Tampilkan postingan dengan label wartawan dan cara menyajikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wartawan dan cara menyajikan. Tampilkan semua postingan

14 Mei 2009

SUMBER LAYAK DIPERCAYA

Dear Journalist,

Ada saatnya Anda dihadapkan pada suatu dilema. Setelah Anda berhasil mengorek keterangan penting secara susah payah, ternyata nara sumber Anda keberatan disebut jatidirinya. "Baiklah, saya akan jelaskan duduk soalnya. Tapi jangan kutip saya sebagai sumbernya ya." Atau, "Saya bersedia bicara, kalau Anda menjamin bahwa hal itu Anda peroleh dari sumber yang layak dipercaya." Anda kecewa? Pasti. Sebab informasi penting itu pasti akan lebih bernilai berita jika Anda bisa menyebut sumber sebenarnya.

Jadi bagaimana ?

Pura-pura setuju, tapi diam-diam menyebut nama sumber itu ? Atau, menulis berita itu sedemikian rupa, agar sumber berita Anda mudah dikenali meski samar-samar ?

Kalau kami jadi Anda, dalam keadaan seperti itu, tak syak, kami akan memilih menyetujui tawarannya dan menghormati kesepakatan itu: menyembunyikan identitas sumber Anda. Atau
menulis berita itu, dengan cara sedemikian rupa, tanpa menghubungkannya sama sekali dengan sumber tadi. Setidak-tidaknya, dengan cara itu, Anda akan beroleh kepercayaan dari
sumber berita Anda. Dan di lain waktu, tidak mustahil, Anda bisa berharap ia akan secara lebih terbuka memberikan informasi-informasi yang lebih penting kepada Anda. Tul nggak?


Salam kompak,
Khalayak Anda

EUFIMISME DAN SIKAP KRITIS ANDA

Dear Journalist,

Baiklah. Anda ingin agar pemberitaan Anda tidak perlu membuat kami resah, dan bergolak. Dan solusinya gampang saja: Anda mencoba menggunakan eufimisme atau kata-kata pelembut sebagai gantinya.

Untuk menyebut "desa miskin" Anda 'terpaksa' menggunakan kata, "desa tertinggal", untuk menyebut kata "kelaparan" Anda mengubahnya dengan sebutan "rawan pangan" dan seterusnya.

Sungguh, sampai-sampai kami merasa bahwa negeri kita ini subur makmur lohjinawi. Tak ada kelaparan dan tak ada kemiskinan. Ah, rasanya kami kini sudah bisa hidup lebih tenteram dan tidur lebih nyenyak.

Anda juga sering menggunakan kata "diamankan" untuk mengganti makna kata "ditahan". Yang bener aje.Sejauh yang kami tahu, seseorang yang yang ditahan, biasanya malah merasa hidupnya tak aman karena kehilangan kebebasan dan seterusnya. Apakah kesan kami itu salah?
Pemerintah tidak melakukan "penggusuran", begitu kata Anda, tapi melakukan "pembebasan tanah". Jangan konyol, Bung.Kenyataannya, banyak dari kami tidak ingin pindah dari rumah
dan tanah asal ke tempat baru. Padahal kata "pembebasan tanah", yang terdengar sangat manusiawi mengandung pengertian bahwa kedua belah pihak, ada kesepakatan. Sebaliknya pada kata "penggusuran" mengandung arti pemaksaan dari kebebasan dan berlawanan dengan
hak asasi kepemilikan.

Betapa pun, kami hargai upaya Anda 'membantu' pemerintah dalam menjaga ketertiban dan keamanan nasional, tapi haraplah bersikap kritis, juga kepada bahasa yang Anda gunakan.


Salam kompak selalu,
Khalayak Anda

NAMA ADALAH SEGALA-GALANYA

Dear Journalist,

Shakespeare bilang what's in a name. Apalah arti sebuah nama, katanya. Tapi bagi bangsa kita, hal itu tak bisa ditawar lagi, nama adalah segala-galanya. Name is everything. Untuk mendapatkan sebuah nama, orangtua kita telah memikirkan lama sejak kita masih di kandung badan. Mereka mengharap agar nama kita punya makna penting, yang mungkin berupa harapan, impian atau keinginan mereka. Demikian halnya ketika kita punyai anak, kita pun akan melakukan hal yang sama: berusaha memberi nama pada anak kita sebuah nama yang memiliki makna mendalam, sampai ke titik koma.

Itu sebabnya nama kami, mungkin tampak agak aneh bagi Anda. Misalnya, Habibie bukan Habibi, Try Sutrisno bukan Tri Sutrisno, Junaedhie bukan Junaedi atau Djunaedi, Jakob Oetama, bukan Jakob Utama, misalnya.

Ada kalanya, nama kami yang ada huruf "u"-nya, harus ditulis, dengan "oe"; atau yang satu menggunakan oe, satunya lagi menggunakan u. Maksudnya, gabungan dari ejaan lama dan ejaan baru. Misalnya, Soepardjo Rustam, Roeslan Abdulgani, Joedo Sumbono dan lain sebagainya. Keanehan ini juga mungkin Anda rasakan, bila nama kami ternyata Edy, Edhie, Eddy, atau Edi.

Anda juga akan disebut ceroboh bila menganggap bahwa nama kami yang berakhir dengan huruf o, selalu diartikan bahwa kami berasal dari Jawa; atau nama kami yang berakhiran a selalu ditafsirkan selalu berasal dari Jawa Barat. Contohnya, meski berasal dari suku Jawa, nama penyanyi Kla Project adalah Katon Bagaskara bukan Katon Bagaskoro.

Ya, sekali lagi, bagi kami, nama itu sangat penting. Nama itu segala-galanya. Yang penting Anda menuliskan nama kami secara benar, baik ejaan maupun pemenggalannya. Karena hal itu tidak hanya menunjukkan bahwa Anda tidak akurat, tapi juga Anda tidak menghargai kami dan Anda menyepelekan kami.

Kesalahan-kesalahan menulis nama kami yang lebih parah adalah jika Anda mestinya menulis nama Soekamto Suryohadiprojo menjadi Sukamto Sajidiman, misalnya. Ini sungguh keterlaluan.

Jadi, jangan malas untuk bertanya pada kami dalam menuliskan nama kami secara baik dan benar; atau meminta kartu nama kami, setiap kali Anda mewawancarai kami. Atau menelepon sekretaris kami untuk menanyakan hal ini. Membalik-balik buku petunjuk telepon, atau buku Apa & Siapa juga dianjurkan, meski, konfirmasi untuk itu tetap disarankan. Ingat: menulis nama dengan benar dan baik, adalah salah satu pengetahuan etiket paling elementer dalam dunia komunikasi.

Dan itu jugalah yang seyogyanya Anda lakukan ketika Anda harus menulis pangkat atau jabatan kami. Apakah, Managing Director, Assistant Manager, Director Assistant, Executive Director, Vice President, dan lain sebagainya. Jangan sampai Anda menyebut jabatan kami sebagai Presiden Komisaris, bila kami adalah Presiden Direktur, misalnya. Jika ini terjadi, kesalahan Anda rasanya juga tak terampunkan.


Salam kompak,
Khalayak Anda

BUAH SIMALAKAMA PORNOGRAFI

Dear Journalist,

Membereskan persoalan pers porno, atau pemberitaan yang mengarah ke selera rendah ternyata bagaikan buah simalakama, setidak-tidaknya bagi kami. Kalau kami tidak menegur cara, bentuk dan isi pemberitaan Anda yang cenderung berselera rendah, kami khawatir Anda akan keterusan. Tapi jika kami menegur Anda, yang kami khawatirkan, justru effek baliknya: pemberitaan soal teguran kami itu akan otomatis menjadi promosi murah bagi Anda.

Setidak-tidaknya, pengalaman menunjukkan, bahwa teguran yang dilakukan secara terbuka, --misalnya dengan menyiarkannya lewat TV atau siaran pers-- dengan menyebut nama medianya, justru membuat maksud dan tujuan teguran menjadi bias. Karena biasanya masyarakat malah memburu majalah bersangkutan, dan pada akhirnya majalah itu malah diuntungkan. Hal itu bisa dimaklumi, karena orang biasanya lalu tergoda, untuk mengetahui (membuktikan) sampai sejauh mana, nilai atau kadar pornografi yang dimaksudkan tersebut.

Itulah yang menyebabkan kemudian teguran-teguran oleh instansi-instansi pemerintah yang berwenang untuk itu terhadap Anda, di zaman Orde Baru dulu dilakukan di bawah tangan, bersifat tertutup, dan bersifat 'pembinaan' atau persuasif.

Apakah setelah Orde Baru gulung tikar, dan Deppen dilikuidasi di zaman Presiden Gus Dur Anda kemudian merasa bebas? Tidak, bung. Pelanggaran kode etik ini tetap kami pandang sebagai dosa tidak terampunkan.

Apakah Anda perlu contoh kasus terlebih dulu agar Anda jera ?

Pada pertengahan tahun 2006, ketika edisi perdana Playboy versi Indonesia itu terbit, sejumlah organisasi massa mengamuk, dan kantor majalah asal AS itu nyaris remuk-redam diamuk massa. Orang-orang itu juga kemudian melakukan sweeping untuk membakar media massa porno yang banyak beredar di pasaran.

Celakanya, Dewan Pers, lembaga swadaya yang anggotanya terdiri dari masyarakat pers sendiri (menurut salah seorang ketuanya, Leo Batubara), tidak bisa berbuat apa-apa karena masalah pornografi menjadi wewenang kepolisian atau kejaksaan.

Jika kepolisian dan kejaksaan juga tak bisa berbuat apa-apa, maka jangan salahkan, kami pasti bertindak.

Apakah Anda berharap kami menganggap Anda mati syahid dan jagoan, jika media Anda, diberangus karena persoalan-persoalan di seputar selera dasar dan rendah manusia ini ? Atau, karena pada dasarnya memang benar, bahwa hal itu merupakan kebutuhan dan kesenangan khalayak ramai, termasuk kami ?

Salam kompak selalu,
Khalayak Anda

JANGAN ABAIKAN KATA-KATA

Dear Journalist,

Dalam surat kami terdahulu, kami pernah mengutip ucapan Betty Billip, "Kata-kata lisan atau tulisan yang paling menyedihkan adalah kata-kata yang tidak Anda pikir ketika itu." Hal ini menjadi serius karena alat komunikasi Anda adalah kata-kata. Itu sebabnya, sebagai wartawan Anda selalu disarankan untuk tak henti-henti memperkaya kosa kata Anda. Karena semakin kaya kosa kata Anda, semakin mudah dan efektif pula Anda menyampaikan gagasan atau pesan Anda.

"Orang yang menguasai kata-kata akan memilih secara jitu kata-kata yang paling harmonis untuk mewakili gagasan dan maksudnya," begitu kata pakar. Sehingga Anda mestinya tahu kapan seharusnya menggunakan kata intip, dan kapan menggunakan kata intai, meskipun kata-kata itu bersinonim. Hahaha... kita pasti akan sakit perut dibuatnya jika membaca tulisan: "Si Badu mengintai orang mandi", dan "para gerilyawan kita mengintip kubu musuh."

Oya, di samping itu, disarankan pula agar Anda selalu mempertimbangkan apakah kata-kata yang menurut Anda sudah tepat itu dapat diterima oleh khalayak Anda yang terdiri dari berbagai usia, latar belakang pendidikan, ekonomi dan asal usul ini, yang kadang juga diiikat oleh berbagai norma menghendaki agar kata yang Anda pilih juga harus cocok dan serasi dengan norma-norma mereka. Itu sebabnya sebaiknya Anda selalu menggunakan kata wafat, mangkat, berpulang atau tutup usia jika ada seorang tokoh yang meninggal dunia, dan bukan menggunakan kata tewas atau mati. Mungkin pengertiannya sama saja, yaitu "peristiwa di mana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya". Namun kata-kata yang pertama terasa mengandung konotasi tertentu yang lebih sopan.

Sampai di sini izinkanlah kami --sori-- mengingatkan Anda kembali, bahwa kata-kata memiliki makna denotatif dan konotatif. Kata-kata yang bersifat denotatif adalah kata-kata yang tidak memiliki arti dan perasaan tambahan atau bebas interpretasi. Sedang kata-kata disebut bersifat konotatif jika kata-kata itu memikiki arti dan perasaan tambahan atau bisa diinterpretasikan. Itu menurut Gorys Keraf, dalam bukunya, "Diksi dan Gaya Bahasa". Dari sini bisa kita pahami mengapa seharusnya Anda selalu mempertimbangkan baik-baik kata-kata atau istilah-istilah tertentu yang hendak Anda gunakan.


Kata demokrasi atau kerakyatan bagi seorang penganut ajaran komunis, akan berbeda pengertiannya dengan penafsiran seorang penganut ajaran liberal. Demikian juga, istilah liberal akan memiliki makna berbeda, bagi orang Amerika maupun bagi kita. Kata kiri dan kanan ternyata juga tak hanya berarti tempat atau arah, tapi terkadang punya arti tertentu. Kata domba, alkitab atau anak Allah, bagi penganut Kristiani tentu akan punya makna tersendiri, demikian juga kata umat atau Allah, bagi kaum muslimin. Karena itu jangan pandang enteng dalam soal kata-kata ini. Sebab jika Anda menggunakan kata yang menurut Anda benar dan tepat tapi menurut sebagian dari kami punya makna tertentu, yang terjadi adalah kesalahpahaman dan konflik. Dan hal itu kadang juga berakibat serius.


Karena itu menurut hemat kami, sebagai wartawan, Anda tetap kami sarankan untuk tetap memilih kata dan menggunakan kata yang bersifat denotatif, atau yang bebas dari penafsiran. Dengan memilih kata yang lebih netral dan bisa diterima oleh semua orang, Anda tidak membuat kami tenteram tapi kami senang membacanya. Selalu ingat, kami terdiri dari berbagai usia, latar belakang pendidikan, ekonomi dan asal usul.

Salam kompak selalu
Khalayak Anda