Oleh: Kurniawan Junaedhie
Tak ada yang
menarik sebetulnya dari pria itu, kecuali dia seorang pianis terkenal. Tubuhnya
ceking, rambutnya kemerah-merahan, dan celananya selalu jeans kumal pula. Tapi
Leo adiknya sudah sejak lama menjadikan dia pemuda idolanya. Posternya
ditempelkan di dinding kamarnya. Setiap kali di televisi ada pagelaran piano,
Leo selalu mengenal Parlin, pianis itu. Tia sendiri sudah mengenal Parlin dari
majalah-majalah musik. Foto-foto dirinya memang banyak dimuat. Lengkap dengan
sederet prestasi-prestasinya. Pendeknya namanya Parlin sudah menjulang di
seantero tanah air. Dan itu juga dorongan yang menyebabkan Tia mau saja
ditugaskan pak Burhan, managing editor
majalah diaman dia bekerja, untuk mewancarai pianis itu. Tapi ketika Tia
mencoba menghubungkannya dulu lewat telpon ia mulai ogah-ogahan. Ada nada
kurangajar pada setiap ucapan-ucapan Parlin. Lebih-lebih lagi karena suaranya
tidak lebih dari seekor parkit yang sakit.
“Aku malas
menemuinya.....” kata Tia kepada pak Burhan.
“Kau bukan
datang untuk mengurus suarana yang payah itu. Dia tokh bukan penyanyi?
Hilangkan segala perasaan antipatimu, kalau diantara sekian juta penggemarnya
ada dua orang sepertimu. Seorang wartawan yang baik, tidak boleh memiliki
prasangka yang buruk terhadap relasinya. Oke? Lagipula, tugasmu hanya mengorek
keterangan ikhwalnya. Demi pembaca majalah kita. Seorang pianis terkenal
lulusan Italia.....yang lagi mengorbit namanya!” kata pak Burhan tersenyum
simpul.
Rumahnya
cukup mewah. Sesuai dengan namanya yang besar. Tia sudah membayangkan, sekian
puluh orang yang tinnggal di dalamnya. Ternyata keliru. Ketika ia mendatanginya
sesuai dengan janji yang disepakati, pianis itu sendiri yang membukakan pintu.
Rupanya dia sudah menunggu dengan tekun. Melihat caranya menyambut dan
ketekunannya menunggu, dia tidak menunjukkan seorang yang terkenal. Ia tidak
lebih mirip seorang artis yang kepingin terkenal lewat tulisan seorang wartawan.
Dan belum saja Tia duduk, dia sudah berteriak:
“Kuambilkan
minum dulu ya?” Benar-benar tidak profesional. Pantasnya, dia memiliki tiga bodyguard di rumah ini, dan sekian
sekretarisnya yang melayani kebutuhannya di rumah ini. tapi ini?
Busyet. Dia
juga yang menghidangkan minumannya.
“Bagaimana
mungkin Anda bisa melakukan banyak kegiatan tanpa bantuan seorang pun?” tanya
Tia.
“Suasah
menemukan orang yang cocok,” katanya menggelikan.
Dan ketika
wawancara akan dimulai, belum-belum Tia harus bertengkar dulu dengan pianis
lulusan Italia itu. Entah sengaja atau tidak, berkali-kali ia memanggil Tia
dengan sebutan nyonya. Sampai-sampai Tia tak tahan untuk tidak menegurnya, dan
menyodorkan kartu nama dengan dingin.
“Itu namaku.”
Hampir saja
dia mau menyebutkan nama seperti dalam kartunama itu kalau tidak Tia
mencegahnya dengan halus.
“Saya kira,
kita bisa memulai percakapan ini tanpa menyebut panggilan apa pun.”
Tak ada satu
jam, wawancara itu selesai. Tak ada hal baru dari keterangannya. Semua sudah
pernah dimuat di mass media. Kalau tahu begini mendingan tak usah bertemu.
Konfirmasi lewat telpon pun bisa, geram Tia dalam hati.
Pianis itu,
Parlin, mengantarkannya sampai halaman.
“Sayang kau
tergesa-gesa. Kalau tidak aku akan memainkan satu konserku yang baru,” katanya
dengan wajah murung. “Tapi kuharap lain kali, kalau ada waktu luang, kau sekali
lagi mampir ke sini,” katanya optimis.
“Mudah-mudahan
ada waktu,” pendek jawab Tia.
Esok paginya,
betapa terkejutnya Tia ketika Parlin menelponnya. Dia mengundangnya nonton
pertunjukannya.
“Undangan
resmi atau?” tanya Tia.
“Resmi.”
“Saya rasa
rekan saya akan datang untuk itu.”
“Tapi aku
ingin kau yang datang.”
“Sayang
seribu sayang. Musik bukan bisdang saya. Ada rekan yang lebih kapabel untuk
tugas mengkaver pertunjukanmu,” kata Tia habis sabar.
“Tapi.....”
“Begini saja,
Parlin. Bukankah yang lebih penting ada seorang wartawan yang datang daripada
tidak, untuk mengkaver pertunjukanmu dan dimuatkan di mass medianya?”
Parlin tampak
sangat kecewa. Tapi dia juga bukan main-main. Jangankan Parlin, pemusik dari
luar negeri yang sudah bertaraf internasional pun tak pernah ditontonnya.
Apalagi Parlin. Apalagi seorang Parlin, pianis lulusan Italia itu yang sejak
pertemuan pertama sudah membuatnya muak.
Waktu Tia
pulang dari kantor, berjalan kaki seperti biasa untuk mencapai halte pertama,
sebelum naik bus pulang ke rumahnya, nyaris sebuah mobil menubruknya dari
belakang.
“Ada apa
membuntutiku?” katanya dengan berang. Tapi dia tak bisa menolak untuk ikut
dalam mobil Parlin.
“Jangan menduga
aku membuntutimu, Tia. Aku baru saja dari toko musik membeli saxophone ini.
ingin belajar meniupnya. Itu kantormu?”
“Stop di sini
saja,” kata Tia.
“Aku bisa
mengantarkanmu.”
“Kau tadi
berjanji hanya sampai halte, itu sebabnya aku mau naik ke mobilmu,” sungut Tia.
“Barusan aku
berubah pikiran,” masih tenang-tenang saja jawabnya. Dasar setan!
“Nah, aku
cukup berguna untuk mengantarkanmu kan?”
Rasa-rasanya
tak pernah Tia dongkol seperti ini. dia betul-betul pandai bersilat lidah.
‘Rumah itu
dijaga polisi. Dan tak seorang pun diperbolehkan masuk, tanpa appointment sebelumnya. Apalagi kau,
gondrong pula....!”
“Bahkan
Menteri pun aku tak takut.”
“Turunkan
saja aku di sini. Atau aku akan berteriak supaya polisi itu menangkapmu!” ancam
Tia menahan tangis.
“Dan seorang
pianis akan ditangkap polisi karena melarikan wartawati, begitu? Bagus juga
untuk bahan publikasi ya? Bagaimana menurutmu?”
Akhirnya Tia
menyerah juga. Dibiarkannya pemuda itu mengantar sampai rumahnya. Dan
sesampainya di rumah, Tia langsung masuk kamar dan membiarkan dia ditemui Leo
yang bukan main senangnya. Dan yang lebih menyebalkan, sejak itu Parlin lengket
dengan Leo. Kemana pun Parlin pergi, Leo diajaknya. Dan sialnya, Leo mau saja.
Dan kalau pulang, dengan bangga diceritakannya kemana saja ia pergi , dan siapa
saja pemusik-pemusik terkenal yang ditemuinya.
“Bangga ya
bisa bepergian dengan orang terkenal?” sindir tia kepada adikknya.
“Bangga juga.
Rasa-rasanya seperti mimpi. Dia tidak lagi hadir dalam poster-posterku tapi
sebaliknya.....”
“Kau kampungan!”
ejek Tia.
“Biarklah.”
“Kalau aku
jadi kau, aku muak.”
“Muak? Kalau
begitu benar kata kak Parlin. Katanya, kau muak terhadapnya,” kata Leo.
Tia
mengerutkan alisnya. Tapi apakah dia pernah mengatakannya begitu to the point kepada Parlin? Rasa-rasanya
tidak. Hampir Tia membantahnya, bahwa dia tidak pernah mengatakan muak kepada
Parlin, tapi secepat kilat dia mencegahnya.
“Memang benar
aku muak! Muak sekali,” kata Tia dengan gemas. “Dia bilang apa lagi tentang
aku?”
“Kau gadis
yang aneh. Melihatnya seperti melihat hantu.”
Kalau tidak
terlanjur memasang muka bengis, ingin Tia tertawa.
“Apa lagi?”
“Dia lebih
banyak bertanya tentang engkau. Misalnya, apakah kau sudah punya pacar, apakah
kau menyukai musik, apakah kau anak yang manja, apakah kau.....”
“Kau jawab
semua pertanyaannya?”
“Ya.”
‘Dasar tolol.
Mestinya kau usah menjawab pertanyaan-pertanyaanya.”
“Tapi
katanya, kau juga banyak bertanya tentang dia!” berkata Leo dengan mimik
bodohnya. “”Tentu saja ketika aku mewawancarainya. Tapi tak ada kaitannya
dengan urusanku,” geram Tia. “Aku tokh mempertanyakan apa yang ditanyakan
pembaca majalahku? Pkoknya, lain kali kau tidak usah ikut kalau dia mengajakmu
lagi. Kularang. Mengerti?”
“Sejak kapan
kau berkuasa atas diriku?”
Mau saja dia
menjambak ranbut Leo kalau dia tak keburu menghindar. Dia sudah kena guna-guna!
Gerutunya menahan kesal.
Leo memang
tak seluruhnya salah. Yang salah, justru Parlin yang selalu mengunjunginya.
Masa’ harus melarang seorang tamu yang berparas baik-baik ke rumah? Pernah, Tia
sudah tidak tahan untuk tidak melarangnya. Tapi pagi-pagi, Parlin sudah
mengatakan “Aku datang bukan untukmu kalau kau sibuk. Aku ada urusan dengan
Leo. Dia kemarin pesan kaset ini.” Atau “Leo ada?” kalau kebetulan Tia yang
membukakan pintu. Seolah-olah dia memang sengaja datang untuk Leo, meski pun
naga-naganya untuk menarik perhatian Tia bukannya tak tampak. Karena itu setiap
dia datang, meski tak ada acara, Tia segera masuk kamar dan bergegas-gegas
pergi. Kalau Parlin bangkit dari tempat duduknya berusaha mencegahnya atau
menanyakan kemana dia pergi. Tia menjawab dengan dingin!
“Sudah ada
Leo. Aku ada acara!”
+++++
PADA suatu
hari Leo pulang sambil membawa dua lembar tiket. Tiket apalagi kalau bukan
tiket pertunjukkan Parlin.
“Ini untuk
kita berdua,” kata Leo.
Tia
memandangnya denga sinis sambil berkecak pinggang.
“Kau senang
ya dapat tiket gratis? Seratus lembar tiket pun aku sangguo membayarmu, asal
tidak dapat tiket gratis itu!” ancam Tia dengan sengit.
“Membakar!
Gila. Dijual dengan harga lipat sepuluh dari harga resminya pun bisa laku. Ini
pertunjukkan Parlin terakhir di Indonesia tahu? Karcisnya sudah tak dijual
sejak dua minggu lalu, saking larisnya,” kata Leo.
“Terakhir kalinya?” gumam Tia.
“Dia akan
pergi ke London untuk memperdalam bidangnya di sana. Dia dapa bea siswa untuk
itu dari Kedubes Inggris di Jakarta yang mengagumi bakat-bakatnya.”
“Tapi tidak.
Kau tidak boleh menontonnya. Atau kau akan menulis surat ke rumah bahwa kau
bergaul dengan pemuda ugal-ugalan. Biar kau dipanggil pulang. Aku sudah tak
sanggup lagi mengendalikanmu lagi,” geram Tia.
“Sudah
kukatakan, dia bukan pemuda ugal-ugalan. Dia pemuda baik. Piagam, ijazah dan
pila-pialanya ulihat semua.” kata Leo hampir putus asa. “Dia juga bukan pemuda
brengsek seperti yang kau kira. Dia tidak suka main perempuan, seperti
orang-orang terkenal lainnya. Aku tahu semua. Karena aku sudah melihat
kehidupannya selama beberapa bulan ini.”
+++++
PAK Burhan
sudah menagih artikel tentang Parlin, karena berita bahwa pianis itu akan
mengadakan pertunjukan terakhirnya juga sudah didengarnya. Ia menganggap berita
tentang Parlin pasti sudah ditunggu pembaca majalahnya.
“Kau saja
yang menulisnya, Ida,” kata Tia kepada teman sekerjanya.
“Aduh. Aku
ada kerjaan, Tia. Lagipula ada apa sih?”
Tia
menyerahkan sebuah kaset hasil wawancaranya, beberapa klipping dan sejumlah
foto. Ida mengambil fotonya.
“Pianis
lulusan Italian itu, hm? Cakep ya? Sayang, dia harus pergi ke London. Baru
tahun 2000, negara kita memiliki pianis berbakat seperti dia,” kata Ida. “Coba,
serahkan ke Lukman. Dia lagi tak ada pekerjaan. Tiga kali ketemu orang, gagal
semua. Pasti mau.”
Baru mau
melangkah ke meja Lukman, terdengar suara riuh rendah di ruang pak Burhan. Pak
Burhan sedang menyalami seorang pemuda. Parlin. Dan tak berselang lama, benar
juga:
“Tia, ada
tamu untukmu!” suara pak Burhan.
“Terus terang
saja, aku sangat sibuk. Kau mau apa sebenarnya, Parlin? Urusan kita sudah
selesai bukan? Aku sudah mewawancaraimu sebagai jurnalis. Kau tinggal menunggu
hasilnya dimuat dalam majalahku,” kata Tia dengan masgul.
“Kau harus
melupakan tugasmu. Aku datang bukan untuk itu.” Kata Parlin dengan tenang.
“Leo?” tanya
Tia mengejeknya. “Leo tidak bekerja di sini. Leo ada di sekolahnya.”
‘Tia aku
bersungguh-sungguh.”
“Lain waktu,
aku sangat sibuk. Kau sudah tahu sendiri beginilah kantorku. Selalu ramai,”
kata Tia berdiri. “Cukup?”
Parlin
menatapnya dengan senyum-senyum.
“Ini kantor.
Bukan bar atau klab malam. Tidak ada seorang pun boleh bengong di sini. Atau
mau nampang? Kau salah masuk, Parlin. Teman-temanku di sini tak akan ada yang
memburu-buru, meinta tandatangan,” ujar Tia dengan sengit.
“Aku mau
membantumu bekerja!” kata Parlin dengan cepat.
Rasa-rasanya
sebuah gunung tertinggi di dunia pun tidak cukup menandingi rasa dongkol yang
menyumpal di tenggorokan Tia. Tapi sesekali pianis terkenal lulusan Italian ini
memang perlu diberi pelajaran.
“Baik,” kata
Tia. Diambilnya setumpuk koran bekas, dan sebuah gunting. “Gunting
bagian-bagian yang diberi kode ini. lalu setelah selesai, kau boleh menempelkan
ke atas kertas ini. beres tidaknya pekerjaanmu tergantung nilai seni yang kau
miliki sebagai seorang pianis tersohor lulusan Italia. Nah, jelas? Aku akan
pergi mengetik!”
Tak tega juga
sebenarnya, tapi Tia sudah terlanjur ingin memberi pelajaran. Dengan gagap,
Parlin menanyakan di mana harus digunting, dan ini pekerjaan untuk apa?
Terpaksa Tia menerangkannya dulu.
“Kupikir
sudah jelas keteranganku. Aku mau kerja. Jangan ganggu lagi.....”
“Tapi.....”
“Apalagi?”
sahut Tia.
“Tidak.
Tidak. Silakan bekerja.”
Tia keluar
dari ruangan. Tapi semenit kemudian dia sudah muncul lagi.
“Kau seperti
orang tidak punya pekerjaan, Parlin.” Kata Tia di pintu sambil mendekapkan
kedua tangannya.
“Apakah ini
namanya bukan pekerjaan?” tanyanya tak mau kalah, padahal keringatnya sudah
menetes satu-satu pertanda dia sudah sangat kerepotan. “Katamu, kau mau
bekerja. Sana. Biarlah aku kerja dengan tenang.” Sialan.
“kau yang
senang. Tapi orang lain.....”
Sampai jam
kantor selesai, Parlin melakukan tugasnya dengan baik. Dasar sinting, gerutu
Tia. Padahal, Tia sendiri pun malahan tidak berhasil menyelesaikan sebuah
artikel pun, karena sebetar-sebentar menengok Parlin.
Dan akhirnya
Tia pun tak dapat menolak ajakan Parlin untuk diantar pulang ke rumah.
“Kau tidak
pernah bohong,” jawab Tia dengan dingin.
“kenapa?”
“Aku sangat
sibuk.”
“Kalau
aku.....kalau aku melamarmu juga kau akan bilang sibuk?
Hampir
berdiri Tia dari joknya mendengar kata-kata itu. Melamar?
“Kukirankau
sudah mabuk,” katanya dingin.
“Tidak. Aku
tidak mabuk,” kata Parlin. “Seharusnya aku mengatakannya di rumah. Secara
baik-baik, dari hati ke hati. Tapi kau sangat sibuk. Di kantor, juga kau sangat
sibuk. Jadi di atas mobil ini kukatakan padamu. Kukira di atas mobi ini kau tak
sibuk bukan? Bagaimana?” tanya Parlin. “Aku sudah mengatakannya pada Leo. Dan
Leo juga sudah menulis surat untuk orangtua kalian, sesudah aku menulis sendiri
sepucuk surat untuk orangtuamu. Dan jawabannya dari beliau sudah kuterima.”
Dari dalam
tasnya, Parlin mengeluarkan sepucuk surat yang dari tulisan di sampulnya Tia
sudah hapal. Tulisan ayahnya. Surat itu ditunjukkan bukan dirinya atau Leo,
melainkan untuk Parlin.
“Apa yang
dituliskannya?” tanya Tia dengan gugup.
“Bcalah
sendiri.”
Tia membaca
surat itu”
Parlin,
Kami
tak berkeberatan menerima pinanganmu. Jauh-jauh hari sebelum nak Parlin menulis
surat, Leo sudah banyak menceritakan tentang engkau. Khususnya hubunganmu
dengan Tia. Juga guntingan-guntingan koran yang dilampirkan dalam surat Leo,
sudah pula kami membacanya. Rasa-rasanya nama nak Parlin, sudah bukan asing
lagi bagi kami.
Mengenai
orangtua yang akan datang secara resmi dari keluarga nak Parlin untuk melamar
Tia, sebetulnya kami ingin terlebih dahulu mendengar keterangan dari Tia.
Sepucuk surat pun tak pernah dilayangkan kepada kami. Leo hanya mengatakan, dia
sangat sibuk dengan pekerjaannya. Leo tak berhasil membujuknya. Kami memang
tahu, pekerjaan seorang wartawati memang sangat sibuk. Tapi kami kira, nak
Parlin bisa membujuknya. Biarlah dia menulis surat, dan kami mendengar
keterangan yang menggembirakan ini dari mulutnya.
“Kau jahat!”
kata Tia meninju-ninju dada Parlin. Tangisnya ledak tak tertahankan lagi. “Aku
akan menuliskan surat susulan, bahwa.....”
“Belum
terlambat sebenarnya. Kalau kau ingin menulis surat susulan itu, kau bisa ke
kantor pos sekarang.”
Dan Parlin
membelokkan kemudinya ke arah kantor pos.
“Apakah kau
tak tahu bahwa aku bisa menuliskan ikhwalmu yang buruk ini?” kata Tia dengan
menangis.
“Ah, itu
urusanmu. Urusan kita sudah selesai bukan?” goda Parlin.
+++++`
Dimuat di majalah kumpulan cerpen Pesona, 1982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar