13 September 2012

JEJAK MUSIM PANAS

Oleh: Kurniawan Junaedhie

DIDI sedang asyik membaca bukunya, ketika kakaknya membuka pintu kamarnya.
“Aku besok mau pulang,” kata Adis sambil menyorongkan kursi rodanya. Didi melirik dari balik buku. “Kau tidak bisu kan?” tanya Adis tersungut-sungut. “Sedari tadi baca buku. Buku apa sih? Buku porno ya?”
Didi masih belum bergeming. Ia tetap saja asyik. Disenjorkannya kedua kakinya lurus-lurus di balik selimut tebalnya. Barangkali jika gunung Tangkuban Perahu di luar jendela itu meletus pun dia tak akan terperanjat. Tentu saja Adis menghembuskan napas. Didi tidak boleh dekat-dekat dengan buku.
Tapi baru saja kursi rodanya digeser beberapa desi, Didi berteriak:
“He, kemana?” diturunkannya buku itu.
“O, kukira kau sudah jadi mummi,” kata Adis memutar kursi rodanya.
“Aku tadi hampir ngantuk mendengar kau menyanyikan Placier d’Amour,” kata Didi. Adis cuma mengeluh.
“Tadi kau bilang mau pulang he?” tanya Didi.
Adis mengangguk-angguk sampai rambutnya menarik selimutnya lebih tinggi lagi.
“maafkan Di, minggu depan aku sudah mulai ujian. Bulan depannya lagi aku sudah harus menulis skripsi. Ini kalau papa, mama dan kau juga ingin aku bahagia,” katanya menatap adikknya.
Didi mencibir lalu meneruskan bacaannya. Tapi baru sealinea dia sudah berteriak lagi:
“Bukankah Markus mau datang? Dia mau ajak kita semua, papa, mama, aku dan terutama engkau nonton konser di kota,” katanya memandang kakaknya.
“Tapi aku tidak berminat sama sekali,” kata Adis dengan suara tinggi.
“Kuminta kau tidak datang. Sekali ini. Lagi pula aku ada janji dengan tiur,” kata Didi penuh harap. Dibantingnya bukunya dan dia bangkit dari pembaringannya.
Adis hampir berang. Kedua tangannya gemetar memegang kursi rodanya.
“Tidak. Kau mau janji dengan siapa pun, aku tak peduli. Aku mau pulang!”
“Kau mengganggu acara liburan kita!” kata Didi mengambil sisir dan berkaca. Baru saja dia mengangkat sisir, dia menghembuskan napas. Diperhatikannya wajah kakaknya yang muram dari pantulan cermin.
Oh, dia sesungguhnya cantik. Bahkan semua kawan-kawannya di bengkel tempat Didi bekerja pun tergila-gila kepada Adis. Tentu saja dia tidak mau menyerahkan kakaknya kepada mereka.
“Ah tadi aku bercanda,” kata Didi membuang sisirnya dan melompat ke hadapan Adis. “Tentu kau boleh pulang. Biar papa mama tinggal di sini sampai liburan usai. Aku akan mengantarmu besok, biar yang di villa ini seperti bulan madu.”
Tentu saja Didi tidak ingin air mata kakaknya tumpah. Sudah berapa liter air mata yang keluar sampai detik ini, rasanya tak terkira.
Ditatapnya mata kakaknya.
“Sekali ini aku ingin mendengar suara dan permainan pianomu. Tadi kau sudah menyanyiak Placier d’Amour, kesayanganku. Oke?”
Tanpa menunggu jawaban, Didi mendorong kursi rodanya.
“Tidak. Besok aku harus pulang ke kota. Antarkan aku ke kamar.”
Didi hanya menggeleng-geleng kepala.
Liburan kali ini bagi Adis sudah tidak menyenangkan. Pemandangan gunung Burangrang disaput  embun pagi sudah tidak lagi mempesonanya. Lereng-lereng pinus yang berjajar mendaki dan menurun juga tidak. Ia merasa bosan, mengapa acara liburan selalu sama. Sekeluarga berangkat ke villa dan yang penting: kenapa semuanya seolah-olah merasa sangat cocok dengan udara gunung.
Liburan tahun lalu, Markus datang. Liburan dua tahun lalu, dia juga datang. Tahun ini, dia juga pasti datang. Sebab memang rumah bibinya ada di desa ini, dan dia sama sekali tidak pernah menyia-nyiaka kesempatan bagus ini untuk menikmati keindahan alam.
Liburan dua tahun lalu, bukir Burangrang juga seperti pagi ini. Didi sedang di Cipanas membeli makanan, ayah sedang bekerja di kamarnya dan ibu sibuk membuat cake di dapur. Adis baru saja menyelesaikan Placier d’Amour ciptaan Giovani Martini di depan pianonya, ketika didengarnya tepukan tangan dari arah jendela.
Adis menoleh kaget.
“Bagus sejali. Kau pandai bermain piano,” seorang pemuda bertubuh jangkung dengan rambut bergelombang dan bermata tajam tersenyum kepadanya. Dia mecangkung di jendela. Dilihat caranya berdiri dia pasti sudah lama memperhatikannya. Dia sungguh tampan. Sebaris kumis halus bertengger di atas bibirnya.
Cepat-cepat didorongnya kursi rodanya denga gugup mendekati jendela.
“Kau juga pintar memuji,” kata Adis dengan wajah masih merah.
“Tidak. Aku tidak pernah berdusta,” katanya. Bekas cukuran kumis di atas bibirnya membuatnya semakin tampan.
“Apa aku boleh ke situ?” tanyanya tanpa rasa segan.
“Kau mau main piano?”
Dia mengangguk.
“Kau tentu sangat pandai,” kata Adis menyilakan dia mendekati piano. Tapi pemuda tampan itu menolak dan berkata merendah:
‘Tidak. Sama sekali tidak,” jawabnya tetap dengan senyumnya yang simpatik. “Aku hanya main piano jika saat kursus.”
Dan sekejap pemuda itu sudah luluh dalam simponi. Adis menggigil tanpa sebab. Dia merasa nyeri melihat jari-jari kurus yang menari-nari pada bilah pianonya, entah kenapa. Rasanya dia pernah melihat seorang pemuda dalam keadaan seperti itu. Meskipun sudah berusaha untuk tidak terbius oleh irama-irama yang dicetuskan dari piano mau tidak mau matanya menatap foto kecil di atas pianonya. Itu foto Patrik yang tenga tertawa. Matanya bagus dan tatapannya riang. Kontras dengan toga yang dikenakannya. Waktu itu Patrik memang baru saja diwisuda. Adis menolaknya untuk diajak potret bersama, dengan alasan Patrik pasti malau bersanding dengan gadis cacat. Patrik sampai melototkan matanya, karena marah. Sampai di atas mobil, Patrik masih melontarkan kecewanya.
“Jadi kau tidak malu memperisteri gadis polio?” tanya Adis dengan suara serak.
“He, kau tanya lagi. tidak. Biar kau kehilangan kedua kakimu, dan kau buntung pun aku tetap mencintaimu. Kenapa kau tanya lagi?”
Mata Patrik menelidik. “Kalau kita menikah nanti, kita tidak harus cekcok setiap hari karena kakimu yang cacat itu bukan?”
Adis menjawab dengan gugup:
“Tentu saja tidak. Tidak,” katanya seperti diucapkan untuk dirinya sendiri. “Aku juga tidak suka.”
“Kukira aku paling tidak suka.”
“Aku masih ingat kata-katamu dulu,” gumam Adis lirih.
“Apa?”
“Dulu aku tanya padamu: Apakah mungkin seorang pria tidak cacat jatuh cinta pada seorang gadis cacat, dan jawabmu tidak mungkin.”
“Memang. Kecuali kalau dia sudah jatuh cinta sebelumnya. Sekali pun gadis itu menjadi buta, tidak akan,” Patrik melebarkan senyum kemenangan.
Pulang dari wisuda yang kaku itu, Patrik mengajak ke rumah famili familinya dan memperkelakan calon istrinya. Kursi roda Adis dilipatnya dalam bagasi mobil, dan setiap turun naik Patrik membopongnya.
“Trik, kau akan berlaku sebaik ini sampai kita menikah nanti atau.....?”
“Menurutmu?”
“Kau sangat baik.”
Patrik tertawa. Persis dalam foto kecil itu.
“He, kau melamun!” suara seseorang mengejutkan lamunannya. Pemuda sudah menyelesaikan tugasnya. Adis cepat-cepat menyibakkan rambutnya dan tersenyum sumbang.
“Tidak. Permainan pianomu bagus sekali. Lagu apa itu? Rasanya aku pernah megenalnya.”
“Sebentar.....sebentar.... bukankah itu Rituak Fire Dance? Oh, lagu yang riang. Seperti ciptaan Tchaikovsky, Walts of the Flowers. Hanya ini agak sendu,” kata Adis tawar.
“Aku punya piringan hitamnya, kalau kau suka,” katanya sambil tertawa ringan. Bekas cukuran kumisnya menambah ketampanannya.
“O terlupa. Mau minum apa? Kopi atau teh hangat”
“Sebetulnya menarik tapi,” dia menerawangkan matanya ke luar jendela. “Bagaimana kalau kita di luar sana? Pagi yang dingin, dan kita berada di bawah matahari yang hangat,” dia tersenyum tanpa menunggu jawaban, didorongnya kursi roda Adis.
“Kau tidak pernah keluar rumah, he?” tanyanya.
“Kau sudah tahu jawabnya kan? Aku cacat,” jawab Adis tanpa menoleh. Terdengar pemuda itu tertawa.
“Itu bukan alasan tentu saja. Buktinya, kau bisa sampai datang ke desa terpencil ini.”
“Kami sedang berlibur,” kata Adis. “Kami biasa liburan satu keluarga. Begitu kami libur kuliah, ayah ambil cuti dan ibu turut menemani di villa ini.”
“Wah keluarga harmonis.”
“Dan aku tidak menyangka bakal mengenalmu.”
“Tentu saja. Aku tidak memasang pengumuman di papan pengumuman di balai desa?”
Sore harinya, dia datang lagi. kali ini ditemui Didi yang kemudia memperkenalkannya kepada ayah dan ibu. Setelah omong-omong ringan, seperti dikomando, mereka meninggalkan mereka berdua.
“Tadi pagi aku melupakan satu hal,” katanya seperti biasa. Dia mengenakan sweater kelabu dan celana jeans yang lusuh. “Aku belum menyebut namaku. Namaku Markus. Dan aku juga belum tahu namamu. Tapi ah, itu tidak perlu lagi. Didi sudah memberitahu.”
Adis menggores-goreskan tangannya di kursi roda.
“Aku membawa ini,” katanya sambil mengambil sesuatu dari tasnya. Ternyata dua helai piringan hitam. Dilihat dari kavernya, itu piringan hitam Anotonio Bazzini dan Vincente Gomez.
“O terimakasih. Kau sangat baik hati,” kata Adis. “Bukankah ini si Vincente yang menggubah La Ronde des Luntis yang terkenal itu? Gubahannya sangat hebat.”
“Tapi kalau boleh jujur, aku lebih menyukai suaramu ketika menyanyikan Placier d’Amor tadi pagi. Kurasa, gubahan siapapun tidak ada artinya,” dia tertawa.
Adis jadi kikuk. Tapi bukan karena pujian-pujiannya yang maut, melainkan tiba-tiba ia ingat Patrik. Dia juga pandai melontarkan rayuan maut. Patrik juga sangat itu. Bukankah seandainya kenangan lama bisa diulang kembali. Itulah suara Patrik dulu? Setiap di pulang dari turne, sebelum cuci muka dia merengkuh tubuh Adis.
“Ayo, mainkan Placier d’Amormu. Dua hari berada di hutan, suaramu terngiang-ngiang membuatku ingin pulang.”
“Kau tidak bosan Trik?”
“Kau bosan?”
“Pertanyaanmu tidak lalu membuat aku tidak meyakinkan untukmu, tahu?”
He, Patrik mencium lagi sampai kursi roda Adis berputar-putar dan Patrik memang tidak peduli, meski keringatnya belum dicuci.
“O Trik, kursi roda ini direparasi setiap aku pulang turne!”
“Dan engkaupun harus tahu, Dis, jiwaku juga perlu kau reparasi.”
Lalu tangannya menggenggam tangan Adis, dan mereka berciuman.
“Kau jangan keterlaluan. Kita baru menikah bulan depan,” teriak Adis mulai membabi buta.
Patrik tersenyum meski sangat kesal. Dia mungkin ingat, bulan depan dia sudah jadi seorang suami. Dan tahun depannya, kalau tidak ada aral melintang, dia sudah menjadi bapak buat anaknya. Dan tahun-tahun berikutnya, dia akan menjadi ayah yang baik buat anak-anaknya yang lain.
Dia membersihkan celananya yang kotor. Dipandangnya Adis dengan wajah bersungguh-sungguh. Patrik tidak pernah setua ini, jika dia sedang merenung. Matanya kosong dan sorot matanya tajam.
“Dis, rasanya aku ingin menjadi suami yang sejati,” katanya.
“Aku juga.”
Patrik tetap muram, sampai dia berdiri di belakang Adis dan mendorong kursi rodanya ke depan piano.
“Nyanyikan Placier d’Amor untukku!” pintanya.
Itulah pertemuan terakhir. Besoknya Patrik berangkat tugas ke Kalimantan. Didi yang memberi kabar itu dengan wajah hampir menangis.
Patrik sudah pergi, karena penyakit malaria dan jenazahnya akan tiba sore harinya. Adis pingsan dan ketika siuman ia merasa tidak punya tenaga lagi. Ia malah tidak menghadiri pemakaman Patrik. Selama dua bulan, ia bolos kuliah dan dalam pengawasan dokter karena jiwanya terguncang. Selama itu dia harus minum obat penenang.
Cepat-cepat digesernya kursi rodanya menghadap ke dinding sebelum air matanya tumpah. Markus tidak boleh tahu. Tapi terlambat. Markus sudah memburu dan bersujud du depannya.
“He, kau menangis? Apakah aku menyakiti hatimu?”
Dengan langkah tergesa-gesa markus memasuki kamar itu. Sebuah vas berisi sekuntum anggrek appel blossem tergeletak di meja. Kursi roda yang terlipat juga ada di situ. Di pintu Didi sudah membentangkan ke dua tangannya sambil mengangkat bahu.
“Dia nekat pulang ke kota sendirian naik kendaraan umum. Akibatnya dia kelelahan. Sebentar lagi dia bangun,” kata Didi.
Markus bersujud di samping ranjang tidur Adis. Digenggam tangan gadis yang setengah bermimpi tentang entah apa itu. Diperhatikan wajahnya. Dan ketika tiba-tiba mata gadis itu terbuka, Markus tersenyum.
“O Markus, kenapa kau di sini?”
Markus tak segera menjawab. Digenggamnya jari-jemari Adis lebih erat.
“Aku menyusulmu. Didi memberitahu.....”
Adis membuang wajahnya ke dinding.
“Aku meminta maaf telah menyakiti hatimu,” kata Markus.
“Kau aneh, Markus, kau tidak pernah bersalah.”
“Aku ingin berada di dekatmu sampai kau sembuh.”
Adis mengerjamkan matanya tanda setuju.
“Tapi kenapa” aku kan gadis jelek yang cacat dan tak berharga?”
“tidak Dis, aku mencintaimu. Dan kukira itu tidak jadi soal.”
Mata yang sayu itu tiba-tiba merambang. Rasa-rasanya dia tak berdusta. Matanya berkata sebenarnya.
Markus tersenyum. Diambilnya saputangan dari dalam saku celananya dan menghapuskannya airmata Adis.
“Engkau sudah berharga dalam hidupku sejak dua tahun lalu, Dis. Aku sudah tahu cerita semuanya dan aku tak peduli.” Digenggamnya jari-jemari Adis lebih erat lagi.
“Sekarang tidurlah beristirahat. Besok kau harus bangun dengan tubuh segar. Aku ingin mendengar suaramu dalam Placier d’Amor!”
Markus menarikkan selimut gadis itu. Juga dikatupkan kedua matanya.

+++++

Dimuat dalam Anita Cemerlang, 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar