10 April 2016

PUISI 2016

PEREMPUAN DI BALIK AWAN

Seorang perempuan datang padaku dari balik awan. Rambutnya berjurai seperti laut, senyumnya menawan seperti taman. Awan melambungkan tubuhnya pelahan. Perempuan yang rambutnya seperti laut dan senyumnya menawan bagai taman itu, timbul tenggelam dalam gelombang awan.  Tangannya melambai buatku terkesiap. Tanganku lalu coba melambai. Tapi, perempuan itu mendadak hilang ditelikung awan. Awan pun menggulungnya dalam pilu. Kepal tanganku sekarang tertinggal di langit. 

2016

RORO KIDUL

1.
Langit  pagi bersinar terang di tepian pantai. Bersama ganggang, anak rajungan dan kepompong aku berjalan di atas pasir, menikmati udara pagi. Hidup yang indah, kataku. Aku melangkah bergegas. Kakiku masuk ke dalam pasir, dan sesekali betisku diterpa oleh percik laut yang dihantar gelombang pasang. Sejuknya pun langsung merayap  ke kepala. Hangat seperti sengat matahari pagi yang menerpa.

2.
Kulihat kamu duduk di atas pasir. Dan kakimu mencelup ke dalam gundukan pasir. Hanya tanganmu yang berjuntai-juntai. Pernahkah kau melihat kenangan melintas di atas langit? tanyaku. Kamu menggeleng.

3.
Sekarang sore menjelang. Asin air laut menelusup ke dalam pernafasanku. Aku melangkah bergegas. Kakiku masuk ke dalam pasir, dan sesekali betisku diterpa oleh percik laut yang dihantar gelombang pasang. Hangat. Dan kamu menggeleng. Kuingat itu.

2016


DI KAFE

Jam 2. Kafe tenang dan menghanyutkan. Angin menyelinap masuk dari jendela bersama berkas cahaya menjelang duhur.  Pintu gemeratak berayun-ayun. Juga kipas angin yang tak henti menderu-deru.

Jam 3. Barista kafe menguap. Dua cangkir kopi di meja. Bibirmu mengatup. Tak ada pembicaraan. Hanya aroma robusta menguap ke seluruh ruangan yang hening bisu.

Jam 3.30. Kudengar hujan turun. Tetesnya menimpa genting. 

Jam 8.  Kafe penuh pengunjung. Sudah terhapus segala ingatan. Hanya kenangan bersisa, di ceruk cangkir.


2016


DI ATAS KERETA

Hari terang tanah ketika kereta jalan bergegas. Kami sedang menuju Negeri Awan. Di samping kami, pohon-pohon berlarian sepanjang rel. Kami lihat lazuardi di kejauhan. Di balik kaca, hamparan sawah becek, dan ladang gambut terburai seluas mata kami memandang.

Kereta terus bergegas. Jajaran tiang listrik  ikut melintas. Juga pohonan. Mungkin juga kata-kata berhamburan ditiup angin tempias. Semua tampak ingin lekas. Kami lihat lazuardi di kejauhan. Langit berubah kelabu. Mungkin rembang petang. Kaca jendela makin berembun. Di balik kaca, kereta terus berderak. Hari belum selesai.

“Di stasiun mana kereta ini akan berakhir kelak?” tanyamu tiba-tiba. Aku pandang wajahmu.  Kamu meringkuk di balik mantel. Hatiku bergolak. Aku diam, tak menjawab. 

Kulihat seekor burung gagak lewat di jendela dekat tempat dudukmu. Koakkkkk…!

2016


SEORANG TEMAN PULANG
- + Asfahani 

Akhirnya senyap. Semua lindap. Seorang teman pulang. Tak ada yang kekal, kecuali kenangan, dan tetek bengek tentang hal ikhwal yang berkaitan dengan ingatan.  Jiwa  larut dalam lapis keabadian. Kata-kata hanyut dalam misteri kematian. Tentu, kamu tak lagi bisa mengingat. Bahkan mulutmu beku.  Mimpi pun tak lagi tersisa. Hidup memang serupa arloji. Bergerak pelahan, seakan berputar, tetapi akhirnya sampai juga pada kulminasi.  Tapi sebentar: bukankah memang tak ada yang hebat dalam kehidupan? Bukankah?

2016

SEBUAH SORE DI KAFE

Dua cangkir kopi  dan sepiring
Onion Ring yang gurih tersaji di meja.
Cinta yang gemuk menggelambir
di tempat duduk yang separo kosong.

Senyummu menempel di
dinding bermozaik.
Lampu menyala di kepala
“Ayo putar satu lagu,
agar hidup tetap bernyanyi,“ seruku.
Kakimu berayun.  Tralala.

Meja bergoyang.
Dunia bergoyang.
Hati kita berguncang.

Onion ring meloncat,
ke dalam cangkir.
Kita berdiri di atas meja,
menikmati hidup yang riang.

“Tugas kita adalah berbahagia,” kataku.
Ya, ya. Tralala


2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar