11 Juli 2009

Handrawan Nadesul:
Membaca Perjalanan Sajak-sajak Jun*)

Membaca sajak-sajak Jun sampai sekarang, seperti membaca kembali saat hari pertama kali ketemu Jun di Purwokerto lebih tigapuluh tahun lalu. Saya kira mulut Jun tidak lebih lincah dari pikiran-pikiran yang mengalir dalam sajaknya. Saya sudah melihat sajak-sajak Jun waktu itu bukan sajak biasa.

Lebih tigapuluh tahun kemudian, sore 10 Juli 2009 ini nyatanya saya tidak ingin berhenti membaca seluruh sajak produksi sampai tahun 2009 yang ia email dalam format Pdf. Tak kurang dari dua jam suntuk saya membaca semuanya, dengan beberapa kali ada yang perlu saya mengulang membacanya.

Membaca kembali sajak-sajak itu saya seperti sedang membaca kembali masa lalu milik banyak siapa, dan saya ikut meleleh begitu saja bersamanya. Enak juga rasanya melayang-layang bersamanya di sana, ketika sekarang hidup di luar habitat penyair saya sendiri makin merasa asing.

Jun memang istimewa. Masih seperti dulu, ia centil dalam pikiran, nakal dan liar imajinasinya, sajaknya mengalir sangat lentur dan encer, lalu mengena di hati. Kata orang, sajak tak perlu dimengerti, tapi dinikmati. Saya sudah menikmatinya.

Sajak Jun lahir dari momen pilihan yang ranum, yang dipungutnya dari mana-mana. Mungkin hanya cipratan kenangan, tidak dari awang-awang, bukan pula harus yang berbunga-bunga. Sajak-sajaknya sosok yang sederhana tapi buat saya sungguh menyentuh sekali.

Lebih dari itu, Jun jujur sekali. Tema-tema sajaknya milik siapa saja. Tapi bagaimana pikiran, perasaan, dan sikap Jun yang saya duga apa adanya terhadap tema yang dipungutnya bisa dari mana saja, dan entah kapan saja itulah yang menjadikannya bukan sajak biasa.

Imajinya kaya. Nuansa yang dibangunnya terstruktur mengantar kita menyelami ketajamannya membuahkan pikiran-pikiran, kedalamannya beremosi, dan keteguhannya bersikap. Sajak yang senantiasa terasa memberi gelegak, dan kita terpagut olehnya justru karena dituang seadanya, dengan jujur sekali.

Sekali lagi kekuatan saja-sajak Jun kesederhanaan menuangkan kecerdasannya berpikir tentang tema yang diusungnya. Jun saya kira penyair yang cerdas. Kecerdasan dalam menyair penting kalau sajak masih mau dibaca orang. Dan pada Jun amat ditunjang oleh pengalaman emosi, penggalan kenangan, dan nostalgia yang seakan tak pernah selesai. Ihwal kerinduan, rasa sepi, rasa cinta, sesal, dan kecewa menjadi kendaraan pilihan dari mana Jun, atau siapa pun penyairnya, memberangkatkan semua catatan hati dan pikirannya. Jun tidak salah arah dan benar pula cara menempuhnya.

Saya kira Jun masih seorang penyair. Roh sajak-sajaknya kental dan pekat. Sekali lagi perlu dibilang, kekuatan sajak-sajak Jun dalam hal membuahkan pikiran-pikiran yang dengan keinsafan penuh tidak mau terjebak menjadi emosional, namun longgar dan bersahaja saja.

Kalau ada kekurangan Jun dan sajak-sajaknya yang perlu diungkap, Jun sudah membuat saya cemburu. Cemburu karena Jun jeli dan cerdik membuat yang sederhana menjadi akbar. Sekurang-kurangnya pada perasaan hati saya sendiri. Proficiat Jun, dan terima salam tabik dari saya, masih Hans yang dulu.


Jakarta Juli 2009
Handrawan Nadesul

*) Komentar untuk buku kumpulan puisi Cinta Seekor Singa, 35 Tahun KJ Menyair

Tidak ada komentar:

Posting Komentar