Masinis itu membaca Mao dan aku membaca Soekarno. Di loko itu, kami
berhadap-hadapan seperti jurang. Di jendela, tiang-tiang listrik melesat
seperti air ludah. Kereta terus melolong-lolong dan membelah-belah kabut dan
memotong-motong bayangan senja yang mulai jingga. Sesekali kereta
berguncang. Gerbong beradu gerbong. Dan kacamataku goyang.
Masinis itu membiarkan rambutnya berkibar-kibar bersama angin senja yang
jingga itu. Dia membuka bukunya. Huruf-huruf dalam buku itu pun serta merta berserakan
di udara. Kata-katanya tergulung di bawah bordes, dan tergelincir dalam
pusingan angin dekat ketel; lalu tersapu mendung. Kemana kereta api ini
bergegas?
‘Kita sedang menuju Negara Entah Berantah,’ teriak api dari tungku loko
dengan mata berkilat-kilat. Loko menjerit-jerit. Asapnya bergulingan tertinggal
di dahan dan ranting. Kacamataku
goyang, dan Soekarnoku melompat ke cerobong uap. Masinis itu lenyap di
baliknya. Senja pun semakin jingga.
Jakarta, 14
Desember 2011
(Dimuat dalam buku antologi puisi BANGGA AKU JADI RAKYAT INDONESIA, KKK, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar