Tampilkan postingan dengan label artikel tanaman kj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel tanaman kj. Tampilkan semua postingan

02 Februari 2009

Surat dari Serpong (5):
Musim Sensi

Pak SP yang budiman

Apa kabar? Semoga kabar baik-baik saja. Tanpa kabar rasanya hidup kita hampa. Inilah, katanya kebiasaan orang kita. Kalau tanpa kabar yang benar, muncul kabar yang tidak akurat alias gossip. Kalau Anda tanya apa kabar bisnis tanaman, saya harus jawab dengan jujur, ya begitulah, memble.

Tentang kenapa majalah-majalah tanaman kebanggaan kita seperti Trubus dan Flona sudah lama tidak menurunkan artikel utama tentang tanaman hias, saya bisa jawab, saya sangat amat bisa memahami. Karena kalau menulis satu dua artikel, nanti dibilang sedang menggoreng. Kalau nulis harga lagi turun, lebih celaka.Bilangharga bagus, bisa dituduh kebohongan publik. Repot kan?

Jadi beginilah kita sekarang. Dengan tidak ada artikel2 sama sekali di majalah tersebut situasi jadi tambah mencekam. Kita seperti hidup dalam dunia horror. Ada apa ini?

Ada yang bilang memang sekarang orang tanaman lagi sensi (singkatan dari sensitip). Teman2 saya di majalah itu sendiri mengakui, Nulis salah, tidak nulis salah. Akhirnya pilih jalan paling aman: nulis rambutan, alpokat, kucai mini dan sebagainya. Pemain duren dkk itu kebetulan memang jinak-jinak katimbang pemain anthurium dan aglaonema, kata mereka lagi. Hahaha…. Saya ketawa.

Soal sensi tadi memang iya. Harga sekarang lagi amburadul. Kalau menyebut harga, ada sebagian orang yang kebakaran jenggot, terutama pedagang, tentu saja. Di kalangan komunitas tanaman, hal itu masih bisa dicegah, pst, jangan bilang2 soal harga, katanya. Tapi di pameran, di tempat umum, siapa bisa cegah?

Saya sering ketemu, orang-prang pulang dari nonton pameran tananman, cengar-cengir pamerdan bangga baru beli tanaman yang harganya sangat murah untuk ukuran zaman dulu. Celakanya, orang itu juga lapor ke teman2 lain.. Akibatnya bisa diduga, brand tanaman tadi merosot, harga tanaman tersebut langsung dianggap sudah murah, dan imagenya jadi murahan. Kita harus tahu, rupanya orang lebih suka beli harga daripada beli tanaman. Tidak perduli tanaman itu bagus atau memble, yang penting harga murah. Gitu.

Repotnya orang lupa melacak, siapa penjual barang murah tadi. Coba saja Anda ikut jadi detektif. Yang menjual tanaman murah itu biasanya jenis-jenis orang yang lagi BU, kepepet butuh uang, atau panik takut tanaman mampus karena cuaca lagi tidak menentu, atau harga tanaman akan bernasib kayak anthurium. Hm. Rupanya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran bagi orang. Baik pelajaran yang bener, maupun pelajaran yang ngaco. (Oke, nanti kita bicara di surat lain, pak)

Kembali ke soal sensi tadi, jadi penjual tanaman murah itu biasanya orangyang BU dan tidak bermental kolektor, tetapi orang yang memang dari sononya beli untuk investasi, atau untuk mengharap harga melambung.

Sekarang kita bias tau, mana kolektor sejati dan mana yang kolekdol. Setahu saya, yang kolektor sejati sampaisaat ini tidak pernah melego tanamannya murah2. Mereka tetap bertahan, dan punya nyali tinggi. “Mending tanaman itu mati di tangan saya daripada saya jual murah2,” kata mereka. Suer.

Sedang yang selama kita anggap kolektor, karena punya indukan banyak dalam jumlah banyak tapi kemudian menjual murah2, ya itulah yang namanya kolekdol itu. Mereka sih bilang sama kita, yah, saya sih seperti air saja, ngikut. Kalau murah ya jual murah. Wong saya sudah untung. Tapi, kalau kita juga sensi, kita tahu dia bilang begitu sambil nangis. Jadi kalau mereka jual murah2, mau apa? Kepada mereka, kita angkat tangan. Saya sendiri tidak mau tanggung kalau tanamannya kemudian mati, dan dia merasa uangnya mati di situ.

Nah, terhadap pertanyaan Anda berikut: bagaimana omzet penjualan saya saat ini, saya terus terang juga takut menjawabnya, karena ini juga termasuk yang sensi. Kalau saya jawab, bagus, Anda pasti kaget, menduga saya bohong. Kalau saya jawab, omzet saya amburadul, lebih celaka lagi. Nanti Anda kecil hati, dan membayangkan dunia bakal runtuh. Paling aman saya jawab standar saja: "Ya, ada2 saja, alhamdulillah....." Mau bilang apa lagi? Semua penghuni dunia rasanya sudah tahu apa yang sedang terjadi.

Oke begitu saja dulu kabar dari saya, pak. Saya janji akan menulis di surat lain soal trauma anthurium tadi.

Tetap semangat, pak.

Salam,
KJ

31 Oktober 2008

Surat Dari Serpong:
Tetap Optimis

Pak SP yang budiman,

Di Majalah Trubus edisi Juli 2008 saya mensinyalir bahwa pedagang tanaman hias naik 700 persen akibat booming Anthurium. Booming anthurium terjadi pada tahun 2007. Pada tahun 2008, situasi mulai berubah drastis. Sejak awal tahun 2008, bissnis tanaman ujug-ujuk melesu. Dikiranya karena orang habis berpesta Tahun Baru, ternyata sampai anak masuk sekolah, dan selesai harga BBM naik, situasi tak kunjung berganti.

Saya mungkin orang paling sedih, karena harus menjilat ludah sendiri, kalau mengatakan bahwa bsinis tanaman hias saat ini sungguh-sungguh menyedihkan. Banyak tip/ trik atau kiat yang saya tulis dalam buku saya Kiat Sukses Berbisnis Tanaman Hias (terbit pada tahun 2007), ternyata tidak mujarab sama sekali mengatasi kondisi yang ada saat ini.

Khusus untuk diri saya, Tuhan rupanya memberit ahu saya, bahwa saya masih belum pengalaman, saya masih harus belajar banyak dari kehidupan. Apa yang bisa saya petik dari pelajaran krisis global ini?

Tanaman ternyata memang sebuah komoditi yang unik. Betapa tidak. Pada saat BBM dan dollar naik, harga tanaman malah turun. Jelas realita ini menyesakkan dada. Terbukti karakter tanaman hias sebagai komditi, tidak sama persis dengan komditi-komoditi lain seperti bahan-bahan bangunan seperti kayu, besi atau semen, atau pot atau obat2an tanaman yang bisa mengambang (floating) dalam kondisi ekonomi apa pun.

Sangat menyesakkan dada, melihat kenyataan bahwa tanaman hias ternyata bukan komiditi yang adaptable dengan kondisi ekonomi, atau gampang dihantam resesi, beda dengan komoditi-komoditi lainnya. Contoh, pebisnis non-tanaman mungkin tetap tenang barang lama (yang dibeli dengan harga lama) menumpuk lama, karena kelak tetap bisa dijual dengan harga yang menyesuaikan keadaan. Coba kalau kita menyimpan banyak-banyak tanaman. Alih-alih harga bisa mengimbangi, tanaman kita malah bisa tidak terurus, dan lama-lama mampus.

Baru ngerti saya, diibanding pemain di lantai Bursa Efek Indonesia, pemain tanaman ternyata bisa lebih hebat. Saat kita asyik membelid an menikmati tanaman, pemain besar tanaman kita sudah berani melakukan aksi jual (murah) dan menarik tunai banyak-banyak. Akibatnya, kepercayaan emiten pun goyang. Harga tanaman merosot tajam. Kita pun terperangah dan terkena sentimen negatifnya.

Pak SP yang baik,

Saya bukan ingin menyurutkan semangat kita berbisnis tanaman dengan menulis seperti ini. Bagaimana pun penjual tanaman, tetap harus hidup, dan dibutuhkan. Saya justru ingin mengatakan bahwa beginilah memang seharusnya bisnis yang normal. Ada pasang surut. Ada saatnya rame, ada saatnya sepi. Tidak booming melulu seperti bisnis tanaman hias selama ini. Kalau bisnis booming melulu, namanya jelas bukan bisnis sejati, tetapi bisnis gelembung sabun (bubble), atau bisnis akal-akalan.

Jadi kalau saat ini nilai aset tanaman kita tiba-tiba merosot, --seperti harga saham--, tidak usah menangis. Insya Allah, nilai itu akan naik lagi. Cuma memang tidak dalam waktu pendek. Sebagaimana saham, tanaman hias adalah investasi jangka panjang. Saya tetap percaya bahwa apa yang terjadi saat ini tetap ada celah positifnya. Misalnya, jumlah pedagang yang naik 700 persen di zaman anthurium tadi, memang perlu diseleksi. Saya kira kita sepakat, dunia tanaman hias, harus diisi hanya oleh pedagang, kolektor dan petani yang tangguh, dan bukan oleh mereka yang sekadar ikut-ikutan atau petualang.

So, tetap semangat, Pak SP.


Salam,
KJ

(Bangun jam 8 pagi, ada miscall dari Pak SP: nagih artiketl SURAT DARI SERPONG karena sudah mau masuk cetak. Habis mandi, ngebut bikin tulisan ini, karena besok saya harus ke Lampung dengan teman2 Trubus dan Majalah Flona, diundang menjuri tanaman, takut tidak keburu lagi.)

01 Agustus 2008

Surat dari Serpong (3):
MENJADI PETANI

Pak SP yang baik,

Hingga tahun 2008 bisnis secara umum dilanda sepi. Tidak hanya tanaman hias, tapi konon juga komoditi lain. Saya menulis di TRUBUS (Juli 2008), masalahnya ada di daya beli yang merosot tajam. Tapi blessing in disguise. Selalu ada hikmah di balik musibah. Selama kurun itu kita ternyata bisa belajar tentang banyak hal.

Salah satunya, akibat tanaman tidak (cepat) laku, maka kita tiba-tiba ‘’disuruh’’ menjadi perawat tanaman dengan harapan tanaman itu akan tumbuh besar dan beranak pinak. Ringkasnya kita menjadi petani, dan harus memelihara sejumlah tanaman. Karena bukankah kita adalah pecinta tanaman?

Tanpa sadar kita pun mulai berandai-andai. Tiara, atau Hot Lady kita yang berjumlah 10 pot, mungkin pada suatu hari –jika tanaman-tanaman itu diberi panjang umur tentunya—maka jumlahnya akan bertambah dua-tiga kali lipat karena tanaman itu akan beranak pinak. Perasaan kita pun melambung membayangkan kalau pada saat itu harga tanaman itu makin mahal, atau sedikitnya ajeg. Tapi bagaimana kalau harga turun? Atau malah tidak lagi dikerling orang?

Pak SP,

Dulu saya beranggapan bahwa tanaman punya daur ulang. Keyakinan saya berangkat dari kenyataan bahwa ragam hayati kita sangat kaya, dan tidak akan pernah ada tanaman yang baru lagi sejak zaman Adam. Sehingga tanaman-tanaman itulah yang akan berputar-putar terus, tergantung ada-tidaknya kebutuhan masyarakat. Tapi maaf, saya sekarang meralat pendapat itu..

Ternyata belakangan saya menyadari, banyak tanaman yang nilai intrinsiknya bisa tiba-tiba terpuruk ke titik nadir. Tidak usahlah saya menyebut nama, kerena kuatir akan membuat pengagumnya tersinggung. Yang jelas, kita tahu bahwa tanaman-tanaman itu dulu pernah memiliki pamor yang bagus dan punya nilai yang tinggi tapi kini akibat populasi yang tak terkendali dan perubahan selera masyarakat, tanaman-tanaman itu tidak memiliki nilai jual lagi.

Adakah tanaman yang sedang kita rawat dengan susah payah ini akan memberi arti bagi kita di kemudian hari? Apakah kita cukup terhibur hanya karena kita menganggap diri sebagai seorang pecinta tanaman, sekalipun kita tahu nilai instrinsiknya sudah jatuh ke titik nol?

Belum lama ini saya bertelepon-ria dengan seorang kenalan di Parakan, Pak Congyan. Dia kolektor, penggemar aglaonema dan anthurium. Koleksinya banyak, dan praktis hanya yang terbaik yang dia punya. Ketika pembicaraan menyentuh ke masalah perkembangan harga aglaonema dan anthurium yang kini merosot, nada suaranya pun tampak berubah. Saya coba menghibur dengan mengatakan, bahwa baginya tentu harga merosot tidak masalah karena toh dia tidak akan berniat menjual lagi. Tapi apa jawabnya? “Yah…. kalau harga di luar merosot, saya tentu jadi tidak bersemangat lagi…”

Apapun yang terjadi saya berharap Bapak tetap semangat. Karena itulah ‘harta’ kita yang berharga saat ini.

Salam,
KJ

(Ditulis khusus untuk TABLOID HIAS SAMARINDA)

29 Juni 2008

TERPENJARA OLEH MASA LALU

Oleh Kurniawan Junaedhie

Masih segar dalam ingatan, setahun lalu, kita semua, mengalami eforia luar biasa. Pamor anthurium melesat bak meteor. Orang mengalami apa yang disebut sebagai gegar budaya yang membuat struktur otak di kepala jadi jungkir balik. Mengeja angka 100 juta, dan uang Rp. 1 milyar seperti gula-gula saja meski tidak tahu berapa jumlah nol-nya. Kalau kalau ditawari motor harga 10 juta kita terperanjat tapi kalau ada tanaman dihargai Rp. 30 juta sampai Rp. 75 juta, dianggap biasa.

Fenomena Kesurupan

Dari satu perspektif, saat itu, sepanjang tahun 2007, tampaknya Indonesia menjadi sebuah negeri yang makmur lohjiwani. Meski angka kriminalitas tetap tinggi tapi ditaksir jumlah pengangguran di kampung-kampung merosot tajam. Upaya pemerintah SBY untuk menggalakkan sektor riil, kelihatan sukses. Orang malas menyimpan uang di bank; selain bunga di bank tidak menarik, orang lebih suka menginvestasikan di anthurium yang menjanjikan orang cepat jadi milyarder. Semangat enterprenership praktis melambung tinggi karena semua orang berniaga anthurium.

Bupati Karang Anyar Hj. Rina Iriani mengaku saat itu income warganya bisa mencapai Rp 3-7 juta/ bulan gara-gara anthurium. Daerah-daerah di sekitarnya pun tak malu-malu mengikuti jejaknya. Para pejabat ikutan sibuk menggalakkan pameran dan kontes anthurium. Lurah bikin pameran supaya di pilkada jadi camat. Camat bikin kontes, supaya di pilkada naik jadi walikota dan seterusnya. Jadi rupanya, hal ini bisa jadi ‘ajang kampanye’ juga. Rano Karno yang dikenal memiliki banyak anthurium terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang, konon juga karena petani di sana berharap fenomena anthurium bisa awet di bawah kepempinannya.

Tahun lalu saya menulis di TRUBUS (Oktober 2007) dengan judul, “Fenomena Kesurupan Anthurium”, dan di Tabloid Kontan saya menulis “Mimpi Indah Bersama Anthurium”. Di situ saya tulis, “ibu-ibu yang beli satu pot jenmanii kecambah saja sudah bermimpi bakal jadi milyarder.”

Atas permintaan sebuah penerbit, saya juga sempat menulis buku, “Jadi Milyarder dari Anthurium”. Waktu naskah siap cetak saya sebetulnya ingin menambahkan satu bab, yaitu (tentang kemungkinan) “Jadi Kere dari Anthurium” tapi telat. Ketika anthurium kemudian terpuruk, saya beruntung buku saya tidak dianggap, --misalnya,-- menyengsarakan rakyat.

Akhirulkalam, sekarang kita pun terjaga dari tidur, dan terbangun dari mimpi indah itu. Seperti halnya orang yang baru bangun tidur, kita pun kucek-kucek mata, menyadari situasi ternyata amat berbeda dengan mimpi kita.

Jumlah Nurseri Naik 700 Persen

Kini kita merasa takjub mengenang ada tanaman hias dinilai dengan sebuah mobil Inova, dan berharga sampai 1 Milyar. Kita juga ‘kaget’ bahwa ternyata semua orang kini memiliki tanaman dari keluarga arracae itu. Dan lebih kaget lagi, tanaman bersosok besar itu kini sudah beranak pinak, menghasilkan puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan biji atau bibitan yang nantinya juga akan menghasilkan jutaan tanaman bersosok raksasa.

Kini kita mulai menyadari bahwa tanaman itu sudah hampir ‘menenggelamkan’ Pulau Jawa, terutama di daerah-daerah Jawa Tengah. Pantas saja, teman-teman di Jawa Tengah setiap hari sibuk mengangkuti ke mana saja, termasuk ke luar pulau untuk memasarkannya dengan harga rendah, dengan semangat, --maaf,-- “membuang limbah”.

Situasi saat ini seperti orang kembung, yang menyebabkan badan tidak enak dan meriang semata tidak bisa buang angin. Tanaman yang konon digemari para bangsawan itu kini ngumpul, beranak pinak, tumbuh berkembang di sebuah ruangan yang tak ada jendela atau pintunya. Kalau tak ada upaya menjualnya ke luar negeri, saya takut lama-lama giliran negeri ini yang ditenggelamkan.

Kita baru sadar kenapa sekarang banyak pedagang tanaman yang bete. Kesenggol dikit, maunya ngamuk, sewot. Pantas saja, karena mereka sedang memeluk bola panas yang rupanya belum sempat dilepaskan.

Malu sungguh dulu kita sempat menuduh Greg Hambali sebagai ‘orang sirik’ karena selagi kita asyik menimang anthurium, dia bilang: Lonceng kematian bisnis ini sudah semakin dekat berdentang," (TRUBUS Edisi Okt. 2007). Tak hanya Greg, Rhenald Kasali pun pernah kita hujat karena mengatakan, bisnis anthurium seperti ikan lohan. (TRUBUS edisi Desember 2007)

Sembari kucek-kucek mata kita pun baru ngeh, bahwa jumlah pemilik dan pedagang anthurium, sekarang ternyata sudah meningkat hampir 600-700 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pantas saja semua orang bersikap ‘menjual’ daripada ‘membeli’. Yang dulu membeli sama kita, sekarang balik mau menjual ke kita. Tetangga yang dulu kelihatan antipati pada tanaman, tahu-tahu memelihara anthurium. Rupanya di tahun 2007 anthurium sempat jadi bagian dari life style juga.

Tapi ada yang mengatakan, yang sepi tak hanya anthurium. Aglaonema, sanse, puring dan, philo juga sepi. Kalau dibilang tidak ada yang beli salah juga. Tapi yang beli dalam jumlah besar, sehingga membuat grass root goyang memang tidak ada sama sekali. Kenapa? Banyak kolega saya bertanya: apa orang Indonesia sudah tidak lagi menyukai tanaman hias?

Harga tanaman sampai kwartal pertama tahun 2008, praktis bisa dibilang stabil, bahkan cenderung turun. Di pameran, yang terjadi malah orang sibuk membanting harga. Tapi orang ternyata masih malas masuk ke lapak, membuat transaksi. Yang dituduh malah krisis pangan, dan harga BBM yang naik. Apa juntrungannya?

Sampai di sini kata-kata saya memang pahit. Tapi dari perspektif sempit pula, saya memang berpendapat, rakyat masih marah, kecewa, dan dendam pada anthurium, yang dianggap telah menyengsarakan mereka, dan sebagian kecil saja mungkin yang menikmati bonanza anthurium. Sebagian dari mereka mengalami paranoid, atau phobia akut mengakibatkan benci pada semua tanaman. Ada juga yang malah kesal pada pedagang tanaman yang dianggap menjerumuskan hidupnya. Majalah atau tabloid tanaman yang mencoba menawarkan alternatif baru saja ikut dimusuhi. Rupanya, mereka tak rela melepas mimpi indahnya.

Selalu Optimis

Anjuran saya sederhana saja: cuci muka adalah cara terbaik setelah kita bangun tidur. Maksudnya, supaya wajah kita segar dan pandangan tidak nanar. Dengan itu kita pasti akan lebih mahir dan cerdas menyongsong hari esok. Apa misalnya?

Kalau nanti ada jagoan baru, selalu ambil posisi yang jelas, jangan bersikap ambigu. Kalau mau jadi pedagang, jadilah pedagang sejati, bukan spekulan atau penjudi. Kalau Anda mau jadi pedagang harusnya tidak banyak cincong: kalau sudah untung, lepas saja. Jangan mencoba-coba menahan harga dengan harapan harga naik terus. Anthurium mengajarkan kita bahwa spekulan –seperti penjudi—ujung-ujungnya hanya ada istilah kalah dan menang, win or lose.

Kalau mau jadi breeder, jadilah breeder sejati dan professional. Jangan jadi breeder merangkap pedagang. Pedagang berpikir jangka cepat, menjual hanya barang yang fast moving. Sebaliknya, seorang breeder atau petani, kita kudu sabar, berpikir jangka menengah dan jangka panjang.

Yang tak kalah penting, jangan suka menuding pihak lain sebagai pembuat harga tanaman suka jatuh. Dalam kasus anthurium, yang disalahkan barang impor. Kita lihat sendiri, yang bikin ulah ternyata kita sendiri. Sangat konyol, pistol kita arahkan ke depan, teman di belakang justru menohok kita.

Dan yang juga penting dicatat, kita sekarang tahu betapa pentingnya peran pemerintah untuk membantu membuka keran ekspor seluas-luasnya. Pemeritah harus tahu bahwa kita punya potensi, yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.

Karena saya suka dengar anggapan orang luar bahwa tanaman kita tidak steril, mungkin Deplu harus sudah mulai bikin PR bahwa tanaman Indonesia sehat dan bebas hama. Selanjutnya Deptan atau pihak terkait di Indonesia harus segera menderegulasi semua aturan yang bikin susah sekaligus memberi insentif kepada pengekspor. Kalau Thailand bisa, kenapa kita tidak? Ini berlaku untuk tanaman apa saja, seperti aglaonema silangan Greg Hambali, sanse, puring dan lain-lain. Tanaman adalah jenis komoditi yang bisa beranak pinak. Jangan sampai setelah over supply, kita baru merasakan dampak pahitnya.

Ringkasnya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Tapi jangan mau terpenjara oleh masa lalu, betapa pun indahnya masa lalu itu.***

Kurniawan Junaedhie adalah wartawan & pecinta tanaman hias
Dimuat TRUBUS edisi JULI 2008 dengan judul "NAIK 700%".

31 Mei 2008

Abi, Peliput Tabloid TUMBUH Emang Penjiplak

ISENG2 masuk ke mesin pencari, eh, nemu tulisan ini. Rupanya sepucuk surat yang ditulis Bapak Aganto Seno untuk Redaksi Tumbuh. Apa isinya? Lagu lama. Soal plagiat. Rupanya nasib beliau sama dengan saya: tulisannya dijiplak mentah2 oleh orang bernama ABI. Berikut kutipannya:

Surat di bawah ini adalah email yang saya kirim ke redaksi TUMBUH ( tumbuh_redaksi@yahoo.co.id ) dan redaksi KOMPAS ( redaksikcm@kompas.com ) pada tanggal 28 April 2008 yang lalu, namun tidak ada balasan ataupun komentar dari kedua redaksi. Sayang sekali kita masih banyak memelihara para penjiplak. Isi email tersebut persis seperti di bawah ini:

Yth. Bpk Eko Wahyudi selaku pemimpin redaksi sekaligus pemimpin perusahaan PT. Nanda Permata Millenium, sebagai pemilik Tabloid TUMBUH, saya sungguh menyesalkan adanya penjiplakan di tabloid anda. Salah satunya adalah tulisan saya di web-blog dengan judul "Anggrek di Taman Nasional Komodo" yang saya upload bulan Juli 2007 pada http://anggrekindonesia.blogspot.com/2007/07/anggrek-di-taman-nasional-komodo.html telah dijiplak oleh Ewe/Abi pada tulisannya dengan judul "Pesona Anggrek Dendrobim Taman Nasional Komodo".

Tulisan tersebut dimuat tabloid TUMBUH pada edisi No 07/Th.1/05-19 Desember 2007 hal 14. Saya baru menyadari bahwa tulisan saya (termasuk foto-foto yang saya ambil di Pulau Komodo dan Rinca) telah dibajak ketika salah seorang teman kantor (Balai Taman Nasional Komodo) membawa tabloid tersebut ke kantor seminggu yang lalu.

Kontan saja banyak teman yang protes dan menyarankan untuk mengirim surat atau email ke redaksi taboid tersebut dan juga ke redaksi KOMPAS agar semua orang bisa membaca.

Ketika saya membuka web dan mencari website Tabloid TUMBUH, saya malah mendapat keluhan dari "korban" yang lain yaitu Kurniawan Junaedhie yang menyatakan bahwa tulisannya dengan judul "Mimpi Indah Bersama Anthurium" yang dimuat Tabloid KONTAN edisi khusus, Oktober-Nopember 2007 rupanya juga telah dibajak oleh Abi pada edisi tabloid TUMBUH yang sama. Keluhan ini bisa dibaca di http://kurniawan-junaedhie.blogspot.com/2008/01/artikel-ohartikel.html atau http://kurniawan-junaedhie.blogspot.com/2008/03/tulisan-saya-di-kontan-diplagiat-abi.html

Semoga saja pak Eko selaku pemimpin perusahaan/redaksi telah mengambil sikap terhadap kondisi ini, sehingga kejadian yang memalukan seperti ini tidak terulang lagi.

Best,
Aganto Seno
Staf Balai Taman Nasional Komodo
Jl. Kasimo, Labuan Bajo, Flores 86554
Telp. 0385-41005

24 Mei 2008

Surat dari Serpong (2):
Nasib Pedagang

Pak SP*) yang budiman,

Belum lama ini saya keliling Jawa untuk sekadar refreshing, sambil melihat situasi kondisi bisnis tanaman, terutama menjelang harga BBM naik. Ternyata pameran tanaman masih banyak diselenggarakan. Tidak ada yang berubah, baik semangat, dan jenis tanaman yang diperdagangkan di sana. Seperti saya bilang dalam sebuah tulisan, di bawah matahari ini tak ada lagi tanaman baru. Yang ada daur ulang tanaman. Saat ini ditendang, besok ditimang-timang, atau saat ini disayang-sayang besok lusa bisa saja ditendang-tendang. Mungkin itulah nasib tanaman.

Saya bertemu beberapa pedagang yang mukanya mulai berseri-seri. Salah satunya Pak Budi, pemilik Meteor Garden, salah satu nursery anthurium terbesar di Jawa Tengah yang berlokasi di Banjarnegara. Green house-nya banyak, mentereng dan keren. Buka tutup lubang udara saja menggunakan remote control. Untuk merancang green house setinggi 7 meter tersebut, dia sengaja mendatangkan pakarnya dari Jakarta. Tentu tak terbilang beaya investasi, di luar nilai tanaman. Saya tanya, bagaimana sikap dia ketika tanaman loyo tempo hari? Dia jawab, enjoy-enjoy saja. Ketika harga turun, dan kebetulan tanamannya panen serentak, dia mengaku tidak panik. Bahkan, supaya pasar tetap bergairah, dia ikut meladeni dengan menurunkan harga. Dengan itu dia merasa bermain sky air. Kemana gelombang beringsut, dia ikuti saja iramanya. “Asyik…,” katanya.

Menjelang BBM naik, dia masih bisa menjual bibitan Jenmanii 2 daunan dengan harga Rp. 50rb per tanaman. Angka itu menjadi signifikan karena dia menjual per kompot isi 100 tanaman. Dan dia bisa menjual sampai 10 kompot sekaligus dalam setuiap transaksi. Demikian juga bibitan Black Beauty, yang dia jual per tanaman Rp. 400rb. Dengan mudah, dia menjual hampir beberapa puluh kompotan sekaligus.

Pak SP yang baik,

Kalau orang lain merasa susah menjual borongan seperti itu, mungkin karena orang juga percaya kredibilitasnya. Maklum, pembeli bibitan atau biji bisa melihat indukannya, bahkan kalau perlu, katanya, bisa petik langsung dari pohonnya.

Pak Budi, tak bisa dibilang orang lama di tanaman. Dia jatuh cinta pada anthurium karena terpesona pada sosok dan bentuk daun Black Beauty. Ketika booming anthurium terjadi, dia seperti halnya kita, tergerak ikut membeli Jenmanii, dan Gelombang Cinta. Bedanya kalau orang lain, membeli kelas bibitan atau kelas remaja, Pak Budi hanya mau membeli khusus untuk jenis indukan, yang bertongkol. Kita pikir waktu itu, orang ini sinting juga mengingat harga indukan saat itu rata-rata bisa mencapai Rp. 50 juta.

Rupanya, dia punya argumen sendiri. Dan sekarang, ketika harga melorot, dia membuktikan dirinya tetap bintang. Bayangkan, setiap hari, setiap pohon menghasilkan ribuan, bahkan belasan ribu biji yang dijual murah pun, tetap menghasilkan laba. Kalau dia lagi memetik biji-biji itu, saya membayangkan, orang yang lagi menarik uang dari Auto Teller Machine saja.

Tak syak, Pak Budi adalah tipikal seorang pedagang, yang kebetulan mencintai tanaman. Imannya teguh, meski harga runtuh. Ketika orang lain memicingkan mata pada tanaman yang dianggap sudah tak laku, dia malah setiap hari tekun merawat tanaman-tanamannya. Ketika orang lain, dengan kesal merobohkan green house-nya karena merasa tanaman sudah tidak laku, dia malah menambah green house-nya karena tanamannya makin banyak. Jadi, tak hanya intuisinya bagus, dan bersikap smart, dia juga pengagum mahkluk hidup.

Di Wonogiri, saya ketemu Pak Bian Gie. Dia juga nasibnya sama. Saat harga anthurium jatuh akhir tahun 2006, dia borong semua yang bertongkol. Ketika pasar anthurium mengalami peak tahun lalu, dia kipas-kipas. Padahal dulu saya kira, dia juga orang sinting. Masak, anthurium lagi tidak laku, dia malah beli banyak-banyak….

Sekian saja dulu kabar dari Serpong.

Empat kali empat
enambelas,
kalau tidak sempat,
bapak enggak usah balas
.:-)

Salam dari Serpong,

KJ
Kurniawan Junaedhie adalah wartawan dan pecinta tanaman

*) SP: adalah Safruddin Pernyata, pecinta tanaman hias, pemilik Shalma Shofa, sehari-hari Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kaltim.
Foto: dixna.wordpress.com/.../


Sumber tulisan: toekangkeboen.com

Surat dari Serpong (1):
Hobiis, Pedagang atau Spekulan *)

Pak SP yang baik,

Turunnya pamor anthurium, harus diakui telah membuat banyak orang kini dalam kesulitan financial. Terutama mereka yang serakah. Ketika harga merangkak pelan tapi pasti, banyak yang merasa cerdas, untuk langsung memborong banyak-banyak tanaman tersebut. Tak sedikit yang ‘nekad’ menggadaikan rumah, atau sepeda motor, sekadar untuk menangkap moment itu. Tapi, apa mau dikata? Kita tahu kemudian, harga dengan lekas ambrug secara semena-mena.

Ketika anthurium turun panggung, saya masih punya 14 pot Jenmanii dan sejumlah Gelombang Cinta indukan. Sungguh, saya tidak merasa kalah main. Anthurium itu saya simpan dan saya rawat baik-baik di green house yang malah saya bikin khusus untuk itu. Bahkan, saya suka mengajak teman-teman minum kopi, sambil memandanginya.

Ada teman yang punya nasib serupa: menyimpan banyak anthurium ketika harga turun. Berbeda dengan saya, dengan nada penyesalan, dia suka menghitung harga pembelian masing-masing tanaman itu. “500 juta,” katanya, “Sebesar itulah uang yang telah saya keluarkan. Coba kalau waktu itu saya jual tanpa banyak cingcong…..”.

Banyak juga teman-teman yang sekarang merasa empet kalau melihat tanaman-tanaman itu ‘teronggok’ di kebunnya karena ketika ditawar dengan harga bagus, tidak mau dilepaskannya. Sekarang, dia dilanda trauma berat. Jangankan merawat, menyentuh dan melihat pun ogah.

Pak SP yang budiman,

Kalau dibilang akibat anthurium-anthurium itu, uang saya mati, anggapan itu tidak salah. Coba kalau anthurium sebanyak itu saya jual murah saja, mungkin nilainya hampir mencapai 1 M. Sayangnya, saya tidak terlalu suka berandai-andai seperti itu.

Saya sendiri tidak pernah melihat hal itu dari perspektif sempit. Saya tahu kapan jadi pedagang dan tahu kapan berperan sebagai hobiis. Sebagai hobiis, saya jjustru beperpendapat, saya beruntung karena sekarang saya bisa punya anthurium sebanyak itu. Sementara setahun lalu, bermimpi punya satu pot pun saya tidak berani. Saya malah sedang bercita-cita jadi breeder. Sudah ada beberapa yang menghasilkan biji sampai saya kewalahan untuk menyemainya. Itung-itung, kalau saya jual murah untuk mengimbangi pedagang yang suka membanting harga pun, saya sudah berani.

Sebagai pedagang saya selamat karena yang 14 pot itu, kalau harus jujur, itu hanya sekitar 5-8 persen dari yang telah saya perdagangkan selama ini. Dari situ saya tentu saja untung, termasuk yang 14 pot itu. Kenapa saya selamat? Sekali lagi karena pada waktu itu, --ketika harga meroket,-- saya memposisikan diri sebagai pedagang bukan sebagai hobiis apalagi pedagang yang spekulan. Atau kombinasi dari itu.

Seorang pedagang sejati, tahu kapan saatnya membeli dan tahu kapan saatnya harus menjual. Sebagai pedagang saya lebih memilih hanya membeli tanaman yang laku, daripada membeli tanaman yang murah. Saya tidak pernah kikir membeli barang mahal, selama tanaman itu menguntungkan. Sebaliknya saya tak punya nyali membeli tanaman murah, kalau saya tidak bisa menjualnya.

Sebagai pedagang, patokan saya jelas. Tanaman akan saya jual kalau saya sudah untung seperak, tapi pasti tidak akan saya jual kalau saya rugi seperak. Sebagai pedagang saya hanya menjual tanaman yang prima, dan tidak letoy. Sebaliknya kalau saya sedang menjadi kolektor atau hobiis, saya mungkin tidak akan menjualnya meski ditawar dengan harga tinggi. Sebagai kolektor atau hobiis, mungkin saya juga ‘hanya’ akan menjual tanaman yang kurang bagus, dan lebih memilih memiliki hanya yang bagus-bagus saja untuk dirinya.

Jadi, kalau Anda membeli tanaman karena Anda berharap akan mendapat untung belaka, saya berani bilang: Anda adalah penjudi. Nasib penjudi hanya ada dua: kalah atau menang. Jadi kalau Anda kalah, sebaiknya ya legowo, mosok maunya menang terus?

Kalau tanaman Anda ditawar Rp. 75 juta (padahal sudah untung berlipat ganda), tapi Anda tetap bertahan karena Anda berharap untung lebih banyak lagi, saya kira Anda bukan pedagang, tapi spekulan. Kaum spekulan juga punya dua kemungkinan: kalah atau menang. Kalau sekarang tanaman tersebut tidak laku dijual, maka jangan salahkan siapa-siapa.

Terus terang, saya tahu kapan saya menjadi hobiis dan kapan sedang menjadi pedagang. Itulah sebabnya, saya tidak pernah risau, malah bahagia dan bersiul-siul ketika memandangi tanaman di green house saya itu. Karena saat itu, sesungguhnya saya sedang berperan sebagai seorang hobiis.

Bagi seorang hobiis, booming atau tidak, tak penting-penting amat. Yang penting Anda suka, karena tanaman itu unik (mungkin karena corak warna, bentuk, tekstur, urat dan tangkai daun, bonggol, tajuk) , langka, atau pertimbangan lainnya. Sebagai pedagang, tugas saya hanyalah menjual, tidak ada lainnya.

“Saya senang dengan semua tanaman hias, aglo, anthurium, philo, anggrek, tilandsia, bromelia dan tanaman hias lainnya, kecuali satu yang saya benci: spekulan.”

Hehehe,… Itu bukan kata-kata saya, Pak. Itu kata Bapak. Masih ingat?

Salam dari Serpong,

KJ
Kurniawan Junaedhie, adalah wartawan dan pecinta tanaman hias di Serpong

*) Artikel ini ditulis secara khusus untuk Tabloid Hias, Samarinda (direncanakan akan menjadi sebuah rubrik tetap) atas permintaan Bapak Safruddin Pernyata, pengelola tabloid tersebut, seorang penikmat tanaman hias di Samarinda, yang sehari-hari adalah Kepala Dinas Pendidikan Nasional di Kaltim.


Sumber tulisan: toekangkeboen.com

11 Mei 2008

Menunggu Jagoan Baru

Sejak akhir tahun lalu, bisnis tanaman hias lesu, letoy dan memble. HP saya setiap hari penuh dengan pesan singkat berisi keluh-kesah dari teman-teman dari Sabang sampai Merauke. Tak sedikit yang putus asa dan bertanya: Apa tanaman masih punya prospek sebagai bisnis? Bahkan ada sejawat, saking kesalnya dicekam rasa sepi, mau melego tanah, greenhouse beserta tanamannya.

Saya kira ada banyak faktor yang membuatnya.

Faktor pertama, tentu saja, situasi perekonomian. Survei yang dilakukan Bank Indonesia menemukan, bahwa Indeks Keyakinan Konsumen di bulan Januari 2008 merosot jauh dan ini tercatat merupakan posisi terendah sejak sembilan bulan terakhir (Kontan, 13 Feb. 2008). Apa maknanya? Hasil survei itu mengindikasikan, orang Indonesia semakin pesimistis dengan kondisi ekonomi saat ini. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok membuat prospek ekonomi nasional menjadi tak menentu.

Faktor kedua, ialah cuaca. Hujan turun terus-menerus di berbagai daerah. Kalau tidak banjir, gempa bumi, tanah longsor, ombak atau air laut yang naik pasang. Ini memang force majeur. Tak bisa diprediksi, tak bisa disesali. BMG menyebutnya sebagai anomali cuaca akibat Global Warming.

Banyak yang tidak sadar, dunia tanaman hias juga sedang mengalami situasi yang disebut anomali orientasi. Setelah Anthurium turun panggung, kita merindukan jagoan baru. Persis seperti yang terjadi setahun sebelumnya, saat aglaonema tak lagi dicari, kita linglung seakan kehilangan tokoh idola. Yang menarik, entah kebetulan atau tidak, para jagoan itu biasanya turun panggung memilih moment sensitif: pada akhir dan awal tahun. Hanya tahun ini, banyak orang bilang, waktunya berlangsung terlalu lama.

Sebetulnya sudah banyak yang melakukan ice breaking dengan mencoba mengatasi situasi stagnan ini. Misalnya, mencoba mengintroduksi superhero baru berupa tanaman-tanaman alternatif sebagaimana tahun lalu, melahirkan Pachypodium, Adenium Bonsai, Sansevieria dan Puring impor.

Menjelang tahun 2008, tanaman Senthe sempat ditawarkan lengkap dengan ‘cerita’ di baliknya. Misalnya, tanaman itu bagus untuk mengusir setan atau menghalau pengaruh black magic dan sebagainya

Ada juga upaya mencoba menyodorkan alternatif lain seperti Pakis Monyet, tanaman yang bentuk dan bulunya mirip seekor monyet itu. Supaya keren, tanaman itu juga dilumuri aneka mitos. Misalnya, Pakis Monyet atau juga disebut Pakis Hanoman itu adalah tanaman kesukaan Sun Go Khong, tokoh kera dalam mitologi klasik Cina. Lalu Sanse dan seterusnya.

Banyak orang bertanya; apa tanaman baru yang bakal ngetrend di tahun 2008 Maksudnya, apa atau siapa jagoan baru mendatang? Saya kira, kosa tanaman hias sejak dulu ya itu-itu saja. Yang ada siklus tanaman. Misal, tanaman lama, yang dulu tidak diperhitungkan, tiba-tiba muncul, diburu orang, dan bisa dijual dengan harga mantap. Coba siapa sangka Anthurium bakal berharga jutaan padahal tahun-tahun sebelumnya disepak-sepak?

Terus ada yang bilang, supaya tanaman itu ngetrend, dan jadi jagoan, harga tanaman itu harus bagus. Dan supaya harga bagus maka tanaman itu harus sedikit populasinya. Kalau populasinya banyak orang sudah pasti enggan memburu.

Rekayasa Populasi

Kalau mau repot, sebetulnya ada cara klasik tapi jitu untuk menciptakan superhero baru. Yakni, melakukan rekayasa populasi, dengan cara menguasai atau memonopoli peradarannya. Sikat habis barang yang beredar di pasaran lalu secara pelahan-pelahan, dan sedikit demi sedikit digelontorkan ke pasar dengan harga semakin meningkat.

Beberapa tahun lalu, Adelia, aglo hibrida silangan Greg Hambali (biasa disebut aglo-aglo lokal) sempat di’habisi’. Alih-alih tanaman itu jadi dilupakan orang dan tidak laku, eh tanaman tersebut malah menjadi incaran orang. Kalau ingatan kita masih jernih, saat itu perimbangan supply dan demand sempat terguncang. Pedagang penasaran, ujungnya juga end users ikut kalap, sibuk berburu, membeli berapa pun harganya, kuatir harga naik lagi. Persis saat orang kesurupan Anthurium belum lama berselang.

Kata sahibul hikayat, ada sejumlah actor intelectual di belakangnya. Merekalah yang menghabisi, dan yang kemudian melepasnya ke pasaran dalam jumlah terkendali. Maksudnya, menjaga populasi agar harga meningkat. Harga Adelia pun dengan cepat merambat naik, dari cuma Rp. 90rb, merambat menjadi Rp. 125ribu sampai kemudian sempat mencapai Rp. 600rb per helai daunnya.

Euphoria Adelia, tak syak mendongkrak pamor aglo-aglo Greg lainnya. Harga Tiara sempat dihargai Rp. 3 juta, Widuri dihargai Rp. 5 juta, dan Hot Lady dihargai sampai Rp 6 juta per daunnya.. Heran juga, waktu itu saya rela membeli anakan Hot Lady 3 daun hasil splitan, seharga Rp.17,5 juta per pot. Lupa-lupa ingat, pasti waktu itu saya berpendapat, belum trendy kalau tidak punya aglo-aglo Greg Hambali.

Aglo-aglo lokal pun bersimaharajalela di pasaran. Harga memang naik, tapi populasinya juga tak terkendali. Apesnya, di saat itu, para actor intelectual mulai menyapih pasar. Mereka menjual dengan harga tinggi tapi tak kunjung membeli kembali. Mekanisme pasar akhirnya yang bekerja secara alamiah. Harga pun anjlok karena tidak ada ‘badan penyangga’ lagi di sana. Saya kaget campur haru, belum lama ini membaca ada sebuah nursery menawarkan harga sehelai daun Adelia ‘hanya’ Rp. 100rb per helai daunnya. (LangitLangit.com, 24 Jan. 2008).

Belajar Sampai Negeri Cina

Belakangan ini, harga anthurium juga dikhabarkan semakin hari semakin merosot. Di milis atau di forum diskusi, penurunan harga itu dibilang sebagai “koreksi harga” atau “harga terkoreksi”. Makna semantik dari kata-kata itu adalah bahwa harga yang dulu salah, dan karena sudah dikoreksi, harga yang sekarang dianggap benar. Tapi apa itu anggapan correct (benar)?

Ada cerita menarik. Ketika pertama dimunculkan, harga Senthe Wulung mencapai Rp. 250rb. Banyak pedagang memborong karena beranggapan, tanaman mirip talas ini bakal menjadi jagoan baru. Tahu-tahu orang sudah menjual dengan harga lebih murah. Dan mendadak sontak tanaman ini ada di mana-mana. Baru tahu kita, populasinya banyak. Tanaman ini bukan tanaman asing untuk masyarakat Indonesia. Senthe termasuk keluarga Caladium. Di beberapa daerah tanaman yang bikin gatal itu biasa untuk pakan kambing atau ikan gurame.

Kasus hampir sama terjadi pada Pakis Monyet tadi. Waktu pertama keluar, harga satu potnya dihargai Rp. 250rb. Tapi hanya dalam hitungan bulan, harganya memble. Belakangan ketahuan, tanaman itu mudah diambil dari hutan-hutan di Palembang.

Jadi harga yang turun ternyata bukannya membuat orang datang memborong, tetapi malah membuat orang semakin takut membelinya. End users dan pedagang takut, kalau-kalau harga nanti bakal merosot lagi. Saya kira justru logika kita yang harus dikoreksi: Tidak benar harga anthurium atau aglaonema yang semakin murah, membuat orang berduyun-duyun membelinya tapi justru membuat orang lari tunggang-langgang menjauhinya.

Ada yang sinis, itulah memang tabiat jagoan kandang. Tidak kuat nyali. Lebaran masih dua minggu, harga sudah dibanting-banting. Jagoan baru yang kita mau tentu harus tahan banting dan tidak cemen. Indikasinya bisa dilihat di meja-meja para pedagang. Kenapa?

Pertama, pedagang tanaman (biasanya) tidak pernah pro-end user tapi lebih pro-kantong sendiri. Dia bukan memikirkan murah atau mahal. Tetapi mana yang bisa dijual dan menguntungkan. Kalau tanaman itu tidak bisa dijual apalagi tidak menjanjikan keuntungan, mereka tentu akan malas memasarkannya.

Kedua, pedagang juga butuh kepastian. Kalau harga tidak pasti, mereka pasti ogah membeli dan menjual nya. Padahal kenyataannya, tidak hanya harga, untuk tanaman-tanaman yang kita jagokan pasokannya saja sering-sering tidak pasti.

Dari pengamatan saya singgah ke beberapa daerah baik di Pulau Jawa maupun di Luar P. Jawa selama awal tahun ini, hasilnya memang agak pahit.

Kalau tanaman impor lebih berjaya, pasti bukan salah bunda mengandung. Tanaman-tanaman impor punya kalkulasi bisnis yang jelas. Ada komponen harga yang pasti, seperti bea cukai, beaya karantina, pajak impor, ongkos cargo dan lain-lain yang membuat harga tanaman memiliki harga standar dan tidak bisa dibuat seenak udel.

Repotnya kalau kita bilang “impor”, rasa nasionalisme kita langsung bangkit. Kita lalu menyerang anthurium impor, aglo impor, pepaya impor dan barang-barang impor lainnya dengan membabi buta dan menyebar fitnah keji. Padahal, sudah sejak dulu kita dianjurkan belajar sampai ke negeri Cina. Mestinya kalau suasana tahun baru masih sepi, ya, sabarlah. Kita tidak sendiri.***

Serpong, medio Februari 2008
Kurniawan Junaedhie, pecinta tanaman hias

*) Artikel ini ditulis khusus untuk LangitLangit.Com

21 Maret 2008

Model Bisnis Tanaman Hias

Jual tanaman hias tidak selalu di kakilima atau punya lapak. Banyak model dan caranya. Bahkan dengan menjadi hunter dan makelar pun oke. Pilih saja sesuai kondisi keuangan, kesehatan dan cita-cita Anda sejak kecil. Tentu saja, semua pilihan ada plus-minusnya. Tapi siapa tahu, tulisan ini bisa menerbitkan gagasan baru.

1. Sewa dan buka gerai tanaman hias.
Ini cara paling konvensional. Jual tanaman hias dengan cara menyewa lapak di tempat terbuka.

Kalau Anda punya nyali dan mau sedikit nekad, bisa gunakan lahan kosong milik pengembang yang tidak difungsikan atau lahan kosong milik siapa saja. Cuma konsekuensinya, Anda harus siap-siap dikejar petugas Trantib dan berurusan dengan para preman. Jelas, cara ini tidak dianjurkan.

Yang paling baik, sewa saja secara resmi lapak-lapak di sentra-sentra tanaman hias yang juga resmi. Di Jabodetabek misalnya ada di Ragunan, Jakarta Selatan; Flona Alam Sutera, Serpong Tangerang dan Pusat Tanaman Hias BSD City di Kompleks Taman Tekno.

Sistem sewa biasanya dihitung per bulan atau per tahun di luar beaya kebersihan dan keamanan. Hitungan untuk tahun 2007, rata-rata per tahun antara Rp. 5 sampai 10 juta untuk setiap kapling. Kalau lahan sudah habis di tempat resmi tadi, Anda bisa ‘membeli hak pakai’ pada penyewa lama secara bisik-bisik. Dengan catatan, penyewa lama sudah bosan, tentu saja. Harga beli ‘hak pakai’ juga bervariasi antara Rp. 20 juta sampai Rp. 100 juta per kapling.

Menyewa lapak di sentra penjualan tanaman hias resmi, selain tidak dikejar-kejar petugas Trantib, Anda juga tidak perlu repot-repot promosi. Karena sentra tanaman itu sendiri sudah mampu mengumpulkan pengunjung. Paling tidak, kalau Anda belum punya pelanggan, kalau nasib baik, ada pelanggan tetangga kesasar masuk ke gerai Anda. Yang perlu Anda lakukan tinggal memajang tanaman-tanaman yang bagus, memasang karyawan yang ramah dan membuat gerai Anda menyenangkan.

2. Sewa stand dan buka pameran.
Pameran Tanaman Hias merupakan ajang promosi dan ajang penjualan yang bagus. Pihak penyelenggara melakukan banyak promosi untuk mengudang konsumen datang. Kalau Anda sewa stand dan buka pameran di situ, bukan mustahil gerai Anda dikunjungi orang, dan tanaman Anda dibeli orang.

Sekadar informasi, di Jabodetabek, sewa stand saat ini berkisar antara Rp. 750rb sampai Rp. 3 jt, untuk ukuran gerai 3 x 5 meter, selama pameran berlangsung antara 7 sampai 10 hari.

Di Jakarta ada beberapa event pameran tanaman yang berskala nasional, seperti Pameran Flora Fauna di Lapangan Banteng setiap bulan Agustus, atau pameran-pameran tanaman hias yang diselenggarakan Majalah Trubus. Tapi banyak juga pameran-pameran serupa yang diselenggarakan oleh Pemda, Supermal, atau event organizer, di banyak tempat. Kalau Anda berminat, silakan saja hubungi penyelenggaranya.

Yang perlu Anda lakukan, selain menyiapkan tanaman hias andalan adalah mencetak kartu nama untuk disebar. Jangan lupa cetak nomor telepon Anda jelas-jelas, agar setelah pameran usai, tanaman Anda tetap dibeli orang.

3. Open House.
Open house atau buka nursery di rumah sendiri paling enak. Anda bisa setiap hari menongkrongi, memantau, dan menerima pembeli. Kalau bisnis Anda laku, Anda boleh bilang pada keluarga di rumah yang ikut menyaksikan, bahwa jadi pedagang tanaman hias tidak hina. Cara ini gampang dilakukan bila Anda punya pekarangan atau lahan yang memenuhi persyaratan. Tapi bagi yang tidak punya lahan, bisa bikin dak.

Enaknya, para tetangga yang lewat dan melihat, atau handaitaulan yang kebetulan mampir bisa menjadi pengiklan bisnis Anda. Syukur-syukur mereka juga ikut tergerak untuk membelinya, bukan malah memintanya secara gratis. Jika yang terakhir ini terjadi, jangan sekali-kali Anda mengabulkannya. Lebih baik Anda menjual kepada mereka dengan harga miring atau rugi, daripada memberinya cuma-cuma. Jangan sampai yang kemudian menjadi berita dari mulut ke mulut adalah bahwa tempat Anda adalah tempat yang tepat di mana orang bisa mendapatkan tanaman secara gratisan. Dengan menjual murah atau rugi, sedikitnya, yang akan menjadi berita adalah tempat Anda tempat menjual tanaman dengan harga murah.

Keuntungan lain dengan memilih cara ini, Anda tentu saja tidak perlu buang beaya untuk menyewa lapak. Juga, kalau sedang tidak ada pembeli, Anda bisa menikmati keindahan setiap hari. Kerugiannya: istri, mertua, anak atau cucu Anda bisa terganggu ruang geraknya. Anda juga harus mulai bersiap-siap memiliki rumah seperti hutan belantara. Cara ini juga bisa dilakukan secara luwes. Misalnya, kalau Anda masih ngantor, atau punya usaha lain, Anda bisa hanya open house pada hari Sabtu dan Minggu saja.

4. Nitip teman yang menjual tanaman atau pada penjual tanaman yang Anda kenal.
Ini cara paling aman, terutama jika Anda tergolong hobiis pembosan. Jadi kalau ada tanaman yang Anda anggap sudah menjemukan, Anda bisa mereka untuk memasarkannya. Cara nitip teman juga pas jika Anda tergolong pemalu, atau masih malu-malu menjadi pedagang tanaman hias.

Keuntungannya, rumah Anda nyaman, dan Anda tak perlu mengeluarkan beaya sewa lapak. Jeleknya, kalau tanaman Anda tersia-sia di tempat ‘penitipan’. Bahkan bukan tidak mungkin, orang-orang yang Anda titipi malah men’curi’ tanaman Anda dengan memotong bonggol atau akarnya tanpa Anda ketahui.

5. Menyewa tukang gerobak keliling.
Ini cara paling jitu kalau rumah Anda sempit, dan Anda tidak punya kebun sendiri.

Bikin gerobak dorong, dan panggil para pengangguran yang tinggal di sekitar Anda untuk diajak menjadi pedagang keliling tanaman hias. Suruh mereka masuk ke perumahan-perumahan menjajakan tanaman Anda. Dewasa ini banyak orang senang tanaman hias tapi terlalu sibuk untuk mendatangi nursery. Mereka adalah pasar potensial Anda.

Enaknya, setiap hari Anda menerima setoran dari para penarik gerobak dorong. Kalau setiap gerobak menyetor Anda uang Rp. 1 juta saja sehari, kita sudah bisa bayangkan, betapa indahnya bisnis tanaman hias. Dari sana sekaligus Anda juga bisa mendapat info tanaman apa yang disukai dan mana yang tidak disukai. Yang disukai, segera belanja di tempat penjualan grosir tanaman hias.

Risikonya, kalau penarik gerobak kabur beserta gerobaknya Anda bisa gigit jari. Tapi Anda bisa cegah duluan dengan menyimpan fotokopi KTPnya. Kalau ada apa-apa, tinggal lapor polisi.

6. Jadi Hunter atau Buser
Kalau Anda ingin dapat untung dari berjualan tanaman hias tapi modal cekak atau tidak punya modal sama sekali, cara ini bisa dilakukan. Yaitu dengan menjadi seorang hunter (pemburu) atau buser (buru sergap) tanaman hias. Pada dasarnya hunter maupun buser adalah makelar atau istilah kerennya, brooker. Modalnya, informasi dan sebuah hand phone yang bisa kirim foto melalui MMS (Multimedia Messaging Service). Dengan model bisnis ini, Anda bahkan tidak harus punya tanaman sendiri.

7. Buka kebun khusus sendiri di daerah pinggiran.
Cara ini mungkin termasuk cara paling mahal. Karena kita harus menyewa atau memiliki lahan luas di daerah pinggiran di mana harga atau sewa tanah masih murah. Tapi percayalah, meski di dearah pinggiran sekali pun, kalau koleksi tanaman hias Anda bagus, orang akan tetap memburunya. Bak syair lagu: “Ke gunung kan kudaki, ke laut kan kuseberangi….”

Keuntungannya, Anda bisa memilih konsumen yang datang ke kebun Anda. Kalau Anda sedang capek Anda bisa mengatakan nursery Anda tutup, Anda sedang di luar kota atau alasan-alasan lainnya. Bahkan Anda bisa menyeleksi pembeli Anda. Keuntungan lainnya, kalau orang sudah jauh-jauh datang ke tempat Anda, sudah pasti mereka juga akan berbelanja cukup banyak.

8. Buka kebun, sekaligus buka kedai kopi atau Galeri
Kalau kondisi keuangan memungkinkan, dan lokasi mendukung, selain buka kebun dan jual tanaman, Anda bisa menambah fasilitas lain seperti kafe atau kedai kopi, atau galeri lukisan. Jadi, selain berburu tanaman, pengunjung bisa minum kopi, atau beli lukisan.

Di Bandung ada All About Strawberry. Bapak Ibu beli tanaman strawberry, anak-anak bisa minum juice strawberry. Di Baturaden, Purwokerto ada Puspa Tiara Nursery yang menyediakan bakso dan kopi. Istri beli tanaman, anak-anak makan bakso dan suami bisa ngopi. Semua happy.

9. Menjajakan dengan Sepeda Motor atau Mobil.
Cara bisnis seperti ini boleh dicoba kalau Anda tidak punya lapak. Kita ambil dagangan di tempat kulakan, lalu menjajakan secara keliling dengan sepeda motor, atau mobil. Sasarannya, pedagang-pedagang tanaman hias kaki lima. Atau masuk ke pedagang-pedagang yang sedang buka stand pameran karena terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk kulakan..

Kita bisa jual per lima atau sepuluh pot. Tak usah untung banyak, asal penjualan lancar dan pembayaran bagus, sudah aduhai. Modalnya, cuma tahu tempat kulakan, tahu di mana sasaran kita berada, dan punya sepeda motor atau mobil yang bisa kita pakai. Kalau Anda bisa ngutang dulu di tempat kulakan, lebih asoy. Jadi Anda tak perlu mengeluarkan modal. Tentu saja, Anda harus langsung membayarnya begitu Anda menerima uang.

10. Bikin Website atau Blog
Kalau mau memasarkan tanaman Anda ke pasar lebih luas, Anda bisa bikin website. Di situ Anda bisa pasang foto-foto tanaman di situ, dilengkapi deksripsi dan harganya.

Bikin website tidak mahal. Anda paling cuma harus bayar seorang desainer web, suruh bikin web. Lalu hubungi dan bayar pihak web hosting, agar website Anda bisa disiarkan ke seluruh dunia. Kalau tidak mau repot, buat dan ciptakan blog. Gratis. Anda tidak perlu tahu bahasa html dan memahami aneka script yang rumit. Sudah begitu, Anda bisa kirim dan pasang gambar dengan cuma memencet tombol. Asyiklah.

Keuntungan lain kalau punya website, Anda juga bisa jadi brooker. Tanaman punya teman yang mau dijual difoto, gambarnya pasang di situ. Kalau laku, Anda dapat komisi.

11. Pasang Iklan Baris di Internet
Punya tanaman, tapi tidak punya gerai, atau malu mejeng di pameran, tidak bisa bikin gerobak boro-boro punya website? Gampang saja. Pasang iklan baris di Internet.

Dewasa ini banyak portal-portal tanaman hias yang bersedia memasangkan iklan baris Anda secara gratis. Contohnya, Trubus Online (http://www.trubus-online.com), dan LangitLangit.Com (http://www.langitlangit.com) . Syaratnya cuma satu: Anda tidak gaptek Internet. Kalau cuma tidak punya Internet, gampang, datang saja ke Warnet atau bawa laptop dan bayar voucher sewa hotspot yang banyak dimiliki supermal atau kafe.

Itu sekadar contoh. Sebetulnya kalau kreatif masih banyak cara lagi bisa dilakukan.***

(Dikutip dari buku JURUS SUKSES BISNIS TANAMAN HIAS, karangan Kurniawan Junaedhie, PT Agro Media Pustaka)

13 Maret 2008

Abi Oh Abi, Teganya Dikau Menyontek Tulisan Orang Lain

Seorang pembaca Kontan menulis surat terlampir dan dimuat di Kontan MInggu III Des. 2007. Dia heran, tulisan MIMPI INDAH BERSAMA ANTHURIUM tulisan saya yang dimuat di Kontan edisi Khusus Okt-Nov 2007 kok sama dengan yang dimuat ditablod TUMBUH edisi 7, 5-19 Des. 2007 dengan nama penulis berbeda yaitu Abi. Sebagai wartawan, pengarang dan penulis fiksi selama hampir 25 tahun, saya cuma bisa mengelus dada dan gemas. Banyak sekali orang2 muda seperti Abi yang suka menerabas, dan tidak mau melewati proses. Mereka ingin cepat2 sukses tidak mau repot. Adalah orang2 seperti ini, ketika nanti menjadi orang, akan melakukan segala cara untuk mencapai keinginannya.

Di sebuah blog, pernah juga ada yang menanyakan hal yang sama tentang perkara yang sama, dan saya kutip juga di blog ini. Waktu itu reaksi saya mungkin agak lebih emosional. Hehehe. Sekarang mah santai.

Sebagai penulis yang tulisan2nya banyak di muat di media massa, terus terang bukan baru sekali ini, tulisan2 saya dibajak atau diplagiat orang seperti Abi di Tabloid Tumbuh. Dulu cerpen2, novelet2 maupun puisi2 saya juga sering dibajak orang. Jadi komentar saya, ya, no comment. Mau apa? Marah? Saya lebih baik menganggap Abi sengaja mengutip tulisan saya; tapi lupa--atau malas-- menyebut sumbernya. Cuma nakalnya, --kata surat di bawah, -- Abi masih menambah tiga paragraf. Sungguh terlalu dan tidak tau malu.

Saya tidak pernah melarang tulisan saya dikutip. Dan setahu saya banyak juga pemilik website dan blog, yang mengutip tulisan2 saya, dan sejauh ini mereka tetap menyebut sumber tulisan dan nama penulisnya, yaitu saya. Saya tentu ikut senang karena mereka --seperti juga wartawan-- telah ikut menyebarkan informasi.

Artikel Sama, Beda Penulis

SAYA adalah orang yang punya hobi membaca, terutama yang berkaitan dengan anthurium dan aglaonema, walau tidak sebatang anthurium pun tertanam di rumah saya. Saya hanya memiliki beberapa batang aglaonema Dona Carmen mahakarya Greg Hambali.

Kenapa saya sebut mahakarya karena memang aglaonema jenis inilah yang termurah dan yang paling merakyat, tidak pandang pangkat, derajat, golongan, kaya, maupun miskin.

Berkenaan dengan hobi membaca tersebut, saya menemukan artikel Fenomena Anturium pada Tabloid Tumbuh Edisi 7, 5-19 Desember 2007 dengan penulis Saudara Abi. Artikel yang sama telah dimuat pada Tabloid KONTAN Edisi Khusus Oktober-November 2007 dengan judul Mimpi Indah Bersama Anthurium oleh Saudara Junaedhi seperti yang dikutip secara fair pada website Toekang Keboen Nursery dengan menyebutkan penulis dan penerbitnya secara lengkap.

Artikel pada Tabloid Tumbuh tersebut sama persis dengan yang dikutip oleh Toekang Keboen di website-nya dari Tabloid KONTAN, kecuali dengan adanya tambahan tiga paragraf terakhir.

Seandainya Saudara Abi bukan alias dari Saudara Junaedhi, bisa dikatakan Saudara Abi adalah seorang plagiator. Ingat kita sudah memiliki Undang-Undang Hak Cipta, dan pemerintah sekarang ini sedang giat-giatnya melindungi hak cipta intelektual termasuk karya tulis yang dimuat di media massa.

Adalah tidak fair apabila Saudara Abi adalah Saudara Junaedhi sendiri, bila memang betul demikian adanya, seharusnya tulisan pada Tabloid Tumbuh ditambahkan keterangan yang menyatakan bahwa artikel tersebut telah diterbitkan oleh Tabloid KONTAN secara lengkap. Itu baru fair.

Brontho Dwiatmoko,
Tangerang

06 Januari 2008

Tulisan Saya di Kontan Dibajak Abi di Tabloid Tumbuh?

(Tanpa sengaja, saya menemukan surat yang ditulis Retty N. Hakim ini di wikimu.com. Tak disangka, menyebut nama saya, dan juga tulisan saya di Tabloid Kontan, Mimpi Indah Bersama Anthurium, (dimuat Tabloid KONTAN Edisi Khusus, Oktober - November 2007). Rupanya tulisan tersebut telah dibajak dan dimuat di tabloid Tumbuh (edisi 7, terbitan 5 - 19 Desember 2007) dengan nama penulis bernama Abi. Saya belum pernah membaca tulisan dimaksud di Tumbuh. Saya juga tidak membaca surat Brontho Dwiatmoko (Tangerang), pembaca, yang mempersoalkan duplikasi tulisan itu. Redaksi KONTAN sendiri tidak pernah meminta klarifikasi saya. Untuk diketahui, tulisan saya itu adalah atas pesanan redaksi, dan saya tulis khusus untuk KONTAN. Sebagai seorang penulis dan lama berkecimpung di dunia pers, tentu sangat naif saya mengirim ulang tulisan pesanan khusus ke tempat lain dengan menggunakan nama lain. Ketika saya bekerja sebagai redaktur sejumlah media dulu, saya termasuk yang paling tidak bisa mentoleransi penulis yang mengirim tulisan ganda ke beberapa penerbitan sekaligus. Jadi mungkin saja, redaksi KONTAN bersikap seperti saya, no comment saja. Hanya sungguh menyedihkan, sampai sekarang masih banyak orang/ penulis memilih jalan pintas. Malas berkreasi dan malas berpikir. kj)

Artikel ...oh...Artikel!
Oleh: Retty N. Hakim
Sabtu, 22-12-2007 20:35:59

Ketika tulisan saya yang berjudul "Apa Arti Kejujuran dan Integritas Seorang Penulis?" saya turunkan ke wikimu, sebenarnya saya mengharapkan para wartawan senior memberikan sedikit tuntunan etika jurnalistik.

Bung Berthold Sinaulan, salah satu komentator dalam artikel itu, adalah wartawan senior di media cetak. Tapi entah kemana wartawan senior lain yang sering saya lihat namanya di wikimu (Mohon maaf bagi komentator lain yang mungkin saja adalah wartawan senior juga).

Tidak berapa lama kemudian penulis yang saya singgung dalam tulisan di atas mengirimkan e-mail kepada saya dengan penjelasan yang sedikit lebih panjang dari tulisan penjelasan beliau di Kompas.

Pertama dia menjelaskan bahwa dia merasa benar karena seorang redaktur Opini harian Kompas dalam mengisi in house training di The Indonesian Institute menjelaskan bahawa dalam menulis opini sah-sah saja mendaur ulang tulisan dengan catatan bahwa tulisan yang didaur ulang sebaiknya dikirimkan kembali ke media cetak yang sama, serta masih adanya relevansi untuk daur ulang tulisan tersebut.

Kemudian hal lain yang diangkatnya adalah bahwa pada tanggal 11 September ada juga pembaca yang protes mengenai tulisan ganda Radhar Panca Dahana. Tapi pada kesempatan itu surat pembaca dan surat penjelasan dari Radhar Panca Dahana terbit bersamaan.

Kemarin (21 Desember 2007) secara kebetulan saya membaca dua buah surat pembaca yang mempermasalahkan artikel ganda.

Satu surat saya baca di Mingguan bisnis dan investasi Kontan, Minggu ke-tiga Desember 2007. Dalam kolom surat dan opini dari Brontho Dwiatmoko (Tangerang) dipertanyakan kesamaan antara artikel "Mimpi Indah Bersama Anthurium" oleh Junaedhi yang sudah dimuat oleh Tabloid Kontan edisi khusus Oktober 2007 (serta sudah dikutip dengan mencantumkan sumber oleh website Toekang Keboen Nursery), dengan tulisan "Fenomena Anturium" pada Tabloid Tumbuh edisi 7, terbitan 5 - 19 Desember 2007 oleh seorang penulis bernama Abi. Pak Brontho ingin tahu apakah Abi dan Junaedhi adalah orang yang sama atau berbeda, dan bila ia adalah orang yang sama apakah boleh menurunkan artikel yang sama dengan nama berbeda.

Surat kedua saya temukan di harian Bisnis Indonesia, 21 Desember 2007, sebuah penjelasan tentang artikel ganda yang terbit bersamaan pada tanggal 19 Desember 2007 di dua media cetak Indonesia. Tulisan opini berjudul "Pengelolaan Surat Berharga Negara 2008" tulisan Bhimantara Widyajala (Direktur Surat Berharga Negara, dari Dirjen Pengelolaan Utang) ini bisa muncul bersamaan karena penulis yang merasa tidak memperoleh tanggapan dari editorial Kompas menarik kembali tulisannya via e-mail (18 Desember 2007, setelah menunggu kabar selama satu minggu dari 11 Desember 2007). Harian Bisnis Indonesia sedikit mempersalahkan penulis karena tidak menginformasikan bahwa sudah mengirim tulisan yang sama ke harian berbeda.

Penolakan sebuah artikel dari sebuah media cetak nasional memang sangat tergantung dari editorialnya. Dalam pengalaman saya, harian Kompas termasuk yang cukup rajin menanggapi naskah walaupun isinya adalah penolakan naskah! Tapi ada harian yang setelah berbulan-bulan tak ada kabar baru mengirimkan penolakan. Dan ada lagi yang tidak ada kabar sama sekali. Sebagai penulis terkadang nilai jual berita sangat tergantung kecepatan terbitnya naskah. Karena itu tidak heran kalau Radhar Panca Dahana dan Bhimantara Widyajala ketika merasa tidak mendapat tanggapan, langsung mengirimkan tulisan yang sama ke redaksi harian lain (setelah merasa menarik kembali tulisannya). Sebenarnya apakah ini kesalahan mereka? Bila mereka mencantumkan telah mengirimkan tulisan itu ke harian lain dan menariknya, apakah redaksi harian yang kedua akan memuatnya?

Tulisan pertama saya ke Ohmy News International adalah artikel daur ulang dari sebuah artikel yang telah beberapa minggu tidak ditanggapi oleh redaksi harian yang saya kirimi berita. Hal ini saya cantumkan pada berita kepada editor, bahwa berita tersebut sudah saya kirimkan tapi sudah saya cabut kembali via e-mail karena tidak ada tanggapan dari redaksi.

Dahulu saya sedikit berprasangka pada redaksi media cetak Indonesia. Setelah artikel yang saya tuliskan saya kirimkan, tidak ada tanggapan sama sekali. Tapi beberapa waktu kemudian tulisan sejenis muncul dengan pengolahan yang lebih mendalam dan lebih menarik. Terus terang saya merasa ide saya tercuri. Tapi setelah mengenal wikimu.com, sebuah portal jurnalisme warga, saya bisa melihat sendiri betapa pada saat yang sama bisa ada beberapa orang yang mempunyai ide tulisan yang sama.

Di wikimu hal ini lebih terasa karena editorial, yang dalam istilah Bung Berthold dalam artikel terbarunya (http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=5367), menjadikan "dunia jurnalistik" yang dikenalnya menjadi "cair". Ketika Gus Wai sudah lebih dahulu menaikkan tulisannya tentang pemenang Asian Idol, tulisan saya yang masuk kemudian juga dinaikkan oleh editor. Satu hal yang sama, dari sudut pandang yang mungkin hampir sama, suatu hal mustahil bisa terjadi di media cetak konvensional.

Demikian juga di Ohmy News International, ketika saya menaikkan tulisan tentang perasaan saya sebagai warga yang gubernurnya merasa terhina oleh Australia ternyata seorang citizen reporter lain yang bermukim di Jepang sudah menaikkan pula tulisannya dari sudut pandang yang berbeda. Karena sudut pandang berbeda ini mungkin editor meloloskan kedua tulisan tersebut.

Menulis opini memang agak berbeda dengan reportase perjalanan misalnya. Bagi saya pribadi sebuah opini terkadang agak sulit untuk dituliskan kembali dengan sudut pandang berbeda. Tulisan pertama saya di Ohmy News International mengalami daur ulang yakni penambahan sudut pandang subyektif dari penulis. Ini satu ciri berbeda dari media cetak konvensional yang lebih menekankan pandangan obyektif dengan media jurnalisme partisipatori warga yang lebih personal. Media cetak konvensional saat inipun tampaknya mulai bergeser semakin personal dalam menyampaikan opini.

Setelah memperoleh kesempatan langka berkunjung ke Seoul, selain beberapa tulisan untuk Wikimu dan Ohmy News International saya juga sempat mengirimkan tulisan ke harian Jakarta Post dan Tabloid Rumah (sayang tidak online). Sudut pandang yang saya turunkan tentunya berbeda-beda walaupun tempat yang saya kunjungi adalah tempat yang sama. Tulisan saya di harian Jakarta Post memakai nama panggilan saya Retty N. Hakim, sementara tulisan saya yang berhubungan dengan arsitektur di Tabloid Rumah memakai nama KTP saya Maria Margaretta. Perbedaan nama ini memang karena dari dulu bila saya menulis tulisan yang bersifat arsitektur saya lebih suka memakai nama lengkap yang mungkin akan dikenali oleh mantan dosen saya (Biar beliau-beliau itu bangga ilmunya tidak saya buang percuma).

Sebenarnya saya sendiri agak ragu-ragu menulis calon tulisan saya ke dalam blog karena takut tiba-tiba tulisan tersebut sudah terbit di sebuah harian tanpa pernah saya ketahui sudah dibajak. Tapi dengan memiliki komunitas yang mengusung partisipatori warga, saya percaya akan banyak teman yang akan saling memberitahukan bila tiba-tiba saja tulisan kontributor di wikimu muncul dalam nama orang lain di sebuah harian ataupun di sebuah blog (tanpa mengutip asal berita dan nama penulis). Dan ketika tulisan saya tidak sempat saya kirimkan ke media cetak (karena sekarang lebih banyak mendahulukan media internet daripada media konvensional) maka portal citizen journalism maupun blog saya akan menampung tulisan saya agar suara saya ada gaungnya.

Bagaimana dengan anda? Bagaimana dengan etika pengiriman tulisan menurut pandangan redaktur profesional dari media konvensional?

29 Desember 2007

Musibah Anthurium Terkubur di Karang Anyar

................ sehari sebelum longsor terjadi, bunga jenmanii milik salah satu warga malah ada yang ditawar sebesar Rp 500 juta. Bunga jenmanii bertongkol lima itu akhirnya tidak diberikan oleh pemilik karena harganya dirasa terlalu rendah. ”Pokoknya jenmanii di rumah Giyono dan Wardi memang sudah besar-besar dan ditaksir mahal,” ujarnya. Tapi, tidak sampai terjadi transaksi, bunga mahal itu malah ikut terkubur longsoran tanah. Tidak terhitung berapa bunga mahal yang ikut terkubur di dalamnya. Terkuburnya tanaman mahal bernilai miliaran rupiah ini juga diakui Bupati Karanganyar Hj Rina Iriani. (Dikutip dari berita yang dimuat Kedaulatan Rakyat, tentang musibah tanah longsor di Karang Anyar, Solo, 26 Desember).

Ada teman bertanya: kalau anda jadi tetangganya, mana yang akan Anda selamatkan lebih dulu: Pak Giyono dan Pak Wardi, atau anthuriumnya?

Pertanyaan getir di akhir tahun yang membuat hati terasa ngilu.

13 Desember 2007

Mimpi Indah Bersama Anthurium

(Tulisan ini pernah dimuat di Tablod KONTAN Edisi Khusus, Oktober - November 2007

Sudah hampir setengah tahun ini, pesona anthurium berhasil memelet orang Indonesia. Coba Anda tanya secara random pada semua pedagang tanaman, tanaman apa yang kini banyak diburu orang. Jawabnya tentu: anthurium mulu, seperti tidak ada tanaman hias keren lainnya. Apa sih hebatnya tanaman yang mirip talas ini?

Tapi memang baru tahun ini terjadi, pemain burung walet dan pengumpul cengkih 'berselingkuh' dengan anthurium. Banyak pula juragan-juragan yang mata bisnisnya tadinya tak ada urusannya dengan tumbuh-tumbuhan, --seperti pengusaha bus, supermarket, bahan bangunan, kontraktor, perusahaan bakery atau pabrik sepatu--, kini juga mulai sibuk bermain anthurium.

Orang kantoran yang terlanjur ikutan berbisnis anthurium, juga mulai pada gelisah. Banyak di antara mereka, sudah ngebet kepengen segera pensiun dini. Maklum, gaji mereka ‘cuma’Rp.10 juta per bulan, sementara dari menjual satu pot anthurium mereka bisa menyabet untung sampai 20 juta.

OKB atau Orang Kaya Baru juga banyak. Ada petani kecil yang berhasil membeli Honda Jazz dari jualan anthurium. Banyak juga ibu rumahtangga yang tiba-tiba merasa jagoan dari suaminya karena berhasil memiliki sebuah kulkas empat pintu atau TV plasma baru hasil barteran dengan anthurium miliknya yang sudah nyaris diberikan pada pemulung.

Serunya, bisnis anthurium terbuka bagi siapa saja. Selain ibu rumah tangga dan bapak-bapak investor, kini banyak juga sopir truk, sopir bajay, tukang ojeg sampai porter bandara yang ikut jadi pelaku bisnisnya.

Begitu hebatnya pamor anthurium, belakangan ini juga banyak melahirkan importir-importir anthurium dadakan. Sohib Thailand saya di Bangkok lapor, banyak pemilik nursery dari Indonesia yang kedapatan keluyuran ke segala pelosok negeri Gajah itu untuk berburu anthurium. Wah, kita jadi bangga, karena orang Indonesia di Thailand ternyata termasuk pembeli anthurium VIP. Artinya, asal ada barang, berani bayar mahal. Jika di Thailand barang kosong, maka mereka tak sungkan-sungkan lompat ke Filipina. Pendeknya jangan sampai pulang dengan tangan hampa. Gengsi dong. Karena yang berharap mendapat barang di tanah air sudah banyak.

Yang menarik untuk dicatat, banyak pula bakul tanaman yang sebelumnya mengklaim diri sebagai spesialis penjual tanaman hias tertentu kini tanpa malu-malu banting setir ikut jualan anthurium. Banyak Alibaba Orchids mendadak menjadi Alibaba Nursery. Dan yang tadinya sering disebut sebagai pakar dan suka diundang berdemo, juri atau berceramah tentang adenium, aglaonema, atau anggrek, juga sudah mulai beralih profesi berbisnis anthurium, baik secara terang-terangan atau umpet-umpetan. Pendeknya, berantakan deh.

Ujung-ujungnya harga anthurium bak harga indeks saham. Berloncat-loncatan kian kemari. Fluktuatif. Saban hari hamper selalu ada SMS masuk, menawarkan anthurium, atau mengabarkan harga biji naik dan seterusnya. Harga hari ini, rupanya bisa berbeda dengan harga besok, apalagi harga kemarin.Kini lazim orang menawar tanaman hias daun itu dengan cuma menyebut merek mobil. Maksudnya, harganya sesuai dengan harga mobil yangd isebut. Mobil yang paling populer dijadikan patokan misalnya, Avanza, atau Inova dari berbagai tipe., meskipun kadang-kadang terkesan gagah-gagahan belaka.

Batasan end user, konsumen atau kolektor pun pupus sudah. Karena pada dasarnya mereka semua kini kepengen jadi investor. Beli satu pot kecil kecambah saja, para pemula sudah bermimpi akan kaya mendadak.

Para maling tentu saja ingin kaya mendadak juga dong. Akibatnya mereka semakin over acting. Semua tanaman asal dianggap anthurium, pasti digasak. Bagi maling rupanya anthurium jernis apa saja dianggap mahal sehingga mereka lebih senang menggondol tanaman ini daripada menggondol Yamaha Mio, misalnya. Celakanya, berita kriminalitas ini sering tidak pernah dimuat di media massa, karena mungkin sudah terlalu rutin terjadi. Yang mendapat berkah dari maraknya eforia Anthurium banyak juga. Ada penjual pakis yang jadi media tanam utama anthurium, produsen atau penjual pot jumbo, penerbit atau pengarang buku panduan merawat anthurium, dan sejenisnya. Pendeknya, anthurium membawa berkah bagi semua. Termasuk untuk rakyat.

Di Jawa Tengah muncul istilah ‘ekonomi kerakyatan’ segala. Hebat ya? Yang dimaksud, para juragan atau investor membagi-bagikan benih atau tanaman induk kepada rakyat sekitar melalui sistem plasma. Bisa cuma-cuma, bisa dibagi dengan harga murah dibanding harga pasar. Tujuan sebenarnya supaya maling tidak berkeliaran, beaya centeng bisa ditekan, karena warga bisa berbisnis pula. Tapi tanpa disadari cara itu membuat ekonomi di kawasan itu bangkit dengan sendirinya. Ada uang jutaan menggelontor masuk ke pedesaan. Muncul kepentingan bersama, menjaga stabilitas keamanan, sekaligus menjaga pamor anthurium.

Para penguasa daerah yang smart kini rajin bikin pameran sebagai ajang promosi sekaligus marketing anthurium. Hasilnya luar biasa. Kota Wonogiri yang notabene pernah disebut daerah minus, mendapat ‘devisa’ lumayan ketika menyelenggarakan pameran anthurium karena banyak orang kaya di daerah itu datang ke sana untuk membelanjakan uangnya. Tak hanya di Jawa. Di Samarinda hal yang sama terjadi juga. Ketika mengadakan pameran bulan lalu, pak wali dan pak camat merasa gembira, karena daerahnya mendapat masukan ‘devisa’ dari daerah-daerah di sekitarnya. Saking bangganya, para pejabat itu berambisi menjadikan kota kayu itu sebagai tujuan wisata agro.

Tak pelak lagi, kita tengah dihanyut mimpi indah bersama anthurium yang kini sudah terlanjur dijuluki Si Raja Daun. Sudah muncul anggapan, jika ingin kaya secara instant, berbisnislah anthurium. Sedikitnya jika ingin dianggap kaya, beli dan peliharalah anthurium. Seperti emas dan berlian, anthurium mendadak sontak menjelma menjadi perhiasan sekaligus barang investasi.

Selama enam bulan terakhir ini, harga anthurium memang gila-gilaan. Harga biji anthurium jenmanii, misalnya, bergerak naik secara spektakuler: dari hanya Rp. 35rb, Rp. 135 rb, kini saat tulisan ini dibuat sudah mencapai Rp. 250rb per biji. Kalau disemai, dan jadi kecambah sudah dihargai Rp. 300rb. Kalau sudah tumbuh dua daun harganya naik lagi jadi Rp.450rb.

Apa artinya? Artinya dahsyat. Jika Anda punya satu anthurium bertongkol satu, dengan asumsi tongkol atau spadix itu memuat 1000 biji saja, Anda sudah bisa bermimpi jadi menjadi milyarder dadakan, apalagi kalau anthurium Anda bertongkol 5 buah.

Di Karangpandan, Solo, ada penjual anthurium, --untuk merayu pembelinya-- menyebut anthurium sebagai ‘pabrik uang’, yang “pemiliknya tidak perlu takut digerebek dan dituduh subversif.

Coba bisnis macam apa di zaman sekarang, yang dalam tempo tidak berapa lama kita bisa meraup untung sedemikian lumayan?

Tapi sekali lagi itu teori, Bung.

Demam anthurium Wave of Love atau Gelombang Cinta beberapa pekan lalu, jadi contoh. Selama September harga jenis anthurium berdaun keriting tebal yang populasinya dikenal banyak karena banyak dimiliki rakyat itu tiba-tiba bergolak. Dari harga Rp. 5 juta, mencapai harga Rp. 90 juta untuk jenis indukannya. Tapi tak sampai sebulan, harga itu tahu-tahu merosot tajam. Ada yang menduga, para pemainnya kurang bermain cantik. Maklum, berbeda dengan pemain Jenmanii yang umumnya para cukong, pemain Wave of Love adalah kelas menengah bawah. Tentu saja mereka sangat rentan terhadap lebaran, anak-anak sekolah, atau libur akhir tahun. Sadar lebaran mendekat, biji dan bibitan diobral. Harga hancur lebur.

Ada yang cerita, --mudah-mudahan hanya kabar burung-- di sebuah daerah pinggiran di Jakarta, ada orang bunuh diri gara-gara ‘kalah’ main anthurium Wave of Love. Dia melego dua mobilnya untuk membeli satu pot anthurium dengan harapan bisa membeli empat mobil, tahu-tahu harga melesak jatuh.

Pertanyaan klise: sampai kapan orang siuman dari mimpinya? Orang yang bermimpi mana tahu, kapan bakal siuman, itu jawabannya. Selamat bermimpi.***

Kurniawan Junaedhie*)
Praktisi tanaman hias & pengarang buku2 Anthurium

Kesurupan Anthurium

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah TRUBUS EDISI OKT. 2007)

SUNGGUH edan anthurium. Sepanjang ‘karier’ saya sebagai pecinta tanaman hias, mungkin baru sekali ini ada tanaman hias daun berharga aduhai. Saat tulisan ini dibuat, misalnya, harga selembar daun Anthurium Kobra selebar piring makan dikabarkan sudah dihitung Rp. 15jt per daun. Kalau gosip itu benar, maka patah sudah rekor yang dipatok Aglaonema Harlequeen yang sebelumnya pernah dinilai Rp. 11 juta per daun dan sempat menjadi berita heboh di SMS pada zamannya.

Gejala aneh itu sebetulnya sudah mulai terendus sejak Mei tahun ini, ketika tanpa diduga, pamor Anthurium tiba-tiba mencorong lagi. Padahal, pamor itu sudah meredup, sejak akhir tahun lalu, saat kita sibuk menghadapi Hari Idul Fitri dan kesibukan anak sekolah dan tutup tahun.

Yang menarik, demam puber kedua ini tampaknya jauh lebih dahsyat. Sejak Mei hingga awal Juli saja, perburuan Anthurium hampir terjadi setiap hari secara intensif. Ditaksir ratusan anthurium jenmanii telah eksodus dari Jabodetabek ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan dalam kurun yang sama pula, harga anthurium indukan meroket pesat tak terkendali. Naik dari hanya Rp. 5 jt di awal Mei menjadi Rp. 25 jt. per pohon sampai catatan ini ditulis di pertengahan Juli.

Dan sampai catatan ini ditulis, di wilayah Jabodetabek, Medan, dan sebagian kota di Jawa Barat, --yang selama ini dikenal sebagai sentra-sentra anthurium-- sudah mulai sulit ditemukan lagi anthurium-anthurium jenis indukan, akibat demand dan supply yang tak seimbang. Kalau pun ada, harga sudah di luar common sense.

Tak kurang dari Dr. Purbo yang notabene dikenal sebagai pemain aglaonema menasehati agar kita menahan diri di tengah situasi anomali ini. Dia menyebut fenomena tanaman daun yang warnanya kebanyakan hijau melulu itu saat ini sebagai fenomena irasional alias tidak waras.

Dalam saat yang sama, jalur perdagangan tradisional tanaman ini juga ikut-ikutan bergeser. Anggapan lama bahwa anthurium kelas indukan biasanya ‘diangkut’ dari Barat ke Timur, ternyata tidak berlaku lagi. Karena nyatanya banyak juga anthurium besar-besar juga mulai ‘diangkut’ dari Timur ke Barat. Demikian juga jalur bisnis tradisional anthurium anakan atau bibitan ikut bergeser. Para pemburu anthurium di daerah-daerah di Jawa –utamanya Solo, Karangpadan dan sekitarnya-- yang dikenal luas sebagai pemasok anthurium jenis bibitan, nyatanya belakangan juga mulai mengambil dari dari sejawatnya yang tinggal di wilayah Barat.

Sentra-sentra anthurium pun ikut berubah. Dulu Solo dan sekitarnya suka disebut “ibukota” Anthurium, tapi saat ini sudah banyak kota-kota lain yang ingin memiliki ‘otonomi khusus’, sebutlah sejumlah kota kecil di Jawa Tengah bagian Barat dan Utara, atau sejumlah kota di Jawa Timur. Sang primadona juga bukan lagi Jenmanii yang sudah tidak terjangkau harga dan barangnya.

Kini ada incaran baru: yaitu Hookeri, Garuda atau Wave of Love yang secara taxotomis juga menyimpan banyak bentuk dan tampilan daun aneh.

Fenomena lain yang tak kalah seru, adalah soal banyaknya jenis-jenis atau nama-nama baru anthurium. Saya pernah menulis di sebuah website, bahwa anthurium jenis jenmanii dewasa ini sudah ada ratusan nama. Jenmanii tidak cuma dikenal dengan nama Centhong, Jati, Sawi atau Golok. Yang Sawi saja sudah dibedakan lagi dengan Sawi Ijo, Sawi Caisim, dan Sawi Bakso. Tak terhitung lagi nama-nama baru untuk anthurium-anthurium jenis hibrida atau hasil silangan.

Silangan Jenmanii dengan Wave of Love disebut Jenwave, sedang silangan Jenmanii dengan Keris disebut Jeker. Ada pula nama-nama baru seperti Anthurium Jenmanii Supernova, Inova, Pluto atau Superboy. Seorang teman terkekeh-kekeh, “Jangan-jangan Jenmani Superboy itu kalau gede dan jadi indukan nantinya diberi nama Anthurium Superman,” katanya. Belakangan saya juga diberitahu ada Anthurium Tulang Ikan, Api PON (Pekan Olahraga Nasional), Sunita, Ratu Sirikit dan Big Mama.

Alhasil, nama-nama Anthurium kini memang seperti pasar malam. Hobiis, kolektor, penulis buku, pedagang, trader atau brooker juga bisa jadi pesulap. Anthurium Raffles bisa jadi Bird’s Nest. Kalau memang mirip, dengan senang hati diberi nama Anthurium Kobra KW1, Anthurium King Kobra, Anthurium Green Kobra, atau Anthurium Super Kobra. Pendeknya, lain ladang lain ikannya, lain pemilik lain namanya.

Kalangan end user ikut latah. Banyak hobiis yang tadinya sudah memiliki Black Beauty penasaran kepengin memiliki Black Velvet atau Black Burgundi. Yang tadinya punya Anthurium Naga, penasaran memiliki Anthurium Kulit Naga dan Perut Naga. Yang punya Anthurium Naga saja masih penasaran mencari Anthurium Dragon yang konon bukan terjemahan Naga.

Pantas orang-orang Thailand bengong. Mereka rupanya memang tidak siap melihat akselarasi anthurium yang sedang terjadi di Indonesia. Secara terus terang mereka mengaku dalam soal tanaman satu ini mereka merasa harus belajar banyak pada kita. Seorang penangkar di pinggiran Thailand yang selama ini getol memasok aglaonema menyebut negara kita sebagai negara seribu anthurium. Nyatanya hasil fabrikan mereka, berupa anthurium Hookeri Merah (atau yang biasa disebut di sini dengan sebutan Hokmer), Hookeri Hijau atau yang biasa disebut di sini dengan sebutan keren Green Hookeri atau anthurium Reinasong juga laris manis.

Waktu pertama kali masuk tahun lalu, harga Hokmer ‘bikinan’ Thailand cuma laku Rp. 60rb per pohon dan Hookeri Hijau setinggi 30 cm cuma laku Rp. 20rb per pohon. Itu pun diolok-olok. Tapi kini para juragan di Bangkok bisa petentengan. Mereka pasang harga seenaknya, dan kita mau juga membelinya dengan harga Rp. 350rb per pohon.

Jangankan orang di negara gajah putih, orang kita saja bingung. Orang-orang Indonesia yang suka ulang-alik naik pesawat terbang ke Thailand, mengaku tiba-tiba merasa jetlag melihat fenomena yang terjadi saat ini.

Yang pasti, kini sudah muncul konsumen anthurium baru yaitu mereka yang membeli harga dan kelompok yang membeli nama.

Kelompok pertama adalah para followers yang suka ikut-ikutan trend anthurium dengan membeli bibitan. Namun ketika harga kecambah Jenmanii 2 -3 daun naik dari Rp. 100 rb, menjadi Rp. 150rb, mereka langsung melupakannya. Sedang kelompok kedua adalah mereka yang sibuk membeli anthurium-anthurium dengan nama baru, meski kadangkala belakangan mereka baru menyadari bahwa tanaman itu tidak ada bedanya dengan koleksi sebelumnya.

Belakangan saja ada pergeseran minat. Anthurium bertongkol laris manis diuber-uber. Ini menunjukkan pembeli anthurium makin pintar. Semua ingin jadi investor. Harga jual dan harga beli semua dihitung dari berapa panjang tongkol, dan berapa jumlah biji yang dihasilkan. Roset tidaknya tanaman, atau banyak-sedikitnya jumlah daun kini dianggap tidak terlalu penting.

Masyarakat pun mulai merasa pandai menebak. Kalau Jenmanii mahal, mereka memburu Hookeri. Kalau Hookeri sulit didapat dan harga mulai melejit, mereka pindah ke Gelombang Cinta. Kalau Gelombang Cinta juga sudah susah dicari, mereka sudah ancang-ancang mengincar Garuda, Corong, Keris, Dasi…

Kalau main tebak-tebakan semacam ini benar, kita mungkin bisa tidur nyenyak. Dan saat bangun, bank di-rush, harta benda dilego, semua uang ditanam untuk anthurium.

Tapi nyatanya, masih ada saja orang yang menjual, dan anehnya tetap saja ada yang mau membeli dengan harga mahal. Ini menunjukkan orang masih gelisah takut kelamaan memegang bola panas. Di tengah kegelisahan itu, kita pun sibuk menduga-duga. Jangan-jangan sedang terjadi money laudring (praktik cuci uang).

Ada juga yang mensinyalir, jangan-jangan ada permainan tingkat tinggi di sini. Anthurium diborong, tapi diam-diam diekspor ke Thailand, biar orang Indonesia membeli dengan harga mahal di sana lalu mengimpornya lagi ke tanah air. Snowballing effect, itulah kondisi yang sedang kita alami, kata penganut kepercayaan tersebut. Kalau saya boleh juga jadi tukang ramal, maka Anthurium-anthurium indukan, besar kemungkinan akan tetap memiliki value tinggi, akibat supply yang minim.

Anthurium ukuran anakan, atau remaja bisa jadi akan jadi komoditi generasi anthurium berikutnya, apalagi ada berita, sebentar lagi akan ada panen raya anthurium. Masalahnya apakah ‘fenomena kesurupan’ itu masih akan berlangsung lama?

Tenang saja. Kalau pun di suatu hari nanti pamor tanaman daun ini merosot, sepanjang kita mau belajar dari sejarah, harga biasanya tidak harus langsung terjun bebas ke bumi. Yang sudah jelas, kini kita memperoleh pelajaran, bahwa tanaman yang suka menyita lahan sempit kita itu, kalau kita rawat baik-baik, akan mendatangkan berkah juga.***

Kurniawan Junaedhie
Wartawan & Praktisi tanaman hias