INFORMASI SALAH UNTUK WILAYAH SENSITIF
Dear Journalist,
Pada tahun 1982, seorang ibu yang tinggal di Yogyakarta, --setelah naik kereta api, sepanjang malam--, mendatangi kantor sebuah majalah di Jakarta. Ia protes karena gambar sampul edisi terakhir majalah itu memasang foto suaminya --yang waktu itu sangat terkenal-- bersama seorang wanita --entah siapa-- yang dikatakan sebagai istrinya. Akibat pemuatan itu, anak-anaknya yang sudah remaja mogok sekolah, karena malu. Menurut pengakuannya, ia pun mendapat banyak pertanyaan --termasuk cemooh-- dari tetangga dan handaitaulannya. Apa pasal? Di depan redaktur yang menjumpainya, dengan emosi ia mengatakan --sambil membeberkan bukti-bukti-- bahwa ialah istrinya yang sah, dan bukan wanita itu.
"Astaga," wajah redaktur itu pucat pasi. Ia menatap wajah si ibu.
Dan setelah lama terpukau, sang redaktur mencoba membela diri dengan bodoh. "Tapi dia mengatakan bahwa itu istrinya."
Si ibu berang, "Bagaimana Anda yakin bahwa dia benar-benar istrinya? Apakah Anda sudah menanyakan surat kawinnya?"
"Begitulah setidak-tidaknya pengakuannya. Dan kami percaya saja." Konyol!
Terus terang kami tak ingin Anda bertindak konyol seperti redaktur majalah itu. Ia terlalu ceroboh mempublikasikan berita tanpa melalukan pengecekan, untuk sesuatu hal yang termasuk wilayah sensitif. Apalagi mendasarkan tulisan hanya pada kabar angin atau desas-desus, kecuali Anda wartawan penerbitan gosip.
Salam kompak,
Khalayak Anda