08 Agustus 2016

DI ATAS LOKOMOTIF BERSAMA MAO DAN SOEKARNO

Masinis itu membaca Mao dan aku membaca Soekarno. Di loko itu, kami berhadap-hadapan seperti jurang. Di jendela, tiang-tiang listrik melesat seperti air ludah. Kereta terus melolong-lolong dan membelah-belah kabut dan memotong-motong bayangan senja yang mulai jingga. Sesekali kereta berguncang. Gerbong beradu gerbong. Dan kacamataku goyang.

Masinis itu membiarkan rambutnya berkibar-kibar bersama angin senja yang jingga itu. Dia membuka bukunya. Huruf-huruf dalam buku itu pun serta merta berserakan di udara. Kata-katanya tergulung di bawah bordes, dan tergelincir dalam pusingan angin dekat ketel; lalu tersapu mendung. Ke mana kereta api ini bergegas?

Kita sedang menunju Negeri Entah Berantah, teriak api dari tungku loko dengan mata berkilat-kilat. Loko menjerit-jerit. Asapnya bergulingan tertinggal di dahan dan ranting. Kacamataku goyang, dan Soekarno-ku melompat ke cerobong uap. Masinis itu lenyap di baliknya. Senja pun semakin jingga.

Jakarta, 14 Desember 2011



(Dimuat dalam buku antologi pusi BANGGA AKU JADI RAKYAT INDONESIA, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar