11 Mei 2009

Jalan ke Pengadilan

JALAN KE PENGADILAN


Dear Journalist,

Nama baik tak bisa dibeli. (Apa ada supermarket menjualnya?)

Itulah alasan utama kenapa kami, yang dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan Anda, tetap mengajukan persoalannya lewat jalur hukum.

Tepatnya kami menggugat Anda, baik secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan, baik secara material, maupun imaterial. Gugatan kami dengan demikian punya dua tujuan: ganti rugi dan pemulihan atas nama baik.

Ketentuan ganti rugi di Indonesia antara lain tercantum dalam KUHPer pasal 1372 sampai 1380. Disebutkan antara lain, bahwa nama baik dan kehormatan tidak hanya melekat pada pribadi pihak yang dihina saja, tapi dapat juga menjadi milik keluarga pasangan hiduip (suami istri), dan keturunannya. Pengertian ini memperluas arti nama baik baik dan kehormatan pribadi seseorang menjadi milik keluarga. Sebab itu walaupun orang yang nama baik atau kehormatannya dirugikan sudah meninggal, --ingat hal ini, Bung-- keluarganya tetap punya hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi.

Bung, kami sadar menghadapi banyak risiko dan konsekuensi untuk itu. Anda mungkin akan menaruh dendam pada kami, dan kemudian akan mencari-cari lagi kesalahan kami. Karena kami manusia, pasti kami juga kesalahan. Dan bila kesalahan itu terjadi, bukan mustahil saat itulah Anda akan menghabisi kami. Atau mungkin Anda akan mencoba berupaya membuktikan kepada pengadilan bahwa apa yang Anda lakukan pada dasarnya untuk kekepentingan umum (Suatu alasan klise yang selalu Anda agul-agulkan.kan?).

Betul, Bung, KUHPer pasal 1376 sendiri memang memberi dukungan atas alasan itu. Tuntutan perdata penghinaan tidak dapat dikabulkan jika ternyata memang tidak ada maksud menghina. Atau, penghinaan itu harus dianggap tidak ada bila perbuatan itu jelas dan nyata untuk kepentingan umum, atau untuk membela diri secara terpaksa.

Toh kami jalan terus.

Sekali lagi kami tegaskani, reputasi tetap lebih mahal dibanding segala-galanya. Nama baik itu kami peroleh melalui proses dan perjuangan panjang yang menuntut kesabaran hati dan kadang kami peroleh dengan darah dan airmata. Jadi bisa Anda bayangkan, bagaimana sakitnya hati kami, bila apa yang kami pupuk dan kumpulkan pelan-pelan itu, kini Anda koyakkan begitu saja melalui sejumlah kata-kata dalam pemberitaan Anda yang sangat semberono. Tidak. kami tidak rela mengorbankan semuanya untuk itu. Dan untuk itu kami tak akan segan-segan menuntut ganti rugi sebanyak-banyaknya untuk itu. Mungkin Rp. 10 milyar, mungkin Rp. 20 milyar atau terserah bagaimana cara pengadilan memutuskannya nanti.

Prinsip kami, pers harus selalu siap membuktikan kebenaran dari setiap tulisan yang diberitakannya. Jika mereka tidak mampu melakukannya, maka pers semacam itu harus dianggap pantas menerima ganjaran setimpal dan membayar ganti rugi dalam jumlah besar.
Apakah jumlah itu fair?

Ah, jangan pura-pura tidak tahu.

Penerbitan pers dewasa ini telah tumbuh sebagai bisnis informasi yang merupakan bagian dari industri pers. Bukankah sudah selayaknya penerbitan Anda mencadangkan sejumlah dana, guna membayar beaya konpensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaannya? Tapi jika pun tidak, karena dasarnya adalah rasa keadilan, maka memang sudah selayaknya penerbitan Anda tak layak untuk hidup. Dan kami yakin 100 persen, masyarakat akan rela kehilangan sebuah media yang berita-beritanya selalu bengkok dan tak dapat dipercaya.

Salam kompak,
Khalayak Anda