14 Mei 2009

AMPLOP WARTAWAN

Dear Journalist,

Kami baru saja membaca hasil penelitian terhadap 82 wartawan yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Pengen tahu? Wah, seru deh.

Sebanyak 76 orang (92,68 persen) mengaku menerima amplop, baru sisanya secara tegas mengharamkannya. (Penelitian itu dilakukan oleh EH Kartanegara dan dimuat di Tempo, 23 April 1994) Apa artinya ? Artinya, persoalan sensitif ini ternyata masih merupakan masalah klasik Anda. Mungkin ada benarnya sinyalemen yang mengatakan, budaya amplop di kalangan wartawan sudah lama merasuk. Bahkan ada yang percaya budaya amplop merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia Anda. Ada juga yang mencoba menggambarkan, hubungan amplop dan wartawan seperti lingkaran setan.

Nyatanya, aparat humas di berbagai instansi baik di pusat di daerah,terbukti selalu mengalokasikan dana dari pos anggaran perjalanan untuk amplop wartawan, termasuk THR (Tunjangan Hari Raya). Sebagai contoh, pada tahun 1996, Pemda Kabupaten Bekasi mewajibkan 23 camatnya untuk menyetor sejumlah uang, paling sedikit Rp. 1 juta, yang setelah dikumpulkan, untuk diberikan sebagai THR bagi para wartawan yang bertugas di Pemda. (Ini bisa dibaca Swadesi, 27 Februari-4 Maret 1996) Hal yang sama juga berlaku di hampir semua perusahaan swasta, yaitu menyediakan beaya entertainment untuk para wartawan.


Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa sekarang hampir tak ada acara apa pun yang bebas dari pemberian amplop. Sebutlah mulai dari acara launching produk baru, jumpa artis, fashion show, wawancara dengan pengusaha, politisi, atau selebritis, sampai konferensi pers yang dilakukan oleh media pers sendiri. Disinyalir bahkan ada sejumlah perusahaan yang sampai-sampai membukakan rekening tabungan di bank untuk wartawan. Termasuk di sini sejumlah maskapai penerbangan yang siap membayar tunai setiap laporan jurnalistik yang menulis berita tentang maskapai itu. Tentu saja, kalau bagus.

Anda boleh saja membantahnya, asal jangan keras-keras. Tapi nyatanya Anda sendiri masih sering gamang menghadapi pemberian amplop ini. Ada media yang secara tegas melarang wartawannya menerima pemberian amplop. Sehingga amplop terlanjur diterima, baru media itu --mungkin setelah menimbang baik-buruknya-- baru mengirimkannya kembali ke pihak pemberi. Atau ampop itu diterima tapi dimasukkan ke kas sosial untuk disalurkan kepada yang membutuhkan. Tapi ada juga media yang mentolerir pemberian amplop sejauh pemberian itu bersifat sukarela, tidak mengharap imbalan apa pun, tidak berbau pemerasan dan mempengaruhi isi berita. Katanya. Tapiada juga media yang sampai mentolerir pemberian amplop itu, tanpa perduli apakah si pemberi punya pamrih atau tidak.

Sungguh menyedihkan. Di zaman pers menjadi industri seperti sekarang, ternyata masih ada media yang belum mampu memberi gaji setimpal untuk para wartawannya. Sehingga wartawannya harus mencari tambahan penghasilan tambahan. Tapi di sini lain, para pemberi amplop itu sendiri umumnya memang orang yang tidak tahu diri, serta tidak punya rasa malu. Semakin Anda tolak, semakin gigih saja mereka. Kalau Anda menolak pemberian amplop, mereka memberi Anda barang atau cendera mata. Padahal, pemberian barang atau amplop berisi uang, sama saja artinya, yaitu Anda disuap atau disumpal. Jangan percaya pada ucapan mereka bahwa pemberian itu diberikan tulus ikhlas, sebagai imbalan atas jerih payah Anda yang telah bersusah payah mewawancarainya atau sebagai pengganti uang transpor. Alamak.

Bisakah pemberian amplop itu dianggap sebagai penghargaan atas jerih payah Anda? Kenapa mereka tidak bilang saja sekalian, pemberian itu sebagai pengganti uang rokok ? Menghina.

Ingat Bung. Pekerjaan Anda sehari-hari adalah memang menggali informasi, mewawancarai orang, dan memberitakannyai. Sehingga mestinya, sudah lebih dari cukuplah, bila mereka mau memberi informasi secara jujur dan terbuka kepada Anda. Bahkan terdengar akan lebih masuk akal bila Anda yang justru membagi-bagikan amplop untuk mereka. Why not? Biar mereka mati berdiri di depan Anda!


Salam kompak
Khalayak Anda