Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

02 Januari 2014

OPERA SABUN COLEK : CERPEN YANG MENGHIBUR DAN MENCERDASKAN

27 Desember 2013 pukul 23:38

Oleh : Esti Ismawati

Opera Sabun Colek merupakan buku kumpulan 12 cerpen karya Kurniawan Junaedhie (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2011) yang bercerita tentang kehidupan di kota besar, yang ditulis dengan gaya lugas dan cerdas. Cerpen-cerpen ini layak diapresiasi di tengah sumpeknya kehidupan dunia karena dililit persoalan-persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan hankam yang tiada habisnya. Sebagai salah satu bentuk cipta sastra, cerpen-cerpen Kurniawan Junaedhie yang terkumpul dalam Opera Sabun Colek ini tentu mendukung fungsi sastra pada umumnya, yakni dulce et utile, indah dan bermakna. Indah karena bahasa yang digunakan dalam cerpen-cerpen ini segar, enteng, lucu, dengan ungkapan-ungkapan spontanitas yang gaul; bermakna karena isi atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menyangkut esensi kehidupan bersama dalam sebuah keluarga, meski dengan cara penyampaian yang santai (justru dengan cara seperti inilah nilai-nilai itu tanpa disadari telah masuk ke dalam alam bawah sadar pembaca dengan sendirinya tanpa merasa digurui). Hidup yang memang realitanya berat, disikapi dengan santai dan enteng dalam cerpen ini.

Banyak hal yang dapat ditelaah dari cerpen-cerpen Kurniawan Junaedhie ini, misalnya settingnya, penokohannya, alurnya, gaya penceritaannya, temanya, bagian-bagian ceritanya, kesan umumnya, dan seterusnya, tetapi yang sangat menarik dari semua itu adalah tokohnya. Tiga kali membaca cerpen-cerpen ini saya mendapatkan kesegaran jiwa yang betul-betul mengesankan karena keunikan dan kekocakan tokoh-tokohnya, teristimewa tokoh aku. Setiap mengingat tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen ini saya tersenyum sendiri, betapa piawai pengarang cerpen ini mengimajinasikan tokoh ciptaannya yang begitu lucu, unik, penuh kejutan, dan tak terduga. Kadang romantis, kritis, rindu kebebasan, penuh perjuangan, tetapi tak kurang tokoh-tokoh itu kadang-kadang nyeleneh, luweh-luweh, cuek bybeh, santai dalam menanggapi persoalan hidup, dan masih ada lagi tokoh unik lainnya, misalnya tokoh yang bisa berkomunikasi dengan alam gaib...seperti tak pernah kering imajinasi dan kreativitasnya.


Menurut Herman J Waluyo (2011) jo Tarigan (1984) ciri utama cerpen adalah singkat, padu, dan ringkas (brevity, unity, intensity); memiliki unsur berupa adegan, tokoh, dan gerakan (scene, character, and action); bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, and alert); mengandung impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan; memberikan efek tunggal dalam pikiran pembaca; mengandung detil dan insiden yang betul-betul terpilih; ada pelaku utama yang benar-benar menonjol dalam cerita; dan menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi. Apa yang diteorikan di atas sudah ter-realisasikan  dalam cerpen-cerpen Opera Sabun Colek ini. Marilah saya ajak pembaca untuk menguliti beberapa cerpen di dalamnya. (Tentu lebih puas jika pembaca menikmati langsung cerpennya, karena bisa tersenyum-senyum membayangkan perilaku tokoh aku dalam beberapa cerpen di sini).

Ketika saya membaca cerpen “Suatu Hari Ingin Meninggalkan Susan”, yang terekam dalam ingatan saya adalah sepasang suami isteri yang masing-masing mempunyai character berlainan namun saling mencintai. Sang suami, tokoh ‘aku’ merasa sudah banyak beban kerjanya tetapi selalu saja direcoki oleh urusan isteri yang remeh temeh, dicemburui, dicueki, sampai akhirnya ingin meninggalkan isterinya untuk selama-lamanya. Di luar dugaan, sang isteri sangat santai menanggapinya, bahkan dengan enteng mempersilahkan si aku untuk menuruti keinginannya. Dan setelah direnung-renungkan, si aku ternyata tak mampu meninggalkan isterinya, bahkan ingin mengajaknya ke ujung dunia..

“Menyadari resiko berpisah dengan isterinya, si aku mengatakan, “Tunggu. Lupakan ucapan-ucapanku yang tadi. Yang benar, aku mencintaimu. Sangat. Dan karena takut isterinya terlanjur ngambek, si aku segera menelponnya. Sambil menunggu telepon diangkat, si aku merasa menyesal sungguh-sungguh. Kenapa aku harus meninggalkannya?. Kenapa aku pergi tanpa mengajaknya?. Kenapa aku pergi tak memberi tahu sebelumnya? Kenapa aku harus berpisah dengannya?. Gila. Mestinya semalam aku bilang, besok kita jalan yuk. Ke Kroya. Ke korea. Ke Kairo. Ah itu pasti sebuah kejutan baginya....”

Cerpen lain, berjudul “Hidup ini Indah”, juga menampilkan tokoh yang unik. Si aku ingin membunuh isterinya dengan senapan, namun senapan itu justru yang membuat mereka berdua berpelukan erat karena ketika menyalak tetangganya gempar dan si isteri rupa-rupanya tidak mau berurusan dengan parapihak, maka seolah tak terjadi sesuatu, mereka berpelukan erat. Cerpen “Opera Jakarta” juga menmapilkan tokoh yang unik, bahkan absurd. Seorang pejabat yang sudah mati terbunuh tetapi masih bisa berkata-kata dan membayangkan apa yang sedang dialaminya. Di cerpen ini liku-liku kerja wartawan dipaparkan. Bagaimana seharusnya mewawancara yang baik. Bagaimana menghadapi masalah-masalah yang tiba-tiba, dan seterusnya. Dalam cerpen “Perempuan Beraroma Melati” mengisahkan betapa susah dan sulitnya mendapatkan hak sehat, hak pelayanan kesehatan yang layak, hak dimanusiakan sebagai manusia. Di cerpen ini kita juga disuguhi bagaimana beratnya beban psikhologis jika menghadapi kematian orang-orang yang kita cintai. Dalam cerpen “Kita Tidak Berjodoh, Sayang” pembaca disuguhi kisah menarik. Intinya, hidup tak perlu didramatisir.

Semua cerpen menyuguhkan cerita yang menarik, yang mengandung pesan kuat bahwa hidup ini tidak perlu disikapi dengan ekstrim-ekstriman. Antara suami isteri tidak perlu saling mencampuri urusan masing-masing, karena persoalan yang kecil sekalipun dapat menjadi penyebab pertengkaran. Lebih elok jika saling mendukung, tanpa mendominasi satu sama lain. Tidak perlu over protektif karena sesungguhnya alam sudah menyediakan segala kemungkinan yang saling terkait dengan sebab dan akibat. Hidup itu sendiri sudah suntuk dan kita perlu mengubahnya menjadi indah tur wangi dengan kreativitas kita. Inilah antara lain nilai-nilai yang dapat dipetik dari cerpen-cerpen Kurniawan Junaedhie yang berjudulOpera Sabun Colek. Disampaikan dengan gaya kocak, bahasa yang segar, dengan ungkapan-ungkapan gaul khas anak muada yang membikin kita awet muda.

Saya teringat kisah kawan saya yang kuliah di Jerman. Katanya, ibu-ibu di Jerman, jika belanja di pasar pasti membeli buku yang akan disantap setelah makan siang atau makan malam. Setiap belanja makanan, tidak lupa menyelipkan satu buku yang akan dibaca setetah makan. Buku-buku seperti Opera Sabun Colek inilah kiranya yang layak dibeli untuk dibaca oleh para ibu untuk keluarga mereka seteleh makan, karena buku seperti ini enak dibaca dan langsung menumbuhkan imajinasi baru yang berguna bagi penyegaran rohani kita setelah suntuk dalam dunia kerja. Opera Sabun Colek sungguh-sungguh menghibur dan mencerdaskan.


Klaten, 27 Desember 2013

Esti Ismawati.     

14 September 2012

MELEWATI PINUS HIJAU

Oleh: Kurniawan Junaedhie

TIGA bulan Lukas meninggalkan Fani.Ia ikut KKN di sebuah desa terpencil. Kalau ini berhasil dilewatinya, berarti tahun depan impiannya menjadi kenyataan. Ia mengajukan skripsi dan berhasil meraih titel. Tapi suatu hari Luki, kawan sekostnya meledeknya.
“Kudengar kelompok Lukas di desa hanya dua orang.Dia dan satunya seorang cewek dari Pertanian,” kata Luki.
Fani yang sedang menyeterika pura-pura tak mendengar.Ia terus melanjutkan pekerjaannya.
“Dia masih belum menulis surat untukmu?”
Fani menggeleng.
“Dia sangat sibuk,” jawab Fani acuh tak acuh.Ia melihat sebuah pakaian yang barusan diseterikanya.
“Kasihan ya Siska,” kata Luki lagi.Fani menoleh.
“Ada apa dengan Siska?” tanyanya.
“Dia langsung kawin begitu KKN selesai.Suaminya, bekas kawan sekelompoknya waktu KKN.”Luki tertawa.
Fani melotot.
“Apa maksudmu?” tanyanya.
“Kau harus belajar tabah sejak sekarang.Aku bukan menakut-nakutimu.Semua bisa terjadi.Bayangkan olehmu.Di desa terpencil, berduaan banyak kemungkinan.”Luki tertawa sekali lagi.
Fani tiba-tiba membayangkan Lukas. Tiga bulan ia telah pergi. Tak sepucuk surat pun ditulisnya. Cepat-cepat ditatanya tumpukan pakaian.Lalu dicabutnya aliran listrik seterikaannya.
Aneh, tiba-tiba ia mempunyai firasat yang tidak-tidak tentang Lukas. Waktu Fani masuk ke kamar hendak meletakkannya pakaian, ia seperti melihat bayangan Lukas di kamarnya. Foto Lukas ditatapnya lekat-lekat.Juga lampu duduk di meja belajarnya.Itu hadiah dari Lukas ketika Fani berulangtahun.Aneh. Tiba-tiba ia merasa telah diabaikan oleh Lukas. Selama tiga bulan ia tak diperhatikannya. Barangkali benar dugaan Luki . Sekarang ia sedang asyik dengan mahasiswi Pertanian itu. Semua memang bisa terjadi.
Tak terasa airmatanya jatuh bergulir di pipi.
Cepat-cepat ditutupnya pintu kamar.
Waktu Lukas berangkat dulu, Fani memang tak sempat mengantarkannya sampai terminal.Lukas datang melamnya untuk pamit.Biarpun begitu Fani tetap merasa terperanjat, sebab Lukas memberitahu rencana KKNnya begitu mendadak.
“Tapi kuharap kau baik-baik saja di rumah. Dan jangan tulis surat untukku. Kalaupun aku menulis, akan lama padamu sampainya. Desa yang ini sangat terpencil dan jauh dari kantor pos.”
“Jadi kau tidak akan pernah pulang selama itu?” Tanya Fani.
Lukas menggeleng sedih.
Fani merasa ngilu. Barangkali Lukas tahu apa yang dirasakannya. Ia hanya menjentikkan dagu Fani.
“Tiga bulan, kurasa tidak terlalu lama kan?”
Fani mengangguk.
Lukas menatapnya lekat-lekat.
“Aku mempercayaimu,” desis Fani.
“Kuharap demikian.”
Fani menangis.Lukas mengecup bibirnya sekilas.
“Aku mencintaimu.Dan itu tak pernah kuulangi untuk siapapun.Kau dengar itu?” katanya.
Fani menyusut airmatanya.
“Kalau kau mengatakan kemaren-kemaren, aku pasti bisa mempersiapkan obat-obatan, makanan kaleng atau kebutuhanmu selama KKN,” kata Fani mencoba melupakan penderitaannya.
Lukas menciumnya sekali lagi.
O Lukas tercinta.Apakah benar kata Luki?Fani mengusap airmatanya.Ini untuk kesekian kalinya.
+++++
Sore harinya sehabis mandi,Fani sudah berjanji dalam hati. Besok akan kembali ke desa. Dia berharap dengan cara itu, ia bisa melupakan kenangan tentang Lukas. Foto Lukas, lampu duduk dan sejumlah buku pelajaran dimasukkan ke dalam kopor supaya besok pag segalanya berlangsung cepat.
Waktu ia keluarr, Luki mengajaknya ke gereja. Ia baru ingat bahwa hari itu hari Minggu.
“Aku akan menyusulmu,” kata Fani.
Luki pergi mendahuluinya karena sudah dijemput kekasihnya.Fani sendiri berangkat seorang diri. Padahal ia sebetulnya enggan. Tapi entah karena apa, tiba-tiba ia memutuskan untuk misa. Barangkali dengan cara itu, ia bisa tenteram. Dan ia pun akan berdoa untuk Lukas, supaya ia tidak melupakannya sedetikpun.
Di halaman gereja, seorang pria menyambutnya.Ia merasa pernah mengenali. Karena itu ia mencoba menyapa:
“Kau Dani?”
“Apa wajahku berubah?” balik laki-laki itu.
“Kau sekarang berubah,” kata Fani.Ia mencoba tertawa. Apalagi ketika ingat, betapa dahulu Dani mengaguminya.Tapi semua harus terjadi. Dani menikah dengan wanita lain, yang tinggal di Bandung.
“Kapan kau datang?” Tanya Fani.
“Beberapa jam yang lalu,” jawabnya pendek.
Mereka masuk ke gereja. Misa sudah akan dimulai. Fani mengambil liturgi dan buku nyanyian di atas kotak persembahan.Dani mengikuti.
“Kau sendirian?Mana siterimu?”
“Dia di rumahnya,” jawab Dani tersenyum.
Entah kenapa, tiba-tiba Fani merasa lega.
Selama misa berlangsung, ia tak berpikir apa-apa, selain memikir-mikirkan Lukas yang telah mengabaikannya. Begitu juga selesai misa.Dan Dani mengantarnya sampai ke kostnya.Ia merasa bertemu dengan Dani, ia bisa melupakan kerisauan hatinya.
“Aku masih ingin berbicara denganmu sebenarnya.Apakah besok kau ada waktu?” Tanya Dani.
Fani mengangguk cepat, karenanya.
Dan ketika esoknya bangun pagi, Fani memang tidak berniat untuk pulang ke kostnya.Aneh.Ia sendiri merasa heran, kenapa semua ini bisa dilakukannya. Foto Lukas, lampu duduk dan sejumlah buku-buku pelajarannya sudah dimasukkan ke dalam peti. Kopor pun sudah disiapkan.Tapi hari itu, kemarahannya pada Lukas serasa tak bisa ditawar. Semalam, ia mimpi melihat Lukas sedang mencumbu mahasiswi Pertanian itu. Mereka nonton bioskop di kota yang jauhnya berkilo-kilometer. Dan setelah itu segalanya terjadi.Fani juga melihat, betapa mereka sangat akrab.Belajar berduaan di dalam kamar dan semua tak memperdulikannya.
