Oleh : Esti Ismawati
Kami persembahkan antologi puisi ini untukmu mas Jun, Kurniawan Junaedhie, sebagai tanda persahabatan. Dan saya tahu bahwa tidak mudah meyakinkan orang akan nilai-nilai persahabatan yang tulus dan murni di tengah zaman yang sedang berubah. Saya tahu itu. Tetapi biarlah. Yang datang dari hati, akan sampai ke hati. Yang lahir dari cinta, akan menumbuhkan kehidupan. Yang berlandas kasih, akan mendatangkan kedamaian. Itu yang menjadi motivasi lahirnya buku ini.
Siapakah Kurniawan Junaedhie? Mungkin pembaca tidak percaya bahwa saya yang kelihatan begitu hangat bersahabat dengannya itu sejatinya hanya mengenal lewat dunia maya. Berawal dari rasa penasaran saya mengenal pribadi ini. Setiap membaca email masuk bertuliskan facebook pasti tertera nama, (dalam kurung selalu tertulis) : “berteman dengan Kurniawan Junaedhie”. Penasaran sekali dengan si empunya Picture Profile Chairil Anwar yang kala itu selalu hadir dengan sajak-sajak sunyinya.
Siapakah Kurniawan Junaedhie? Mungkin pembaca tidak percaya bahwa saya yang kelihatan begitu hangat bersahabat dengannya itu sejatinya hanya mengenal lewat dunia maya. Berawal dari rasa penasaran saya mengenal pribadi ini. Setiap membaca email masuk bertuliskan facebook pasti tertera nama, (dalam kurung selalu tertulis) : “berteman dengan Kurniawan Junaedhie”. Penasaran sekali dengan si empunya Picture Profile Chairil Anwar yang kala itu selalu hadir dengan sajak-sajak sunyinya.
Perkenalan pun dimulai, dan saling sapa di dunia maya hingga kurun hampir dua tahun. Bertemu secara langsung dan bercengkerama sebagaimana layaknya seorang sahabat sama sekali belum pernah, (rencana kopdar pertama di Kongres Bahasa Indonesia 2013 di Hotel Syahid Senayan bertiga dengan mas Dharmadi DP gagal, dua kali jumpa darat tidak lebih dari lima menit bicara) tetapi karena rasa simpati saya yang begitu dalam terhadap apa yang telah disumbangkannya bagi kehidupan sastra Indonesia mutakhir, maka saya memberanikan diri untuk mengajak kawan-kawan membuat sesuatu untuknya di hari ulang tahunnya yang ke-60.
Ada memang suara yang mengatakan bahwa biasanya buku persembahan itu diberikan pada usia 70 tahun, tetapi pikiran saya mengatakan kenapa untuk berbuat sesuatu yang baik mesti ditunda sepuluh tahun lagi sementara saya sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi pada sepuluh tahun ke depan. (Ah! Semoga baik-baik saja, dan seratus persen itu adalah hak prerogratif Tuhan).
Ada memang suara yang mengatakan bahwa biasanya buku persembahan itu diberikan pada usia 70 tahun, tetapi pikiran saya mengatakan kenapa untuk berbuat sesuatu yang baik mesti ditunda sepuluh tahun lagi sementara saya sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi pada sepuluh tahun ke depan. (Ah! Semoga baik-baik saja, dan seratus persen itu adalah hak prerogratif Tuhan).
Dalam dunia kepenyairan di Indonesia, nama Kurniawan Junaedhie bisa dijumpai di berbagai sumber dari yang maya sampai yang nyata, dari yang tercetak sampai yang terekam. Siapa dan mengapa Kurniawan
Junaedhie di buku ini dapat anda baca di catatan 35 tahun berkarya yang ditulis sendiri oleh KJ di halaman belakang buku ini dan di Biodata KJ.
Setelah “ditemukan mas Handrawan Nadesul dan Pak Piek HS”, Kurniawan Junaedhie melesat bak anak panah, terus menembus angkasa berkarya di blantika sastra Indonesia. Penyair Umbu Landu menyebutnya sebagai sastrawan muda lapisan atas. Termotivasi oleh pujian Umbu, Sang P VI eneroka: Antologi Puisi 111 Penyair Indonesia KJ pun mengibarkan sayapnya bersama Yanie Wuryandarie membidani lahirnya majalah remaja Anita yang sangat populer kala itu (baca tulisan Adek Alwi di bagian belakang buku ini).
Setelah “ditemukan mas Handrawan Nadesul dan Pak Piek HS”, Kurniawan Junaedhie melesat bak anak panah, terus menembus angkasa berkarya di blantika sastra Indonesia. Penyair Umbu Landu menyebutnya sebagai sastrawan muda lapisan atas. Termotivasi oleh pujian Umbu, Sang P VI eneroka: Antologi Puisi 111 Penyair Indonesia KJ pun mengibarkan sayapnya bersama Yanie Wuryandarie membidani lahirnya majalah remaja Anita yang sangat populer kala itu (baca tulisan Adek Alwi di bagian belakang buku ini).
