Tampilkan postingan dengan label maman s mahayana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label maman s mahayana. Tampilkan semua postingan

01 April 2010

MENGANTAR 9 PEREMPUAN DALAM SAJAK

Pengantar Editor:
Kurniawan Junaedhie

MENULIS puisi memang gampang. Tapi menulis puisi yang bagus dan mengesankan, jelas tidak bisa serampangan, dan bukan sekadar seperti, misalnya, menulis status puitis di fesbuk. Rasanya, ke-9 penyair dalam buku ini menyadari benar hal ini. Karena itu ketika membaca puisi-puisi ini selagi masih dalam bentuk naskah, saya berani mengatakan, puisi-puisi mereka secara umum sudah memperlihatkan peningkatan yang menggembirakan. Paling tidak, dibanding buku puisi mereka sebelumnya, “Merah Yang Meremah.”

Pada beberapa penyair, misalnya, mulai terasa ada keberanian untuk bermain imaji, dan simbol, serta menyajikan majas dan metafor-metafor yang menggoda. Mereka juga tampaknya mulai menyadari, puisi bukan lagi sekadar menderetkan kata-kata puitis, tetapi mulai terasa ada kesadaran untuk memberi ‘isi’ pada imaji, termasuk pada kata; sehingga kata-kata tidak lagi telanjang seperti apa adanya. Karena hemat saya, puisi yang baik memang tak sekadar memberikan sekadar kenikmatan kata, tetapi juga sebaiknya kenikmatan makna.

Lalu yang tak kalah penting, mereka pada umumnya sudah bisa melepaskan diri dari sekadar membuat ‘puisi dua eksemplar’, istilah yang dulu pernah digunakan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri untuk mengolok-olok jenis-jenis puisi yang ditulis hanya untuk seseorang atau beberapa orang sehingga hanya bisa dipahami oleh yang bersangkutan saja. Di sisi lain, tetap menarik, bahwa para penyair yang kebetulan perempuan ini, tetap tidak memerankan streotype perempuan sumeleh yang menerima nasib, tetapi justru mencoba menggugah kesadaran bersama terhadap --katakanlah— wacana tentang kesetaraan gender, feminisme, dan relasinya yang berhubungan dengan norma dan kehidupan sosial mereka. Bahkan –kalau saya tidak silap— mereka seakan sedang mencoba menggugat hak, kedudukan, dan cara pandang terhadap perempuan. Sehingga tampaknya kita sebagai pembaca ingin diajak menangkap substansi keperempuanan lebih dari sekedar yang bersifat fisik melainkan lebih pada kepribadiannya.

Terus terang saya senang dan bangga bisa membaca dan menyeleksi puisi-puisi mereka, sekaligus menghantar penerbitannya dalam sebuah buku antologi puisi seperti ini. Hari-hari penuh romantika bersama para penyair dalam menggarap buku ini, niscaya akan menjadi kenangan indah tersendiri buat saya.

Betapa pun, dengan membaca puisi karya ke-9 penyair yang bisa dikatakan ibu rumahtangga ini, sedikit-banyak kita sekarang mengetahui bahwa puisi, --baik bentuk, gaya ucap dan tematik--, memang tidak harus seperti yang sering kita lihat dan kita baca di media-media massa mainstream.

Terimakasih untuk Kang Maman S Mahayana yang di sela-sela kesibukannya sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, berkenan memberi kata pengantar, juga untuk para endorser: Kang Soni Farid Maulana, Mbak Linda Djalil dan Mas Adri Darmadji Woko, yang komentar-komentarnya menjadikan buku ini terasa lebih istimewa.

Jakarta, 28 Maret 2010



Kata Pengantar:
Maman S Mahayana
*)



SEJARAH sastra Indonesia selalu mencatat: banyak penulis puisi, tetapi sedikit yang kemudian menjadi penyair. Dan ke-9 perempuan yang puisi-puisinya terhimpun dalam buku ini, termasuklah dari yang sedikit itu. Jadi, siapa pun dengan profesi apa pun, berhak menjadi penyair ketika puisi-puisinya menunjukkan kualitas yang membanggakan. Dengan begini, perpuisian Indonesia tidak hanya makin kaya dengan beragam tema dan pengucapan, tetapi juga begitu berbagai latar belakang sosiologis kepenyairannya.

