
"Kirimkan pada ibu saya, alamat ...." Saya terperanjat. Inilah order pertama, sejak hampir seminggu lalu kami memasang situs toko bunga kami di internet. Bagai-mana mungkin ia berani mendebet kartu kreditnya AS $ 30, untuk membeli sebuah rangkaian bunga di "toko bunga" kami, sementara dia sama sekali tak pernah melihat tampang saya atau Maria, istri saya?
Saat itu juga, Maria terbang membeli bunga-bunga terbaik, lalu merangkainya. Saya sendiri yang mengantarkannya ke alamat yang dipesan.
Esoknya, ketika membuka internet, saya menemukan surat-elektronik (surat-e) berisi pujian (masih saya simpan sebagai kenang-kenangan).
Hujan caci maki
Waktu itu tahun 1999. Saya dan istri menjalani profesi baru, setelah saya "bosan" 20 tahun lebih jadi wartawan. Rumah kami, yang tadinya tenang, mulai heboh. Telepon berdering-dering tak kenal waktu. Kotak surat-surat elektronik saya yang hanya 4 MB juga suka full, karena dibanjiri order. Tapi, segala kerepotan itu tak bikin kami kesal.
Belum genap sebulan kami jadi pedagang bunga, bulan Desember tiba. Wah, itulah saatnya peak seasons, hari-hari menjelang Natal dan Tahun baru. Begitu banyak pesanan, kami kewalahan bukan main. Bunga mendadak hilang di pasaran, sementara kami bukan toko bunga tradisional.
Akibatnya, kami tak punya jatah pasokan bunga. Bunga terpaksa kami beli dengan harga tinggi. "Tak ada artinya uang, daripada kita dicap sebagai orang yang tak bisa dipercaya," kata saya dengan nada cemas. Beberapa order terpaksa tak terlayani. Akibatnya, sejumlah surat-e datang memuntahkan maki-makian. Hati rasanya panas, ingin balas memaki. Tapi, segala makian itu saya lahap dengan sedih. Saya dan Maria berhari-hari tak doyan makan. Mendekati komputer saja rasanya tak punya nyali. "Kita belum punya pengalaman sebagai toko bunga, apa boleh buat," kata saya hampir menangis.
Untunglah, secercah cahaya menerangi kami. Suatu pagi Maria menerima telepon dari Amerika. Si penelepon seorang wanita Melayu, tapi sudah lama tinggal di luar negeri. Ia ingin mengirimi pacarnya di Jakarta sebuah rangkaian bunga. Tapi, ia bertanya, "Apa pantas seorang wanita mengirimi pria bunga?"
"Kenapa tidak?" jawab Maria bak pedagang bunga di Pasar Cikini atau Rawa Belong. "Anda layak dan pantas mengirim bunga untuk siapa pun dia. Perempuan atau lelaki," sambung si "pedagang bunga" dengan gaya meyakinkan.
Ringkasnya, wanita itu jadi kirim bunga. Maria membuatkan rangkaian bagus terdiri atas bunga snapdragon, gladiola, serta beberapa tangkai mawar dan dedaunan segar. Saya seperti biasa, menjadi kurir.
Kenyataannya, pria memang suka bunga. Arsip kami membuktikan, sebanyak 99% pelanggan kami kaum Adam. Sisanya para gadis yang kirim untuk pacarnya, para istri yang mengirim bunga untuk suami tercinta, dan anak-anak budiman yang mengirim bunga untuk ibunya.
Biasanya, pria pura-pura bertanya: siapa sih yang kirim bunga ini? (Padahal, kami rasa dia sudah tahu). Jadi, seperti halnya wanita, kaum pria pun senang menerima kiriman bunga (apalagi dari wanita!).
Pelanggan hilang kami bahagia
Toko bunga kami tak sekadar toko bunga. Yang kami kirim bukanlah sekadar bunga, melainkan juga perasaan para pelanggan kami. Nyatanya, ada pelanggan yang selalu meminta kami mengirim bunga untuk pacarnya setiap hari Sabtu dan pada jam-jam khusus jika dia berada di luar kota.
Ada pula pelanggan lain, yang mengirim selama sebulan penuh. Awalnya hanya setangkai mawar, pada hari berikutnya tiga tangkai, dan pada akhir bulan ia mengirim 99 tangkai mawar. Entah, apa maknanya.
Yang saya tahu, banyak pria maupun wanita pelanggan kami mengirimkan rangkaian bunga hanya untuk mengatakan, "Aku memikirkan kamu", "Maafkan aku", "Aku cinta padamu", atau "Lekas sembuh".
Pernah seorang pria menelepon, ingin pesan bunga untuk seorang wanita, tapi ia berharap agar si penerima tidak menafsir-kannya sebagai bentuk perasaan cinta. Rupanya, pria itu sekadar menjajagi. "Sebagai pedagang bunga, Anda pasti sudah pengalaman," rengek pria itu.
Saya terpaksa mengalihkan telepon ke Maria, yang sebagai wakil kaum wanita pasti lebih tahu soal rangkaian dan jenis bunga yang tak berbau cinta. Maria kemudian membuatkan sebuah rangkaian dari bunga anyelir warna merah jambu, dan babybreath, disajikan dalam vas gelas.
Beberapa bulan kemudian, pria itu - saya hafal sekali suaranya - menelepon lagi. Kali ini, ia meminta kami memilihkan jenis dan rangkaian bunga yang berarti "Aku cinta padamu", untuk dikirimkan ke wanita yang sama. Astaga!
Tak kurang dari setahun sejak mengirim bunga pertama, tepatnya awal tahun ini, ia mengirim surat-e pada kami. Isinya pamit bahwa ia tak akan mengirim bunga lagi. Mereka telah menjadi suami-istri. Tak lupa, ia mengucapkan banyak terima kasih. "Anda punya andil besar dalam babak kehidupan kami. Anda telah mengirimkan perasaan yang pas untuk saya ungkapkan," tulisnya.
Kalau mau jujur, kami juga sangat tahu semua kisah para pelanggan kami. Sebagai contoh, saya pernah berbantahan dengan Maria hanya karena menduga si anu kirim untuk si anu seperti selama ini, ternyata kali ini yang dikirimi ... wanita lain.
Rupanya, ia sudah ganti pacar.
Ada kejadian konyol yang sempat membuat saya tak doyan makan selama beberapa jam. Ada pelanggan kami punya dua pacar. Seperti biasa, ia kirim untuk keduanya dalam satu hari yang sama. Celakanya, kurir kami sok tahu. Akibatnya, kiriman bunga tertukar, yang mestinya untuk Aida, dikirim untuk Aini.
Tentu saja dia marah-marah. "Ini persoalan yang sensitif, Bung," katanya memelas.
Kisah cinta gaya India
Seorang pria berkebangsaan Belanda bernama Pat (bukan nama sebenarnya) pernah telepon ke Maria, dan menangis. Ia merasa tak tahu harus berbuat apa, karena cintanya ditolak oleh pacarnya, wanita di Jakarta. Ia minta nasihat dari Maria. "Pertama, Anda seorang wanita. Kedua, Anda sama-sama orang Indonesia, pasti tahu hati cewek saya," katanya.
Tanpa sepengetahuan cowok Belanda itu, Maria menelepon si cewek. Maria bertanya dari hati ke hati, sampai ke soal pria Belanda itu. "Cowok itu sangat sayang pada kamu," kata Maria. Perempuan itu menangis. Malamnya dia menulis surat-e ke si cowok yang isinya entah apa.
Esoknya, Pat menelepon Maria, mengucapkan thank you. Hubungan mereka baik kembali. Yang bikin saya senang, sekali tempo, si cowok kirim bunga. Kabar terakhir, mereka sudah menikah. Si cewek sekarang menjadi warga Belanda, ikut suaminya.
Kisah sedih berakhir bahagia seperti itu tak terhitung jumlahnya. Yan (sebut saja begitu), pelanggan yang loyal. Ia tinggal di New Delhi, yang dari bahasa dan kalimatnya, pastilah ia seorang pria yang sangat elegan. Ia memiliki pacar, gadis Indonesia yang sudah lama saya kenal sebagai seorang selebriti. Hampir setiap bulan Yan mengirimi perempuan itu sedikitnya dua kali. Dari ucapan yang disampaikan, Yan tampaknya terusik untuk mengirim bunga, sekadar bila ia kangen atau ingin membuat kejutan. Jadi, tak sekadar bila ada peristiwa istimewa seperti ulang tahun atau sejenisnya.
Sejauh itu hubungan mereka baik-baik saja. Sampai suatu hari, kurir kami membawa pulang bunga kiriman Yan, dengan catatan, "Kiriman ditolak penerima!". Yang menolak ayah penerima. "Bahkan ketika saya bilang, saya akan meletakkan saja di pintu rumah, dia mengancam akan menendang rangkaian bunganya," lapor kurir kami.
Apa yang terjadi dengan hubungan mereka?
Karena Yan sudah membayar lunas rangkaian bunga itu, Maria menelepon si cewek dan menceritakan duduk perkaranya. Perempuan itu mengakui, hubungan mereka tak direstui ayahnya. Itu sebabnya, ayahnya sangat membenci Yan. "Ah, sebetulnya ini persoalan pribadi. Tapi ...." kata-nya, "kalau Ibu masih mau mengirimkan ke saya, tolong bunga itu dikirim saja ke alamat ini. Kalaupun sudah tak segar lagi, tak apa." Dia memberikan alamat temannya.
Saya juga terpanggil untuk menjelaskan lewat surat-e pada Yan. Hanya sekitar lima menit saya menekan tombol "send", datang jawaban Yan. "Ayahnya memang crazy. Tidak apa, itu bukan salah Anda." Ketika saya jawab bahwa bunganya akan di-resend, dan si cewek mau menerima, dia menyebut nama Tuhan berulang kali.
Yan dan ceweknya kini tinggal di India. Mereka menikah. Kami diberi tahu sesudahnya. Sayang, mereka tak bercerita tentang sang ayah. Sedih tentu saja, karena kami kehilangan pelanggan yang baik. Tapi, saya dan Maria merasa bahagia, karena berhasil menyampaikan perasaan-perasaan mereka melalui rangkaian bunga kami. Sebaliknya, kami sedih, mendapati banyak pasangan yang gagal, meski telah lama berkirim bunga.
Kurniawan Junaedhie, Pelaku bisnis bunga secara online, di Jakarta.
Dikutip sesuai aslinya dari MAJALAH INTISARI No. 485 TH. XLI DESEMBER 2003