Catatan Kecil
~Soni Farid Maulana
sesekali kenakalanmu mengusik
dan aku hanya seorang penyaksi
DUA larik puisi di atas dipetik dari puisi Telah Kau Sunting Waktu, yang secara khusus ditulis oleh penyair Esti Ismawati untuk Kurniawan Junaedhie sebagai kado ulang tahun ke-60. Dua larik tersebut mengusik
ingatan saya pada masa-masa awal kreativitas saya sebagai penulis, yang waktu itu banyak menulis cerita pendek untuk Majalah Anita Cemerlang. Kurniawan Junaedhie (KJ) pada saat itu duduk sebagai salah seorang redaktur di majalah tersebut. Sebagai sastrawan, tentu saja ketika saya mulai belajar menulis cerita pendek maupun puisi, KJ sudah malang melintang dalam dunia puisi. Sebagai penyair KJ tidak hanya menulis puisi lirik, simbolik, dan haiku, tetapi juga menulis Puisi Mbeling di Majalah Aktuil yang diasuh oleh sastrawan sekaligus teaterawan Remy Sylado.
Kembali ke Majalah Anita Cemerlang, KJ bersama Yanie Wuryandari merupakan redaktur yang pertama di majalah tersebut. “Saya dan Yanie adalah pendiri Majalah Anita Cemerlang bersama R. Risman Hafil sebagai pemilik SIUPP. Kemudian dalam perjalanan selanjutnya saya mengajak Adek Alwi, dan Lazuardi Adi Sage, waktu itu mereka teman kuliah di STP, untuk bekerja di Majalah Anita Cemerlang. Saya ajak mereka, karena saya masih bekerja di majalah induk, yaitu majalah keluarga Dewi,” jelas KJ, dalam sebuah percakapan ringan, tempo hari. Berkait dengan terbitnya antologi puisi yang Anda pegang, ajakan Esti Ismawati menulis puisi untuk ulang tahun KJ yang ke-60, sungguh tidak diduga disambut banyak pihak. Ini membuktikan bahwa KJ punya jaringan di mana-mana. Dan apa yang dikerjakannya selama ini, dengan menerbitkan antologi puisi Negeri Poci, yang kemudian hari lahir dengan berbagai seri dengan berbagai judul, merupakan sebuah kerja budaya yang dilakukannya tanpa pamrih. Selalu dari setiap buku yang dilahirkannya bersama kawan-kawannya dari komunitas Negeri Poci maupun dari Komunitas Radja Ketjil selalu memberi ruang kepada para penyair generasi baru, dan tidak sungkan disatukan dengan para penyair yang sudah punya jam terbang cukup lama dalam dunia kepenyairan.
Bicara soal ketertarikan KJ memasuki dunia puisi, dengan tegas KJ mengatakan kalau dirinya tidak bertemu dengan penyair Handrawan Nadesul, dan Piek Ardijanto Soeprijadi, salah seorang penyair Angkatan 1966, mungkin dirinya saat ini sudah jadi pengusaha.. “Kedua penyair itulah yang menemukan saya saat masih SMA. Saat itu puisi yang saya tulis dimuat di sebuah harian. Mereka tertarik dengan puisi saya, dan mereka
bilang calon penyair masa depan. Saya tidak menyesal diajak ke jalan sunyi oleh Handrawan Nadesul dan almarhum Piek Ardijanto. Puisi telah mengajari saya dalam memahami kehidupan,” jelas KJ dalam sebuah percakapan singkat di Jejaring Sosial Facebook.
Dalam kaitan itu pula penyair Handrawan Nadesul, yang dipanggil oleh KJ, Hans, berujar, “ Halo Jun, he he, begitulah garis kehidupan saya duga. Tanpa rencana, tanpa bayangan, hanya ingin ketemu, kami ketemu teman-teman yang namanya sudah dikenal di Purwokerto. Tapi terus terang saya memang menilai Jun cerdas dalam berpuisi. Terbukti sampai sekarang imajinasinya liar dan nakal. Juga dalam menulis cerpen, dan pengalaman mematangkannya menjadi penulis apa saja. Saya kira talenta bertemu dengan realita. Dalam hidup, saya kira tidak ada yang kebetulan. Garis itu sudah hadir. Salam sukses. Saya tahu Jun menyesal jadi penyair.” Hahahaha, saya tertawa ngakak membaca dialog dua orang sahabat ini, dan dengan tegas pula KJ menjawab tidak menyesal. Wah ya, siapa yang menyesal jadi penyair, walau dari puisi yang ditulisnya tidak menghasilkan uang. “Dan malah bisa jadi berutang pada orang, saat kita minum kopi di warung,” papar Rendra suatu saat, ketika untuk pertamakali dan terakhir kali saya terbang ke Belanda bersama Rendra, mengikuti Festival de Winter Nachten pada 1999 lalu di Den Haag.
Tanpa diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai penyair oleh KJ di Majalah Anita Cemerlang, sangat mustahil saya bisa tumbuh seperti sekarang ini. Saat itu Majalah Anita Cemerlang juga diawaki oleh Adek Alwi dan Lazuardi Adi Sage. Alhamdulillah saya bersama dengan Lazuardi Adi Sage, Leila S Chudori, Dorothea Rosa Herliany, Arie MP Tamba, dan Mochtar Lubis, terbang mengikuti acara South East Asian Writers Conference di Queezon City – Filifina. Inilah penerbangan pertama saya mengikuti acara sastra berskala internasional, yang berlangsung pada tahun 1990 lalu.
Bila penyair Esti Ismawati berkata dalam puisi yang ditulis untuk KJ berbunyi: sesekali kenakalanmu mengusik/ dan aku hanya seorang penyaksi// itu tidak salah. Kenakalan KJ sebagai penyair Mbeling pada satu sisi bisa kita rasakan dalam sebuah puisi yang ditulisnya di bawah ini:
Dari Horta Sampai Harto
Horta, presiden Timur Leste
Harti, teman twiteran
Harno, penyair tapi tak pernah nulis syair
Harta, yang kita cari sepanjang hayat
Harto, pemecah rekor Muri
Presiden terlama di Indonesia
2010
Selain membikin kita tertawa dengan puisi di atas, KJ juga bisa membuat kita merenung, walau apa yang ditulisnya itu hanya dalam tiga baris. Kita baca puisi tersebut di bawah ini:
Penyair
Penyair seperti tukang kayu
Banyak yang bisa memotong kayu
Tapi sedikit saja yang jadi empu
11 Oktober 2010
Apa yang ditulis KJ dalam puisi di atas, sesungguhnya merupakan kritik yang sangat tajam bagi kita yang merasa diri jadi penyair, Ini adalah kritik terhadap diri kita sendiri, yang secara esensial mengapungkan tanya: -- apakah puisi yang kita tulis selama ini benar puisi, atau hanya sekedar puisi. Atau lebih tegasnya lagi, kalau meminjam istilah penyair Sutardji Calzoum Bachri – hanya penyair sekedar. Lewat puisi pendek yang padat dengan isi ini, sesungguhnya KJ tengah mengapungkan sebuah isyarat, bahwa menulis puisi sukar adanya, dan karena itu, jadi penyair itu tidak gampang. Ia harus setia pada proses.
Dalam konteks inilah, maka tidak salah kalau Hans, mengatakan bahwa pertemuan dirinya dengan KJ pada tahun 1976 di Purwokerto, memangkap kesan sebagai penyair yang cerdas. Selengkapnya, Hans bilang, “Saya bertemu Jun (KJ) pada tahun 76 di Purwokerto. Ketemu Ahita Teguh Soesilo. Ketemu Dharmadi, ketemu beberapa lagi. Sejak awal, saya menangkap, dia penyair yang cerdas. Dari sajak-sajaknya, selain nakal juga bernas. Pernah bersama-sama Pak Piek Ardiyanto almarhum. Lalu kami banyak tahun-tahun bresama Jun setelah dia hijrah ke Jakarta. Kami berjuang menulis buku untuk proyek buku Inpres, dan lain-lain, hingga akhirnya Jun menduduki posisi Pemred di beberapa majalah!”
Berkait dengan itu, kembali merenungkan dunia kepenyairan yang direnungkan KJ, maka pada sisi yang lain, dalam sajaknya yang diberi judul Memilih Remah, penyair Syarifuddin Arifin antara lain menulis sebuah sajak yang larik-lariknya berbunyi seperti ini:
kur, aku masih percaya
semua hanya permainan hidup
yang tak pernah kenyang memamah kata-kata
tapi perutmu mulai membuncit
menjelang 60 tahun ini
Larik-larik sajak yang ditulis oleh Syarifuddin Arifin, yang ditujukan untuk KJ bisa ditafsir demikian, dengan pusat tafsir tertuju kepada larik yang berbunyi tak pernah kenyang memamah kata-kata, dalam pengertian lebih lanjut, KJ atau siapa pun ia, tak pernah puas dalam memilih kalimat bermakna bagi kelengkapan hidup maupun pemuasan spiritual – meski pada satu sisi, perut KJ atau siapa pun ia mulai membuncit, sebagai tanda dari lajunya umur mendekat kubur. Sajak ini menjadi luas maknanya, bukan hanya menggambarkan apa dan bagaimana keakraban persahabat KJ dengan Syarifuddin Arifin. Tetapi lebih lajuhnya adalah bicara soal apa dan bagaimana mengisi hidup menjadi lebih berharga, sekalipun semua itu harus diisi dengan remah-remah pengalaman, apa pun itu.
Pada bagian lain tentang KJ tampak bahwa ia lebih fasih bicara dengan menggunakan bahasa Jawa daripada dengan bahasa Cina yang diwariskan oleh para leluhurnya, jelas sungguh diungkap oleh penyair Uki Bayu Sedjati lewat puisi yang ditulisnya yang diberi judul Catatan, yang ditujukan untuk KJ. Petikan dari puisi tersebut berbunyi:
lelaki perempuan muda di taman kesenian
celana cutbray dan rambut sepundak
di buku dan ransel romantika berjejalan
yang tak terduga terjadi di mana saja,
juga menyapa warung tegal,”nasi separo, Bune,
oseng kangkung pake tahu-tempe..”
pemiliknya tetangga beda desa seperti saudara
dialek medok selingi obrolan dan tawa ngakak
Saya tertawa ngakak membaca sajak di atas. Apa sebab? Saya jadi ingat bagaimana KJ bengong dan bahkan terbata-bata membaca namanya sendiri ketika ditulis dalam huruf Cina oleh seorang penulis kaligrafi Cina teman baik Remy Sylado di rumah pemusik yang juga orang Cina tapi cinta budaya Sunda, Tan De Sheng namanya. Ini tidak bermaksud mempersoalkan Cina dan bukan Cina, akan tetapi lebih mengarah kepada bagaimana sikap KJ menerima budaya Jawa sebagai sikap hidup, dan secara perlahan-lahan ia hanya samar saja menerima budaya Cina yang diwariskan oleh para leluhurnya. Dan KJ tampak enjoy dengan semua itu. Terbukti, ia diterima banyak pihak dalam bergaul, baik sebagai penyair, maupun sebagai manusia biasa dengan segala kenakalannya.
Itulah KJ. Remy Sylado saat itu bilang, dalam menulis puisi, khususnya Puisi Mbeling, KJ memang punya ciri khas, dan sebagai penyair dalam pengertian yang luas juga punya ciri khas, pun demikian dalam pergaulan. Paling tidak, demikianlah kado kecil ini dituliskan, dan ini bukan kata Ini adalah semacam kata pembuka untuk memasuki dunia KJ lewat pandangan teman-teman KJ, yang menulis puisi untuk KJ dalam buku ini.
Selamat ulang tahun Mas KJ.***
Selamat ulang tahun Mas KJ.***
Rumah Baca Ilalang
24 September 2014
(Dimuat dalam buku SANG PENEROKA, Antologi Puisi 106 Penyair Indonesia dan Ulasan Terhadap Karya-Karya Kurniawan Junaedhie, Kurator : DR. Esti Ismawati, Tebal: 487 + xvi. ISBN: 0856-430392-49)
(Dimuat dalam buku SANG PENEROKA, Antologi Puisi 106 Penyair Indonesia dan Ulasan Terhadap Karya-Karya Kurniawan Junaedhie, Kurator : DR. Esti Ismawati, Tebal: 487 + xvi. ISBN: 0856-430392-49)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar