06 Juli 2010

Cinta Yang Menyenangkan. Tak Meratap

Kurniawan Junaedhie

Buku yang sedang kita baca ini adalah buku puisi Pink Homerik tentang cinta. Perhatikan, sub judul buku ini: ‘Antologi Puisi Cinta’. Tentu bukan kebetulan, karena memang di dalamnya berisi sejumlah sajaknya yang memuat tema-tema cinta. Paling tidak ada dua judul puisinya yang secara harafiah menggunakan kata cinta: Surat Cinta, dan Bekicot Cinta.

Bagi sebagian besar penyair, kata, adalah alat utama untuk mengutarakan perasaan hatinya. Dengan kata, ditambah dengan pilihan format yang pas, penyair mencoba mengungkapkan dan membagikan isi hati dan perasaannya kepada pembacanya. Persoalannya, apakah puisi yang merupakan hasil pergulatan yang sangat pibadi dalam diri penyair itu bisa dianggap penting oleh pembacanya? Dengan kata lain, apakah hasil pergulatan yang sangat personal dalam diri penyair dengan berbagai hal -- termasuk soal cinta-- itu bisa diangkat ke tataran universal, sehingga tidak berhenti menjadi ‘sajak dua eksemplar’ yang hanya penting dan hanya bisa dipahami bagi orang atau kalangan tertentu? Dan pertanyaan berikutnya, apakah hasil pergulatan pribadi itu juga berhasil diangkatnya menjadi lebih tinggi lagi, tak sekedar cinta manusiawi menjadi cinta illahi?

Menariknya, kendati diharu-biru cinta, puisi-puisi Ping -- lulusan Universitas Trisakti, Jurusan Desain dan Perencanaan yang kini berprofesi sebagai disainer dan tinggal di Chicago, USA-- ini tidak menjadi memble. Puisi-puisinya tidak lalu menguras air mata, mengajak kita menangis karena haru dan mendayu-dayu. Bahkan, dalam beberapa puisinya, ia tampak sekali mencoba berjarak dengan perasaan (cinta) nya, dan memandang perasaan (cinta) secara ringan-ringan saja. Tak syak, cinta buat Ping bukan hal yang harus dekat dengan airmata, kesedihan, kesenduan dan sejenisnya. Cinta baginya hanya sebuah kemasan yang indah, tetapi bukan segala-galanya.

Dalam puisi berjudul Surat Cinta, misalnya, meski frasa yang digunakan kedengaran bombastis, si penyair tetap sadar, dan mengendalikan diri:

Malikhaku sayang,

Aku tak menulis panjang kali ini
Namun ke dalam amplop ini, tlah kuselipkan
beberapa helai rambut kuda liar dari
pengunungan Siberia yang kuikat dengan seuntai
angin kupetik di puncak Chomolungma
disertai pula beberapa potong kulit kerang Nautilus
yang kutelusuri di bibir pantai selatan Yucatan
semua untukmu

Semoga engkau mengerti betapa
kolosalnya rinduku padamu
Salam sayang
Kanda

(yang tersesat di kolong malam tanpa bias konstelasimu).

Puisi Semangkok Sup, juga bisa menjelaskan hal ini. Puisi ini tidak terjerumus menjadi melo. Dalam bait terakhirnya bahkan penyair menulis dengan gagah:

Melayanglah kemari
Bersama kita mencebur ke dalam
Didihnya sup asmara yang lezat ini.


Sajak RIP, adalah ‘sajak patah hati ‘ namun dituliskan dengan sangat komikal dan cerdas. Meski ‘hati’ si penyair dalam sajak itu digambarkan meninggal, aku lirik, di bait terakhir mengatakan:

Sambil berjalan keluar, dengan amat pedih, kuberdoa
“semoga esok, Dia kan memberiku pengganti yang lebih awet!”

Kita dibuat terkesima, dan tertawa. Dan saya kira, itu kenikmatan tersendiri buat kita yang membacanya.

Begitulah, buku ini menyajikan cinta dalam kemasan lain, yaitu ceria, menyenangkan dan menghibur. Cinta tak perlu dikerangkeng dalam pikiran sempit: sekadar luapan perasaan dan berahi antara dua jenis kelamin yang berbeda (pria-wanita) atau melalui kata dan bahasa yang mendayu-dayu seperti lagu pop. Cinta lebih luas dan dalam dari hanya itu.

Baca sajak Ping yang bagus ini:

Matamu sampan
Bulan terlelap di dalam
Lentik bulu matamu, menari ilalang
Di tepian, aku datang
Mengail di jernihnya hatimu


Di akhir catatan ini, penting juga dikatakan, cinta tak selalu berarti urusan sepele. Bukankah kata Sapardi Djoko Damono, jika semua puisi yang pernah ditulis orang itu diperas, maka hasilnya semua puisi adalah bertemakan cinta?

Jakarta, 5 Juli 2010
Salam Kreatif!
Kurniawan Junaedhie

Kata Pengantar untuk buku "Karamel, Kumpulan Puisi Cinta & Ilustrasi" karya Ping Homeric.
-
-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar