PEREMPUAN DI BALIK AWAN
Seorang perempuan
datang padaku dari balik awan. Rambutnya berjurai seperti laut, senyumnya
menawan seperti taman. Awan melambungkan tubuhnya pelahan. Perempuan yang rambutnya
seperti laut dan senyumnya menawan bagai taman itu, timbul tenggelam dalam
gelombang awan. Tangannya melambai
buatku terkesiap. Tanganku lalu coba melambai. Tapi, perempuan
itu mendadak hilang ditelikung awan. Awan pun
menggulungnya dalam pilu. Kepal tanganku sekarang tertinggal di langit.
2016
RORO
KIDUL
1.
Langit pagi bersinar terang di tepian pantai. Bersama ganggang, anak rajungan dan kepompong aku berjalan di atas pasir, menikmati udara pagi. Hidup yang indah, kataku. Aku melangkah bergegas. Kakiku masuk ke dalam pasir, dan sesekali betisku diterpa oleh percik laut yang dihantar gelombang pasang. Sejuknya pun langsung merayap ke kepala. Hangat seperti sengat matahari pagi yang menerpa.
Langit pagi bersinar terang di tepian pantai. Bersama ganggang, anak rajungan dan kepompong aku berjalan di atas pasir, menikmati udara pagi. Hidup yang indah, kataku. Aku melangkah bergegas. Kakiku masuk ke dalam pasir, dan sesekali betisku diterpa oleh percik laut yang dihantar gelombang pasang. Sejuknya pun langsung merayap ke kepala. Hangat seperti sengat matahari pagi yang menerpa.
2.
Kulihat kamu duduk di atas pasir. Dan kakimu mencelup ke dalam gundukan pasir. Hanya tanganmu yang berjuntai-juntai. Pernahkah kau melihat kenangan melintas di atas langit? tanyaku. Kamu menggeleng.
Kulihat kamu duduk di atas pasir. Dan kakimu mencelup ke dalam gundukan pasir. Hanya tanganmu yang berjuntai-juntai. Pernahkah kau melihat kenangan melintas di atas langit? tanyaku. Kamu menggeleng.
3.
Sekarang sore menjelang. Asin air laut menelusup ke dalam pernafasanku. Aku melangkah bergegas. Kakiku masuk ke dalam pasir, dan sesekali betisku diterpa oleh percik laut yang dihantar gelombang pasang. Hangat. Dan kamu menggeleng. Kuingat itu.
Sekarang sore menjelang. Asin air laut menelusup ke dalam pernafasanku. Aku melangkah bergegas. Kakiku masuk ke dalam pasir, dan sesekali betisku diterpa oleh percik laut yang dihantar gelombang pasang. Hangat. Dan kamu menggeleng. Kuingat itu.
2016
DI
KAFE
Jam 2. Kafe tenang dan
menghanyutkan. Angin menyelinap masuk
dari jendela bersama berkas cahaya menjelang duhur. Pintu gemeratak berayun-ayun. Juga kipas angin
yang tak henti menderu-deru.
Jam 3. Barista kafe menguap. Dua cangkir kopi di
meja. Bibirmu mengatup. Tak ada pembicaraan. Hanya aroma robusta menguap
ke seluruh ruangan yang hening bisu.
Jam 3.30. Kudengar hujan
turun. Tetesnya menimpa genting.
Jam 8. Kafe penuh pengunjung. Sudah terhapus segala ingatan. Hanya kenangan bersisa, di ceruk cangkir.
Jam 8. Kafe penuh pengunjung. Sudah terhapus segala ingatan. Hanya kenangan bersisa, di ceruk cangkir.
2016
DI
ATAS KERETA
Hari terang tanah
ketika kereta jalan bergegas. Kami sedang menuju Negeri Awan. Di samping kami,
pohon-pohon berlarian sepanjang rel. Kami lihat lazuardi di kejauhan. Di balik kaca, hamparan sawah becek, dan ladang gambut
terburai seluas mata kami memandang.
Kereta terus
bergegas. Jajaran tiang listrik ikut
melintas. Juga pohonan. Mungkin juga kata-kata berhamburan ditiup angin tempias. Semua tampak ingin lekas. Kami lihat lazuardi di
kejauhan. Langit
berubah kelabu. Mungkin rembang petang. Kaca jendela makin berembun. Di balik
kaca, kereta terus berderak. Hari belum selesai.
“Di stasiun mana kereta ini akan berakhir kelak?”
tanyamu tiba-tiba. Aku pandang wajahmu. Kamu
meringkuk di balik mantel. Hatiku bergolak. Aku diam, tak menjawab.
Kulihat seekor burung gagak lewat di jendela dekat tempat dudukmu. Koakkkkk…!
Kulihat seekor burung gagak lewat di jendela dekat tempat dudukmu. Koakkkkk…!
2016
SEORANG TEMAN PULANG
- + Asfahani
- + Asfahani
Akhirnya senyap. Semua lindap. Seorang
teman pulang. Tak ada yang kekal, kecuali kenangan, dan tetek bengek tentang
hal ikhwal yang berkaitan dengan ingatan. Jiwa larut dalam lapis keabadian. Kata-kata hanyut dalam misteri kematian. Tentu, kamu tak
lagi bisa mengingat. Bahkan mulutmu beku.
Mimpi pun tak lagi tersisa. Hidup memang serupa arloji. Bergerak pelahan, seakan berputar, tetapi akhirnya sampai juga pada kulminasi. Tapi sebentar: bukankah memang tak ada yang hebat dalam kehidupan? Bukankah?
2016
SEBUAH
SORE DI KAFE
Dua cangkir kopi dan sepiring
Onion Ring yang gurih tersaji di meja.
Cinta yang gemuk menggelambir
di tempat duduk yang separo kosong.
Senyummu menempel di
dinding bermozaik.
Lampu menyala di kepala
“Ayo putar satu lagu,
agar hidup tetap bernyanyi,“ seruku.
Kakimu berayun. Tralala.
Meja bergoyang.
Dunia bergoyang.
Hati kita berguncang.
Onion ring meloncat,
ke dalam cangkir.
Kita berdiri di atas meja,
menikmati hidup yang riang.
“Tugas kita adalah berbahagia,” kataku.
Ya, ya. Tralala
Onion Ring yang gurih tersaji di meja.
Cinta yang gemuk menggelambir
di tempat duduk yang separo kosong.
Senyummu menempel di
dinding bermozaik.
Lampu menyala di kepala
“Ayo putar satu lagu,
agar hidup tetap bernyanyi,“ seruku.
Kakimu berayun. Tralala.
Meja bergoyang.
Dunia bergoyang.
Hati kita berguncang.
Onion ring meloncat,
ke dalam cangkir.
Kita berdiri di atas meja,
menikmati hidup yang riang.
“Tugas kita adalah berbahagia,” kataku.
Ya, ya. Tralala
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar