Oleh : Kurniawan Junaedhie
Isti pulang agak malam. Dodi menjemputnya. Tapi dia tak mau jika Dodi yang menjemputnya.
“Rumah kita cukup jauh. Kukira kita bisa kemalaman. Bus yang lewat rumah kita sudah habis jam sepuluh. Bagaimana?” kata Dodi.
Isti menggeleng.
Dodi menghembuskan napas.
“Aneh. Seharusnya kau takut berjalan sendirian di malam begini.
“Itu lebih baik,” potong Isti ketus. “Daripada aku berjalan berduaan dengan kau.”
Diliriknya kaki Dodi yang pincang. Dia memang tidak pernah bisa berjalan seperti manusia-manusia biasa. Kedua kakinya tidak berimbang. Kaki sebelah kanannya lebih kecil daripada kaki kirinya. Sejak berumur dua tahun, dia mengidap penyakit polio. Waktu SMP, Dodi pernah tidak mau masuk kelas selama seminggu gara-gara kakinya. Seluruh kawan-kawan laki-lakinya yang nakal suka usil dengan menyebutnya si pincang dari gua hantu.
Tentu saja dia malu. Tapi waktu dia duduk di bangku SMA segala gunjingan orang perihal kakinya, tidak pernah diladeninya. Semua saudara-saudaranya tidak pernah sekalipun mengejeknya. Kecuali Isti, kakaknya, satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya. Barangkali dia satu-satunya manusia di rumah yang paling tidak suka berjalan berduaan dengan dia.
Sesungguhnya dia bisa menyayangi kakaknya. Setiap Isti kelabakan mendapat tugas menggambar, Dodi ingin membantunya. Mencampur warna dalam piring kecil, mengambil kapas, air secukupnya dan memotong kertas gambar, karena anak itu memang pemalas. Tapi dia sama sekali tidak mengerti mengapa kakaknya bisa begitu membencinya. Karena kakinya yang cacad?
Baginya sendiri, kakinya yang tidak sempurna itu tidak pernah bisa menghalang-halangi segala niatnya. Dia bisa naik sepeda motor, kecuali kalau Isti memergokinya. Barangkali memang hanya Isti yang bisa mengahalang-halangi niatnya. Dan dia tidak habis pikir, mengapa bisa begitu.
Suatu hari Isti menangis karena tidak bisa menyeselesaikan tugas menggambarnya. Semua kakak-kakaknya sudah mencoba membantunya dengan segala cara. Bahkan ibunya sudah ikut repot-repot mengguntingkan kertas gambar segala. Semua serba sibuk. Tapi Dodi tetap asyik di kamarnya, mendengarkan kaset. Dia sangat heran, mengapa kakaknya sangat bodoh untuk tidak mau meminta pertolongannya. Baru ketika semuanya mengingat keahlian Dodi dalam hal menggambar, Isti menyeka air matanya.
“Dia memang pemalas. Dia hanya bisa mendengarkan kaset dan tidak mau mengerti urusan kita,” katanya memaki-maki. Dan ketika Dodi sedang sibuk menggambar, Isti dengan sebuah sapu di tangan menghardiknya.
“Angkat kakimu!” katanya. Diangkatnya kedua kaki Dodi dengan tongkat sapu. “Seharusnya kau bisa mengangkat kakimu sendiri. Dan bukan seperti ini,” katanya lalu sibuk menyapu lantai di bawah tempat Dodi tengah bekerja.
“Maaf. Aku tidak tahu kau akan menyapu,” kata Dodi sambil mengangkat atas-atas kedua kakinya.
“Aku tidak suka kalau kau selalu menyusahkan,” katanya. “Aku berjanji tidak akan menyusahkanmu,” potong Dodi kesal.
Isti menghentikan pekerjaannya.
“Bukan menyusahkanku. Bukan hanya untukku. Ingat, kau sudah bukan anak kecil lagi. Sekarang belajarlah berdikari!” ujarnya.Sama sekali tidak bisa dimengerti dia bisa mengatakan kalimat itu!
Pada malam perpisahan sekolah, karena mereka berdua lulus, Isti sempat bertengkar dengan ibunya karena isti tidak mau berangkat bersama adiknya.
“Aku akan dijemput kawan-kawanku dengan mobil!” alasannya.
“Apa salahnya? Tokh bisa semobil bersamamu?”
“Justru itu. Sebaiknya dia berangkat sendiri. Aku hanya pesan tempat untuk diriku sendiri. Dan jika mereka tahu Dodi akan turut, mobil bisa penuh,” katanya.
Tentu saja bukan karena itu alasan sebenarnya. Dia malu kalau kawan-kawannya mengetahui bahwa si pincang itu ternyata adiknya.
“Kupikir aku tak berangkat bersamamu,” tiba-tiba Dodi muncul dari kamarnya. “Aku bisa jalan kaki. Bukankah jarak antara rumah kita dengan gedung kesenian hanya beberapa langkah saja?”
Ia mengenakan hem baru, celana panjang baru dan menyeruak dengan jalan yang timpang. Isti melihatnya dengan wajah cemberut. Dari terpaan lampu trotoar, dia seakan-akan sangat jijik terhadap adiknya.
“Memang sudah kuduga. Kau pasti tidak mau pulang bersamaku,” kata Dodi putus asa. Dia melihat malam yang hampir hujan.
“Aku yang tidak menduga kau akan menjemputku. Dan itu menghinaku,” sahut Isti mendongakkan dagunya.
“Ibu menyuruhku menjemputmu karena hari sudah malam,” katanya seperti untuk dirinya sendiri.
Sekali lagi Isti melirik adiknya yang berjalan di sampingnya.
“Pulanglah. Kurasa aku sama sekali tidak membutuhkanmu!” katanya dingin. Dilihatnya adiknya tetap tak bergeming. Aneh, pikirnya, dengan kaki yang timpang itu dia masih mau berjalan denganku. Dia seperti tidak merasakan bahwa dia tidak seperti manusia-manusia lain.
“Sudahlah kalau begitu. Aku ini memang sialan. Kau bisa pulang sendiri. Karena kedua kakimu sempurna. Aku memang manusia yang tidak berguna. Memalukan dan timpang!” tiba-tiba Dodi berteriak keras. Isti hanya tersenyum memandang adiknya berjalan tertatih-tatih mendahuluinya menembus kegelapan malam.
Tanpa bertanya pun ibunya sudah tahu apa yang terjadi. Dodi pulang sendirian dan tak lama Isti menyusul di belakangnya.
Isti menangis di kamarnya karena seisi rumah menyalahkan tindakannya. Sedang Dodi asyik di kamarnya, mendengarkan kaset. Seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya.
Pagi berikutnya, Dodi bersikap seperti biasa. Semalam dia memang sulit memejamkan mata, mengapa Tuhan memberi sebuah kaki yang tidak sempurna. Dia berjalan menuju ke kebun dan menghirup udara pagi. Dia tak pernah mengomel menyesali diri. Andainya dia mengomel pun, itu tak akan pernah mengubah dirinya menjadi Dodi yang lain dari yang sekarang. Dia duduk di sebuah batu lalu mencoba menggerak-gerakkan kedua kakinya, dia memandang ke rumahnya. Sebuah jendela telah terbuka. Itu jendela kamar Isti.Samar-samar dia melihat gadis itu memandang ke arahnya. Karena itu ia cepat-cepat membalikkan muka.
Isti memang tengah menatap ke arahnya. Semalam. Ia juga menangis dan susah memejamkan mata, mengapa Tuhan memberinya adik dengan kaki yang timpang. Tapi pada pagi ini, dia merasa Tuhan mengirimkan laki-laki pincang itu untuk dirinya.
“Seharusnya aku meniru sikapnya. Dia tidak pernah menangis karena kehilangan kaki kanannya. Tapi aku menangis karena dia tak pernah menangisi dirinya.” Dia berdiri, dan membuka lebar-lebar jendela kamarnya.****
(Majalah Aneka Cerpen, 1980)