Suatu kehormatan buat saya memberi kata pengantar pada buku puisi yang menampilkan karya-karya serius yang kualitasnya sungguh tidak kalah dari karya-karya penyair mapan.

Belum setahun saya meninggalkan Indonesia, dinamika sastra Indonesia, sungguh membahagiakan. Penuh kejutan. Dan itu menandai sebuah gerakan kepenyairan dari komunitas yang tidak terduga dalam konstelasi peta perpuisian Indonesia. Semangat membukukan puisi yang tidak sekadarnya seperti ini, penting tidak hanya untuk catatan sejarah, tetapi juga untuk memberi penyadaran kepada masyarakat, bahwa profesi penyair adalah hak segenap warga. Ke-9 ibu rumah tangga ini, di antara kesibukannya di luar bidang sastra, telah tampil dengan sejumlah karyanya yang meyakinkan. Jadi, puisi dan status kepenyairan, bukanlah wilayah yang berada nun jauh di sana, tetapi berada di sekitar kita, sejauh siapa pun dapat menunjukkan kualitas karya yang serius, yang inspiring, yang mencerahkan.

Kurniawan Junaedhie sungguh telah berhasil menghancurkan mitos tentang profesi penyair dan wilayah kepenyairan. Sebuah langkah penting dalam memperkaya khazanah sastra Indonesia. Para penyair mapan yang cenderung asyik-masyuk dengan dunianya, sepatutnya menyadari terjadinya perkembangan--perubahan ini. Jika tidak, ia akan tetap terpencil dari masyarakatnya dan posisinya sangat mungkin akan tergilas oleh para penyair yang lahir dari komunitas yang tidak terduga ini. Saya kira, kelompok ini akan bersikap lebih inklusif dalam berhadapan dengan masyarakat pembacanya. Dengan begitu, sekaligus juga akan menghancurkan citra eksklusivisme penyair yang tidak jarang diperlihatkan dengan sikapnya yang over confident, cenderung merasa lebih hebat, dan seolah-olah menduduki singgasananya yang berada setingkat di atas orang kebanyakan.

Semoga gerakan model ini terus berlanjut, sehingga sastra Indonesia benar-benar memperlihatkan keberbagaiannya. Dengan begitu, mendorong siapa pun untuk menyumbangkan kualitas dirinya bagi perkembangan sastra Indonesia, seberapa pun yang dapat dia berikan.

Secara kualitatif, puisi-puisi para ibu rumah tangga ini sungguh mengejutkan. Tema-temanya yang sangat "perempuan" disajikan tidak sekadar bermain dalam bahasa yang diindah-indahkan, melainkan tetap dengan memperhatikan keindahan puitik sebagai sarana yang tepat merepresentasikan semangat perempuan Indonesia dalam menyikapi berbagai problem sosial-budaya yang kerap menempatkan posisi perempuan dalam stigma sebagai kaum marginal, tersisih. Ke-9 penyair yang terhimpun dalam buku ini juga tidak latah terjerumus pada epigonisme tematik yang mengumbar keindahan tubuh sekadar cari sensasi. Dengan begitu, mereka terhindar pula dari bentuk-bentuk ekspresi yang eksplisit dan artifisial. Maka, yang muncul kemudian adalah bahasa perempuan yang jujur pada hati nuraninya yang disampaikan secara metaforis, eksotik, yang tidak jarang juga sangat simbolik. Sebuah kekayaan pengucapan yang khas dan berpribadi.

Saya sungguh berbahagia membaca antologi puisi ini, meski di sana-sini saya kerap gagal menghindari serangkaian keterkejutan.

Betapa pun buku ini telah menegaskan kontribusi penting ke-9 penyairnya bagi perpuisian Indonesia yang beraneka warna, penuh dinamika dengan segenap semangat keindonesiaannya.

Selamat memasuki wilayah kepenyairan perpuisian Indonesia!


Seoul, 30 Maret 2010

*) Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI. Kini dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul.