Hari itu semua anggota keluarga mengibas-ibaskan rambutnya pertanda habis keramas. Semua lampu dinyalakan sampai jam 12. Setelah makan bersama keluarga, sembari menenggak teh hangat dari teko, Ayah mengajakku ke dapur. “Kita manusia bisa hidup di dunia, harus bersyukur pada tungku dan kompor,” kata Ayah. “sebab benda-benda ini memasak nasi untuk kita.” Tanpa sepengetahuan Ayah, diam-diam aku melihat seorang lelaki sedang meringkuk di dalam tungku. Di dekat tungku juga ada seorang perempuan sedang bersembunyi. Seorang lelaki lain tiba-tiba datang membawa kayu bakar dan menyulut tungku. Ketika lelaki dalam tungku itu lenyap jadi abu, perempuan itu menangis tersedu-sedu. Aku ingin berbisik pada perempuan malang yang rupanya istri dari lelaki yang dibakar itu agar jangan menangis. Tapi Ayah menutup bibirku. “Psst…. Besok Imlek. Kamu jangan menangis.” Aku menoleh ke jendela. Di ruang tamu, kulihat hujan turun gerimis. Seekor naga keluar dari balik awan berkelebat membelit kaki meja.
Serpong City, 3 Februari 2011/ 22 Jan. 2012
*) Kisah lelaki yang dibakar di dalam tungku diambil dari mitologi Cina tentang Dewa Dapur dalam perayaan Imlek. Arkian, Zhao Wangye, adalah lelaki pemalas, dan gemar berjudi. Karena kalah berjudi, istrinya dipertaruhkan. Istrinya kemudian menikah dengan seorang pencari kayu bakar. Pada suatu hari ia menemui mantan istrinya dan kepergok suaminya. Zhao lalu bersembunyi ke dalam tungku. Suaminya yang ingin menjerang air, menyalakan tungku yang berisi Zhao. Zhao pun tewas. Karena sedih, setiap pagi, siang maupun malam mantan istrinya itu membakar dupa dan sembahyang di depan tungku. Melihat itu, suaminya heran. Tapi istrinya beralasan, ia menghormati tungku dan kompor, karena dari sana kita bisa hidup! Setelah Maharaja Giok yang tahu hal ini, mengampuni kesalahan Zhao dan menobatkannya sebagai Dewa Dapur, dan memberi perintah kepadanya agar setiap Imlek naik ke istana langit untuk memberi laporan yang disebut “Kebaikan di langit, kedamaian di bumi.”
(Diupdate dari puisi yang dimuat dalam buku SEPASANG BIBIR DALAM CANGKIR, KJ, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar