11 Mei 2009

Yang Berkuasa Pers?

YANG BERKUASA PERS?

Dear Journalist,

Istri Acan diperkosa. Tiga anaknya dibantai di rumahnya sendiri di Bekasi. Hampir semua media massa menurunkan peristiwa sadis yang terjadi pada tahun 1995 itu, di halaman utama, dengan menaruh judul-judul dramatis. Sejumlah radio swasta tak mau ketinggalan mengudarakan berita duka sekaligus sadis itu. Reaksi pun muncul berhari-hari. Hampir semua orang meratapi nasib keluarga Acan dan ikut beramai-ramai mencerca si pelaku. Emosi kita tergerak. Campur-aduk jadi satu. Kita ikut-ikutan menuntut supaya polisi segera bertindak cepat menangkap para pelakunya, dan jangan melempem. Dan ketika perkaranya kemudian benar disidangkan, kita ikut pula marah. Para tersangka kita lempari batu. Bahkan pengacaranya, kita kejar-kejar dan kita aniaya sembari minta agar para hakim menghukum mereka seberat-beratnya.

Hal serupa juga terjadi dalam kasus pembantaian berdarah di rumah Rohadi di Bambu Apus, Jakarta Timur. Pertanyaan kami: kenapa bisa terjadi perasilan oleh massa? Kenapa massa bisa berbuat begitu?

Ariel Heryanto, seorang sosiolog menduga, mungkin ini peletup berbagai kasus lain yang selama ini tertimbun. Dan tahukah Anda, siapa provokatornya? Pers.

Media massa atau pers, kata dia, saking gencar memberitakannya, sampai-sampai melupakan substansi perkaranya, yakni kasus perkosaannya sendiri. Ini membuktikan bahwa media massa memang bisa menjadi kekuatan penekan yang kadangkala bisa lebih agresif dibanding aparat-aparat yang resmi. Lihat saja. Polisi sampai-sampai tergopoh-gopoh menangkap pelakunya, sebab bila tidak, akan diolok-olok massa. Jaksa dan hakim harus segera menyidangkan perkara itu. Ini jelas bisa mengudang bahaya lain. Misalnya, polisi bisa acal comot dan main tangkap, demi memuaskan khalayak, para jaksa bisa berbuat semena-mena memberi ancaman hukuman, karena merasa di atas angin, sementara para hakim enak saja menjatuhkan vonis seberat-beratnya asal menyenangkan massa.

Pers adalah hakim di luar hukum, kata Ariel. Bahkan menurutnya, teori tentang dikotomi negara versus rakyat pun sudah mulai harus dipikir ulang. Sebab ternyata bukan negara yang berkuasa penuh atas masyarakat, tapi pers.

Mulut kamu, harimau kamu, kata pepatah. Bijak-bijaklah meniti buih, saran kami.

Salam kompak,
Khalayak Anda