Oleh : Kurniawan Junaedhie
Sambil bergegas-gegas saya naik tangga sekolah saya sampai letih sekali. Tapi tiba-tiba ada suara aneh waktu saya mau melanjutkan perjalanan ke atas.
“Hallo WI!”
“Hallo…., eh suara siapa sih?” tanya saya.
“Masak nggak kenal?”
“Bener. Saya nggak kenal kamu. Sumpah deh!”
“Nggak usah pakai sumpah-sumpahan ah. Saya ini kan jantung kamu?” Saya tercengang.
“Lho kok jantung bisa ngomong? Kok kayak dongeng saja?”
“Ya deh. Semua aja deh. Jadi kamu minta roman kalau bukan dongeng?” Saya terpesona betul-betul.
“Tapi ngomong-ngomong, ada apa sih kok tumben ngajak ngobrol?” tanya saya.
“Habisnya kamu mau pulang sih?”
“Kan pelajaran udah selesai?”
“Tapi ini tangga naik ke atas lho. Kelasmu ka nada di bawah. Kalau mau pulang kamu harus lewat halaman, baru sampai di halte di mana kamu biasa nunggu bus jurusan Blok M lewat Kuningan. Kok malah naik.” Mendengar jawaban itu saya jadi gemes.
“Wah. Kamu ini memang jantung bego. Kalau jantung pasti nggak usah tanyak-tanyak!”
“Sekali-kali masak nggak boleh nanya? Eh, sebetulnya kamu mau kemana sih?”
“Saya mau lihat anak-anak olah raga kok dari atas!” sahut saya.
“Kan sudah bubar?”
Huh! Gemesnya bukan main saya sama jantung bego ini!
“Saya mau olah raga sendiri kalau memang sudah bubar!”
“Enggak usah deh. Percuma saja. Sekarang sudah jam berapa? Udara sudah kotor. Matahari sudah memancarkan sinar ultra violet. Nanti malah pipimu atau lenganmu yang halus terbakar karena over-exposure!”
“Ee, kok bawel ya yang namanya jantung? Udah. Saya mau naik. Bukan urusan kamu melarang-larang saya. Sekali lagi kamu ngomong, saya segera naik bus ke Planetarium, check up, supaya jantung saya dioperasi. Kamu tahu sekarang ada Pameran Jantung di sana?”
“Sudah bubar kok!” suara jantung seperti mengejek.
Saya tambah mangkel. “Kalau memang sudah bubar saya mau telpon ke Yayasan Jantung Dewi Sartika biar kamu dicangkokkan sama orang lain saja, saya terima pakai jantung monyet. Habisnya kamu suka cerewet sih?”
“Aduh. Kamu nuduh saya cerewet. Ini fitnah. Saya kan cuma mau kasih saran sama kamu, buat apa kamu khaki sama Vincent? Vincent kan nggak apa-apa sama kamu? Kok kamu marah sendiri?”
Saya tercengang lagu. Kok dia tahu bahwa saya naik ke atas ini memang mau berantem sama Vincent?
“Kok kamu tahu saya naik ke sini gara-gara Vincent?”
“Pokoknya tahu.”
“Ini perlu saya jelaskan supaya kamu nggak menyangka saya yang nguber-nguber Vincent. Dia justru yang menguber-uber saya.
Saya sudah nggak mau, tapi dia terus minta ketegasan saya. Malah kalau saya tidak membalas cintanya, dia mau bunuh diri saja. Coba, apa ini bukan Vincent yang nguber-nguber saya? Saya sih nggak soal kalaupun Vincent nyeleweng sama cewek lain. Tapi kan namanya sudah berkhianat? Kamu tahu sendiri kan kemarin, Vincent nonton ceramah Mahbub Djunaedi di Gelanggang Mahasiswa Kuningan sama seorang cewek. Apa ini tidak menyakitkan?”
“Ini memang menyakitkan. Saya juga kemarin sampai gemetaran. Tapi saya tahu kok, Vincent nggak bermaksud menyakiti kamu. Percaya deh. Untuk itu, pulang saja. Jangan cari gara-gara dengan melabrak Vincent. Vincent itu kan hypertensi? Jadi jangan bikin gara-gara sama dia. Kalau jantungnya copot, dia mati, siapa yang bertanggung jawab? Kamu harus jaga gengsi dong!” kata jantung saya lagi.
“Lho, niat saya memang mau merontokkan jantung Vincent kok. Soalnya dia sangka dia cowok yang paling top sendiri!” bantah saya.
“Pokoknya, tenang-tenang aja deh!”
“Sok lu ah!”
“Ee, dinasehatin kok engga mau. Dicoba dulu dong. Sabar. Jangan kelewat serius!”
“Kalau tidak mencoba, dari tadi namanya apa? Udah deh. Kamu enggak usah ikut campur urusan orang,” sungut saya ketus.
Saya terus mengawasi ke koridor kalau-kalau Vincent muncul dari sana. Tetap saya gebrak supaya minta ampun. Pokoknya saya sudah siap tempur deh. Sambil menunggu, saya jongkok di pinggir gang. Tiba-tiba kelihatan ada Vincent, buru-buru menemui saya. Saya bangkit. Saya marahi dia.
“Tadi kan saya sudah manggil kamu? Tapi kamu nggak mau?” bela Vincent. Saya jambak rambutnya yang gondrong.
“Ee, jadi kamu merasa nggak bersalah ya? Malah mau nuduh saya yang paling bersalah dalam kasus ini?”
Karena jambakan saya keras, dia merintih-rintih. “Saya salah deh. Saya yang paling salah deh,” teriaknya. Saya lepaskan jambakan itu.
“Nah begitu. Sudah jangan nyembah. Saya malu disembah kaya ketoprak saja. Tapi saya perlu terangkan. Sinih! Mengapa tadi saya nggak mau dipanggil kamu. Sebab, tadi kamu berlagak orang besar,” kata saya sambil memelototkan mata.
“Lho Hilda kan bukan pembantu saya?” Hilda adalah cewe yang disuruh memanggil saya.
Gregetan saya kumat lagi: “Apa? Jadi Hilda itu isteri kamu ya? Terkutuk!” Rambutnya Vincent saya jambak lagi. Dia menyeringai-neringai lagi.
“Enggak. Enggak.”
Kamu harus minta ampun sekali lagi. Ayo. Nyembah lagi. Cium kaki saya, telapak saya, kalau tidak mau, saya cari cowo lain!”
“Setan gundul! Saya ketiduran. Jahanam! Mana Vncent, kok nggak lewat-lewat? Astaga. Jangan-jangan dia sudah lewat waktu saya mimpi. Vincent bertekuk lutut di kaki saya. Kok tidak membangunkan saya? Biadab. Betul, dendam saya terhadap Vincent belum juga habis. Saya harus membalas dulu dnegan hukuman yang setimpal baru tenang.
Sampai terminal Blok M saya buru-buru masuk ke bok telepon umum. Saya telepon Kiki. Kalau Kiki nggak ada, Peter juga boleh. Kalau Peter juga nggak ada atau nggak siap, saya akan panggil Ipphing. Tapi Kiki ada.
“Hallo Kiki. Saya Dewi.”
“Dewi yang mana yah?” tanya Kiki di sana.
“Kamu kenal cewe lain selain saya aja nggak ada kok berlagak. Saya kan Tyas Nirmala Dewi!”
“O. Ngapain? Kok tumben?” tanya Kiki di sana.
“Begini Ki. Saya punya dua lembar tiket untuk nonton gala premiere di New Garden Hall. Saya mau nonton, tapi nggak punya teman. Kamu mau kan?”
“Lho kamu kan punya Vincent?” tanya Kiki di sana.
“Tapi saya lagi nggak suka sama Vincent!” sahut saya.
“Bukan begitu. Kalau dia marah sama saya karena saya nonton sama kamu bagaimana?” tanya Kiki di sana.
“Lho hak azasi manusia khan?”
“Benar. Tapi saya takut sama Vincent, deh. Sebab marahnya Vincent lama.”
“Pokoknya saya yang tanggung jawab Ki!”
“Sebetulnya ada apa sih kok kamu begini serius?”
“Vincent nyeleweng!”
“Jadi saya cuma buat pelarian buat kamu ya?” tanya Kiki di sana seperti kecewa.
“Pokoknya kita nonton berdua nanti. Yang lain-lain kan bisa menyusul?”
Tak ayal lagi Vincent pasti akan pingsan lihat saya berdua dengan Kiki. Vincent pasti nonton. Lewat Albert memang dia mau ngajak saya nonton film ini. Tapi saya tolak. Malah saya ajak Kiki. Kalau dia bisa berduaan dengan Hilda, saya juga bisa berduaan dengan Kiki? Sesampai di halaman New Garden Hall saya cari-cari, kalau-kalau ada Vincent. Kiki juga saya suruh mengawasi kalau-kalau Vincent nonton. Tapi tetap nggak ada.
Tiba-tiba darah saya tersirap. Saya kepergok dengan mbak Yuni, kakak perempuannya Vincent. Tuhan Yesus, dia pasti lihat juga ada Kiki di samping saya. Buru-buru saya tarik lengan Kiki supaya pulang.
“Batal. Batal,” kata saya. Kiki seperti lajimnya, bengong.
Besok pagi Vincent akan nuduh saya berkhianat. Sebab mbak Yuni sudah menghasut Vincent supaya putus dengan saya. Ya ampun. Bukan maksud saya, untuk putus dengan Vincent, kok. Saya betul-betul pengen nangis. Bagaimana saya harus bilang bahwa sebetulnya konflik saya dengan Vincent cuma kecil-kecilan? Bagaimana saya bilang bahwa saya ngajak Kiki Cuma sekedar untuk memanas-manasin Vincent, tidak lebih dari itu?
Kepala saya jadi mumet. Betul deh, saya masih cinta sama Vincent. Kalau tidak cinta, buat apa saya sampai ngajak Kiki, buang uang pinjam telpon di Blok M dan membuang waktu berharga Cuma untuk memikir-mikirkan sikap Vincent?
Saya cepat-cepat masuk kamar, mau nelpon Vincent. Harus saya jelaskan duduk soalnya sebelum dihasut mbak Yuni. Tapi tiba-tiba jantung saya mencegah lagi.
“Kamu betul nggak tahu malu,Wi!”
Saya jadi tersinggung. “Nggak tahu malu apa? Enggak usah ikut campur! Tidur saja!” bentak saya.
“Lihat kamu nggak tahu malu, kok bisa tidur?”
“Jadi kamu mau melek terus, mengintai semua kelakuan saya ya?”
“Heeh.”
“Terkutuk deh kamu. Moga-moga timbilan.”
“Timbilan juga nggak papa. Tapi kamu berkhianat sama Vincent, padahal Vincent sedikitpun nggak punya niatan itu waktu berduaan sama Hilda, itu lebih jahat dari penyakit timbil”
“Lho. Lho. Mau debat ya kamu ini? Vincent kan pacar saya? Sudah. Jangan ikut campur. Apa Vincent saudara kamu, kok kamu ribut terus?” Saya betul-betul naik darah.
“Jangan sewot dulu, anak manis. Saya mau ngomong ya? Sebetulnya Vincent itu anaknya baik. Dia itu tidak bermaksud menyepelekan kamu dengan nonton sama Hilda. Kamu marah kan gara-gara kecemburuan kamu saja? Vincent anaknya bagus, lho. Dia pinter. Kemarin ulangannya dapat sembilan, sedang kamu, lihat harus di her. Jadinya dia dikagumi cewe-cewe. Ini bukan rahasia lagi. Tapi kamu sebagai pacarnya, juga harus menerima nasib bahwa Vincent itu anaknya memang pantas dikagumi. Jadi bukannya kamu malah mencemburui, atau malah ngajak Kiki untuk bikin Vincent panas? Hal itu sama sekali tidak akan membuat Vincent tambah cinta sama kamu. Kamu pikir kamu mau buat Vincent takut kehilangan kamu? Bagi Vincent malahan menumbuhkan rasa benci. Coba, siapa yang rugi?”
“Stop!” Saya cepat-cepat menutup kuping.
“Belum habis. Masih banyak kok.
Nah, pokoknya perbuatanmu tadi tidak bagus. Dilihat orang lebih-lebih lagi. Kamu lebih parah lagi. Sebab kamu sudah populer sebagai pacarnya Vincent kok tiba-tiba sama cowok lain. Disangkanya ada apa-apa. Kan tidak bagus menimbulkan syak wasangka? Kalau kamu cowo sih nggak papa. Tapi kan kamu cewe? Bagi Vincent, kalau lihat kamu berdua dengan cowo lain, seperti tadi saya bilang, jelas nggak bagus deh. Bagi Kiki, cowo yang kamu ajak tadi, kamu juga paling banter Cuma sambilannya thok. Nggak bakalan Kiki mau jadi pacarnya kamu. Sebab menurutnya, kamu tokh milik nya Vincent. Bahkan mungkin kamu dianggapnya, bekasnya Vincent!”
“Apa, bekasnya Vincent?” saya tercengang.
“Iya dong!”
“Tapi saya kan nggak begitu?”
“Memang tidak begitu. Tapi saya bilang kan bisa dianggap begitu?”
“Saya diam, membisu, lalu keluar dari mulut saya, “Kok susah ya jadi cewe?”
“Emangnya gampang?”
“Heeh deh. Kamu memang pinter. Saya baru sadar. Nasehatmu enggak ada salahnya. Tapi saya mau telpon sama Vincent nih. Saya mau minta maaf. Ngga papa kan? Daripada enggak?”
Saya angkat gagang telpon. Belum memutar angka, jantung saya bilang lagi (cerewet betul ya?), “Tapi kamu omong wajar ya? Jangan pake nangis atau mewek-mewek. Kalau kakaknya sudah bilang sama Vincent bahwa dia lihat kamu berdua dengan cowo lain, bilang saja bukan maksudmu bikin panas. Mau nonton sama Vincent kan nggak bisa sebab dia sibuk? Bilang juga, mau minta ijin tapi kok Vincent kelihatan sibuk? Jadinya ijinnya belakangan. Ya sekarang ini.”
Saya menganggukkan kepala.
“Udah punya coinnya untuk telpon?”
Saya ketawa. “Hush. Ini kan bukan di terminal. Ini kan kamar saya? Udah ya, jangan berisik lagi. Saya mau pacaran sama Vincent kok. Mau titip apa?”
“Titip salam.”
“Saya bilang dari Jantung Hati saya, begitu ya?”
“Jangan ah. Nanti Vincent cemburu! ***
(Kumpulan Cerpen Majalah Gadis Vol. 6, Juni 1978)