12 Mei 2009

Hotel

Oleh : Kurniawan Junaedhie


Ratmoyo melingkarkan badannya lagi. Udara Bandung masih pagi. Kabut turun pelan-pelan. Mini tidak akan jengkel kalau itu di rumah sendiri.

“Rat, ayo bangun,” teriak Mini dari pintu. Hendak menggelitik pinggang Rat seperti kebiasaannya, ia takut kalau-kalau ketahuan orang masuk ke kamar cowok. Mini jadi Cuma bisa mengeluh. Pengen membanting pintu keras-keras seperti kebiasaannya kalau marah pun dibatalkan. Nanti bikin heboh saja. Dengan jengkel yang menggunung dia masuk ke kamarnya sendiri.

Hotel itu tidak penuh. Dari 15 kamar yang ada yang terisi tidak lebih dari separonya. Dua kamar dipakai mereka berdua. Mini bergidik mengingat nasibnya, datang jauh-jauh dari kampung ke Bandung, ke rumah buliknya kini tinggal di hotel. Coba kalau kangmasnya, Mas Mul tahu atau sedikit-dikitnya ibunya yang taat sembahyang itu tahu. Bisa celaka. Mini sadar bahwa selama ini hotel memang mengandung konotasi buruk. Ya bagi cowok ya bagi cewek sama saja. Hiy. Tapia pa harus dikata?

Mereka berdua naik bus sampai di Bandung jam 03.00 dinihari.
Langsung ke rumah bulik, rasa-rasanya tidak sopan.

“Masakan malam-malam begini kita harus menggedor rumah orang?” begitu alas an Ratmoyo, saudara sepupunya.
Mini mulanya masih ngotot supaya menggedor rumah buliknya saja.

“Mending dikatain tidak sopan daripada dibilang a-moral!!!” debat Mini.

Rat tertawa.

“Apa kamu pikir, aku ini a-moral hah? Kamu kan bisa tidur di kamar lain yang terpisah?”

“Loh, untuk tinggal di hotel kan dibutuhkan surat kawin segala bagi calon penginap yang berlainan jenis kelaminnya?”

Menyebut istilah jenis kelamin saja, Rat sudah hampir muntah ketawanya. Tapi ia cepat mengatakan: “Beres, Min. Kebetulan aku punya kenalan hotel yang gampangan di sini.”

Apa boleh buat? Dengan membunuh perasaan setengah mati, Mini mengikuti Ratmoyo masuk ke hotel itu. Tatapan mata petugas hotel sudah tidak dihiraukan lagi. Rat malah ngeledek:

“Mungkin kamu dikirain……”

Mini sudah hampir semaput, kalau Rat tidak segera ketawa menandakan dia memang ngeledek, tidak serius. Begitu masuk kamar, Mini langsung mengunci pintu. Untung tidak membawa banyak barang. Hanya dua kopor kecil dan satu handbag. Rat mendengar bahwa Mini menutup pintunya dengan perasaan jengkel. “Sok moralis.” cibirnya.

Di dalam kamar, Mini pengen menangis saja. Dia merasa terjebak oleh ulah sepupunya itu. Memang main-main, atau tidak ada itikad buruk dari Rat, atau lebih tepatnya mungkin Rat itu mau bikin kejutan, tapi koq keterlaluan? Ke luar kota lagi.

Dan sekarang malah tinggal di hotel. Di hotel murahan lagi. Mini bukannya tak pernah mendengar desas-desus perihal hotel murahan. Ditambah, lingkungan keluarganya yang ketat pada sopan santun ketimuran, Mini betul-betul sedih. Semalam niatnya tidak tidur saja. Kuatir, kalau ada lelaki masuk. Bunyi sandal diseret sudah membuat Mini bergemuruh dadanya. Cemas. Tapi tahu-tahu matahari sudah bersinar. Tak terasa dia sudah memejamkan mata. Eh, nyatanya tak ada kejadian apa-apa. Meski begitu, begitu dia bangun tanpa gosok gigi atau mandi, langsung mengendap-endap keluar dari kamar, dan menggedor kamar Rat di sebelah. Membangunkan. Supaya segera check-out.

Bandung, terus terang saja bukan kota yang asing bagi Mini. Memang dia tidak pernah tinggal di Bandung, hafal jalan-jalan pun tidak. Paling sebuah jalan, dengan nomor tertentu yang dihafalnya.

Rumah Gun, bekas pacarnya. Tapi sekarang sudah putus. Lebih tepatnya, diputuskan oleh orang tua Mini karena dianggap Gun laki-laki brengsek, penganggur, dan tidak menjanjikan masa depan sedikit pun. Gun, sakit hati. Mini takut. Apalagi beberapa kawan-kawannya menakut-nakuti bahwa cowok Bandung pintar menggunakan perempuan. Setahun kejadian itu. Kini Mini datang ke Bandung. Menengok buliknya. Itu pun dengan harapan, tidak bertemu dengan Gun, dan menganggap Gun juga sudah melupakannya.

Terdengar bunyi sepatu di luar kamar. Lalu suara cekikikan laki-laki. Mini merinding karena membayangkan kalau-kalau serombongan laki-laki itu masuk tiba-tiba ke kamarnya dan……

“Mini ya?” tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Mini kaget bukan kepalang. Serasa bahunya dipegang orang. Mini menoleh ke belakang. Astagafirullah, ternyata Gun di belakangnya. Bagaimana bisa, laki-laki ini sudah ada di kamarnya. Mini sudah tak sempat lagi berpikir. Tapi dirasanya dadanya sesak, gemetar dan takut luar biasa. Mencoba menenangkan. Mini melihat Gun, lelaki yang lagi dipikirkannya itu, tersenyum. Akhirnya:

“Mas Gun, koq di sini?” tergagap tanya Mini.

“Sejak tadi malam saya lihat kamu ke sini,” jawab yang ditanya.

“Kami kemalaman. Dari kampong saja sudah malam,” potong Mini tetap berdebar. Pikirannya malah kini sudah pepat. Untung, ngomongnya terbilang lancar.

Lelaki itu tertawa. Dari dulu tawa itu memang sinis. Ganteng pun tidak, apa yang harus dicari orang ini? Terngiang semprotan ayahnya.

Adik perempuan Mini, Lastri ikut-ikutan protes, mendukung pendapat ayah. Alasannya, kalau Gun apel selalu mengerling ke arah Lastri.

“Tidak sopan!” kata ibunya.

Mini jengkel pada adiknya. “Kamu sendiri terus terang saja, suka nggak dilihatin mas Gun?”

Adiknya menjulurkan lidah. Mini gemes.

Dan pada suatu hari, Gun memang disemprot ayah ibunya habis-habisan. Mini kompak, ikut-ikutan menyemprot Gun.

“Kamu moralis benar!” kata Gun, tentu saja jengkel. Sebab masalah rambut gondrong, suka mengerling gadis-gadis cantik, suka bicara jorok, suka membeli majalah-majalah porno dan lain-lain juga dipermasalahkan Mini.

Dari kawannya, didapat keterangan, katanya, Gun mengancam Mini.

“Lihat saja, sampai di mana moralnya bisa dipelihara!”
Bagi Mini, terutama Mini, ancaman ini adalah tantangan. Bukan sekedar tantangan, tapi pertaruhan. Karena begitu sering dipikir-pikir, ancaman Gun yang didengar dari desas-desus itu, berubah menjadi obsesi. Membuat ruang gerak Mini makin sempit. Segala-galanya diatur, takut ada yang menyorot. Jelas, akan ada orang-orang tertentu yang bersorak kalau Mini sampai tergelincir.

Ah, memang repot jadi cewek. Menolak cinta cowok, salah. Menerima cinta cowok, juga kadang-kadang salah. Kini bertemu di sini, Mini kontan merinding. Apa yang akan dilakukan bekas pacarnya ini?

“Koq mas Gun jarang mampir lagi ke rumah?”

“Kan rumahmu sudah tertutup bagi saya?”

Makin ngeri, ketika Gun mulai menjejerinya duduk. Mini bergeser sedikit. Mini dalam hati sudah mengancam, sedikit lagi dai mendekati, akan berteriak. Tapi tidak, Gun tidak mendekat lagi. Dan sebetulnya Mini juga tak akan berani menjerit. Bagaimana kalau Gun gelap mata? Yang bisa diperbuatnya hanyalah mengatur nafas, supaya bisa bersikap tenang, meski hati sudah empot-empotan.

“Saya heran, kau bisa menginap di hotel bersama seorang lelaki. Kan itu tidak……..,” lelaki itu bersuara lagi.

“Tapi kami kan tidur berlainan kamar?” sela Mini sengit.

“Tapi kan di hotel?”

“Tapi kami tidak berbuat apa-apa. Tuhan yang tahu. Kami datang sudah larut malam. Demi Allah!” Mini terus membela diri.

“Terserah. Pokoknya, ini akan saya laporkan kepada bulikmu, lalu ke orangtuamu. Kemudian, pasti akan tersebar bahwa kamu berbuat tidak baik. Saya akan menunjukkan bahwa orang sealim kamu pun, bisa teledor.”

“Jangan!”

“…….terserah. Biar orangtuamu juga sadar bahwa pendidikan yang diberikannya dan selalu diunggul-unggulkan pada orang lain, kali ini meleset. Biar hal ini tersebar ke seluruh kampungmu.”

“Jangan! Mas Gun licik!”

“Masih ingat waktu saya dimaki-maki ayahmu karena saya mengajakmu nonon film sampai larut malam? Masih ingat waktu marah-marah pada saya gara-gara saya kelepasan omong jorok?”

Belum sempat menjawab, Mini merasakan ada lengan yang melingkar di lehernya. Tangan itu tangan Gun. Mini menjerit. Histeris. Tapi semua orang yang ada di hotel itu, anehnya tidak ada yang berusaha menolongnya. Mereka hanya melongo, terpesona. Malah seperti melihat adegan biasa-biasa saja. Mini memperkeras jeritnya. Lebih histeris. Lagi-lagi, semua hanya melongo. Kini melengking.

Pintu kamarnya digedor orang. Karena terkunci dari dalam, dijebol. Rat masuk, diiringi beberapa pegawai hotel.

“Kenapa menjerit-jerit?” petugas hotel itu bertanya. Rat juga mengulang pertanyaan serupa. Mini sadar. Dia baru saja dibuai oleh lamunan buruk.

“Ada apa sih, begitu saja menjerit-jerit? Sakit apa?” tanya Rat.
Mini yang merasa malu, mengeleng-gelengkan kepala.

“Bikin kaget saya saja,” kata Rat lalu mengusir pegawai hotel sambil memberi isyarat tidak apa-apa.

“Kita cepat-cepat keluar dari hotel ini. Saya takut,” kata Mini sesudah hening.

“Memang. Kita segera keluar. Kenapa?”

“Saya melamun yang tidak-tidak.”

“Apa? Ceritakan?” pinta Rat.

Mini diam saja. Tidak mau menceritakan, tentu saja. Tapi Rat terus mendesak.

“Apa kamu sudah lupa wanti-wanti ibu waktu kita mau berangkat kemarin?” kata Mini.

“O, soal dilarang tidur di hotel meskipun kepepet?”
Mini mengangguk.

“Ah, menginap di hotel saja, kamu jadi pikiran.”

“Tidak. Saya tadi melamun, kalau bulik tahu kita menginap di hotel, bulik lalu tersinggung. Menuduh kita, mentang-mentang banyak uang, nginap saja di hotel. Tidak mau di rumah buliknya.”

“Ah, kamu memang moral…….”

“Setop. Saya tidak moralis. Tapi kamu kan tidak akan mengulangi petualangan begini, dengan tinggal di hotel? Apa enaknya?
Tidurnya pun berpisah. Tidak bisa ngobrol, seperti di rumah. Kan begitu?”

Rat terkekeh-kekeh.

“Saya juga sudah kapok. Tapi jangan ceritakan pada bulik ya bahwa saya yang mengajakmu.”

Mini tersenyum. Saudara sepupunya ini memang …… nakal juga.***

(ANITA VOL 14 MARET 1980)