Sebagaimana yang dikatakan oleh Penyair Soni Farid Maulana dan Adri Darmadji Woko, Kurniawan Junaedhie banyak merintis jalan kehidupan dalam berbagai hal terutama dalam rangka “menjadikan seseorang untuk layak disebut Penyair” melalui berbagai event penerbitan buku-buku sastra yang dimotorinya. Oleh karena itu sebutan “Sang Peneroka” memang layak diberikan kepadanya. Banyak yang sudah mengirimkan puisi untuk antologi ini tetapi banyak pula yang (maaf) kami tolak karena beberapa hal, pertama, puisipuisi yang ditolak itu sama sekali jauh dari tema utama antologi ini, yakni 60 tahun KJ.
Kedua, puisi-puisi tersebut memang tergolong puisi yang masih mentah, baik dari segi bentuk lahiriah formal maupun isi batiniah. Tidak ada unsur puisi yang ditemukan dalam puisi-puisi tadi, misalnya miskinnya gaya bahasa (figurative language), lugasnya pemilihan kata (diksi), atau bentuk-bentuk penyakit puisi yang masih menempel, misalnya keumuman, simplisitas, atau generalisasi. Sudah tentu, tak berarti bahwa puisi-puisi yang terpilih masuk di antologi puisi 60 tahun KJ ini merupakan puisi-puisi yang sudah matang semuanya. Banyak juga di antaranya yang masih tersandung masalah diksi, irama, metafora, klise, simplifikasi, keumuman,
jargon, sentimentilisme sempit, dan musuh-musuh puisi lainnya. Tidak semua penyair yang menyumbangkan puisinya di antologi ini juga mengenal Kurniawan Junaedhie secara langsung, banyak pula yang belum kenal sama sekali, tetapi mereka yang hadir di antologi ini yang pasti telah memberikan apresiasi yang mendalam terhadap apa yang telah dilakukan oleh KJ melalui buku-buku sastra Indonesia yang diterbitkan oleh K3 Jakarta dan lainnya. Seorang mahasiswa dari pelosok tanah air bernama Syarif Hidayatullah dengan sangat mengharukan menyapa KJ dengan Abah, dan bahkan menulis seperti ini :
DARI TEPIAN SUNGAI BARITO
-KJ
Kita tak pernah bertemu mulut
Ketika bercengkeramanya embun dan rembulan
Dan jikalau waktu bertanya ?
Mata ini hanya mengenal dari pusi yang kaurangkai
Atau sajak yang kaumainkan dalam tinta yang menghitam
Dalam waktu yang dipakai menit
Huruf-huruf kita berterbangan, saling berbisik rindu
Dan kadang aksaraku dihempas sang mentari
Ditelanjangi gerimis, kedinginan dalam penaku yang tumpah
Kita hanya bercengkrama dalam antologi yang sama
Dengan tebasan rasa yang berbeda
Sang Peneroka: Antologi Puisi 111 Penyair Indonesia VII
Maka izinkanlah,
Aku mengenalmu dalam goresan yang mungkin tak diperhatikan para gemintang
Semoga umurmu semakin berkah, Bah !
Doa dari tepian sungai Barito
Marabahan, 10 September 2014
Ungkapan yang sangat tulus saya rasakan dari tepian sungai Barito ini. ‘Aku mengenalmu dalam goresan yang mungkin tak diperhatikan para gemintang’... oh, sungguh anak muda yang rendah hati dan tinggi budi, yang datang jauh-jauh untuk mendoakan KJ dengan bahasa yang sangat santun. ‘Semoga umurmu semakin berkah, Bah ! Doa dari tepian sungai Barito’.
Banyaknya pihak yang tertarik untuk ikut dalam antologi ini menandakan bahwa KJ bisa diterima di segala lapisan masyarakat. Ada yang bisa diteladani dalam pribadi yang satu ini, yakni semangat hidupnya yang meluap-luap dalam upaya menggapai sesuatu yang diinginkan. Terlebih dalam hal kepenyairannya. Ia pernah mengatakan bahwa pekerjaan apa pun, wartawan dan pekebun, sesungguhnya telah ia lakukan demi menghidupi kesukaannya pada sastra. Sangat total. Dan itu ia buktikan secara nyata melalui konsistennya
menerbitkan buku-buku sastra dan karya antologi puisi khususnya.
Sejak DNP pertama yang terbit pada tahun 1993 hingga sekarang tahun 2014 ini, telah terentang waktu dua puluh satu tahun. Selama kurun waktu itu, setidaknya ada dua dekade angkatan penyair, atau bisa juga dikatakan tiga generasi yang karya-karya puisinya KJ (dan kawan-kawannya) rekam dalam sebuah kitab bersambung yang sebentar lagi sudah memasuki periode keenam (DNP6). (Tetaplah istiqomah di jalan ini mas Jun). Terkadang nasib membawanya pasang surut tetapi (pastilah) KJ mampu mengatasi semua ini
dengan smood, sebagaimana coretan yang tergambar dalam puisi berikut ini :
“Hiduplah yang gagah bagai singa
yang garang mukanya
bengis cakarnya
dan sanggup hidup di segala cuaca
Hiduplah yang gagah bagai singa
yang siap menghadapi tipu daya kehidupan
yang berlaku tanpa juntrungan”
Kurniawan Junaedhie
24 November 2008/ Agustus 2009
Sangat terharu saya mendengar pengakuannya bahwa : “sakjane aku isin, saben dina melayani jualan buku sing ora sepiroa, ning aku pengen” (sebetulnya aku malu melayani penjualan buku yang tidak seberapa), bukan uang benar kiranya, tetapi aku pengen menanamkan pengertian bahwa buku itu Sang Peneroka: Antologi Puisi 111 Penyair Indonesia penting, dan jangan hanya senang jika diberi hadiah buku. Sedangkan mengenai Kosakatakita itu juga ada tujuan, agar orang senang membaca. Menulis gampang, tetapi membaca susah. Memperhatikan semangat teman-teman dalam mengirim puisi serta membaca satu demi satu puisi yang masuk, saya merasa sangat bangga bersahabat dengan mas Jun Kurniawan Junaedhie, karena KJ ternyata mampu menjadi kawan berpuluh suku / etnis di seluruh pelosok Nusantara. Ada haru yang melintas di sini dan ini jugalah yang membuat kelelahanku berbulan-bulan dan bermalam-malam memunguti kiriman puisi dari temanteman menjadi hilang seketika. Yang tertinggal hanyalah sebuah kebahagiaan karena ternyata kita mampu melahirkan karya baru yang berlabel ‘kado 60 Tahun Kurniawan Junaedhie’. Terima kasih teman-teman.
Pro dan kontra adalah suatu keniscayaan, tetapi ijinkanlah saya dan teman-teman di sini mangayu-bagyo 60 tahun KJ. Saya berharap apa yang saya dan teman-teman lakukan ini menjadi tradisi yang baik di kalangan penyair untuk secara ikhlas mengakui keberadaan dan sumbangsih yang telah diberikan sesama kawan (penyair) kita, betapa pun kecilnya. Karena dengan demikian sesungguhnya kita sedang menata satu demi satu bebatuan untuk kita rekatkan menjadi sebuah monumen persahabatan, yang semen perekatnya adalah saudara-saudara kita sebangsa dan se-tanah air.
Kami beri nama buku ini “Sang Peneroka”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Edisi IV (2008: 1454), peneroka berarti pembuka daerah atau tanah baru; pembuka jalan; perintis. KJ telah
membuktikan dirinya sebagai sang penjelajah, karena dalam diri Kurniawan Junaedhie memang secara empirik telah menjelajahi berbagai profesi dan layak dijuluki sang penjelajah terhadap segala kemungkinan yang bisa dilakukan oleh seorang anak manusia dalam menggapai kehidupannya. Dari wartawan, seniman, pekebun, penulis biografi, dan aneka tulisan lain yang bermanfaat bagi kehidupan.
Sebagaimana galibnya dalam pesta ulang tahun, di buku ini pun hadir sahabat dan kawan-kawan dekat KJ seperti Yanie Wuryandari, Handrawan Nadesul, Adri Darmadji Woko, Adek Alwi, Dharmadi DP, Soni Farid Maulana, Yvonne de Fretes, Naning Pranoto, Bundo Free, Herman Syahara, dan seterusnya serta anak-anak muda yang bergiat di bidang penulisan puisi. Terima kasih atas sumbang sih kawan-kawan dalam mewujudkan buku ini.
Akhirnya, saya ucapkan : Dirgahayu mas Jun Kurniawan Junaedhie, bahagialah bersama Ibu Maria, Azalika Avilla Adinda, dan Betsyiela Bebi Bianca.
Klaten, 01-10-2014
Esti Ismawati
(Dimuat dalam buku SANG PENEROKA, Antologi Puisi 106 Penyair Indonesia dan Ulasan Terhadap Karya-Karya Kurniawan Junaedhie, Kurator : DR. Esti Ismawati, Tebal: 487 + xvi. ISBN: 0856-430392-49)
(Dimuat dalam buku SANG PENEROKA, Antologi Puisi 106 Penyair Indonesia dan Ulasan Terhadap Karya-Karya Kurniawan Junaedhie, Kurator : DR. Esti Ismawati, Tebal: 487 + xvi. ISBN: 0856-430392-49)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar