19 Desember 2007

Obituari:
Lazuardi, Sahabat Saya 1958 - 2007

(Hari ini genap 2 bulan sahabat saya tercinta Lazuardi Adi Sage meninggal dunia. Sebagai orang yang pernah dekat dengan dia, saya merasa bersalah tidak sempat mengiringi perjalanan terakhirnya. Ini tulisan untuk menghormati pertemanan kami)

Berita Lazuardi meninggal, saya terima melalui SMS dari Adri Darmadji sekitar pukul 17.00. Hari itu, Jumat 19 Oktober 2007. Di tengah2 kesibukan menerima tamu di kebon saya di BSD, berita itu tentu saja membuat saya kaget setengah mati, dan syok berat.

Meski ragu akan kebenarannya, berita itu langsung saya forward ke teman2 yang namanya tercatat di HP saya sembari saya mencari tahu apa penyebabnya, disemayamkan di mana, dan kapan akan dimakamkan. Dari Adri pula diperoleh nomor telepon. "Coba Anda telpon ke nomor ini," kata Adri lewat SMS. Saya duga itu rumahnya. Saya telepon, tapi tidak ada yang mengangkat. Saya makin lemas, karena kalau rumah kosong, berarti penghuninya sedang sibuk berada di rumah sakit.

Karena bingung tidak tahu harus berbuat apa, saya telepon istri di rumah, mengabarkan berita itu. "Nggak masuk akal. Bagaimana mungkin Las bisa meninggal? Dia orang ulet, pekerja keras yang tangguh, ambisius.... ," kata saya. Bagi istri saya, --keluarga saya malahan,-- nama Lazuardi Adi Sage memang sudah sangat friendly, sebagai teman dekat atau sahabat saya.

Begitulah. Malamnya saya tak bisa tidur memikirkan Las. Saya tak habis pikir, kenapa dia pergi secepat itu? Mungkin karena terlalu terobsesi, malam itu saya malah bermimpi ketemu Las yang terbahak-bahak, mengatakan bahwa semua orang telah berhasil dikibulinya dengan berita kematiannya.

Paginya, saya tambah gelisah. Sudah pasti saya tidak melayat atau mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Apa daya? Nyatanya sampai detik itu saya tidak tahu dari mana saya bisa memperoleh info.

Baru sehari setelah Las dimakamkan, tak diduga sama sekali, saya terima telepon dari Satu, anak Las. Alhamdulillah. Dia menelepon saya dari HP ayahnya (Berarti Las menyimpan nomor telepon saya?). Dari dia saya tahu duduk soalnya. Las terserang penyakit jantung. "Papah sebetulnya sempat sehat pada hari itu, tapi tahu2 sorenya dia meninggal," kata Atu, begitu ayahnya selalu memanggilnya.

Atu, seperti teman2 lain, mungkin merasa aneh, kenapa saya sebagai sobatnya tidak muncul batang hidungnya di saat Las di rumah sakit maupun saat pemakamannya?

Kepada Uma, istri Las, dengan perasaan bersalah saya hanya bisa bilang, saya sangat menyesal tidak bisa hadir, karena saya lama kehilangan jejak dan tidak pernah kontak lagi dengan Las.

Sudah hampir 14 tahun kami tak bersua. Banyak peristiwa yang berkembang baik di diri saya maupun Las. (Khusus untuk Las, Uma mengakui hal itu, dan cerita banyak.)

Perjumpaan terakhir seingat saya, terjadi di kantor saya, TIARA, waktu itu di Jalan Hang Tuah, Kebayoran Baru, Jakarta pada sekitar tahun 1993-an. Las datang dengan mobil sedannya, malam-malam, dan ngobrol dengan saya. Entah ngobrol apa, yang jelas2 saya ingat, saat itu dia mengatakan, kita sebaiknya tidak usah bertemu dulu, sampai dia merasa sukses.

Sejak itu, saya tidak lagi berkomunikasi dengan Las. Terakhir saya tahu dari pemberitaan di koran2, dia menerbitkan buku "Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto". Isi buku itu menggambarkan prestasi-prestasi Soeharto sebagai mantan Presiden RI. Seperti integrasi Timtim, pembebasan Irian Barat, peluncuran Satelit Palapa, dan swasembada pangan. Buku itu juga memuat foto-foto Pak Harto dalam berbagai kegiatan, baik dengan almarhumah Ibu Tien maupun saat menerima kunjungan tamu kenegaraan.

Saya sebetulnya tidak kaget kalau Las menulis tokoh Soeharto. Dia sudah lama terobsesi menulis biografi atau otobiografi tokoh besar, sejak teman2nya, seperti Edy Sutriyono dan Muklis Gumilang sukses menerbitkan buku laris, Otobiografi: Liem Soei Liong, pada tahun 1989.

Yang menarik, dari pemberitaan di media massa pula saya tahu, tempat launching buku Beribu Alasan dilakukan di Graha Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dan yang hebat untuk ukuran saya, sejumlah pejabat Orba seperti mantan Jaksa Agung Ismail Saleh, mantan Pangab Jenderal TNI Purn Wiranto dan mantan Menkeu Fuad Bawazier terlihat meramaikan suasana. Tidak hanya para mantan pejabat, peluncuran buku setebal 364 halaman yang diterbitkan PT Jakarta Citra karangan Dewi Ambar Sari dan Lazuardi itu juga diramaikan artis sekaligus politisi Sys NS, Mieke Wijaya, dan 300 anak yatim piatu.

Bagi saya hal semacam itu tidak mengejutkan. Itulah memang gaya Las: selalu ingin membuat berita yang sensasional teatrikal sedikitnya untuk konsumsi kawan2 dekatnya. Pembicaraan mengenai buku itu terbukti sangat luas. Lazuardi menurut sebuah tulisan yang saya baca, mengaku sadar, judul bukunya yang provokatif itu berpotensi mendatangkan berjuta hujatan dari para kaum yang mengaku reformis. Akan tetapi, Lazuardi meminta publik bersikap objektif dalam memandang nasib para mantan pemimpinnya. ”Setiap pemimpin punya kelemahan dan kelebihan, kita harus menghargai,” katanya.

Penulis Antyo Retjoko, terpancing, menulis di blognya:

Buku Beribu Alasan… ini seperti melawan arus. Saat tulisan demi tulisan tentang keburukan, kejahatan, kekejian, kelicikan, keculasan, ketamakan, kebengisan, dan kebusukan orang itu terus muncul, buku ini tampil beda.

Buku karya Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Adi Sage ini menyuarakan kekaguman dan kerinduan sejumlah orang terhadap orang itu. Sebuah buku yang menjadi kado ulang tahun ke-85 orang itu.


Sebagai teman dekatnya saya tahu, Las sangat menikmati publikasi itu, alih2 menjadi stres karena banyaknya kritikan terhadap penerbitan bukunya.

Dari berita2 di internet, saya baru tahu, selama hayat almarhum sudah menulis buku2 yang memang tidak pernah saya pikirkan, seperti: Biografi Populer Kisah Sukses Sudwikatmono dari Wuryantoro ke Sineplek (?), Membangun semangat kerukunan : potret sosial transmigrasi di Kalimantan Barat, dll. Buku tulisan Las lengkapnya bisa diklik di sini.

Betapa pun saya mendapat kesan, pergaulannya semakin luas. Tak hanya kalangan seniman, juga politisi, dan pengusaha.

Beberapa hari sebelum meninggal, temannya Remmy Sutansyah menuturkan, Las baru saja bertemu dengan Sutrisno Bachir, Ketua PAN,

Beberapa waktu lalu (sebelum Las meninggal, KJ) kami sempat bercengkrama bersama Mas Sutrisno Bahir ( ketua PAN), Saya, Muchlis Gumilang, dan teman saya yang sedang terbaring sakit itu.Lazuardi Adi Sage. Dia, setahun silam menulis tentang figur Soeharto (mantan presiden Indonesia). Dan kami ngobrol di rumah Mas Sutrisno Bahir itu, kayaknya mengarah juga untu membukukan profil sang ketua PAN itu. Karena maksud dan kedatangan saya tidak sama dengan Laz (begitu kami memanggilnya), saya bersama Ali Akbar ( penulis lirik lagu rok, antara lain GONG 2000) pindah ke ruang dalam.

Yang agak spektakuler bagi saya, dari hasil menelusuri Google, saya baru tahu Lazuardi ternyata salah seorang dari 18 nama calon anggota Komisi Kepolisian Nasional dari unsur wartawan, tak soal apakah ia jadi terpilih atau tidak. Saya juga baru tahu, Lazuardi Adi Sage ikut membesarkan News Demokrat, 'majalah online' milik partai demokrat.

Dari Adek Alwi, saya dapat cerita, bahwa menjelang akhir hayatnya Las sedang menyusun buku tentang Jenderal Purnawirawan Wiranto. Adek salah satu kontributornya. "Buku itu 50 persen sudah jadi," kata Adek.

Iseng2 saya tanya pada Adek, apakah Las memang benar2 sudah melupakan saya? Kata Adek, tidak begitu. Karena seminggu sebelum meninggal, dalam pertemuan di TIM, Las juga menyinggung2 nama saya. "Dek, sekarang rasanya Kurniawan sudah kalah," kata Adek menirukan. "Ya biasalah, ngomong begitu sambil ketawa2, masak Anda tidak tahu?"

Saya tercenung. Hidup pasti bukan untuk kalah dan menang. Kalau sekarang Las yang pulang duluan, maka siapa yang kalah dan siapa yang menang? Bukankah, hidup tidak dipatok dari garis start melainkan di garis finish? Kalau itu ukurannya, kau menang, Las.

Selamat jalan, Las, selamat jalan sobat. Kapan2, saya juga akan menyusul kau. Kalau jujur, saya kehilangan sangat.

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar