MENGAPA PUISI HAIKU PANTAS DIKAGUMI?
Kurniawan Junaedhie menggagas Newhaiku. Saya suka, baru pada taraf menyimak, dan terus terang belum mampu membuatnya. Merasa belum mampu, karena saya duga pada hakikatnya membuat haikuitu tidaklah mudah, sangat tidak mudah, seperti Jun di awal-awal mengungkapkannya.
Oleh karena berbeda dengan puisi, tempat kita mencurahkan rasio dan emosi sekaligus, pada haiku, kalau saya tidak keliru menangkap, lebih pada keprigelan menata emosi yang ingin tercurah.
Bagaimana terampil kita hanya dengan frame yang kecil sempit dan terbatas, dengan cara yang tertentu pula, kita diminta mampu menuangkan spektrum emosi menjadi satu kesatuan cahaya yang indah. Tentu emosi yang bukan sembarang emosi. Hanya spektrum emosi yang bernas, yang dalam beberapa suku kata sanggup membangun sebuah kesatuan ungkapan hati.
Sepintas kita melihatnya sederhana, dan mudah. Namun setelah saya coba hayati, kenyataannya kita berhadapan dengan sesuatu yang ternyata sangatlah tidak mudah.
Untuk mulai menulis haiku, saya masih khawatir terjebak dengan yang kelihatannya sederhana, seolah gampang, sehingga nantinya hanya melahirkan sekadar wujudnya haiku belaka. Kalau saja kita melakukannya secara amat spontan, seakan sekadar memenggal-menggal kalimat, lalu menyusunnya dalam wadah bersosok haiku semata.
Kalau menulis haiku hanya sespontan itu, dan sambil lalu belaka, kita wajib khawatir, yang akan lahir sekadar sosoknya saja haiku, tanpa menghadirkan ruhnya. Dugaan saya. Sosok yang sebagai lompatan pikiran (flight of idea) belaka, sebagai potongan dan penggalan kalimat yang disambung-sambung belaka. Bukankah sejatinya haiku tidak seperti itu kan, Jun?
Sekiranya masih hendak mengacu pada konsep bahwa hakikat haiku itu bongkahan-bongkahan rasa, seyogianya ia dibangun dari percikan-percikan rasa yang saling berkelindan, dan untuk itu butuh perenungan yang dalam, dan perlu waktu tidak sebentar.
Hanya mereka yang sudah terlatih intens menyelami, dalam sekelebat bisa muncul, lalu berhasil menangkapnya. Saya hapal betul, Jun punya bakat terampil dan jeli menangkap apa-apa yang berkelebat itu. Namun tidak bagi yang pemula seperti saya.
Bagaimana melatih diri menangkap percikan dengan warna-warni spektrum rasa yang berbeda-beda, pada suatu moment, untuk membentuk seberkas cahaya yang indah, itulah saya kira kiatnya.
Bukan hanya jalinan satu dua warna rasa, dan melahirkan seberkas hanya satu warna, saya kira. Haiku yang indah lahir dari beraneka ragam spektrum warna rasa untuk menyusun seberkas cahaya perasaan yang kemilau.
Untuk itulah butuh kemampuan menangkap segala lompatan rasa, dan bukan lompatan pikiran.
Mudah-mudahan saya tidak keliru menafsirkan. ***
Handrawan Nadesul adalah sastrawan dan lama mengabdi sebagai dokter. Tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar