunya pakai Windows Vista. "Ayah memang jadul," katanya. (Jadul = jaman dulu alias kuno)

Mengherankan, bahwa putri saya itu juga punya minat pada design grafis. Praktis bukan saya yang mengajari. Tahu2, dia sudah bisa bermain photoshop dlsb. Saya terperangah. Tahu darimana?

Sering dia bawa laptop dan ngetik di tempat tidur. Mamahnya lapor: dia buat novel. Sumpah, saya tidak mengajari apalagi menyuruhnya. Kapan saya ada waktu?

Ah, doa saya siang malam adalah agar Ayi dicintai Tuhan, dan sesama............***

Anak Kambing Saya di Cibinong




Sejak bulan lalu jaringan teman saya bertambah dari segi katagorinya. Yakni teman-teman peternak kambing, termasuk makelar, dan para pemilik kambing2 lainnya. Di HP saya, mereka masuk dalam folder: "Embe". Jadi jangan kaget, di HP saya sekarang ada nama2 seperti: Embe Uhuy, Embe Haji Wawan, Embe Gushiding, Embe Sukajana dlsb. Pasalnya, saya juga menambah hobi baru: Dari penyuka sate kambing (saya pelanggan fanatik Sate Kambing Hudori Stasiun Bandung), menjadi peternak kambing. Senang saja.

Awalnya beli seekor. Harganya Rp. 350rb. Kambingnya besar, kebetulan sedang hamil muda. Yang kedua, kambing betina, yang sedang cari jodoh. Saya beli Rp. 250rb. Karena butuh jodoh, saya carikan pejantan, dan saya kawinkan dengan upah Rp. 10rb. Sekarang, dia pun hamil.

Selanjutnya saya menambah 12 ekor lagi, seharga Rp. 3,6 juta. Di antaranya ada 3 ekor pejantan. Kerjanya kawin melulu. Bang Edi sampai pusing, karena 3 pejantan itu getol kawin, padahal yang mau dikawini masih malu2. Jadi riuh rendah suasananya. Baru saya tahu, apa arti kata Bandot. Yaitu, makhluk yang suka kawin, tidak pandang umur, tidak pandang tempat. Hahahaha....

Semua kambing itu saya tempatkan di kebun saya di Cibinong. Di tempat itu, sudah saya bangun ''rumah kambing'' yang saya buat dengan harga Rp. 1 juta.

Gara2 lagi senang kambing, maka saya pun belakangan suka mencari info perihal kambing di Internet. Walhasil, kepengin juga melengkapi koleksi dengan kambing Etawa. Apalagi susunya bisa menambah kejantanan. Asyik ya?

Tempo hari, bersama teman lama saya, Ahita Teguh Susilo, iseng2 saya tengok mereka. Berikut foto2nya. Selamat menikmati kambing!***

28 Mei 2008

Sebidang Tanah di Desa Sukamanah



Sekitar bulan Februari 2008, teman saya Gusniar 'pamer' bahwa dia baru saja beli sebidang tanah seluas 1500 meter persegi di daerah Parung Panjang. Nama Parung Panjang bukan nama asing bagi saya selaku warga Banten. Jaraknya, katanya 22 kilometer dari Gading Serpong menuju ke arah Tigaraksa, kantor Wakil Bupati Tangerang Rano Karno dan Bupati Ismet. Jadi, atas dasar jiwa solider sekaligus untuk menyenangkan hatinya, saya nebeng mobil Avansanya ke sana.

Setelah berbelok ke kanan ke kiri, setelah hampir 1 jam perjalanan, sampailah kami di sebuah lokasi. Namanya Desa Sukamanah. Gusniar yang jenggot dan cambangnya mirip Yesus itu lantas turun di pinggir jalan, dengan gaya petentengan, dan menuding, "Tuh, pak, tanah saya. Dari jalan, ke situ, turun sampai ke bawah."

Wow, sebuah tanah persawahan, dari atas berundak-undak ke bawah. Terasiring. Dia berjongkok, menggenggam tanah. "Lihat nih pak, tanahnya bagus. Hitem," katanya lagi

Saya menebarkan pandangan ke seantero penjuru. Luas tak terkira.

Arkian, saya pun tergoda. Ketika mobil mau balik pulang saya lihat ada tanah dalam posisi di huk, menghadap dua jalan raya,. Halamannya teduh, karena banyak pohon kayu tumbuh di dalamnya. Mobil langsung saya setop. "Kalau ini saya mau nih, pak, kalau murah," kata saya iseng.

Gusniar langsung angkat HP. Seseorang datang dengan motor. Mereka kasak-kusuk. Lalu balik ke saya, "dia minta 25, pak. 25 rebu semeter. Ada 1.300 meter persegi."

Saya jawab sekenanya, "Kalau 20 rebu, oke, saya nggak banyak cingcong.

Hari itu juga saya dipertemukan dengan pemiliknya, Pak Pulung namanya. Kepada sang pemilik saya ulangi pernyataan saya. Saya paling tekankankan, bahwa tentu kalau ada jodoh. Karena menurut saya, jual beli tanah itu tidak mudah. Pemilik butuh uang pun belum tentu ada yang mau beli, sementara kita butuh, belum tentu ada yang mau menjual. Saya tekankan lagi, bahwa saya dalam posisi butuh-tidak-butuh. "Jadi, kalau 20 rebu oke, saya langsung bayar. Bagaimana?"

Pak Pulung minta pikir-pikir dulu, dan mau bermusyawarah dahulu dengan keluarganya.

Lusanya, dia pengen ketemu saya. Malam2 kami ketemu di lapak Gusniar. Dia tunjukkan bukti pembayaran PBB, fotokopi akta tanah, dan berkas-berkas lain. Saya lihat sepintasan saja sekadar basa-basi. "Jadi bagaimana, pak, boleh" tanya saya.

"Kalau di bawah 25 tidak bisa, pak"

"Ya sudah," kata saya cuek.

"Saya paling bisa kasih harga 24 saja."

"Ya sudah kalau begitu. Saya maunya 20."

Karena sampai kami pisah tidak ada kejelasan, perkara itu saya anggap sudah selesai. Case closed. Saya tidak mau membuka kasus itu lagi.

Tapi beberapa hari kemudian, ada lagi yang menemui saya. Namanya Pak Andok. Dia punya tanah seluas sekitar 1300 meter persegi juga, tak jauh dari tanah Pak Pulung. Tanah itu juga ada di huk, persis di jalan raya. Seperti kepada Pak Pulung saya ulangi kata2 saya, "kalau 20rebu per meter saya nggak lihat deh, saya langsung bayar, percaya saja."

Karena Pak Andok lagi BU untuk beli Pik Up, dia langsung oke. Saya bayar beberapa hari kemudian setelah surat jadi.

Jadi saya akan jadi tetangga Gusniar. Begitulah............ Adapun foto tanah tersebut, bisa dilihat di atas. Yang gondrong krempeng dan berbaju kuning itulah Gusniar, kawan saya itu.***

16 Maret 2008

Nama Panggilan: Ada2 Saja

Apa arti sebuah nama? Apa arti sebuah nama panggilan? Buat saya nama panggilan (nickname) ternyata bisa bermakna banyak. Untuk saya, bisa menjelaskan siapa dan dari kalangan mana mereka.

Kur—sapaan akrab Kurniawan Junaedhie— dst. Saya bisa menebak, penulis adalah teman2 saya sewaktu kuliah dulu, dan yang mengenal saya baru-baru ini saja.

Mas KJ, demikian biasa bapak dua anak ini disapa. Yang ini saya bisa menduga, penulisnya adalah sejawat saya wartawan, di Jakarta-Jakarta dan Kompas. Atau teman2 surfing di zaman saya mulai main internet tahun 90-an, seperti Edi Liu/ Phang, Widya Latiep, Mas Pri, Maysan dll.

mas jun, salam jumpa, kapan ke medan? potensial dilirik untuk bisnis bunga….kapan nulis lagi?
Sudah bisa ditebak mereka adalah sejawat dan teman saya di Gramedia Majalah dan kawan-kawan saya waktu saya memimpin Majalah TIARA.

Jadi kalau saya disapa orang di mal, di bis, di bandara, di sepur, di terminal, di kafe, di message parlour, atau di pesawat, --meski tidak kenal siapa dia,-- paling tidak saya tahu, dari kelompok mana mereka.

Mas KJ, sombong amat.
Heheh... pasti ini teman di kampus. Atau teman2 chatting jadul, atau teman2 wartawan di JJ.
Pak Kur, bisnis apa sekarang?
Dijamin, ini pasti sejawat saya sekarang, para petani, pedagang, pegawai bea cukai, atau importir tanaman hias. Pak Vincent (dedaun nursery) malah kalau panggil saya seenaknya saja: Pakur. Wakakakakk...
Mas Jun, apa kabar?
Wah, ini pasti anak TIARA. Supaya tidak dianggap sombong, saya kan bisa langsung nembak: "Kabar baik. Gimana kabar Mas Not?" Hehehe...

Selamat Hari Minggu.

06 Maret 2008

Valentine dan dr. Parlin

Saya belum cerita, ya, persis malam Valentines Day tanggal 13 Februari, kami --saya dan Maria-- begadangan. Di rumah banyak orang. Lampu teras nyala. Dua buah neon dinyalakan. Ada hajat apa? Langganan rutin tahunan. Kami lembur, karena order bunga untuk Valentine's Day cukup banyak. Ini hajat Maria, yang empunya indokado.com.

Seperti juga tahun-tahun sebelumnya (kami sudah mengalami 8 kali Valentines Day, sejak indokado.com didirikan tahun 1999), setiap menjelang tanggal 14 Februari kami mendapat karunia Tuhan: order rangkaian bunga begitu banyak. Menjadi dramatis, karena order sebanyak ratusan bahkan mencapai seribu order lebih bunga, harus kami kirim dalam satu hari saja, yaitu pada tanggal 14 Februari itu.

Kalau Lebaran, Natal, Imlek, atau Tahun Baru mah sipil. Lebaran jatuh tanggal 12, kami bisa kirim mulai dari tanggal 10 sampai tanggal 19, misalnya. Begitu juga Natal, Imlek atau Tahun Baru. Kalau Valentines Day, harus, kudu, tidak bisa tidak, harus bisa dan sanggup dikirim hari itu juga, biar banjir, gempa atau guntur menderu-deru.

Seperti tahun lalu, kami kebanjiran order. Andi, ipar saya yang selama ini jadi Direktur Operasional di nursery saya, hari itu saya tarik, dan saya BKO-kan ke rumah, membantu, terutama dalam mengatur rute perjalanan kurir. Heri, driver toekangkeboen juga saya tarik mendampingi Hapid, driver indokado sekaligus membantu armada kurir. (Hampir belasan kurir kami hire untuk event itu).

Jadi, malam itu kami begadangan, ditemani martabak, nasi goreng, minuman ekstra joss dan rokok yang berkepul-kepul. Maria sendiri tetap di depan laptop, duduk di ruang keluarga, terus mencek order yang terus masuk sampai dinihari, dari mancanegara.

Dia juga harus menerima telepon yang terus berdering-dering. Saat itu juga, kru Trans TV memaksa untuk meliput kegiatannya. (Acara itu disiarkan di Jelang Siang pukul 12.00 WIB tanggal 14 Februari persis Hari Valentine).

Pagi tanggal 14, Hapid dan Heri mengangkut rangkaian bunga ke beberapa service point di mana para kurir sudah menunggu. Begitulah, karena kami memang sudah berpengalaman, pengiriman berhasil dilakukan secara serentak tanpa gangguan sedikit pun. Kebetulan cuaca juga bersahabat. Tidak hujan, tidak ada air laut pasang di Jakarta dan tidak ada gempa. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Ada sih yang komplain, tapi tidak significant. Paling nanya, kok belum nyampe dlsb. Ika dan Iyah di bagian customer service yang meladeni.

Nah, akibatnya, beberapa hari kemudian, --tepatnya 2 minggu lalu-- Maria sakit. Dia diharuskan dokter Hilda untuk bedrest. Dia sampai diambil darahnya sampai dua kali. Tapi dia tetap bedrest. Jadi saya kesal. Kenapa tidak ada perubahan? Maria sempat tersinggung, dikira say amenuduhnya berpura-pura sakit, jadi sayamarah-marah. Saya bilangs aya tidak marah sama dia, tapi marah sama dokternya, kenapa sudah dua minggu tetap harus bedrest dan tidak kunjung ada perbaikan. Mau saya, dia protes.

Kemarin, Senin, saya temani dia ke RS Siloam, ketemu dokter Parlin, internist. Dia minta Maria dicek lagi darahnya untuk bagian-bagian tertentu. Esoknya dengan hasil lab itu kami datang ke dokter Parlin lagi. Apa yang terjadi?***

12 Februari 2008

Lihat Kebunku di Cibinong Bogor






Foto-foto beberapa sudut dari kebun saya. DAUN MUDA, namanya.

Memanfaatkan hari kosong saya menyempatkan diri menengok kebun saya di Desa Cibinong, Gunung Sindur, Bogor. Kebetulan, rumah joglo saya mau didirikan. Rumah Joglo itu saya beli seharga 30 juta sekitar setahun lalu. Tapi baru dua minggu lalu, rumah joglo gaya banyumasan itu, saya angkut dengan truk dari Banyumas.

Punya Rumah Joglo memang obsesi saya sebagai anak urban, sekaligus anak yang dididik secara agraris. Tapi kalau boleh terus terang, belinya juga by accident. Karena minat sekali juga tidak. Kebetulan, ada sejawat mau menalangi. Dia berutang tanaman pada saya. Jadi karena aturan mainnya simpel, ya deal. Itung-itung saya barteran dengan tanaman. Jadilah, saya punya Rumah Joglo. Kebetulan saya kan punya kebun di Cibinong tadi......

Luas Rumah Joglo itu 7 x 9 meter. Kalau dikali, jumlahnya 72. Itu artinya 9. Itu angka keramat saja. Nama saya Kurniawan Junaedhie adalah gabungan angka 9 dan 9, yang kalau ditotal adalah 18 yang artinya juga 9.

Kembali ke soal kebun, itu adalah hasil jerih payah saya berjualan tanaman. Jadi jika orang berjualan tanaman hias menjual tanah dan rumahnya, saya menjual tanaman dan membeli kebun.

Luas kebun itu 'cuma' 5000 meter persegi, jadi satu hektar (10.000 meter persegi) saja belum. Setahun lalu, sekitarFebruari 2007, saya membelinya dengan harga Rp. 70 rb permeter dengan ngos-ngosan. Saya katakan ngos-ngosan, karena saya nekad deal, tetapi kantong masih kosong.

Mungkin Tuhan tahu keinginan saya, tahu-tahu anthurium booming. Antara Mei - Juli, hampir setiap minggu saya mengirim satu truk anthurium ke Jawa. Untung lumayan saja, karena saya tidak mengutip besar-besar untung untuk setiap tanaman. Jadi, tanpa banyak cingcong, tanah itu saya langsung lunasi, dan sekaligus membuat pagar dari beton (di kampung saya disebut 'Tembok Berlin').

Bikin pagar beton terbilang murah, tak perlu tukang banyak, dan praktis, meski risikonya orang kampung terperangah dan menganggap saya sebuah PT. Hanya dalam waktu 10 hari, tembok beton yang mengelilingi tanah saya itu sudah berdiri kokoh. Selanjutnya saya dirikan rumah di sana, niat hati untuk penjaganya, dan sebuah greenhouse. Lalu karena masih jembar, saya juga bikin meja-meja tanaman yang kayunya saja dari kayu ulin yang harga sekubiknya Rp. 12juta.

Kebun itu juga obsesi saya. Saya pengen di situ kelak berdiri sebuah nursery, kebun pembibitan saya, di mana orang bisa datang, membeli tanaman sambil minum kopi. Sudah saya beri nama, DAUN MUDA. Maria sudah setuju, setiap minggu saya mengunjungi daun muda saya. "Setiap hari pun boleh, urus yang bener," katanya. Hehehe...***

Road Show = Jualan Abab

Road show. Itu mungkin istilah yang pas untuk aktivitas saya memasuki tahun 2008. Sejak diundang Majalah Pesona untuk berbicara mengenai Peluang Bisnis Tanaman Hias di Godong Ijo bersama Ir. Slamet, di depan sekitar 80 ibu-ibu partuh baya, saya jadi 'ketagihan' dan 'ditagih' orang untuk tampil di beberapa kota.

Terus terang, itu gara-gara saya dan istri (Maria) diwawancara di Majalah Pesona. Konon,lalu ada banyak permintaan untuk diadakan acara talkshow. Majalah yang memuat kami terbit November. Awal Desember, Mbak Shinta, redaksinya, mengkontak saya untuk acara itu. Langsung saya tolak. Karena saya lagi bosan membicarakan tanaman.

Sehari pulang dari plesir ke Bali, Mbak Shinta telepon lagi, dan mengajak lagi. Karena memang saya merasa sudah fresh, saya sanggupi. Begitulah ceritanya.

Arkian, setelah di Godong Ijo, saya dibooking Penerbit Agro Media Pustaka. Kalau bukan 'pulang kampung' saja mungkin tidak saya tanggapi ajakan itu. Penerbit tersebut sudah berulang kali mengundang saya berbicara di toko-toko buku. Tapi saya tolak. Pertama, saya memang sibuk, kedua ya, malas. Dugaan saya, para pemirsa di toko buku bukan target audience saya. Saya takut, terus terang saja, selagi mendengar saya bicara, mereka sibuk tengok kiri-kanan, karena ada 'pemandangan indah' lewat.

Setelah itu ada beberapa undangan lagi, supaya ngomong di hari Sabtu. Dari beberapa daerah. Termasuk dari Banjarmasin, yang meminta saya untuk berbicara tentang Pesona Anthurium di depan para pejabat dan undangan umum, dalam sebuah lelang anthurium. Patner saya, katanya, Dorce Gamalama. Honor, lumayan. Tapi tanggal bentrokan. Jadi saya tolak. Dan saya 'hibahkan' kepada Ir. Slamet, Direktur Operasional Godong Ijo. Alhamdulillah, Pak Slamet oke-oke saja.

Terakhir, saya jualan abab (abab itu napas, dalam bahasa Jawa) ke Samarinda, atas undangan Pemerintah Kota Samarinda. Sekaligus menjuri tiga kontes: anthurium, adenium dan aglaonema. Karena hubungan baik, dengan Pak Camat Drs Sugeng Chjaeruddin, Pak Sugiyanto, Event Organizer yang sehari-hari Sekdes Desa Karanganyar, Pak Safruddin, Kadin Diknas dan beberapa teman di sana, tentu saja saya tidak bisa menampik. Jadi persis di Hari Imlek, 7 Februari, saya justru ada di Samarinda.

Seperti biasa, sambutan para pejabat setempat selalu menyenangkan. Saya diajak kian kemari untuk makan enak. Mulai dari menyantap Ikan Patin, Bandeng Tanpa Duri, Udang Galah sampai Kepiting Lada Hitam disodorkan sampai kenyang. Belum cukup, perut saya juga masih dijejali Durian dan Lay, durian yang buahnya warna kuning, baunya seperti durian tapi rasanya kayak pohung. Jadi, itung-itung wisata kuliner. Bak artis saja, romrbongan saya (Pak Iwan dari Permata Orchids dan Rudi Poerwanto dari Majalah Flona) juga diajak siaran langsung di Radio Borneo, radio swasta setempat yang punya pendengar kalangan profesional muda dan eksekutif.
Waktu pulang, saya dapat oleh-oleh banyak. Ada yang berupa kardus, ada yang berupa cendera mata dan berupa batik Samarinda.

Tampaknya road show saya masih akan benar-benar berlanjut. Akhir Maret, insya Allah saya terbang ke Lampung. Ibu Christy, kenalan, dan sahabat saya di sana, mengundang saya untuk jadi juri. "Pak Kurniawan akan jadi tamu spesial suami saya," katanya via SMS.

