31 Oktober 2008

Surat Dari Serpong:
Tetap Optimis

Pak SP yang budiman,

Di Majalah Trubus edisi Juli 2008 saya mensinyalir bahwa pedagang tanaman hias naik 700 persen akibat booming Anthurium. Booming anthurium terjadi pada tahun 2007. Pada tahun 2008, situasi mulai berubah drastis. Sejak awal tahun 2008, bissnis tanaman ujug-ujuk melesu. Dikiranya karena orang habis berpesta Tahun Baru, ternyata sampai anak masuk sekolah, dan selesai harga BBM naik, situasi tak kunjung berganti.

Saya mungkin orang paling sedih, karena harus menjilat ludah sendiri, kalau mengatakan bahwa bsinis tanaman hias saat ini sungguh-sungguh menyedihkan. Banyak tip/ trik atau kiat yang saya tulis dalam buku saya Kiat Sukses Berbisnis Tanaman Hias (terbit pada tahun 2007), ternyata tidak mujarab sama sekali mengatasi kondisi yang ada saat ini.

Khusus untuk diri saya, Tuhan rupanya memberit ahu saya, bahwa saya masih belum pengalaman, saya masih harus belajar banyak dari kehidupan. Apa yang bisa saya petik dari pelajaran krisis global ini?

Tanaman ternyata memang sebuah komoditi yang unik. Betapa tidak. Pada saat BBM dan dollar naik, harga tanaman malah turun. Jelas realita ini menyesakkan dada. Terbukti karakter tanaman hias sebagai komditi, tidak sama persis dengan komditi-komoditi lain seperti bahan-bahan bangunan seperti kayu, besi atau semen, atau pot atau obat2an tanaman yang bisa mengambang (floating) dalam kondisi ekonomi apa pun.

Sangat menyesakkan dada, melihat kenyataan bahwa tanaman hias ternyata bukan komiditi yang adaptable dengan kondisi ekonomi, atau gampang dihantam resesi, beda dengan komoditi-komoditi lainnya. Contoh, pebisnis non-tanaman mungkin tetap tenang barang lama (yang dibeli dengan harga lama) menumpuk lama, karena kelak tetap bisa dijual dengan harga yang menyesuaikan keadaan. Coba kalau kita menyimpan banyak-banyak tanaman. Alih-alih harga bisa mengimbangi, tanaman kita malah bisa tidak terurus, dan lama-lama mampus.

Baru ngerti saya, diibanding pemain di lantai Bursa Efek Indonesia, pemain tanaman ternyata bisa lebih hebat. Saat kita asyik membelid an menikmati tanaman, pemain besar tanaman kita sudah berani melakukan aksi jual (murah) dan menarik tunai banyak-banyak. Akibatnya, kepercayaan emiten pun goyang. Harga tanaman merosot tajam. Kita pun terperangah dan terkena sentimen negatifnya.

Pak SP yang baik,

Saya bukan ingin menyurutkan semangat kita berbisnis tanaman dengan menulis seperti ini. Bagaimana pun penjual tanaman, tetap harus hidup, dan dibutuhkan. Saya justru ingin mengatakan bahwa beginilah memang seharusnya bisnis yang normal. Ada pasang surut. Ada saatnya rame, ada saatnya sepi. Tidak booming melulu seperti bisnis tanaman hias selama ini. Kalau bisnis booming melulu, namanya jelas bukan bisnis sejati, tetapi bisnis gelembung sabun (bubble), atau bisnis akal-akalan.

Jadi kalau saat ini nilai aset tanaman kita tiba-tiba merosot, --seperti harga saham--, tidak usah menangis. Insya Allah, nilai itu akan naik lagi. Cuma memang tidak dalam waktu pendek. Sebagaimana saham, tanaman hias adalah investasi jangka panjang. Saya tetap percaya bahwa apa yang terjadi saat ini tetap ada celah positifnya. Misalnya, jumlah pedagang yang naik 700 persen di zaman anthurium tadi, memang perlu diseleksi. Saya kira kita sepakat, dunia tanaman hias, harus diisi hanya oleh pedagang, kolektor dan petani yang tangguh, dan bukan oleh mereka yang sekadar ikut-ikutan atau petualang.

So, tetap semangat, Pak SP.


Salam,
KJ

(Bangun jam 8 pagi, ada miscall dari Pak SP: nagih artiketl SURAT DARI SERPONG karena sudah mau masuk cetak. Habis mandi, ngebut bikin tulisan ini, karena besok saya harus ke Lampung dengan teman2 Trubus dan Majalah Flona, diundang menjuri tanaman, takut tidak keburu lagi.)