Dani datang menepati janjinya.Mereka keluar rumah.Karena mereka berpendapat pagi sangat cerah, mereka memilih berjalan kaki menyusuri jalan lengang yang di tepinya banyak ditumbuhi pohon-pohon pinus.
“Waktu kutinggalkan, pohon-pohon pinus itu belum selebat sekarang.” Kata Dani.
“Memang.Sekarang banyak perubahan.Kota menjadi bersih,” jawab Fani.
“Dan selama itu memang banyak perubahan pada kita,” kata Dani melirik Fani. Fani tidak langsung menjawab, tapi katanya:
“Waktu sangat cepat berlalu ya?Kita tidak pernah kuasa untuk menahannya.”Ia menekuri jalan aspal yang lurus.
“Kalau aku mengenang masa lalu, aku sangat geli. Semenjak kita berpisah, aku kan seperti orang sinting? Ayahku mengira aku akan jadi pastor. Dan kakakku sampai menuduhkku banci.Hampir aku berkelahi dengannya.Aku tidak mau menikah gara-garamu.”
Fani mencoba tersenyum. Tapi sekejap ia merasa tak sepatutnya pembicaraan itu. Karena itu, katanya:
“Bagaimana khabar istrimu?”
“Oya, aku lupa cerita.Di baik-baik.Anakku sudah dua orang. Dua tahun lagi, kalau tidak ada aral melintang, si sulung akan masuk teka. Eh, kau percaya, anakku yang sulung itu kuberinama Fani Vincentia?”
“Itu namaku!” kata Fani terperanjat.
“Memang.Kau tak keberatankan?Kupikir, sebagai kenang-kenangan,” jawabnya.
“Aku minta maaf.Waktu kalian menikah aku tak bisa hadir.Undangannya mendadak. Padahal waktu itu musim ujian,”
“Aku memaklumi.Tapi terimakasih atas kiriman kartu ucapan selamatmu.Meski aku menerimanya sebulan sesudah pernikahan, itu sudah lebih dari cukup.”
Mereka terus menyusuri jalan kota. Beberapa sepeda lalulalang dengan bebasnya.Pohon-pohon pinus menyerbukkan daun-daunnya ditiup angin.
“Kau bahagia tampaknya?” Tanya Fani.
“Tidak,” jawabnya membuat Fani tersentak.Dani tampaknya serius.Karena itu Fani merasa menyesal menanyakan hal itu.
“Kami sering cekcok.Terus terang ini tak pernah kubayangkan sebelumnya. Itu sebabnya aku lebih suka keluyuran atau menyibukkan diri di kantor dengan urusan-urusan yang sebetulnya menjemukan. Pulang ke rumah rasa-rasanya aku mau masuk neraka. Pernah aku akan menceraikannya. Tapi pihak keluargaku melarangku wanti-wanti.Rupanya dugaanku bahwa perkawinanku murni atas dasar saling mencintai, keliru.Waktu orangtua kami memperkenalkan kami, kukira mereka hanya mengarahkan belaka.Nyatanya, justru inilah pilihan mereka.Kalau pun waktu itu aku menolah, garis takdir sudah jelas.Aku harus tetap mengawininya.Lucu ya?Seperti jaman Siti Nubaya saja!”
“Tapi kau mencintainya kan?”
“Justru itu.Kupikir waktu itu segalanya baru kumulai.Atau paling tidak, aku bisa memulainya, dengan belajar mencintainya.Dengan demikian, aku merasa dialah pilihanku.Bukan wanita yang sengaja disodorkan padaku untuk menjadi istriku.Kau tahu, waktu itu aku tak punya pilihan lain.semenjak kau pergi, kita berpisah, aku merasa segalanya kemungkinan tertutup bagiku.Aku sudah pasrah.”
Fani menunduk.Sehelai daun pinus menerpa hidungnya.
“Dan kedatanganku ke sini juga untuk itu.Aku ingin melupakan kesalahan-kesalahanku.”
“Kau mestinya tidak boleh berbua begitu. Anak-anakmu…..”
Dani menggenggam tangannya.Dingin.
“Di saat-saat seperti ini aku merindukanmu.Aku tetap mengenangmu, meski aku tahu sia-sia.”
“Kukira semua sudah terlambat, dan,” kata Fani melepaskan genggaman tangan Dani.
“Heran,” kata Dani menengadahkan kepala. “Cinta adalah hal yang lama, tapi selalu tampak baru,” dan ia tersenyum sesudahnya.
Tiba-tiba Fani teringat tentang Lukas.
“Kau tidak bertanya tentang Lukas?” Tanya Fani.
“Oya,” sambar Dani.“Bagaimana khabarnya?”
“O, dia sedang KKN.”
Dani melipat bibirnya.
“Kau tak pernah berpikir untu meninggalkannya?”
Fani sangat kaget. Ditolehnya Dani. Tapip karena wajah Dani sangat polos, ia tak jadi tersinggung.
“Tidak.Sama sekali tidak.Lukas pilihanku sendiri.sampai-sampai aku bertengkar dengan keluargaku sendiri karena memilih dia. Dia sangat baik. Kukira aku tidak punya alas an untuk menghianati dia.”
Fani merasa gugup sejenak.Aneh.Ia tak tahu dengan kekuatan mana ia bisa mengatakan itu. Tapi ia seolah-olah melihat bayangan Lukas di antara bayang-bayang pinus.
“Kami sudah berjanji untuk saling percaya.Kami tidak memiliki rasa cemburu sepeser pun di hati kami.Kukira, aku memang mencintainya,” katanya.
Fani menengok arlojinya.Bayangan pinus sudah rebah beberapa derajat membuat jalanan aspali itu teduh sebagian.
“Kita sudah berjalan sangat jauh dan berbicara kosong,” katanya.“Aku harus pulang karena aku ada janji.”
Dani tampak terkesiap tapi tak menampik.Dan berbalik arah.Sejak itu, mereka tidak melanjutkan percakapan.
Hanya waktu mereka sampai di muka rumah kost, Fani berkata:
“Eh, kau juga jangan percaya, dan tidak bertanya, kapan kami akan mengikuti jejakmu?”
Dani mencoba tersenyum tapi sangat tawar.
Lukas mengatakan setelah dia menyelesaikan skripsi dan meraih titel doktorandus, sesudah itu kami akan menikah,” lanjut Fani tanpa dipinta.
Dani memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, dan manggut-manggut.
“Jangan lupa undangannya,” katanya.
“Ya.Janagn kuatir.”
Dani memasuki kamarnya. Diraihnya Rosario. “Tuhan tersayang,” bisiknya, “saya telah melewati semak berduri dan kamu menjaga saya.”Ia mengambil peti di kolong tempat tidur. Dibongkarnya dan diambilnya foto Lukas untuk diletakkan di meja.
+++++


 Dimuat di majalah Anita Cemerlang, 1979

13 September 2012

KAPAN KITA BISA BERTEMU LAGI?

Oleh: Kurniawan Junaedhie

TIO, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja kan? Apakah suratku sudah kau terima? Kenapa kau tak membalasnya seperti dulu? Kalau suratku kali ini masih tak kau balas, aku bisa marah padamu, Tio, sangat marah. Jadi, seterima suratku kali ini, lekas balas.
Surat itu dilipat dan dimasukkan ke dalam amplop. Aneh. Dua tahun berhubungan dengan Tio lewat surat, rasa-rasanya Widi sangat akrab. Mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Betapa anehnya. Widi hampir tertawa sendiri mengingatnya. Jatuh cinta lewat surat-menyurat. Padahal, bagaimana tampangnya dia belum tahu. Tapi memang sudah banyak cerita, banyak orang ketemu jodoh gara-gara menulis surat pada seorang yang namanya dimuat di rubrik halo sobat atau kolom sahabat pena. Lagipula, apa yang diharapkan dari seorang pria? Di samping wajahnya tamoan, sudah jelas ia harus seorang pria yang jenteman, dan penuh perhatian. Dan Tio barangkali memiliki semua itu. Jadi rasa-rasanya tak ada alasan untuk tidak menyukainya.
Ketika memasukkan kedalam amplop itulah, Widi hampir menangis. Apakah surat ini juga tak akan dibalasnya lagi? sudah tiga pucuk surat dilayangkan Widi untuk Tio, tapi dia seolah-olah tidak peduli. Barangkali dia sibuk. Dalam surat terakhirnya dia memang mengatakan bahwa dia sedang mengurus surat-surat untuk pindah kuliah. Tapi tak disebutkan kuliah dimana.
Widi ke kampus, dan rencananya dari sana ia akan ke kantor pos mengirimkan surat untuk Tio. Tapi di depan ruang kuliah, dia berjumpa dengan seorang lelaki. Ini bukan untuk pertama kalinya. Entah sudah ke berapa kalinya, setiap Widi ke kampus, dia selalu berjumpa dengan pria itu. Tiggi yang cukupan. Paling satu tujuhpuluh. Tidak terlalu kurus. Wajahnya sangat tampan. Dia juga tampaknya sopan dan tidak keterlaluan seperti kawan-kawan pria yang suka bersiul-siul jika melihat seorang mahasiswi yang cantik.
“Hallo,” sapaya ramah, seperti pagi itu. Dia berdiri dengan tegap, mengenakan jaket dan tersenyum ke arahnya.
“Halo,” jawab Widi kaku.
“Ada surat untukmu di kantor pos.”
Widi agak heran mendengar keterangannya. Tapi ia segera tak peduli. Ia bergegas-gegas akan menyusul ke kotak pos kampus yang terletak di ujung koridor.
“Surat itu sudah kuserahkan pada sekretariat.”
“O. Terimakasih.”
Tapi Widi kecewa. surat itu bukan dari Tio. Karena itu dia tidak jadi mengambil surat itu. Dia memang benar-benar sudah tak berminat menulis surat untukku, pikirnya. Dan surat yang ditulisnya untuk Tio barusan, juga tak akan dikirimkannya.
Ketika naik bemo untuk pulang ke rumah, dia sangat terkejut ketika di lihatnya sudah duduk seseorang di depannya.Laki-laki yang di kampus tadi.
“Kau?” katanya.Dia juga tak bisa mmenunjukkan kekagetannya.
Mau tak mau mengangguk.
“Rupanya kita memang jodoh,” ujarnya ringan.
Widi tak menjawab.Dia hanya melemparkan pandangan ke luar bemo.
“Rumahmu di jalan Anggrek kan?” tanyanya.
Padahal penumpang bemo penuh. Tentu saja Widi kaget., sebab ucapannya sangat tepat.
“Ah itu kebetulan,” katanya masih dengan nada ringan, ketika melihat mata Widi keheranan.“Suatu kali aku lewat rumahmu.Rumahku tak jauh dari rumahmu.”
Widi merasa mata pria itu menusuk hatinya.
“Kau enyukai anggrek ya?” tanyanya.“Aku lihat di halaman rumahmu banyak sekali anggrek.”
Widi merasa lega.Tadinya dia sudah curiga, dari mana dia tahu?
Mestinya Widi tidak akan ke kantor pos, tapi karena dia rishi dengan pemuda itu, dia turun juga. Laki-laki itu juga ikut turun.Langsung membayarkan ongkos bemo.Widi benar-benar terjengah.
“Kenapa kau membuntutiku terus?” tanyanya agak marah.
“Demi Tuhan, tidak. Aku memang akan mengeposkan surat,” katanya. Dia menunjukkan sepucuk surat dari jaketnya.
Widi menghembuskan nafas.Memang tidak ada alasan untuk mencurigainya. Lau mereka berjalan bersama-sama memasuki kantor pos.
“Kalau begitu kita memang mempunyai urusan yang sama,” gumamnya.
“Rupanya kita sangat berjodoh,” tukasnya tak menoleh sedikit pun.
“Ya.Barangkali.Juga berjodoh dengan laki-laki tua yang turun dari bemo bersama kita tadi.”
Sesudah Widi mengeposkan surat untuk Tio dan laki-laki itu juga mengeposkan surat entah untuk siapa, Widi berkata:
“Sebaiknya sampai di sini saja. Aku harus sampai di rumah sebelu jam satu.” Dia bersiap-siap akan melangkah. Aku juga akan pulang. Rumahku ejurusan dengan rumahmu?”
Widi menatap wajah laki-laki itu dengan geram.Tapi memang taka da alasan untuk menolaknya, ketika laki-laki itu mengajaknya singgah di rumah makan.
“Aku ingin mentraktirmu,” katanya dengan halus.
“Kalau kau ada duit, baiklah.Asal jangan keseringan.Kau bisa bangkrut.Mahasiswa-maasiswa perantauan sering lupa diri. Padahal jauh di sana, orangtuanya mengharap dia belajar sungguh-sungguh. Tidak foya-foya.”
Dia tertawa.
“Kau mau makan apa?” tanyanya setelah mereka memilih tempat duduk di sudut. Widi menunjuk perutnya.
“Benar.Aku sudah kenyang.Sebaiknya aku minum saja.Kau yang makan.Aku bersedia menemanimu.” jawab Widi.
Widi memesan es jeruk. Dia juga sama. Sama sekali tidak memesan makanan.
“Anek.Kau bisa mengajakku dengan mudah.Begitu memang setiap laki-laki?”Tanya Widi sambil memainkan pipetnya.
“Tentu saja tidak.”Dia menyedot esnya sambil melirik ke arah Widi.
“Bagaimana kalau pacarmu melihat kita sedang berdua di sini?” tiba-tiba tanyanya.Widi hampir tersinggung, tapi ketika dilihat wajah yang bertanya itu sangat jujur, dia menjawab dengan gelengan kepala.
‘Jelas dia sangat marah. Begitu kan alur cerita novel-novel pop? Tapi kurasa pacarku akan toleran. Dia sangat toleran.Pacarku bukan pencemburu.Aneh ya?Aku memang suka pria begitu.Artinya sangat rasional.Bagaimana dengan engkau sendiri?” Tanya Widi.
“Kau memang sangat beruntung.Pacarku seorang pencemburu sejati.Tapi memang benar ucapanmu.Seorang yang jatuh cinta terutama wanita, semua dilandasi dengan emosi, bukan dengan rasional.”
Widi menunduk.dihirupnya es jeruknya sekali lagi.
“Kau suka padanya?” Tanya Widi.
“Mestinya aku mencinta dia. Tapi kita tidak terus-terusan mengandalkan emosi.Karena di kampus, dia kuatir aku bisa jatuh cinta pada seorang atau dua orang mahasiswi, kan buta?”
Laki-laki itu tertawa sambil mendenting-dentingkan gelasnya yang tinggal separoh.
“Tadi kau mengeposkan surat buat pacarmu di luar kota ya?” tanyanya dengan senyum yang tipis.
“Kawan penaku,” jawab Widi pendek.
“Hobimu sangat luar biasa.Korespondensi.Kau punya banyak waktu untuk menerima dan surat balasannya itu?”
Dia meraih gelas esnya.Lalu menghirupnya.
“Tidak.Ini kawan penaku satu-satunya.”
“Istimewa?”
“Sebenarnya tidak.Tapi entahlah,” Widi mendenting-dentingkan gelasnya serupa melamun.“Dia sangat baik.Penuh perhatian.Dan aku tidak punya alas an untuk menghentikan surat-menyurat itu.Untuk dia, susah.”
“Bagaimana dengan pacarmu yang kau sebutkan tadi?”Tanya pria itu menatapnya lekat-lekat.
“Kami sudah putus.Akhirnya dia mencemburui aku juga.Dia menyuruh aku menghentikan surat-menyuratnya dengan kawan penaku.Jelas tidak mungkin.”
“Lucu ya?” laki-laki itu tiba-tiba terawa.“Ceritamu sangat mirip dengan kisahku.Aku juga putus dengan pacarku.”
“Benar?Bukan ceritamu?”Widi mengibaskan rambut panjangnya untuk memasang telinga baik-baik.
“Hobiku sama dengan hobimu.Tapi di antara sebegitu banyak gadis penaku, hanya dia seorang yang kuistimewakan.Dia juga penuh perhatian.Bahkan ke tanggal lahirku dia hapal.Ini sesuatu yang mengejutkan sekaligus mengharukan.Orang tuaku pun saja sudah lupa.Aku  apalagi. Kecuali harus mengisi formulir KTP atau surat-surat, baru ingat kapan aku dilahirkan. Kami sudah berhubugan lewat surat selama dua tahun. Tapi sejak aku pindah ke sini, aku memutuskan untuk menghentikan omong kosong itu.”
“Omong kosong?”
Dia tertawa meledak.
“Tentu saja tidak.Justru aku ingin suatu kali bertemu dalam keadaan surprisie.Aku tetap ingat padanya.Dan kau percaya?”
“Apa?”
“Sejak kami berhubungan lewat surat, aku sudah punya firasat bahwa dia calon istriku.”
Widi gelak-gelak tertawa.
“Tapi dia memang lucu.Mengirimkan fotonya tak mau.Aku juga ikut-ikut, tak mau mengirimkan fotoku.Aku tidak mau seperti pemuda-pemuda puber itu.Meledak-ledak bahkan sampai mengutip puisi-puisi Pujangga Baru.”Giliran laki-laki itu yang gelak-gelak tertawa.
“Kalau begitu sejak berhubungan dengan kawan penamu kau sudah menghianati pacarmu,” kata Widi.
“Ya barangkali.Tapi dia memang bukan type idealku.Dia cemburuan.Aku merasa dia bukan jodohku.”
“Lalu dengan kawan penamu, apakah kau yakin dia tidak cemburuan?” tanya Widi.
Dia tertawa dan geleng-geleng kepala.
“Kau sudah pernah melihat tampangnya sampai kau amat yakin bahwa dia sesuai dengan impian?” Tanya Widi, sambil memainkan pipet gelasnya.
“Kau juga.Apakah kau sudah melihat tampangnya, sampai-sampai kau amat yakin bisa menyukainya?” kata laki-laki itu ikut-ikutan tersenyum.
“Memang tidak,” kata Widi hampir tertawa.
“Kenapa?”
“Aku sudah membayangkan bahwa priaitu seperti Idi Amin!”Mereka tertawa keras-keras.
“Eh, kenapa kita bicara nglantur begini?” kata Widi.Pria itu segera menengok arlojinya.
“Oya. Kau harus sudah sampai di rumah sebelum jam satu.”
Dia memanggil pelayan dan membayarnya.
Dari rumah makan, mereka naik bemo pulang ke rumah.
Waktu Widi akan turun, karena rumahnya sangat dekat, laki-laki itu berbisik.:
‘Kapan kita bisa bertemu lagi?”
“Kapan-kapan.”Jawab Widi seenaknya.Dia mau memijit tombol, supaya bemo berhenti.
“Namaku Tio. Kawan penamu.”Dia tersenyum.
Widi hampir tersentak.Dia tidak jadi memijit tombol.Dia tetap duduk di tempatnya.Tio menatap lekat-lekat.Widi tersenyum, hampir meledak.
“Apa kataku, kita memang dijodohkan Tuhan!” katanya tetap tersenyum.
+++++


 Dimuat di majalah Anita Cemerlang, 1980

JEJAK MUSIM PANAS

Oleh: Kurniawan Junaedhie

DIDI sedang asyik membaca bukunya, ketika kakaknya membuka pintu kamarnya.
“Aku besok mau pulang,” kata Adis sambil menyorongkan kursi rodanya. Didi melirik dari balik buku. “Kau tidak bisu kan?” tanya Adis tersungut-sungut. “Sedari tadi baca buku. Buku apa sih? Buku porno ya?”
Didi masih belum bergeming. Ia tetap saja asyik. Disenjorkannya kedua kakinya lurus-lurus di balik selimut tebalnya. Barangkali jika gunung Tangkuban Perahu di luar jendela itu meletus pun dia tak akan terperanjat. Tentu saja Adis menghembuskan napas. Didi tidak boleh dekat-dekat dengan buku.
Tapi baru saja kursi rodanya digeser beberapa desi, Didi berteriak:
“He, kemana?” diturunkannya buku itu.
“O, kukira kau sudah jadi mummi,” kata Adis memutar kursi rodanya.
“Aku tadi hampir ngantuk mendengar kau menyanyikan Placier d’Amour,” kata Didi. Adis cuma mengeluh.
“Tadi kau bilang mau pulang he?” tanya Didi.
Adis mengangguk-angguk sampai rambutnya menarik selimutnya lebih tinggi lagi.
“maafkan Di, minggu depan aku sudah mulai ujian. Bulan depannya lagi aku sudah harus menulis skripsi. Ini kalau papa, mama dan kau juga ingin aku bahagia,” katanya menatap adikknya.
Didi mencibir lalu meneruskan bacaannya. Tapi baru sealinea dia sudah berteriak lagi:
“Bukankah Markus mau datang? Dia mau ajak kita semua, papa, mama, aku dan terutama engkau nonton konser di kota,” katanya memandang kakaknya.
“Tapi aku tidak berminat sama sekali,” kata Adis dengan suara tinggi.
“Kuminta kau tidak datang. Sekali ini. Lagi pula aku ada janji dengan tiur,” kata Didi penuh harap. Dibantingnya bukunya dan dia bangkit dari pembaringannya.
Adis hampir berang. Kedua tangannya gemetar memegang kursi rodanya.
“Tidak. Kau mau janji dengan siapa pun, aku tak peduli. Aku mau pulang!”
“Kau mengganggu acara liburan kita!” kata Didi mengambil sisir dan berkaca. Baru saja dia mengangkat sisir, dia menghembuskan napas. Diperhatikannya wajah kakaknya yang muram dari pantulan cermin.
Oh, dia sesungguhnya cantik. Bahkan semua kawan-kawannya di bengkel tempat Didi bekerja pun tergila-gila kepada Adis. Tentu saja dia tidak mau menyerahkan kakaknya kepada mereka.
“Ah tadi aku bercanda,” kata Didi membuang sisirnya dan melompat ke hadapan Adis. “Tentu kau boleh pulang. Biar papa mama tinggal di sini sampai liburan usai. Aku akan mengantarmu besok, biar yang di villa ini seperti bulan madu.”
Tentu saja Didi tidak ingin air mata kakaknya tumpah. Sudah berapa liter air mata yang keluar sampai detik ini, rasanya tak terkira.
Ditatapnya mata kakaknya.
“Sekali ini aku ingin mendengar suara dan permainan pianomu. Tadi kau sudah menyanyiak Placier d’Amour, kesayanganku. Oke?”
Tanpa menunggu jawaban, Didi mendorong kursi rodanya.
“Tidak. Besok aku harus pulang ke kota. Antarkan aku ke kamar.”
Didi hanya menggeleng-geleng kepala.
Liburan kali ini bagi Adis sudah tidak menyenangkan. Pemandangan gunung Burangrang disaput  embun pagi sudah tidak lagi mempesonanya. Lereng-lereng pinus yang berjajar mendaki dan menurun juga tidak. Ia merasa bosan, mengapa acara liburan selalu sama. Sekeluarga berangkat ke villa dan yang penting: kenapa semuanya seolah-olah merasa sangat cocok dengan udara gunung.
Liburan tahun lalu, Markus datang. Liburan dua tahun lalu, dia juga datang. Tahun ini, dia juga pasti datang. Sebab memang rumah bibinya ada di desa ini, dan dia sama sekali tidak pernah menyia-nyiaka kesempatan bagus ini untuk menikmati keindahan alam.
Liburan dua tahun lalu, bukir Burangrang juga seperti pagi ini. Didi sedang di Cipanas membeli makanan, ayah sedang bekerja di kamarnya dan ibu sibuk membuat cake di dapur. Adis baru saja menyelesaikan Placier d’Amour ciptaan Giovani Martini di depan pianonya, ketika didengarnya tepukan tangan dari arah jendela.
Adis menoleh kaget.
“Bagus sejali. Kau pandai bermain piano,” seorang pemuda bertubuh jangkung dengan rambut bergelombang dan bermata tajam tersenyum kepadanya. Dia mecangkung di jendela. Dilihat caranya berdiri dia pasti sudah lama memperhatikannya. Dia sungguh tampan. Sebaris kumis halus bertengger di atas bibirnya.
Cepat-cepat didorongnya kursi rodanya denga gugup mendekati jendela.
“Kau juga pintar memuji,” kata Adis dengan wajah masih merah.
“Tidak. Aku tidak pernah berdusta,” katanya. Bekas cukuran kumis di atas bibirnya membuatnya semakin tampan.
“Apa aku boleh ke situ?” tanyanya tanpa rasa segan.
“Kau mau main piano?”
Dia mengangguk.
“Kau tentu sangat pandai,” kata Adis menyilakan dia mendekati piano. Tapi pemuda tampan itu menolak dan berkata merendah:
‘Tidak. Sama sekali tidak,” jawabnya tetap dengan senyumnya yang simpatik. “Aku hanya main piano jika saat kursus.”
Dan sekejap pemuda itu sudah luluh dalam simponi. Adis menggigil tanpa sebab. Dia merasa nyeri melihat jari-jari kurus yang menari-nari pada bilah pianonya, entah kenapa. Rasanya dia pernah melihat seorang pemuda dalam keadaan seperti itu. Meskipun sudah berusaha untuk tidak terbius oleh irama-irama yang dicetuskan dari piano mau tidak mau matanya menatap foto kecil di atas pianonya. Itu foto Patrik yang tenga tertawa. Matanya bagus dan tatapannya riang. Kontras dengan toga yang dikenakannya. Waktu itu Patrik memang baru saja diwisuda. Adis menolaknya untuk diajak potret bersama, dengan alasan Patrik pasti malau bersanding dengan gadis cacat. Patrik sampai melototkan matanya, karena marah. Sampai di atas mobil, Patrik masih melontarkan kecewanya.
“Jadi kau tidak malu memperisteri gadis polio?” tanya Adis dengan suara serak.
“He, kau tanya lagi. tidak. Biar kau kehilangan kedua kakimu, dan kau buntung pun aku tetap mencintaimu. Kenapa kau tanya lagi?”
Mata Patrik menelidik. “Kalau kita menikah nanti, kita tidak harus cekcok setiap hari karena kakimu yang cacat itu bukan?”
Adis menjawab dengan gugup:
“Tentu saja tidak. Tidak,” katanya seperti diucapkan untuk dirinya sendiri. “Aku juga tidak suka.”
“Kukira aku paling tidak suka.”
“Aku masih ingat kata-katamu dulu,” gumam Adis lirih.
“Apa?”
“Dulu aku tanya padamu: Apakah mungkin seorang pria tidak cacat jatuh cinta pada seorang gadis cacat, dan jawabmu tidak mungkin.”
“Memang. Kecuali kalau dia sudah jatuh cinta sebelumnya. Sekali pun gadis itu menjadi buta, tidak akan,” Patrik melebarkan senyum kemenangan.
Pulang dari wisuda yang kaku itu, Patrik mengajak ke rumah famili familinya dan memperkelakan calon istrinya. Kursi roda Adis dilipatnya dalam bagasi mobil, dan setiap turun naik Patrik membopongnya.
“Trik, kau akan berlaku sebaik ini sampai kita menikah nanti atau.....?”
“Menurutmu?”
“Kau sangat baik.”
Patrik tertawa. Persis dalam foto kecil itu.
“He, kau melamun!” suara seseorang mengejutkan lamunannya. Pemuda sudah menyelesaikan tugasnya. Adis cepat-cepat menyibakkan rambutnya dan tersenyum sumbang.
“Tidak. Permainan pianomu bagus sekali. Lagu apa itu? Rasanya aku pernah megenalnya.”
“Sebentar.....sebentar.... bukankah itu Rituak Fire Dance? Oh, lagu yang riang. Seperti ciptaan Tchaikovsky, Walts of the Flowers. Hanya ini agak sendu,” kata Adis tawar.
“Aku punya piringan hitamnya, kalau kau suka,” katanya sambil tertawa ringan. Bekas cukuran kumisnya menambah ketampanannya.
“O terlupa. Mau minum apa? Kopi atau teh hangat”
“Sebetulnya menarik tapi,” dia menerawangkan matanya ke luar jendela. “Bagaimana kalau kita di luar sana? Pagi yang dingin, dan kita berada di bawah matahari yang hangat,” dia tersenyum tanpa menunggu jawaban, didorongnya kursi roda Adis.
“Kau tidak pernah keluar rumah, he?” tanyanya.
“Kau sudah tahu jawabnya kan? Aku cacat,” jawab Adis tanpa menoleh. Terdengar pemuda itu tertawa.
“Itu bukan alasan tentu saja. Buktinya, kau bisa sampai datang ke desa terpencil ini.”
“Kami sedang berlibur,” kata Adis. “Kami biasa liburan satu keluarga. Begitu kami libur kuliah, ayah ambil cuti dan ibu turut menemani di villa ini.”
“Wah keluarga harmonis.”
“Dan aku tidak menyangka bakal mengenalmu.”
“Tentu saja. Aku tidak memasang pengumuman di papan pengumuman di balai desa?”
Sore harinya, dia datang lagi. kali ini ditemui Didi yang kemudia memperkenalkannya kepada ayah dan ibu. Setelah omong-omong ringan, seperti dikomando, mereka meninggalkan mereka berdua.
“Tadi pagi aku melupakan satu hal,” katanya seperti biasa. Dia mengenakan sweater kelabu dan celana jeans yang lusuh. “Aku belum menyebut namaku. Namaku Markus. Dan aku juga belum tahu namamu. Tapi ah, itu tidak perlu lagi. Didi sudah memberitahu.”
Adis menggores-goreskan tangannya di kursi roda.
“Aku membawa ini,” katanya sambil mengambil sesuatu dari tasnya. Ternyata dua helai piringan hitam. Dilihat dari kavernya, itu piringan hitam Anotonio Bazzini dan Vincente Gomez.
“O terimakasih. Kau sangat baik hati,” kata Adis. “Bukankah ini si Vincente yang menggubah La Ronde des Luntis yang terkenal itu? Gubahannya sangat hebat.”
“Tapi kalau boleh jujur, aku lebih menyukai suaramu ketika menyanyikan Placier d’Amor tadi pagi. Kurasa, gubahan siapapun tidak ada artinya,” dia tertawa.
Adis jadi kikuk. Tapi bukan karena pujian-pujiannya yang maut, melainkan tiba-tiba ia ingat Patrik. Dia juga pandai melontarkan rayuan maut. Patrik juga sangat itu. Bukankah seandainya kenangan lama bisa diulang kembali. Itulah suara Patrik dulu? Setiap di pulang dari turne, sebelum cuci muka dia merengkuh tubuh Adis.
“Ayo, mainkan Placier d’Amormu. Dua hari berada di hutan, suaramu terngiang-ngiang membuatku ingin pulang.”
“Kau tidak bosan Trik?”
“Kau bosan?”
“Pertanyaanmu tidak lalu membuat aku tidak meyakinkan untukmu, tahu?”
He, Patrik mencium lagi sampai kursi roda Adis berputar-putar dan Patrik memang tidak peduli, meski keringatnya belum dicuci.
“O Trik, kursi roda ini direparasi setiap aku pulang turne!”
“Dan engkaupun harus tahu, Dis, jiwaku juga perlu kau reparasi.”
Lalu tangannya menggenggam tangan Adis, dan mereka berciuman.
“Kau jangan keterlaluan. Kita baru menikah bulan depan,” teriak Adis mulai membabi buta.
Patrik tersenyum meski sangat kesal. Dia mungkin ingat, bulan depan dia sudah jadi seorang suami. Dan tahun depannya, kalau tidak ada aral melintang, dia sudah menjadi bapak buat anaknya. Dan tahun-tahun berikutnya, dia akan menjadi ayah yang baik buat anak-anaknya yang lain.
Dia membersihkan celananya yang kotor. Dipandangnya Adis dengan wajah bersungguh-sungguh. Patrik tidak pernah setua ini, jika dia sedang merenung. Matanya kosong dan sorot matanya tajam.
“Dis, rasanya aku ingin menjadi suami yang sejati,” katanya.
“Aku juga.”
Patrik tetap muram, sampai dia berdiri di belakang Adis dan mendorong kursi rodanya ke depan piano.
“Nyanyikan Placier d’Amor untukku!” pintanya.
Itulah pertemuan terakhir. Besoknya Patrik berangkat tugas ke Kalimantan. Didi yang memberi kabar itu dengan wajah hampir menangis.
Patrik sudah pergi, karena penyakit malaria dan jenazahnya akan tiba sore harinya. Adis pingsan dan ketika siuman ia merasa tidak punya tenaga lagi. Ia malah tidak menghadiri pemakaman Patrik. Selama dua bulan, ia bolos kuliah dan dalam pengawasan dokter karena jiwanya terguncang. Selama itu dia harus minum obat penenang.
Cepat-cepat digesernya kursi rodanya menghadap ke dinding sebelum air matanya tumpah. Markus tidak boleh tahu. Tapi terlambat. Markus sudah memburu dan bersujud du depannya.
“He, kau menangis? Apakah aku menyakiti hatimu?”
Dengan langkah tergesa-gesa markus memasuki kamar itu. Sebuah vas berisi sekuntum anggrek appel blossem tergeletak di meja. Kursi roda yang terlipat juga ada di situ. Di pintu Didi sudah membentangkan ke dua tangannya sambil mengangkat bahu.
“Dia nekat pulang ke kota sendirian naik kendaraan umum. Akibatnya dia kelelahan. Sebentar lagi dia bangun,” kata Didi.
Markus bersujud di samping ranjang tidur Adis. Digenggam tangan gadis yang setengah bermimpi tentang entah apa itu. Diperhatikan wajahnya. Dan ketika tiba-tiba mata gadis itu terbuka, Markus tersenyum.
“O Markus, kenapa kau di sini?”
Markus tak segera menjawab. Digenggamnya jari-jemari Adis lebih erat.
“Aku menyusulmu. Didi memberitahu.....”
Adis membuang wajahnya ke dinding.
“Aku meminta maaf telah menyakiti hatimu,” kata Markus.
“Kau aneh, Markus, kau tidak pernah bersalah.”
“Aku ingin berada di dekatmu sampai kau sembuh.”
Adis mengerjamkan matanya tanda setuju.
“Tapi kenapa” aku kan gadis jelek yang cacat dan tak berharga?”
“tidak Dis, aku mencintaimu. Dan kukira itu tidak jadi soal.”
Mata yang sayu itu tiba-tiba merambang. Rasa-rasanya dia tak berdusta. Matanya berkata sebenarnya.
Markus tersenyum. Diambilnya saputangan dari dalam saku celananya dan menghapuskannya airmata Adis.
“Engkau sudah berharga dalam hidupku sejak dua tahun lalu, Dis. Aku sudah tahu cerita semuanya dan aku tak peduli.” Digenggamnya jari-jemari Adis lebih erat lagi.
“Sekarang tidurlah beristirahat. Besok kau harus bangun dengan tubuh segar. Aku ingin mendengar suaramu dalam Placier d’Amor!”
Markus menarikkan selimut gadis itu. Juga dikatupkan kedua matanya.

+++++

Dimuat dalam Anita Cemerlang, 1980

SEBUAH KEJUJURAN

Oleh: Kurniawan Junaedhie

INGGAR harus bertengkar lagi. kali ini dengan ibunya. Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain yang sekarang dipanggil ibu, dua tahu lalu. Umurnya tak berselisih banyak dengan Inggar. Mungkin selisih barang enam tujuh tahun. Hampir seusia dengan kakak perempuannya yang sudah menikah.
Wanita itu sebenarnya tidak cerewet, dia bisa memahami anak tirinya. Tidak seperti gambaran ibu tiri di dalam komik-komik atau film-film. Tapi Inggar memang seorang gadis yang istimewa.
Tadi siang ia pulang sekolah tergesa-gesa. Ibu tirinya sedang mengepel lantai. Dia masuk tanpa mentukar sepatu.
“Aduh, sepatumu tidak kau tukar dulu di luar?” kata ibu terloncat begitu saja.
“Mana aku tahu?” jawab Inggar. Dia sebetulnya terkejut juga. Dalam hatinya merasa berdosa. Lantai yang sudah bersih itu menjadi penuh dengan bercak-bercak lumpur. Tapi apa pedulinya?
“Lain kali ibu harus mengepel lantai bukan pada hari kerja!” katanya melotot.
Dia memang benar. Hari itu hari Senin. Biasaya lantai dibersihkan pada hari Minggu, dan selanjutnya sampai Minggu berikutnya sampai dibersihkan lagi.
Ibunya menyesal.
“Baiklah. Lain kali.....,” tukasnya bermaksud tanpa memperpanjang persoalan.
Inggar berjalan seperti biasa. Sepatunya tetap melekat di kakinya. Dari kamar dia keluar lagi., menghadapi meja makan.
“Aku tak pernah berselera makan di rumah,” katanya pelan. Tudung sajinya sudah dibuka dan diletakkan di kursi. “Menunya selalu sama. Kangkung, opor ayam, dan.....”
Ditutupnya lagi hidangan itu.
“Itu pesan ayahmu.” Kata ibunya.
Inggar jadi melotot.
“Kau tidak hanya menikah dengan ayahku!” katanya kesal. “Waktu kau nikah dengan ayahku kau sudah tahu bahwa dia punya seorang anak?”
“Seharusnya kau memasak sendiri. Aku sendiri sudah bosan di sini. Jangan kau sangka aku senang,” bantah ibunya.
“Aku juga tidak menyangka bahwa ayahku bisa mencintai wanita seperti engkau,” jawab Inggar dengan geram.
“Baiklah lain kali. Aku janji,” kata wanita itu serupa menyesal. Ia menunduk, dan air matanya hampir keluar.
Sambil berjalan ke kamarnya, ia merasa geram, mengapa hati manusia begitu tipisnya. Mengapa hati manusia begitu mudah untuk tersinggung? Aneh.
Di sekolah ia juga habis bertengkar. Ini bukan pertama kalinya. Bibirnya memang mungil. Tetapi setiap kali berbicara semua orang bisa tersinggung.
“Tio, rambutnya jelek!” atau “Hang, bajumu kuno!” atau “Kau tidak pernah mengganti yurkmu ya?” Seolah-olah kalimat lain tidak ada lagi pilihannya. Mungkin dia tidak bermaksud mengejek. Rambut Tio memang acak-acakkan. Kemerah-merahan dan jarang disisir. Siapa pun tahu hal itu. Baju Engdang memang tidak pernah disetrika. Tapi itu memang lagi mode. Yurk bawah Ellen memang jarang ganti, karena dia anak kost. Waktu untuk mencuci lebih baik dimanfaatkan untuk belajar.
Tio meminjam bukunya seminggu yang lalu. Padahal janjinya ia akan mengembalikan dalam tempo tiga hari. Hari kelima ulangan umum. Tapi Tio khilaf. Hari kelima dia absen. Anak-anak kelas tiga memang liburan, sedang Inggar karena kelas dua, masuk sekolah. hari keenam Tio juga tidak hadir. Karena hari itu masih liburan. Dan hari ketujuh, Tio datang menemuinya.
“Sorri, bukumu belum sempat kusalin,” katanya.
Inggar kontan melipat bibirnya. Ia rebut buku itu dan tak berkata sepatah katapun. Tio mencoba membela diri, tapi sia-sia. Semua sudah tahu, susah untuk berdebat dengan gadis itu. Ia selalu mengatakan kebenaran. Bagaimana dia bisa belajar sedang bukunya dipinjam Tio. Guru Antropologi sudah cukup tenar, tak pernah memberi soal dengan multiple choice atau semacam dengan itu.
Sebenarnya Inggar sudah bosan bertengkar dan berjanji ingin menjalin perdamaian di kelasnya. Dia masih ingat, ketika ia harus bertengkar dengan Hag gara-gara Tiur nonton film. Hang dibuatnya tak berkutik. Tapi cowok itu memang berdosa. Dia telah menghianati seorang gadis yang mencintainya diam-diam. Akibatnya Tiur yang marah.
“Aku kan bukan cewek yang murahan? Hang mengajakku karena rumahnya sejurusan denganku. Dan kau tokh sudah menolaknya?” kata Tiur. Inggar menggigit bibirnya. Tapi apakah lalu ia mengatakan pada Hang bahwa ia mencintainya, bahwa ia tidak ingin dinomor-duakan, bahwa dia merasa cemburu  bahwa Hang malah mengajak Tiur nonton? Inggar gadis yang suka terus terang. Dan dia mengatakan itu kepada Tiur. Dan itulah hasilnya. Tiur tidak mau lagi bercakap-cakap dengannya, tak mau lagi berdekatan, apalagi bersentuhan.
“Dia barangkali merasa dirinya tidak pernah berdosa,” kata Tiur kesal.
Aneh, pikirnya. Betapa mudahnya menyulut api. Seolah begitu mudahnya orang membuat perang. Hampir-hampir tak pernah terpikirkan sebelumnya, setiap manusia begitu gampang untuk bertempur, bertengkar dan ngambek. Sebaliknya betapa susahnya menjalin perdamaian. Tak terasa air matanya menetes. Sebab dia merasa mencintai semuanya. Termasuk ibu tirinya. Juga Hang.
Sore harinya, ia pun nyaris bertengkar dengan ayahnya. Ia mengatakan bahwa ayahnya harus rajin minum obat supaya tidak mudah kena flu. Tapi ayahya marah-marah dan mengatakan Inggar hendak mengajari orang tua. Tentu saja ia menangis. Memang mengherankan, hidup ini. Tidak mudah mengatakan kebenaran!
Hang datang malam harinya. Inggar baru saja menyelesaikan tangisnya sehingga dengan mudah Hang bisa menebak bahwa dia sedang bersedih.
“Kenapa kau menangis?” tanya Hang sambil menyulut rokok.
“Entahlah,” dia geleng-geleng kepala. “Aku merasa semua orang memusuhiku.” Jawabnya. Sekejap dia hampir menangis lagi mengenang kejadian dalam sehari.
Hang memahami.
“Kau kira semua manusia sangat jahat?” tanyanya dengan bimbang.
“Bagiku sama sekali tidak,” jawab hang.
“Aku tidak menyangka,” suaranya mulai tersedat. “Kau harus tahu, aku tidak bermaksud menyakitimu. Juga Tiur. Sama sekali tidak. Aku mengatakan sesuatu yang benar kan?” Dan air matanya menetes satu-satu di pipinya.
Hang bangkit dan mengusap airmata itu dengan sapu tangannya. Lalu didekapnya gadis itu.
Hang hendak mengatakan bahwa dia tidak jahat. Dia sesungguhnya seorang gadis yang menarik, karena berterus terang. Tapi Inggar sudah tersedu-sedu.
“Sebaiknya memang aku tidak usah mempunyai sebuah mulut!” katanya terisak.
“Tidak. Semua orang mencintaimu.”
Hang mengeratkan pelukannya.
“Dan aku mencintaimu,” tukas Hang.
Inggar melepaskan pelukan dan menatap bola mata Hang yang tidak pernah berdusta.
“Hang aku mencintai kejujuran. Tapi tak usah kau katakan itu lagi. jangan katakan. Aku tahu,” katanya.
+++++



Dimuat di majalah kumcer Aneka 1982

12 September 2012

CINTA YANG SUDAH TERUJI

Oleh: Kurniawan Junaedhie

GONORHOE: Hampir mati berdiri Parlin mendengar kata-kata itu diucapkan dokter Luwi. Rasa-rasanya tak pernah ia seterkejut ini sebelumnya.
Anak sulung seorang pendeta yang selama ini dikenal alim, terserang penyakit laknat? Astaga! Parlin sudah membayangkan, jika penyakit ini terbongkar nanti, semua sanak family dan kenalannya akan gempar. Jangan diomelin, dikutuk pun belum cukup untuk mengusir dera yang harus ditimpanya.
Tiba-tiba terbayang wajah ida, istrinya yang begitu polos, yang baru dinikahinya empat bulan lalu, yang selalu dijanjikan bahwa seperseribu detik pun dia tak akan melupakannya. Kini dia akan menularkan bibit penyakit sialan ini? Akan dbiarkankah kuman-kuman penyakit laknat ini bersarang di rahimnya, berkecambah dan berkembang biak? Mana cinta yang didengung-dengungkan Parlin?Apa buktinya? Dalam sekejap mata, semua sudah berbalik.Parlin ternyata telah pernah melupakan Ida meski sedetik, untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu dilakukan oleh Parlin.
Seribu godaan rasanya membelah kepalanya.Perlin merejam-rejam rambutnya dengan geram.
Seperti memahami perasaannya, dokter Luwi, menatapnya dengan senyum kebapakan.
“Semua penyakit ada obatnya.Kenapa kuatir?” katanya.
“Saya memang sangat kuatir,  Dok,” jawab Parlin sambil menyeka keringatnya.
Dokter Luwi tak segera menjawab hanya tersenyum tipis.
“Tetapi saya baru sekali ini Dok.Baru sekali saya melakukan. Tetapi ah…..” Parlin mengguncang-guncang tangannya serasa didera kesal.
Ya Parlin ingat betul.Malam itu dia pergi ke Bogor, dengan Situmorang, kawannya. Karena hari sudah malam, sangat susah mencari penginapan. Akhirnya asal bisa untuk bermalam, kemana pun jadilah, dan ditemuilah sebuah losmen kecil yang dari lampu-lampunya tampak suram.
Semalaman mata Parlin tak terpejam.Suara gaduh di losmen itu menyebabkan matanya tak kunjung pejam.Situmorang mengajaknya minum bir.Daripada kedinginan dan kesepian, katanya.Selesai minum bir itulah peristiwanya.Ia menemukan seorang wanita sudah menunduk mencangkung di kamarnya. Ini akibatnya!
Ditinjunya telapak tangannya dengan geram. Kalau saja tidak minum bir, kalau saja tidak pergi dengan Situmorang, kalau saja tidak kemalaman di Bogor…..
“Berilah saya obat yang paling mujarab, Dok.Saya sudah kapok.Benar-benar kapok.Biarlah saya menderita penyakit yang lain, asal tidak yang ini. Kalau tidak yah…..” Ingin betul, airmata Parlin bisa keluar.Tapi dilihatnya dokter tua itu masih saja tersenyum-senyum mengawasi seperti tadi.Mungkin dia sangat heran melihat pasien satu ini.Karena, siapa tahu, pasien-pasien lain begitu acuh tak acuh terhadap penyakit ini.
“Belum parah benar,” katanya geleng-gelang kepala.
“Saya anak lelaki satu-satunya.Saya harus punya anak, Dok….,” tukas Parlin terbata-bata.
“Saya sudah bilang tadi.Belum parah benar.Dua kali suntik beres.Kecuali, kecuali kuman itu sudah bersarang pada testismu.Tapi, rasa-rasanya tidak.”
“Apakah saya tidak akan menularkan kuman ini pada istri saya Dok?”
Seperti tadi, dokter Luwi tersenyum.
“Bagaimana kalau dia tahu saya kena penyakit ini?”
Dokter Luwi melotot.
“Kalau kau tak ingin dia semaput, sebaiknya tidak usah menceritakannya!!”
Ah, rasanya mustahil. Lambat atau cepat, Ida pasti akan mengetahuinya. Mula-mula mungkin dia akan curiga karena berkali-kali menemukan kapsul-kapsul antibiotika di dalam kantongnya. Kemudian, dia akan terkejut kalau melihat celana dalam Parlin penuh bercak berwarna kuning muda. Sekali ini, keringat dingin menitik satu-satu dari dahinya.
Sebelum Parlin menumpahkan kekesalannya utuk kesekian kalinya, dengan bijaksana dokter Luwi sudah menuliskan resep, dan surat pengantar ke laboratorium.
“Biar safe,” kata dokter Luwi dalam nada memberi sugesti.
+++++
Ida tampaknya memang tidak curiga.Setiap malam padahal Parlin kelihatan sekali menyibukkan diri.Kalau diingatkannya bahwa hari sudah malam.Parlin cuma menggeser tempat duduknya.Tetapi, tak segera beranjak ke kamar seperti dulu.Ia benar-benar sangat sibuk.
“Tidur dulu.Aku masih harus mengerjakan kerja lembur ini,” kata Parlin.Sebetulnya hatinya menangis.Dia merasa iba terhadap istrinya.Baru empat bulan mereka menikah.Mestinya masih dalam suasana bulan madu.
Tapi Ida memang seorang wanita yang tabah.Dia tetap menunggui Parlin sambil membaca majalah lama atau melakukan pekerjaan tangan lainnya di samping Parlin, dan sesekali sambil menguap Karen menahan kantuk.Kasihan juga sebenarnya.
“Kau nanti sakit, kak Parlin,” kata Ida.
Parlin menatapnya sayu.
“Ah tidak.Badanku cukup kuat,” kata Parlin.
Ida menguap sekali lagi. Sekarang ia malah sudah bersender di bahu Parlin. Dengan perlahan, Parlin menepiskannya.
“Aku menyusulmu nanti.” Bujuk Parlin.
Ida melepaskan senderannya.
Ketika Parlin masuk ke kamarnya jam tiga dinihari, Ida belum tidur juga. Rupanya ia baru saja menangis. Matanya sembab.
“Kenapa kau, Ida?”Parlin mencoba memeluknya.
Ida malah mengencangkan isaknya.
Parlin menciumnya.
“Maafkan aku, Ida.Aku sangat sibuk. Kalau saja sudah senggang, pasti…..”
Mata Parlin menatap langit-langit kamarnya dengan hampa. Sebelum, Ida melihatnya menangis, ia mematikan lampu di kamarnya. Aku telah mengkhianati cintanya, katanya dalam hati.
+++++
SUDAH seminggu Parlin dengan rajin meminum kapsul-kapsulnya.Dokter Luwi memang hebat.Mula-mula diberikannya Parlin kamsul yang harus diminum sekali empat buah.Dua hari kemudian, Parlin cukup menelannya dua buah.Kemudian cukup sebuah.Dua kali disuntik oleh dokter Luwi pun rasanya sudah cukup. Tak ada cairan lagi, setiap ia buang air kecil. Celana dalamnya tak lagi dikotori bercak-bercak sialan itu. Hanya suatu kali pernah, dari dalam kamar mandi, Ida berteriak :
“Celanamu kena karat karena menjemurnya di kawat jemuran!”
Mestinya tertawa, tapi Parlin justru merasa sedih. Bagaimana pun ia telah mendustai Ida.
Hasil pemeriksaan laboratorium pun, menggembirakan.Negatip.
Coccus jarang, demikian kata dokter Luwi.
Sambil tertawa dokter Luwi mengatakan:
“Kalau orang tidak ada coccusnya bagaimana?”
Tapi tokh Parlin masih merasa cemas.
Sementara itu Ida masih dengan setia melayani Parlin. Setiap Parlin pulang dari kantor, ia tetap menyisakan senyumnya yang tulus. Menunggunya di tempat tidur.Mengelus-elus dada Parlin.Mencium-cium kening Parlin.
“Aku tahu kau belum punya waktu senggang,” katanya setelah itu.Ada geletar kecewa memang.Ia tergoleh di samping Parlin. Parlin cuma merabanya, dan menatap langit kamarnya dengan tatapan yag hampa.
“Kau mau mengunggu bukan?” Tanya Parlin tanpa menolehnya.Karena Ida tak segera menyahut, Parlin menatapnya.Ida mengerjapkan matanya tanda setuju.
Lihatlah, betapa penuh pengertiannya Ida.Betapa setianya istriku, pikirParlin.Sekali saja cukup mengkhianati.
+++++
Dokter Luwi yang dilapori, tak menahan hatinya untuk tidak tertawa terpingkal-pingkal.
“Jadi apa yang kau takutkan sekarang?” tanyanya menahan geli.
“Dia akan ketularan, Dok.Padahal saya sangat mencintainya.”
Dokter Luwi terbahak-bahak sampai-sampai stetoskop yang tergantung di lehernya berguncang-guncang.
“Bagaimana kau bisa mengatakan kau sangat mencintai dia kalau setiap malam kau biarkan dia sendirian menahan kesepian?Kalau kau membiarkan dia menaruh curiga kau sedang bergelut dengan wanita-wanita jalanan?”
“Tetapi aku tidak rela dia ketularan, Dok,” kata Parlin pahit.
Di luar dugaan, dokter Luwi menjawabnya dengan kalem.
“Parlin, kau akan menularkan cinta terhadapnya.Cinta yang lebih indah dari sebelumnya.Cinta yang sudah teruji.Karena kau sudah bertobat!!”
Memang benar kata dokter Luwi.Malam itu, Parlin merasa telah menularkan cinta yang sedemikian sejati.
+++++


Dimuat di majalah Pesona, 1982