11 September 2012

CINTA SANG PIANIS

Oleh: Kurniawan Junaedhie

Tak ada yang menarik sebetulnya dari pria itu, kecuali dia seorang pianis terkenal. Tubuhnya ceking, rambutnya kemerah-merahan, dan celananya selalu jeans kumal pula. Tapi Leo adiknya sudah sejak lama menjadikan dia pemuda idolanya. Posternya ditempelkan di dinding kamarnya. Setiap kali di televisi ada pagelaran piano, Leo selalu mengenal Parlin, pianis itu. Tia sendiri sudah mengenal Parlin dari majalah-majalah musik. Foto-foto dirinya memang banyak dimuat. Lengkap dengan sederet prestasi-prestasinya. Pendeknya namanya Parlin sudah menjulang di seantero tanah air. Dan itu juga dorongan yang menyebabkan Tia mau saja ditugaskan pak Burhan, managing editor majalah diaman dia bekerja, untuk mewancarai pianis itu. Tapi ketika Tia mencoba menghubungkannya dulu lewat telpon ia mulai ogah-ogahan. Ada nada kurangajar pada setiap ucapan-ucapan Parlin. Lebih-lebih lagi karena suaranya tidak lebih dari seekor parkit yang sakit.
“Aku malas menemuinya.....” kata Tia kepada pak Burhan.
“Kau bukan datang untuk mengurus suarana yang payah itu. Dia tokh bukan penyanyi? Hilangkan segala perasaan antipatimu, kalau diantara sekian juta penggemarnya ada dua orang sepertimu. Seorang wartawan yang baik, tidak boleh memiliki prasangka yang buruk terhadap relasinya. Oke? Lagipula, tugasmu hanya mengorek keterangan ikhwalnya. Demi pembaca majalah kita. Seorang pianis terkenal lulusan Italia.....yang lagi mengorbit namanya!” kata pak Burhan tersenyum simpul.
Rumahnya cukup mewah. Sesuai dengan namanya yang besar. Tia sudah membayangkan, sekian puluh orang yang tinnggal di dalamnya. Ternyata keliru. Ketika ia mendatanginya sesuai dengan janji yang disepakati, pianis itu sendiri yang membukakan pintu. Rupanya dia sudah menunggu dengan tekun. Melihat caranya menyambut dan ketekunannya menunggu, dia tidak menunjukkan seorang yang terkenal. Ia tidak lebih mirip seorang artis yang kepingin terkenal lewat tulisan seorang wartawan. Dan belum saja Tia duduk, dia sudah berteriak:
“Kuambilkan minum dulu ya?” Benar-benar tidak profesional. Pantasnya, dia memiliki tiga bodyguard di rumah ini, dan sekian sekretarisnya yang melayani kebutuhannya di rumah ini. tapi ini?
Busyet. Dia juga yang menghidangkan minumannya.
“Bagaimana mungkin Anda bisa melakukan banyak kegiatan tanpa bantuan seorang pun?” tanya Tia.
“Suasah menemukan orang yang cocok,” katanya menggelikan.
Dan ketika wawancara akan dimulai, belum-belum Tia harus bertengkar dulu dengan pianis lulusan Italia itu. Entah sengaja atau tidak, berkali-kali ia memanggil Tia dengan sebutan nyonya. Sampai-sampai Tia tak tahan untuk tidak menegurnya, dan menyodorkan kartu nama dengan dingin.
“Itu namaku.”
Hampir saja dia mau menyebutkan nama seperti dalam kartunama itu kalau tidak Tia mencegahnya dengan halus.
“Saya kira, kita bisa memulai percakapan ini tanpa menyebut panggilan apa pun.”
Tak ada satu jam, wawancara itu selesai. Tak ada hal baru dari keterangannya. Semua sudah pernah dimuat di mass media. Kalau tahu begini mendingan tak usah bertemu. Konfirmasi lewat telpon pun bisa, geram Tia dalam hati.
Pianis itu, Parlin, mengantarkannya sampai halaman.
“Sayang kau tergesa-gesa. Kalau tidak aku akan memainkan satu konserku yang baru,” katanya dengan wajah murung. “Tapi kuharap lain kali, kalau ada waktu luang, kau sekali lagi mampir ke sini,” katanya optimis.
“Mudah-mudahan ada waktu,” pendek jawab Tia.
Esok paginya, betapa terkejutnya Tia ketika Parlin menelponnya. Dia mengundangnya nonton pertunjukannya.
“Undangan resmi atau?” tanya Tia.
“Resmi.”
“Saya rasa rekan saya akan datang untuk itu.”
“Tapi aku ingin kau yang datang.”
“Sayang seribu sayang. Musik bukan bisdang saya. Ada rekan yang lebih kapabel untuk tugas mengkaver pertunjukanmu,” kata Tia habis sabar.
“Tapi.....”
“Begini saja, Parlin. Bukankah yang lebih penting ada seorang wartawan yang datang daripada tidak, untuk mengkaver pertunjukanmu dan dimuatkan di mass medianya?”
Parlin tampak sangat kecewa. Tapi dia juga bukan main-main. Jangankan Parlin, pemusik dari luar negeri yang sudah bertaraf internasional pun tak pernah ditontonnya. Apalagi Parlin. Apalagi seorang Parlin, pianis lulusan Italia itu yang sejak pertemuan pertama sudah membuatnya muak.
Waktu Tia pulang dari kantor, berjalan kaki seperti biasa untuk mencapai halte pertama, sebelum naik bus pulang ke rumahnya, nyaris sebuah mobil menubruknya dari belakang.
“Ada apa membuntutiku?” katanya dengan berang. Tapi dia tak bisa menolak untuk ikut dalam mobil Parlin.
“Jangan menduga aku membuntutimu, Tia. Aku baru saja dari toko musik membeli saxophone ini. ingin belajar meniupnya. Itu kantormu?”
“Stop di sini saja,” kata Tia.
“Aku bisa mengantarkanmu.”
“Kau tadi berjanji hanya sampai halte, itu sebabnya aku mau naik ke mobilmu,” sungut Tia.
“Barusan aku berubah pikiran,” masih tenang-tenang saja jawabnya. Dasar setan!
“Nah, aku cukup berguna untuk mengantarkanmu kan?”
Rasa-rasanya tak pernah Tia dongkol seperti ini. dia betul-betul pandai bersilat lidah.
‘Rumah itu dijaga polisi. Dan tak seorang pun diperbolehkan masuk, tanpa appointment sebelumnya. Apalagi kau, gondrong pula....!”
“Bahkan Menteri pun aku tak takut.”
“Turunkan saja aku di sini. Atau aku akan berteriak supaya polisi itu menangkapmu!” ancam Tia menahan tangis.
“Dan seorang pianis akan ditangkap polisi karena melarikan wartawati, begitu? Bagus juga untuk bahan publikasi ya? Bagaimana menurutmu?”
Akhirnya Tia menyerah juga. Dibiarkannya pemuda itu mengantar sampai rumahnya. Dan sesampainya di rumah, Tia langsung masuk kamar dan membiarkan dia ditemui Leo yang bukan main senangnya. Dan yang lebih menyebalkan, sejak itu Parlin lengket dengan Leo. Kemana pun Parlin pergi, Leo diajaknya. Dan sialnya, Leo mau saja. Dan kalau pulang, dengan bangga diceritakannya kemana saja ia pergi , dan siapa saja pemusik-pemusik terkenal yang ditemuinya.
“Bangga ya bisa bepergian dengan orang terkenal?” sindir tia kepada adikknya.
“Bangga juga. Rasa-rasanya seperti mimpi. Dia tidak lagi hadir dalam poster-posterku tapi sebaliknya.....”
“Kau kampungan!” ejek Tia.
“Biarklah.”
“Kalau aku jadi kau, aku muak.”
“Muak? Kalau begitu benar kata kak Parlin. Katanya, kau muak terhadapnya,” kata Leo.
Tia mengerutkan alisnya. Tapi apakah dia pernah mengatakannya begitu to the point kepada Parlin? Rasa-rasanya tidak. Hampir Tia membantahnya, bahwa dia tidak pernah mengatakan muak kepada Parlin, tapi secepat kilat dia mencegahnya.
“Memang benar aku muak! Muak sekali,” kata Tia dengan gemas. “Dia bilang apa lagi tentang aku?”
“Kau gadis yang aneh. Melihatnya seperti melihat hantu.”
Kalau tidak terlanjur memasang muka bengis, ingin Tia tertawa.
“Apa lagi?”
“Dia lebih banyak bertanya tentang engkau. Misalnya, apakah kau sudah punya pacar, apakah kau menyukai musik, apakah kau anak yang manja, apakah kau.....”
“Kau jawab semua pertanyaannya?”
“Ya.”
‘Dasar tolol. Mestinya kau usah menjawab pertanyaan-pertanyaanya.”
“Tapi katanya, kau juga banyak bertanya tentang dia!” berkata Leo dengan mimik bodohnya. “”Tentu saja ketika aku mewawancarainya. Tapi tak ada kaitannya dengan urusanku,” geram Tia. “Aku tokh mempertanyakan apa yang ditanyakan pembaca majalahku? Pkoknya, lain kali kau tidak usah ikut kalau dia mengajakmu lagi. Kularang. Mengerti?”
“Sejak kapan kau berkuasa atas diriku?”
Mau saja dia menjambak ranbut Leo kalau dia tak keburu menghindar. Dia sudah kena guna-guna! Gerutunya menahan kesal.
Leo memang tak seluruhnya salah. Yang salah, justru Parlin yang selalu mengunjunginya. Masa’ harus melarang seorang tamu yang berparas baik-baik ke rumah? Pernah, Tia sudah tidak tahan untuk tidak melarangnya. Tapi pagi-pagi, Parlin sudah mengatakan “Aku datang bukan untukmu kalau kau sibuk. Aku ada urusan dengan Leo. Dia kemarin pesan kaset ini.” Atau “Leo ada?” kalau kebetulan Tia yang membukakan pintu. Seolah-olah dia memang sengaja datang untuk Leo, meski pun naga-naganya untuk menarik perhatian Tia bukannya tak tampak. Karena itu setiap dia datang, meski tak ada acara, Tia segera masuk kamar dan bergegas-gegas pergi. Kalau Parlin bangkit dari tempat duduknya berusaha mencegahnya atau menanyakan kemana dia pergi. Tia menjawab dengan dingin!
“Sudah ada Leo. Aku ada acara!”
+++++
PADA suatu hari Leo pulang sambil membawa dua lembar tiket. Tiket apalagi kalau bukan tiket pertunjukkan Parlin.
“Ini untuk kita berdua,” kata Leo.
Tia memandangnya denga sinis sambil berkecak pinggang.
“Kau senang ya dapat tiket gratis? Seratus lembar tiket pun aku sangguo membayarmu, asal tidak dapat tiket gratis itu!” ancam Tia dengan sengit.
“Membakar! Gila. Dijual dengan harga lipat sepuluh dari harga resminya pun bisa laku. Ini pertunjukkan Parlin terakhir di Indonesia tahu? Karcisnya sudah tak dijual sejak dua minggu lalu, saking larisnya,” kata Leo.
 “Terakhir kalinya?” gumam Tia.
“Dia akan pergi ke London untuk memperdalam bidangnya di sana. Dia dapa bea siswa untuk itu dari Kedubes Inggris di Jakarta yang mengagumi bakat-bakatnya.”
“Tapi tidak. Kau tidak boleh menontonnya. Atau kau akan menulis surat ke rumah bahwa kau bergaul dengan pemuda ugal-ugalan. Biar kau dipanggil pulang. Aku sudah tak sanggup lagi mengendalikanmu lagi,” geram Tia.
“Sudah kukatakan, dia bukan pemuda ugal-ugalan. Dia pemuda baik. Piagam, ijazah dan pila-pialanya ulihat semua.” kata Leo hampir putus asa. “Dia juga bukan pemuda brengsek seperti yang kau kira. Dia tidak suka main perempuan, seperti orang-orang terkenal lainnya. Aku tahu semua. Karena aku sudah melihat kehidupannya selama beberapa bulan ini.”
+++++
PAK Burhan sudah menagih artikel tentang Parlin, karena berita bahwa pianis itu akan mengadakan pertunjukan terakhirnya juga sudah didengarnya. Ia menganggap berita tentang Parlin pasti sudah ditunggu pembaca majalahnya.
“Kau saja yang menulisnya, Ida,” kata Tia kepada teman sekerjanya.
“Aduh. Aku ada kerjaan, Tia. Lagipula ada apa sih?”
Tia menyerahkan sebuah kaset hasil wawancaranya, beberapa klipping dan sejumlah foto. Ida mengambil fotonya.
“Pianis lulusan Italian itu, hm? Cakep ya? Sayang, dia harus pergi ke London. Baru tahun 2000, negara kita memiliki pianis berbakat seperti dia,” kata Ida. “Coba, serahkan ke Lukman. Dia lagi tak ada pekerjaan. Tiga kali ketemu orang, gagal semua. Pasti mau.”
Baru mau melangkah ke meja Lukman, terdengar suara riuh rendah di ruang pak Burhan. Pak Burhan sedang menyalami seorang pemuda. Parlin. Dan tak berselang lama, benar juga:
“Tia, ada tamu untukmu!” suara pak Burhan.
“Terus terang saja, aku sangat sibuk. Kau mau apa sebenarnya, Parlin? Urusan kita sudah selesai bukan? Aku sudah mewawancaraimu sebagai jurnalis. Kau tinggal menunggu hasilnya dimuat dalam majalahku,” kata Tia dengan masgul.
“Kau harus melupakan tugasmu. Aku datang bukan untuk itu.” Kata Parlin dengan tenang.
“Leo?” tanya Tia mengejeknya. “Leo tidak bekerja di sini. Leo ada di sekolahnya.”
‘Tia aku bersungguh-sungguh.”
“Lain waktu, aku sangat sibuk. Kau sudah tahu sendiri beginilah kantorku. Selalu ramai,” kata Tia berdiri. “Cukup?”
Parlin menatapnya dengan senyum-senyum.
“Ini kantor. Bukan bar atau klab malam. Tidak ada seorang pun boleh bengong di sini. Atau mau nampang? Kau salah masuk, Parlin. Teman-temanku di sini tak akan ada yang memburu-buru, meinta tandatangan,” ujar Tia dengan sengit.
“Aku mau membantumu bekerja!” kata Parlin dengan cepat.
Rasa-rasanya sebuah gunung tertinggi di dunia pun tidak cukup menandingi rasa dongkol yang menyumpal di tenggorokan Tia. Tapi sesekali pianis terkenal lulusan Italian ini memang perlu diberi pelajaran.
“Baik,” kata Tia. Diambilnya setumpuk koran bekas, dan sebuah gunting. “Gunting bagian-bagian yang diberi kode ini. lalu setelah selesai, kau boleh menempelkan ke atas kertas ini. beres tidaknya pekerjaanmu tergantung nilai seni yang kau miliki sebagai seorang pianis tersohor lulusan Italia. Nah, jelas? Aku akan pergi mengetik!”
Tak tega juga sebenarnya, tapi Tia sudah terlanjur ingin memberi pelajaran. Dengan gagap, Parlin menanyakan di mana harus digunting, dan ini pekerjaan untuk apa? Terpaksa Tia menerangkannya dulu.
“Kupikir sudah jelas keteranganku. Aku mau kerja. Jangan ganggu lagi.....”
“Tapi.....”
“Apalagi?” sahut Tia.
“Tidak. Tidak. Silakan bekerja.”
Tia keluar dari ruangan. Tapi semenit kemudian dia sudah muncul lagi.
“Kau seperti orang tidak punya pekerjaan, Parlin.” Kata Tia di pintu sambil mendekapkan kedua tangannya.
“Apakah ini namanya bukan pekerjaan?” tanyanya tak mau kalah, padahal keringatnya sudah menetes satu-satu pertanda dia sudah sangat kerepotan. “Katamu, kau mau bekerja. Sana. Biarlah aku kerja dengan tenang.” Sialan.
“kau yang senang. Tapi orang lain.....”
Sampai jam kantor selesai, Parlin melakukan tugasnya dengan baik. Dasar sinting, gerutu Tia. Padahal, Tia sendiri pun malahan tidak berhasil menyelesaikan sebuah artikel pun, karena sebetar-sebentar menengok Parlin.
Dan akhirnya Tia pun tak dapat menolak ajakan Parlin untuk diantar pulang ke rumah.
“Kau tidak pernah bohong,” jawab Tia dengan dingin.
“kenapa?”
“Aku sangat sibuk.”
“Kalau aku.....kalau aku melamarmu juga kau akan bilang sibuk?
Hampir berdiri Tia dari joknya mendengar kata-kata itu. Melamar?
“Kukirankau sudah mabuk,” katanya dingin.
“Tidak. Aku tidak mabuk,” kata Parlin. “Seharusnya aku mengatakannya di rumah. Secara baik-baik, dari hati ke hati. Tapi kau sangat sibuk. Di kantor, juga kau sangat sibuk. Jadi di atas mobil ini kukatakan padamu. Kukira di atas mobi ini kau tak sibuk bukan? Bagaimana?” tanya Parlin. “Aku sudah mengatakannya pada Leo. Dan Leo juga sudah menulis surat untuk orangtua kalian, sesudah aku menulis sendiri sepucuk surat untuk orangtuamu. Dan jawabannya dari beliau sudah kuterima.”
Dari dalam tasnya, Parlin mengeluarkan sepucuk surat yang dari tulisan di sampulnya Tia sudah hapal. Tulisan ayahnya. Surat itu ditunjukkan bukan dirinya atau Leo, melainkan untuk Parlin.
“Apa yang dituliskannya?” tanya Tia dengan gugup.
“Bcalah sendiri.”
Tia membaca surat itu”
Parlin,
Kami tak berkeberatan menerima pinanganmu. Jauh-jauh hari sebelum nak Parlin menulis surat, Leo sudah banyak menceritakan tentang engkau. Khususnya hubunganmu dengan Tia. Juga guntingan-guntingan koran yang dilampirkan dalam surat Leo, sudah pula kami membacanya. Rasa-rasanya nama nak Parlin, sudah bukan asing lagi bagi kami.
Mengenai orangtua yang akan datang secara resmi dari keluarga nak Parlin untuk melamar Tia, sebetulnya kami ingin terlebih dahulu mendengar keterangan dari Tia. Sepucuk surat pun tak pernah dilayangkan kepada kami. Leo hanya mengatakan, dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Leo tak berhasil membujuknya. Kami memang tahu, pekerjaan seorang wartawati memang sangat sibuk. Tapi kami kira, nak Parlin bisa membujuknya. Biarlah dia menulis surat, dan kami mendengar keterangan yang menggembirakan ini dari mulutnya.
“Kau jahat!” kata Tia meninju-ninju dada Parlin. Tangisnya ledak tak tertahankan lagi. “Aku akan menuliskan surat susulan, bahwa.....”
“Belum terlambat sebenarnya. Kalau kau ingin menulis surat susulan itu, kau bisa ke kantor pos sekarang.”
Dan Parlin membelokkan kemudinya ke arah kantor pos.
“Apakah kau tak tahu bahwa aku bisa menuliskan ikhwalmu yang buruk ini?” kata Tia dengan menangis.
“Ah, itu urusanmu. Urusan kita sudah selesai bukan?” goda Parlin.

+++++`


Dimuat di majalah kumpulan cerpen Pesona, 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar