Tampilkan postingan dengan label Kata Pengantar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kata Pengantar. Tampilkan semua postingan

06 Agustus 2010

Kwek Li Na: Dari Semitau ke Taiwan Menulis Puisi

Kurniawan Junaedhie[1]

Saya menemukan nama Kwek Li Na hampir setahun lalu ketika saya sedang menyiapkan buku antologi puisi perempuan yang menulis puisi di Facebook. Siapa Kwek Li Na? Nama ini terus terang saja nyaris jarang dipercakapkan dalam perbincangan sastra di kota saya, Jakarta. Tapi orang ini, ternyata sangat produktif menulis puisi di halaman Facebook. Siapa Kwek Li Na?


-
Dalam blognya, ia menulis: Saya bermarga Kwok (baca dalam bahasa Mandarin) atau Kwek (baca dalam bahasa Hokkien). Bernama Li Na. Dalam bahasa mandarin penulisannya 郭 莉 娜 . Yang berarti, sekuntum melati yang putih, indah, harum mewangi. Kenapa bukan Mawar? Mengutip pepatah, ia mencoba menghibur diri bahwa, wanita tak perlu secantik mawar, cukuplah secantik melati yang tak berduri.

-
Dia lahir di Semitau, Kalimantan Barat, dengan nama panggilan, A Ling, nama kecil, sekaligus nama yang dikenal keluarga dan teman-teman dekatnya. Dimanakah Semitau? Kalau kita menyimak literatur, maka daerah itu merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Bahasa aslinya, adalah bahasa Dayak. Orangtuanya sendiri berbahasa Khek dan di rumah ia lebih banyak berbahasa Dayak Kapuas Hulu. Dengan demikian, ketika ia menulis puisi dalam bahasa Indonesia, bisa dipastikan ia menulis puisi tidak menggunakan bahasa ibunya.

-
Jadi darimana A Ling punya kecakapan menulis puisi, tak ada data yang jelas, misalnya apakah ia mewarisi bakat seni dari orangtuanya atau ada kerabatnya yang jadi seniman. Ia hanya mengatakan dalam blog itu, bahwa “saya suka membaca apa saja sebagai ilmu dan pengetahuan, membuat dan mendengar kata-kata mutiara, puisi, sangat menyenangi dan mengetahui, hal-hal tentang kesehatan, kecantikan, fashion dan juga perjalanan-perjalanan ataupun tempat wisata yang menarik…” Jadi, boro-boro kita bisa menemukan jawaban, kenapa ia bisa menulis puisi dalam bahasa Indonesia sementara ia juga saat ini tinggal bersama suaminya di Taiwan.

-
Apakah ini berarti ia menulis puisi dengan bermodalkan bakat alam? Tak jelas. Yang pasti, bakat kepengarangannya, cocok dengan bunyi sebuah ramalan yang dibacanya (kemudian dicatat baik-baik di halaman FB-nya). Menurut ramalan itu, ia cocok di dalam pekerjaan sebagai pengarang, atlit, penerbit, serta dapat pula sebagai mubaliq. Perhatikan, kata ‘pengarang’ itu.
.

Dan yang jelas menakjubkan, sebagai orang kelahiran Semitau, yang menyelesaikan D3 di ABA di Pontianak, sempat merantau ke Brunai Darusalam sebagai TKI (hanya sebentar) dan tinggal di Taiwan, bahasa Indonesianya memang terbilang cukup memadai, meski tentu saja vocabulary-nya tidak sekaya orang yang hidup dengan tradisi berbahasa Indonesia. Tapi justru di situlah keunggulan Kwek Li Na sebagai penyair berbahasa Indonesia. Kata, frasa, majas dan metafornya bersahaja. Tak ada kesan bermegah-megah dalam membangun imaji-imaji puitik dengan kata-kata arkaik atau sebaliknya kata-kata dahsyat yang melambung-lambung seperti halnya banyak dilakukan penyair modern masa kini. Pesannya lugas, tidak ruwet, dan kaya dengan perumpamaan-perumpamaan cerdas yang mengingatkan saya pada puisi-puisi Cina klasik.

-
Buku ini memuat sebanyak 107 puisi Kwek Li Na. Melalui buku ini diharapkan Anda bisa lebih dalam mengenali anak kelahiran Semitau itu secara lebih utuh sebagai penyair.

-
Selamat membaca!

Jakarta, 17 Agustus 2010

[1] Penyunting buku, dan penyair.


Kata pengantar buku kump. puisi "Bunga Rindu Di Sandaran Bintang" karya Kwek Li Na




06 Juli 2010

Cinta Yang Menyenangkan. Tak Meratap

Kurniawan Junaedhie

Buku yang sedang kita baca ini adalah buku puisi Pink Homerik tentang cinta. Perhatikan, sub judul buku ini: ‘Antologi Puisi Cinta’. Tentu bukan kebetulan, karena memang di dalamnya berisi sejumlah sajaknya yang memuat tema-tema cinta. Paling tidak ada dua judul puisinya yang secara harafiah menggunakan kata cinta: Surat Cinta, dan Bekicot Cinta.

Bagi sebagian besar penyair, kata, adalah alat utama untuk mengutarakan perasaan hatinya. Dengan kata, ditambah dengan pilihan format yang pas, penyair mencoba mengungkapkan dan membagikan isi hati dan perasaannya kepada pembacanya. Persoalannya, apakah puisi yang merupakan hasil pergulatan yang sangat pibadi dalam diri penyair itu bisa dianggap penting oleh pembacanya? Dengan kata lain, apakah hasil pergulatan yang sangat personal dalam diri penyair dengan berbagai hal -- termasuk soal cinta-- itu bisa diangkat ke tataran universal, sehingga tidak berhenti menjadi ‘sajak dua eksemplar’ yang hanya penting dan hanya bisa dipahami bagi orang atau kalangan tertentu? Dan pertanyaan berikutnya, apakah hasil pergulatan pribadi itu juga berhasil diangkatnya menjadi lebih tinggi lagi, tak sekedar cinta manusiawi menjadi cinta illahi?

Menariknya, kendati diharu-biru cinta, puisi-puisi Ping -- lulusan Universitas Trisakti, Jurusan Desain dan Perencanaan yang kini berprofesi sebagai disainer dan tinggal di Chicago, USA-- ini tidak menjadi memble. Puisi-puisinya tidak lalu menguras air mata, mengajak kita menangis karena haru dan mendayu-dayu. Bahkan, dalam beberapa puisinya, ia tampak sekali mencoba berjarak dengan perasaan (cinta) nya, dan memandang perasaan (cinta) secara ringan-ringan saja. Tak syak, cinta buat Ping bukan hal yang harus dekat dengan airmata, kesedihan, kesenduan dan sejenisnya. Cinta baginya hanya sebuah kemasan yang indah, tetapi bukan segala-galanya.

Dalam puisi berjudul Surat Cinta, misalnya, meski frasa yang digunakan kedengaran bombastis, si penyair tetap sadar, dan mengendalikan diri:

Malikhaku sayang,

Aku tak menulis panjang kali ini
Namun ke dalam amplop ini, tlah kuselipkan
beberapa helai rambut kuda liar dari
pengunungan Siberia yang kuikat dengan seuntai
angin kupetik di puncak Chomolungma
disertai pula beberapa potong kulit kerang Nautilus
yang kutelusuri di bibir pantai selatan Yucatan
semua untukmu

Semoga engkau mengerti betapa
kolosalnya rinduku padamu
Salam sayang
Kanda

(yang tersesat di kolong malam tanpa bias konstelasimu).

Puisi Semangkok Sup, juga bisa menjelaskan hal ini. Puisi ini tidak terjerumus menjadi melo. Dalam bait terakhirnya bahkan penyair menulis dengan gagah:

Melayanglah kemari
Bersama kita mencebur ke dalam
Didihnya sup asmara yang lezat ini.


Sajak RIP, adalah ‘sajak patah hati ‘ namun dituliskan dengan sangat komikal dan cerdas. Meski ‘hati’ si penyair dalam sajak itu digambarkan meninggal, aku lirik, di bait terakhir mengatakan:

Sambil berjalan keluar, dengan amat pedih, kuberdoa
“semoga esok, Dia kan memberiku pengganti yang lebih awet!”

Kita dibuat terkesima, dan tertawa. Dan saya kira, itu kenikmatan tersendiri buat kita yang membacanya.

Begitulah, buku ini menyajikan cinta dalam kemasan lain, yaitu ceria, menyenangkan dan menghibur. Cinta tak perlu dikerangkeng dalam pikiran sempit: sekadar luapan perasaan dan berahi antara dua jenis kelamin yang berbeda (pria-wanita) atau melalui kata dan bahasa yang mendayu-dayu seperti lagu pop. Cinta lebih luas dan dalam dari hanya itu.

Baca sajak Ping yang bagus ini:

Matamu sampan
Bulan terlelap di dalam
Lentik bulu matamu, menari ilalang
Di tepian, aku datang
Mengail di jernihnya hatimu


Di akhir catatan ini, penting juga dikatakan, cinta tak selalu berarti urusan sepele. Bukankah kata Sapardi Djoko Damono, jika semua puisi yang pernah ditulis orang itu diperas, maka hasilnya semua puisi adalah bertemakan cinta?

Jakarta, 5 Juli 2010
Salam Kreatif!
Kurniawan Junaedhie

Kata Pengantar untuk buku "Karamel, Kumpulan Puisi Cinta & Ilustrasi" karya Ping Homeric.
-
-

01 April 2010

Apa Sebetulnya Puisi ?

-
-
Apa sebetulnya puisi? Kenapa sebuah pesan harus disampaikan melalui puisi? Kenapa tidak dalam bentuk prosa?
-
Puisi menyampaikan pesan dan makna dalam bentuk tersamar, sebaliknya pada prosa, menyajikan dengan jelas dan gamblang. Maka pesan dan makna yang kita terima melalui puisi memang membutuhkan pemahaman sekaligus penghayatan. Tapi di dalam pemahaman dan perenungan-perenungan itulah justru terletak keindahan sebuah puisi. Keindahan itu bisa berupa sebuah sensasi, dan bisa juga berupa misteri. Maka membaca puisi, tak ubahnya melihat seorang gadis jelita nan rupawan yang berada di balik tirai.
-
Dalam buku ini, menurut hemat saya, Euis Meilani Sabda, termasuk penyair yang mampu menampilkan keindahan itu. Dan bukan kebetulan, di dalam rangka menampilkan keindahan itu, dia menggunakan kata-kata, frasa, padu padan kata, serta metafora-metafora bersahaja, dan sederhana. Dengan demikian, puisinya komunikatif.
-
Bagaimana dengan makna yang terdapat dalam puisinya?
-
Jika kita percaya bahwa kehidupan ini sendiri adalah puisi, dan tugas seorang penyair adalah mengabadikannya agar kehidupan menjadi lebih bermakna maka puisi-puisi Euis jelas sangat patut direnungkan.
-
Betapa pun, Euis menunjukkan bahwa puisi yang bagus tidak harus menggunakan kata-kata indah seperti kecenderungan ‘para penyair neo-pujangga baru’, dan tidak perlu membuat kita berkerut dahi saat membacanya. Saya termasuk yang sangat menikmati puisi-puisinya.
-
Kata Pengantar buku kumpulan puisi "Ketika Hari Bersujud" - Euis Melani Sabda, terbitan Greentea Yogyakarta, 2010
-

MENGANTAR 9 PEREMPUAN DALAM SAJAK

Pengantar Editor:
Kurniawan Junaedhie

MENULIS puisi memang gampang. Tapi menulis puisi yang bagus dan mengesankan, jelas tidak bisa serampangan, dan bukan sekadar seperti, misalnya, menulis status puitis di fesbuk. Rasanya, ke-9 penyair dalam buku ini menyadari benar hal ini. Karena itu ketika membaca puisi-puisi ini selagi masih dalam bentuk naskah, saya berani mengatakan, puisi-puisi mereka secara umum sudah memperlihatkan peningkatan yang menggembirakan. Paling tidak, dibanding buku puisi mereka sebelumnya, “Merah Yang Meremah.”

Pada beberapa penyair, misalnya, mulai terasa ada keberanian untuk bermain imaji, dan simbol, serta menyajikan majas dan metafor-metafor yang menggoda. Mereka juga tampaknya mulai menyadari, puisi bukan lagi sekadar menderetkan kata-kata puitis, tetapi mulai terasa ada kesadaran untuk memberi ‘isi’ pada imaji, termasuk pada kata; sehingga kata-kata tidak lagi telanjang seperti apa adanya. Karena hemat saya, puisi yang baik memang tak sekadar memberikan sekadar kenikmatan kata, tetapi juga sebaiknya kenikmatan makna.

Lalu yang tak kalah penting, mereka pada umumnya sudah bisa melepaskan diri dari sekadar membuat ‘puisi dua eksemplar’, istilah yang dulu pernah digunakan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri untuk mengolok-olok jenis-jenis puisi yang ditulis hanya untuk seseorang atau beberapa orang sehingga hanya bisa dipahami oleh yang bersangkutan saja. Di sisi lain, tetap menarik, bahwa para penyair yang kebetulan perempuan ini, tetap tidak memerankan streotype perempuan sumeleh yang menerima nasib, tetapi justru mencoba menggugah kesadaran bersama terhadap --katakanlah— wacana tentang kesetaraan gender, feminisme, dan relasinya yang berhubungan dengan norma dan kehidupan sosial mereka. Bahkan –kalau saya tidak silap— mereka seakan sedang mencoba menggugat hak, kedudukan, dan cara pandang terhadap perempuan. Sehingga tampaknya kita sebagai pembaca ingin diajak menangkap substansi keperempuanan lebih dari sekedar yang bersifat fisik melainkan lebih pada kepribadiannya.

Terus terang saya senang dan bangga bisa membaca dan menyeleksi puisi-puisi mereka, sekaligus menghantar penerbitannya dalam sebuah buku antologi puisi seperti ini. Hari-hari penuh romantika bersama para penyair dalam menggarap buku ini, niscaya akan menjadi kenangan indah tersendiri buat saya.

Betapa pun, dengan membaca puisi karya ke-9 penyair yang bisa dikatakan ibu rumahtangga ini, sedikit-banyak kita sekarang mengetahui bahwa puisi, --baik bentuk, gaya ucap dan tematik--, memang tidak harus seperti yang sering kita lihat dan kita baca di media-media massa mainstream.

Terimakasih untuk Kang Maman S Mahayana yang di sela-sela kesibukannya sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, berkenan memberi kata pengantar, juga untuk para endorser: Kang Soni Farid Maulana, Mbak Linda Djalil dan Mas Adri Darmadji Woko, yang komentar-komentarnya menjadikan buku ini terasa lebih istimewa.

Jakarta, 28 Maret 2010



Kata Pengantar:
Maman S Mahayana
*)



SEJARAH sastra Indonesia selalu mencatat: banyak penulis puisi, tetapi sedikit yang kemudian menjadi penyair. Dan ke-9 perempuan yang puisi-puisinya terhimpun dalam buku ini, termasuklah dari yang sedikit itu. Jadi, siapa pun dengan profesi apa pun, berhak menjadi penyair ketika puisi-puisinya menunjukkan kualitas yang membanggakan. Dengan begini, perpuisian Indonesia tidak hanya makin kaya dengan beragam tema dan pengucapan, tetapi juga begitu berbagai latar belakang sosiologis kepenyairannya.

Suatu kehormatan buat saya memberi kata pengantar pada buku puisi yang menampilkan karya-karya serius yang kualitasnya sungguh tidak kalah dari karya-karya penyair mapan.

Belum setahun saya meninggalkan Indonesia, dinamika sastra Indonesia, sungguh membahagiakan. Penuh kejutan. Dan itu menandai sebuah gerakan kepenyairan dari komunitas yang tidak terduga dalam konstelasi peta perpuisian Indonesia. Semangat membukukan puisi yang tidak sekadarnya seperti ini, penting tidak hanya untuk catatan sejarah, tetapi juga untuk memberi penyadaran kepada masyarakat, bahwa profesi penyair adalah hak segenap warga. Ke-9 ibu rumah tangga ini, di antara kesibukannya di luar bidang sastra, telah tampil dengan sejumlah karyanya yang meyakinkan. Jadi, puisi dan status kepenyairan, bukanlah wilayah yang berada nun jauh di sana, tetapi berada di sekitar kita, sejauh siapa pun dapat menunjukkan kualitas karya yang serius, yang inspiring, yang mencerahkan.

Kurniawan Junaedhie sungguh telah berhasil menghancurkan mitos tentang profesi penyair dan wilayah kepenyairan. Sebuah langkah penting dalam memperkaya khazanah sastra Indonesia. Para penyair mapan yang cenderung asyik-masyuk dengan dunianya, sepatutnya menyadari terjadinya perkembangan--perubahan ini. Jika tidak, ia akan tetap terpencil dari masyarakatnya dan posisinya sangat mungkin akan tergilas oleh para penyair yang lahir dari komunitas yang tidak terduga ini. Saya kira, kelompok ini akan bersikap lebih inklusif dalam berhadapan dengan masyarakat pembacanya. Dengan begitu, sekaligus juga akan menghancurkan citra eksklusivisme penyair yang tidak jarang diperlihatkan dengan sikapnya yang over confident, cenderung merasa lebih hebat, dan seolah-olah menduduki singgasananya yang berada setingkat di atas orang kebanyakan.

Semoga gerakan model ini terus berlanjut, sehingga sastra Indonesia benar-benar memperlihatkan keberbagaiannya. Dengan begitu, mendorong siapa pun untuk menyumbangkan kualitas dirinya bagi perkembangan sastra Indonesia, seberapa pun yang dapat dia berikan.

Secara kualitatif, puisi-puisi para ibu rumah tangga ini sungguh mengejutkan. Tema-temanya yang sangat "perempuan" disajikan tidak sekadar bermain dalam bahasa yang diindah-indahkan, melainkan tetap dengan memperhatikan keindahan puitik sebagai sarana yang tepat merepresentasikan semangat perempuan Indonesia dalam menyikapi berbagai problem sosial-budaya yang kerap menempatkan posisi perempuan dalam stigma sebagai kaum marginal, tersisih. Ke-9 penyair yang terhimpun dalam buku ini juga tidak latah terjerumus pada epigonisme tematik yang mengumbar keindahan tubuh sekadar cari sensasi. Dengan begitu, mereka terhindar pula dari bentuk-bentuk ekspresi yang eksplisit dan artifisial. Maka, yang muncul kemudian adalah bahasa perempuan yang jujur pada hati nuraninya yang disampaikan secara metaforis, eksotik, yang tidak jarang juga sangat simbolik. Sebuah kekayaan pengucapan yang khas dan berpribadi.

Saya sungguh berbahagia membaca antologi puisi ini, meski di sana-sini saya kerap gagal menghindari serangkaian keterkejutan.

Betapa pun buku ini telah menegaskan kontribusi penting ke-9 penyairnya bagi perpuisian Indonesia yang beraneka warna, penuh dinamika dengan segenap semangat keindonesiaannya.

Selamat memasuki wilayah kepenyairan perpuisian Indonesia!


Seoul, 30 Maret 2010

*) Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI. Kini dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul.

11 Juli 2009

Sekadar Pengantar:
Buruk Muka, Cermin Jangan Dibelah*)

35 tahun menulis puisi, bukan perkara mudah. Ini persis seperti kalau kita menikah dengan orang yang sama selama 35 tahun. Ada saatnya menemukan kegairahan tetapi ada sekali tempo kita mengeluh, bosan, marah dan ngambek. Bahkan mungkin saja, dalam kasus saya, hal-hal jelek-jelek itu lebih berkepanjangan saya rasakan. Jadi kalau ada orang bilang saya loyal dan setia pada sastra (puisi), kadang saya malu sendiri. Saya pernah nulis artikel rumahtangga, nulis cerpen remaja, mengisi kolom di sebuah tabloid dangdut, nulis artikel dan buku tentang jurnalisme, nulis kolom dan buku tentang tanaman dan sibuk jadi petani dan juri tanaman hias . Saya tidak punya nyali seperti Sutardji Calzoum Bachri, misalnya yang berani hidup melulu dari kesusastraan. Tapi harus saya akui, itu semualah yang telah menghidupi kepenyairan saya selama itu, sembari numpang hidup sebagai wartawan selama 32 tahun lamanya, dan --setelah pensiun, -- melakukan bisnis ‘kecil-kecil’an. Nyatanya, selama masa yang panjang itu, saya terus menulis puisi meski untuk konsumsi sendiri.

Puisi pertama saya tulis sebetulnya dimuat di sebuah rubrik remaja Koran Pelita Minggu, asuhan Yatim kelana (alm) pada tahun 1971, ketika duduk di SMP. Baru pada tahun 1974, ketika saya duduk di bangku SMA, saya mulai menulis puisi lagi, dengan cita-cita kepingin jadi Chairil Anwar. Kalau Chairil Anwar bisa, kenapa saya tidak? Kalau Chairil Anwar nyentrik, kenapa saya tidak? Itu mungkin gara-gara HB Jassin menokohkan dia sebagai Tokoh Penyair Angkatan 45, dan bukan menokohkan Amir Hamzah yang lebih santun dan bangsawan.

Buku kumpulan puisi saya terbit tahun itu juga, bersama Ahita Teguh Susilo, dibuat dengan sangat ‘memalu’kan, persis dengan semangat Chairil Anwar. Saya mencetak buku itu dengan cara stensil manual pinjaman dan dijilid kawat seperlunya. Tentu saja hasilnya belang-belang. Toh dengan rasa percaya diri, buku itu saya kirim per pos ke beberapa penyair besar, di antaranya Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro. Entah becanda atau apa, tahu-tahu ada berita di kronik budaya Kompas ditulis wartawan bernama Sides Sudyarto Ds. Di situ Umbu, ’guru’ penyair Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, RS Rudhatan, dan Suwarno Pragolapati itu dikutip menyebut saya sebagai “penyair muda di lapis teratas.” Lalu secara kebetulan pula dalam waktu bersamaan, Handrawan Nadesul dan Piek Ardijanto Soeprijadi datang ke kota saya mengadakan pertemuan kecil dengan para seniman setempat. Dua minggu setelah itu, tahu-tahu di koran muncul tulisan mereka mengenai potensi saya sebagai penyair. Padahal selama pertemuan itu saya sama sekali tidak buka mulut semili pun. Hidung saya pun mekar, dan rasanya semakin mantaplah saya untuk jadi penyair. Sejak itu saya mulai banyak menulis di media massa.

Antara 1974 sampai 1976, --masih duduk di bangku SMA-- praktis, puisi-puisi saya hampir setiap minggu bersimaharajalela di media massa yang terbit di Pulau Jawa, buku-buku puisi saya berterbitkan, dan bersamaan dengan itu rumah saya di Purwokerto menjadi rumah persinggahan bagi para sastrawan seperti Sides Sudyardo DS, Toto Prawoto, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Handrawan dan sejumlah penyair muda lainnya.

Saat itu pula saya mulai mengirim ke majalah Horison, yang saat itu menjadi kiblat sastra Indonesia. Tujuannya tidak lain, agar saya diakui sebagai 'sastrawan Indonesia'. Seingat saya tanpa banyak kesulitan, cerpen saya tembus juga di majalah itu. Anehnya majalah itu lebih sering memuat cerpen saya daripada puisi saya. Sapardi Djoko Damono redakturnya waktu itu, rupanya menganggap saya lebih berbakat sebagai cerpenis daripada penyair. Jelas pendapat Sapardi membuat saya 'tersinggung'. Saya sempat ngambek nulis cerpen, dan kembali menulis puisi secara massal. Semata hanya ingin menunjukkan bahwa saya lebih berbakat jadi penyair; meski sampai sekarang, saya tidak tahu apakah saya berbakat jadi penyair atau tidak. Atau, apakah saya layak jadi penyair atau tidak. Yang saya tahu, saya telah banyak menulis puisi. Dan itu cukup membuat sejumlah kawan iri pada produktitivitas saya dan beberapa kawan lainnya, --terutama yang cewek,— sempat tersanjung dan tergombali.

Di suatu masa, misalnya, saya pernah juga diundang penyair Piek Ardiyanto Soeprijadi dan cerpenis SN Ratmana, membaca puisi di SMA Negeri Tegal, bersama Handrawan Nadesul, Adri Darmadji dan Dharmadi . Di situ, untuk pertama kalinya, sebagai penyair, saya merasa seperti selebritis. Begitu kami turun panggung, murid-murid berhamburan meminta tandatangan. Beberapa waktu kemudian, bersama Ahita Teguh Susilo, Emha, Linus, Adri Darmadji dan Poernomo MP, saya juga diundang ke Semarang oleh Darmanto Jatman, --bahkan menginap di rumahnya-- untuk membaca puisi di Undip dan ikut sarasehan sastra yang diselenggarakan oleh Yudiono KS dan dimentori Sutardji Calzoum Bachri. Waktu kelas dua SMA, saya diundang oleh guru di SMA lain untuk diajak berkenalan dengan murid-murid sebaya di kelas. Waktu saya tanya, apa yang membuat mereka senang puisi, murid-murid cewek berebut menunjukkan jari dan bertanya: mas sudah punya pacar belum?

Ujung-ujungnya, saya diundang Dewan Kesenian Jakarta membaca puisi bersama Adek Alwi dalam Forum Penyair Muda Jakarta. Hanya sialnya, selesai acara itu, saya diumpat-umpat Pelukis Hardi, yang baru tahu, betapa buruknya cara saya membaca puisi.

Tapi betapa pun, jalan hidup dengan menulis puisi tetap menarik diikuti.

Contohnya, ketika pada tahun 1977 saya hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik, lagi-lagi puisi telah menyelamatkan saya. Atas bantuan Mas Gardjito, redaktur Buana Minggu, saya diizinkan membuka rubrik Lintasan Seni di mana saya setiap minggu boleh mengisinya, yang honornya bisa saya gunakan untuk membayar kuloiah saya. Sementara itu, atas kebaikan hati Mbak Poppy Donggo Hutagalung saya juga dipersilakan mengisi berita-berita kesenian di rubrik yang diasuhnya, dengan tujuan yang sama. Di sisi lain, saya juga disambut dengan hangat oleh kawan-kawan penyair di Jakarta seperti Lazuardi Adi Sage, Adek Alwi, Sugiono MP, Sutjahjono R, Syarifuddin Ach, B Priyono, Eddy Yoenanto, dan Rahadi Zakaria. Ketika menjalani masa plonco di Sekolah Tinggi Publisistik pun, beberapa kali saya diselamatkan oleh ‘hukuman’ Kakak Senior, karena dia tahu saya ‘penyair terkenal’.

Selama kurun waktu tahun 1977-1984, hidup saya praktis sudah bergelandangan mirip –mungkin— penyair pujaan saya Chairil Anwar itu. Sering tidak pulang ke rumah kontrakan, dan lebih banyak menghabiskan waktu tidur di TIM, Balai Budaya atau di rumah teman. Kadang makan, kadang juga tidak. Biar puisinya bagus, begitu almarhum Suwarno Pragolapati mengajarkan pada saya di awal-awal kepenyairan saya. Tapi ada saatnya saya mencoba berjarak dengan dunia kepenyairan, dan mengkalkulasi hasil jerih payah selama itu.

Ada suatu masa, misalnya, di mana saya merasa bahwa nulis puisi itu sia-sia sehingga saya tidak perlu serius, dan puisi itu hanya sekadar permainan kata. Apalagi setelah puisi ‘mainan’ saya “Sajak Kelereng” yang dimuat di Majalah Top, kemudian dikutip di media massa dan ditulis oleh para kritikus sohor.

Pernah juga, ketika teman-teman saya sibuk di LSM untuk melakukan perubahan, saya tiba-tiba kecil hati. Karena saya merasa puisi tidak memberi arti. Lebih sering sampai pada suatu kesimpulan, mestinya agar puisi bisa ditulis dengan baik sebaiknya ditulis ketika perut kita kenyang.

Dalam hal menulis puisi, tentu saja saya harus mengakui begitu banyak pengaruh menerpa saya tanpa bisa saya tolak. Pernah suatu waktu saya mabok kepayang dengan puisi-puisi Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM dan Sapardi Djoko Damono. Tapi pernah juga suatu waktu saya tergila-gila pada sajak-sajak Soebagio Sastrowardoyo, dan Sitor Situmorang. Meski demikian saya sebenarnya pengagum Amir Hamzah dan Remi Silado. Saya juga merasa begitu banyak ‘provokator’, yang membuat saya sampai terjerumus begitu dalamnya dalam dunia ini seperti Piek Ardijanto Soepriyadi (almarhum), Sides Sudyarto DS, Handrawan Nadesul, dan Adri Darmadji. Kalau sekarang saya merasa dunia sastra begitu indahnya, tentu saja pada tempatnya saya mengucapkan terimakasih pada mereka. Mereka banyak menulis tentang saya, dan selalu mengatakan --mudah-mudahan tidak bohong-- bahwa saya memiliki bakat untuk menjadi penyair.

Selama 35 tahun menulis puisi, dan kemudian mengumpulkannya dalam sebuah buku, akhirnya saya seperti melihat wajah sendiri di depan cermin, bak kata pepatah, buruk muka, cermin dibelah. Tapi seburuk-buruk muka saya, tentu tak hendak saya membelah cermin. Memang tidak semua puisi yang pernah saya tulis selama itu, dimuat dalam buku ini. Ada proses seleksi, khususnya supaya buku ini tidak terlalu tebal dan harga tidak mahal.

Tapi jelek-jelek, inilah sebagian perjalanan hidup saya. Ada masa-masa penuh luka, kecewa, konyol, malu-maluin, penuh gairah, putus asa, dan ada masa-masa penuh pengharapan. Begitulah hidup. Tak selamanya mulus, rupanya.

Buku ini saya persembahkan untuk Anda, dan untuk almarhumah ibu saya: Wita Nuryani, yang rajin mengompori saya agar jadi penyair hebat. Juga secara khusus untuk istri serta kedua putri saya: Maria, Azalika dan Betsyiela, belahan jiwa saya. I love you full!

Serpong, 8 Juli 2009
Kurniawan Junaedhie

*) Kata Pengantar KJ untuk buku kumpulan puisi Cinta Seekor Singa, 35 Tahun KJ Menyair