Hehehe..... Hidup memang aneh. Siapa nyana saya jadi sibuk bicara tanaman hias, dan bukan dunia kewartawanan.***

06 Januari 2008

Plesir ke Bali





Tanggal 22 Desember hingga 27 Desember kami jalan-jalan liburan ke Pulau Dewata, sesuai janji saya dengan anak-anak. Kami menumpang pesawat Adam Air dari Jakarta, pukul 06.45 WIB menempuh perjalananan selama hampir 1,5 jam, dan seperti biasa sampai di sana waktu bertambah satu jam. Begitu mendarat di Bandara Ngurah Rai, kami sudah dijemput oleh sopir langganan, Pak Made dengan mobil Taruna-nya. Karena masih kepagian, kami tidak langsung check in di Hotel Grand Rama Kuta, tapi langsung jalan2 dulu ke Pasar Seni di Kuta, Nusa Dua dll, baru sore hari kami check in.

Sorenya, kami keluar lagi untuk makan2. Selama hampir sepekan, banyak yang kami lakukan di sana. Tapi karena ini perjalanan kami untuk ke sekian kali ke sana, kami sekarang lebih selektif memilih acara yang favorit2 saja. Misalnya ke Ubud, melihat dan membeli lukisan.

Sialnya, selama kami ke sana, Bali diguyur hujan terus-terusan. Jadi banyak program yang gagal, antara lain: anak2 tak bisa main atau berjemur sambil dipijat, atau di- manicure atau pedicure, bikin kuncir rambut, atau tatoo di Pantai Kuta (Pantai Kuta penuh dengan sampah). Kami juga gagal makan babi panggang khas Bali (tempatnya kecil, selalu penuh dengan turis Taiwan atau Korea dan harus mau kehujanan) di Ubud. Sebagai gantinya kami diajak Pak Made ke Warung Johny, di sekitar2 situ, tapi aduh mak, harganya mahal pisan.

Kami pulang naik Adam Air, pukul 18.45 WIT. Cuma satu jam perjalanan, karena waktu di Jakarta mundur satu jam. Hapid, sopir kami sudah menjemput di pintu exit. Seperti biasa, kopor kami beranak pinak. Over weight.

Libur ke Bandung






Tanggal 2 Januari 2008, kami sekeluarga jalan2 menghabiskan liburan ke Bandung. Seperti biasa, saya jadi sopir, dan Maria jadi kasir. Kali ini kami tidak tinggal di hotel (biasanya kami langganan di Cipaku Hotel, sebuah resort hotel di atas Jalan Setiabudhi dekat Lembang), tetapi di rumah Bumi Parahyangan Baru. Rumah itu pinjaman teman Maria, pasangan Ibu Erna dan Pak Joko. Lokasinya gampang. Masuk Tol Cipularang, kita exit di Padalarang- Cimahi. Dari situ tak jauh, langsung ada papan petunjuk. Wow. Pemandangan sungguh bagus. Udara dingin.

Arkian, --secara spesial-- di situ saya berfoto dengan kedua putri saya: Ayi (Azalika, 13 tahun) dan Ela (Betsyiela, 10 th). dan dengan Maria. Diabadikan pada Jumat 4 Januari 2008. Jarang sekali saya berfoto seperti ini. Dan saya tahu, anak-anak sangat merindukan adegan seperti ini.***

02 Januari 2008

Ke Bandung

Hari ini, goes to Bandung. Dani tidak ikut serta. Dia SMS ke Maria, "Bunda, there're no particular reason, just it's too sudden." Pada saya dia berani terus terang, "Ayah kan yang mengajari, supaya Dani berani bilang tidak."

Dua keponakan, sih sudah menyatakan tetap ikut: Eka dan Oki.

Ramalan cuaca tidak terlalu baik. Dari semalam saja hujan turun dan sampai sekarang belum berhenti juga. Dari Yogya, Pak Iwan mengirim SMS: "Cuaca mendukung buat kelonan. Asyik banget." Oya, Pak Iwan masih di Yogya. "Anak dan bojoku masih betah." Aku cuma titip salam buat sinuwun ngarso dalem.***