11 September 2012

CINTA BUAT IDA

Oleh: Kurniawan Junaedhie

“SAM!”
Aku menoleh.Aku belum saja sempat melepaskan buku yang kupegang, ketika Ida menggenggam tanganku erat-erat.
“Kau sombong sekarang,” katanya gencar.“Kau tak mau membalas suratku sama sekali. Kau…..” Aku mau menjawab.“Kau masih mengarang?”
Aku sudah menjawab. Tapi…..
Di mana alamatmu sekarang.Masih yang dulu?”
Aku tertawa.Berusaha menjawab. Tapi…..
“Kenapa waktu kau pindah kerja, tak kassih tahu aku, Sam?”
Aku melepaskan buku di raknya.Tangan Ida masih menggenggam tangan kiriku.Aku sudah mau mengucapkan kalimat. Tapi…..
“Sam…..aduh.Tak sangka bisa ketemu di sini.Sam,” kata Ida lagi.“Masih ingat Santi?Rudi?Luki?Semua menanyakanmu.Mereka kangen.Tapi kujawab, aku tak tahu dimana Mas Sam kalian.Bukanlah memang demikian?”
Aku mengawasi Ida dari rambut sampai ke ujung kakinya.
“Berapa tahun kita tidak jumpa sih?” tanyaku kesal.
Dia langsung mengangkat empat jarinnya.
“Empat tahun.Empat tahu, Sam.”
Dia juga melihatku dari kepala sampai ke sepatu.
“Kau makin ngetop ya?”
Aku menggeleng.Memang aku tidak ngetop.
“Sombong!Memangnya orang ngetop sombong-sombong ya?”
Au menggeleng lagi.
“Sam…..”
“Ida…..!” potongku. “Sedari tadi kau menanyaiku terus.Gentian aku Tanya dong!” pintaku.
Ida seperti tersadar.Ia membimbingku ke kursi di dekat cash register di took buku itu.
“Ayolah, kau mau Tanya apa padaku,”dia menantang.
Waktu itu aku melihat rambutnya.Rambutnya dipotong pendek, potongan modern, tidak seperti Ida yang kukenal empat tahun yang lalu, rambutnya panjang tergerai.
“Rambutmu….. kenapa kau potong?”
Ida paling senang mengutip kata-kata mutiara.
“Kau mau tahu jawabanku, Sam?” tanyanya.“Aku sekarang merindukan perubahan.Waktu kita masih sekolah dulu, kau barangkali hapal watakku.Aku paling takut pada perubahan.Sekali saja aku oleng dari jalanku, aku jatuh.Aku takut. Berhari-hari aku bisa susah tidur. Aku bisa menelan pil tidur atau decolgenatau apalah asal bisa tidur lelap.Ingat waktu ditinggal Tomi?Betapa kacaunya hidupku waktu itu.Hampir aku bunuh diri. Sampai akhirnya aku berkenalan denganmu kan? Kau memberiku dorongan-dorongan.Dan dengarlah Sam, orang yang paling tidak bahagia adalah orang yang takut pada perubahan!”
Aku masih bengong.Kukira, dia benar juga.Kukira, itu juga kata-kata mutiara.Aku yakin aku pasti pernah membacanya.
“Nah kau mau Tanya apa lagi?”
“Aku tidak akan banyak bertanya.Sudah senang bisa menatap wajahmu kembali,” kataku agak malu.Tentu saja, sudah empat tahun tak jumpa.
“Sam, waktu kita berpisah dulu, aku bergulat siang malam supaya aku bisa menyingkirkanmu dari hatiku.Kau tahu, betapa susahnya. Nyaris aku akan bunuh diri lagi. kehilangan kau dan kehilangan Tomi dulu. Ini merupakan dua musibah yang paling celaka yang pernah kutemui dalam hidup. Betul-betul….”
Aku lagi melamun.
“Mana suami dan anak-anakmu?” tanyaku melenceng jauh.
Ida mencoba tersenyum.Kukira, senyumnya tawar.
“Kau pasti mengira semenjak pisah denganmu aku kawin dengan Dono ya? Tidak Sam. Aku membencinya.Sampai mati pun aku tak sudi jadi isterinya.Kan aku sudah bilang padamu berulangkali dulu?Ingat tidak? Betapa….”
Aku meneruskan lamunanku.
“Ida,” sapaku tanpa menoleh ke arahnya.“Kau pasti sudah enak sekarang.Cita-citamu ingin menjadi seorang isteri novelis terkenal sudah tercapai. Ta tidak?”
“Hanya itulah yang kautanyakan sampai bermenit-menit bengong begitu, Sam?”Ida terkekeh-kekeh.Aku merasa kembali ke masa empat tahun yang lalu.“Dengarlah.Dono bukan novelis yang baik.Kukira kita sama-sama tahu.dia peminum. Honornya yang jutaan itu hanya dihabiskan di meja bar. Nah. Kan begitu Sam?”
Aku agak gemetar sekarang.Kukira wajar.
“Apa aku sudah kelihatan sangat tua, Sam?” tanyanya. Benar juga, aku sangat gemetar sekarang, sampai-sampai aku tidak menoleh sedikit pun ke arah Ida, misalnya mengagumi bodinya yang tetap segar.
“Kau lihat ada cincin kawin melingkar di jariku?”
Aku merasa tolol dalam sedetik.
“Tapi bukankah kau orang yang tak takut pada perubahan?Maksudku, kau tidak apa-apa kan setelah itu?”
Ida menunduk.Sungguh di luar dugaanku.
Tapi secepaat itu juga, dia mengangkat kepalanya dan tersenyum padaku.
“Bagaimaa kau, Sam?Sudah punya anak berapa?”
Aku terpaksa tertawa.
“Kau kkira berapa?”
“Tiga.Kecuali kalau kau mandul.”
“Kau tidak menanyakan apakah aku beristeri?”
“Itu sudah pasti. Tapi kau sudah kan, Sam?”
Sekali ini aku menggeleng dengan sedih.
Dulu Ida selalu mengatakan, ingin punya anak dariku. Dia akan mengajarinya bermain piano, karena Ida menyukai piano. Sedang aku menghendaki supaya dia jadi pemain badminton, sebab aku sangat suka olah raga itu. Aku masih ingat, ketika kami mengadakan studi di kota E, kupegang perutnya dengan nakal. “Ida, besok aku nitip anak-anakku di sini ya?”
Ida menolehku, waktu itu dia sudah ngantuk, lalu memintaku mengulang kata-kataku.
Dan ketika kuulang perkataanku, dia tersenyum.Dia malahan menggenggam tanganku supaya mengelus perutnya lagi.
“Kau masih ingat ketika kita naik bus ke B?”
Astaga.Ida teringat.
“Yang mana?Bus ke B?”Aku berlagak pilon.
“Waktu kita masih studi tour.”
“Oya.Menyenangkan ya?”
“Bukan.Kau mengelus-elus perutku sepanjang perjalanan.”
“Oya.Tentu saja.Aku ingat. Ingat Ida. Kau masih ingat juga?”
Dia tersenyum.
“Tentu saja, Sam. Itu satu-satunya kenangan indah darimu.”
Aku pura-pura tersenyum.
“Kau tahu Sam, kau adalah satu-satunya teman priaku yang paling mengesankan.Paling menyenangkan.”
Kami diam sejurus.
Tangan Ida membalik-balik buku di tangannya.
“Kau ingat, betapa konyol puisi-puisimu yang ditujukan padakuk dulu?Untuk Ida tercinta.Ida juwitaku.Buat I. ode buat Ida.Nyanyian perjalanan Gadisku. Ah, banyak lagi. Kau tahu Sam, kusimpan baik-baik dalam album!”
“Oya?” wajahku merah, ketika judul-judul itu mulai disebutkan.Sesungguhnya malu juga, mendengar karanganku disebut-sebuut begitu.Seolah-olah melihat masa lalu kita yang memang konyol.
“Aku berani bertaruh sekarang Sam. Semenjak kita putus, kau pasti menulis puisi-puisi untuk gadis lain. Ya kan Sam?”
Terpaksa aku tertawa lagi.barangkali, mungkin. Siapa tahu.tapi adakah gadis-gadis lain yang datang setelah kepergian Ida? Aku memikir-mikir. Apakah Tuti? Nia? Susan?
Tapi sungguh mati, mereka pun tak pernah kuabadikan ke dalam puisi-puisiku.Karena itu sekarang aku menggeleng.Berani menggeleng.
“Tidak.Hanya engkau yang kubuatkan puisi seumur hidupku,” kataku.
Memang.Hanya engkau.Dan itulah sebabnya adikku perempuan marah-marah.Menuduh aku telah ditenung Ida. Bahkan…..
“Tidak.Hanya engkau memang!” kataku lagi, melamun.
Ida menatapku.
“Sam…..!” bisiknya.
Gila. Berbisik di tengah took yang ramai seperti ini. Aku menoleh.
“Dulu kita memang aneh.”
“Aneh?”
“Ya.Rambutku harus panjang.Kau harus tidak merokok.Aku harus pakai rok, kemana kau tak suka aku pakai jeans.Kaubilang, aku jadi seperti tomboy.Padahal kau ingin aku bersikap keibuan.Dan kau pun tak boleh pakai jeans pula.Sebab aku tak suka, kekasihku seperti pencopet.Kita semua menuruti hokum yang kita buat sendiri.aneh ya Sam?”
“Karena aku menyukai jazz, kau pun harus menyukainya juga.Kau ingat itu?”Sekarang ganti aku yang bertanya.
“Padahal Sam,…..” Ida tertawa.“Waktu itu aku memutar kasetmu pun tidak.”
“Tapi kau bilang, lagu itu enah kan?” Aku memang masih ingat hal itu.Bagaimana bisa? Tentang Ida, aku selalu ingat.
“Aku bohong, Sam, aku takut ngambek.”
Astaga.
“Jadi kau bohong?”Aku bertanya seperti orang tolol.
“Kau juga bohong,” tiba-tiba Ida menuduhku.“Aku memergokimu merokok.Aku pernah memergokimu pakai jeans. Aku memergokimu sedang…..”
“Hukum yang kita buat sudah kita tentang…..” sambungku akhirnya mengaku.
“Betapa lucunya kenangan itu ya Sam?”
“Bukan lucu.Tapi menyedihkan.Maklum, empat tahun yang lalu.Kau harus maklum,” kataku.
“manusia mudah dibohongi oleh orang-orang yang dicintainya,” kata Ida pula. Benar tidak, Ida pintar mengutip kata-kata mutiara?
“Kenangan itu sudah lewat,” kataku tegas.
“Sudah lewat?”
“Yak kan?”Aku menatap Ida.“Sudah empat tahun.”
Ida tertunduk.
Dia bangkit.
Aku bangkit.
Tanpa ada yang memerintah kami berjalan ke depan took.
Persis di depan pintu, Ida menatapku. Hanya itu.Lalu dia berjalan membuka pintu.Dan tanpa ada yang memerintah aku pun mengiringinya.
Di luar, dia menatapku lagi.
“Kukira memang sudah lewat.”
“Apanya yang lewat?” tanyaku.
“Kenangan kita.”
“Oya,” Aku tertawa.Menyampulkaan tangan, supaya dia tak usah tergoda oleh perkataanku lagi.“Tapi kau harus tahu, Ida, kenangan itu sangat menyenangkan.”
“Berbahagiakah waktu itu, Sam?”
“Tentu.Tentu. Aku pernah menganggap ada hal lain berikutnya yang lebih menyenangkan dari itu.”
“Syukurlah.”
Astaga, aku barusan mengatakan apa? Menyenangkan?
Padahal, aku menganggap kenangan itu paling buruk.Betapa tidak.Kami telah hidup dalam alam kepura-puraan selama beberapa tahun.Dan kini telah berakhir empat tahun yang silam.Tapi kubilang menyenangkan?Mudah-mudahan Ida, tahu, kata itu bisa diganti dengan memuakkan.Ya memang memuakkan.Kami cuma saling meracuni diri kami masing-masing.
Kuantar Ida sampai mobilnya.Dia menyetir sendiri.
Dia mengajakku.Syukurlah.Itu tandanya Ida sependapat denganku.Kenangan memang sangat memuakkan.Dia mengenakan kacamata hitamnya.Menutup jendela.Melambaikan tangan.Lalu menjalankan mobilnya.Aku terbengong-bengong di trotoar.
“Mudah-mudahan kita tak bertemu lagi,” bisikku agak lega.Sebab aku juga tak ingin meneruskan kenangan yang sudah rombeng itu.Aku berjalan menyusuri trotoar.
Ah Ida. Setidak-tidaknya engkau salah seorangdari wanitayang pernah kurampoki hatimu, kugombali, dan kutodong dengan kata-kata yang paling memuakkann di dunia: Aku cinta padamu.
Waktu menyebrang jalan, aku ingat, aku belum membeli buku.Bagaimana Merawat Bayi Pertama, titipan isteriku.
Waktu aku mau membalikkan badanku, aku ingin mobil-mobil yang berseliweran itu menubruk tubuhku saja.Apa tdai yang kubilang pada Ida? Aku belum punya anak?Aku belum beristeri?Aku masih bujangan seperti dulu betapa susahnya mencoba setia. Betapa susahnya melawan godaan masa silam!
++++++

Dimuat di Anita Cemerlang, 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar