01 Januari 2015

MENGANGAN-ANGANKAN KLATEN SEBAGAI KOTA BUDAYA: MUNGKINKAH?



Ada beberapa ingatan saya tentang Klaten. 
Pertama, hampir 30 tahun lalu saya datang ke Klaten, menuju Mbayat untuk sebuah wawancara. Ingatan itu tak mungkin terlupa, karena saat itu saya harus menumnpang truk pasir untuk menuju desa itu. Belakangan baru saya tahu, di Klaten memang sulit bagi pendatang seperti saya untuk memperoleh angkutan umum. 
Kedua, saya nyaris hapal, jawaban apa yang diberikan tukang angkringan di sepanjang Jalan Maioboro Yogyakarta, -- setiap kali saya menanyakan asal usulnya. Hampir semua mereka menjawab: Klaten, Mbayat.
Ketiga, saya selalu melewati kota itu, setiap kali berkendara dari Solo ke Yogya vice versa. Setelah saya membuka catatan, tahulah saya, bahwa secara geografis, Kota Klaten berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, dan di sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan demikian, letak kota Klaten bisa dikatakan sangat strategis dari segala aspek: bisnis ekonomi, juga budaya.
Dalam kaitan dengan yang keempat soal budaya itulah saya sebut alasan keempat.
Klaten adalah kota lahir sejumlah seniman yang saya kenal namanya.
Berdasar catatan yang saya punya  inilah antara lain daftar para seniman terkenal di Indonesia yang lahir di Klaten: Jakob Sumardjo, Rahmat Djoko Pradopo, Waluya DS, Kuntowijoyo, Suryo Sumanto, Ki Narto Sabdo, S. Anantaguna, GM Sudarta, atau Dedi Sutomo.
Apakah mungkin kondisi subur bagi lahirnya para seniman ini juga berkaitan dengan alasan ketiga, yaitu dekatnya lokasi Klaten dengan dua kota yang selama ini sering disebut sebagai pusat kebudayaan yaitu Solo dan Klaten?

BEDA DENGAN YOGYA SOLO
Sebagai bagian kerajaan, --berbeda dengan Klaten,-- baik Yogyakarta dan Surakarta memiliki keraton sebagai pusat perkembangan dan pelestarian budaya serta simbol kekuasaan raja. Jika Yogyakarta memiliki dua keraton yakni Keraton Kasultanan sebagai kraton utama dan Pakualaman sebagai keraton kedua, Surakarta pun demikian ada Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran.
Keraton Yogyakarta dan Surakarta sama-sama memiliki dua alun-alun, yakni Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan lengkap dengan beringinnya.
Yang juga menarik dicatat, baik Yogyakarta maupun Surakarta memiliki Pasar Gede (utama). Jika di Yogyakarta ada Pasar Beringharjo maka di Surakarta ada Pasar Gedhe Hardjanegara. Bedanya Pasar Beringharjo berada persis di utara sumbu keraton sementara Pasar Gedhe Hardjanegara sedikit di sisi timur sumbu keraton.
Yogyakarta dan Surakarta juga memiliki “benteng kembar” yang sama-sama menghadap keraton. Yogyakarta memiliki Benteng Vredeburg sementara di Surakarta ada Benteng Vastenberg.
Kota Yogyakarta dan Surakarta juga memiliki tugu yang menjadi landmark tanda kotanya. Surakarta memiliki beberapa tanda kota, yakni Tugu Jam di depan Pasar Gedhe, Patung Slamet Riyadi dan Bundaran Gladhak. Sementara di Yogyakarta hanya Tugu Pal Putih yang menjadi tanda utama kota. Meskipun demikian beberapa orang menilai Tugu Pal Putih atau Tugu Jogja lebih selaras dengan budaya Jogja, sementara patung-patung dan tugu di Surakarta dianggap kurang mencerminkan budaya Surakarta.
Bagaimana dengan Klaten?
Klaten jelas bukan sebuah wilayah di Pulau Jawa yang meninggalkan warisan kebudayaan berupa kerajaan seperti halnya kota Yogyakarta dan Solo. Namun di Klaten terdapat makam Ki Ageng Gribig yang selalu ramai dikunjungi pada malam Jumat legi dan Jumat kliwon. Ki Ageng Gribig adalah cucu Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, putra dari R.M. Guntur atau Prabu Wasi Jolodoro. Iamerupakan salah satu ulama pada zaman Mataram yang menyebarkan Agama Islam khususnya di Jatinom.
Selain makan Ki Ageng Gribig, di Klaten juga terdapat makam Sunan Tembayat di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Sunan Tembayat merupakan seorang ulama yang menyebarkan agama Islam di Klaten. Sunan Tembayat awalnya seorang Adipati di Semarang bernama Pandanaran. Adipati Pandanaran pindah ke Bayat karena hendak menuntut ilmu Agama Islam kepada Sunan Kalijaga.
Tapi sebagaimana halnya kedua kota itu, --dan sebagaimana hanya daerah-daerah lain di Pulau Jawa,-- Klaten –yang juga memiliki Tugu Ki Nartosabdo di tengah kota itu -- toh memiliki sejumlah peninggalan berupa candi seperti Candi Prambaban dan artefak lainnya.
Meski sering ‘diakui’ sebagai candi milik Yogya, Candi Prambanan yang mashur dan disebut sebagai kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia-- itu, pada kenyataannya, secara geografis berada di Kecamatan Prambanan, yang  berbatasan dengan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain Candi Prambanan,  di Klaten juga terdapat Candi Sewu yang merupakan Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama Buddha yang penting di masa lalu. Jika Candi Prambanan adalah candi bercorak Hindhu, maka Candi Sewu adalah candi yang bercorak Buddha.  Dengan demikian dapat dikatakan, di sana, sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama. 

KEBUDAYAAN KLATEN
Dalam sebuah tulisannya, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Perwujudan kebudayaan itu adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Jika merujuk pada pengertian tersebut maka Klaten jelas memiliki sejumlah warisan budaya menarik yang layak dicermati.
Di Desa Melikan, Bayat, terdapat sentra kerajinan, pembuatan keramik dengan cara dan bahkan metode pembuatan yang unik yakni dengan teknik putaran miring yang merupakan budaya ketimuran karena sebagian pengrajinnya kebanyakan wanita secara turun-temurun. 
Di daerah Serenan terdapat banyak pengrajin kayu jati dan olahan. Di Desa Sidowarno terdapat banyak pengrajin tatah sungging wayang kulit.
Di Desa Tanjung juga banyak kita temukan pengrajin payung. Sementara itu, di Desa Sobayan Kecamatan Pedan, terdapat desa wisata dengan potensi unggulan berupa pusat kerajinan tenun ikat. Dan Desa Paseban Kecamatan Bayatdi banyak sentra kerajinan seperti topeng kayu, keramik dan batik tulis, Desa Katik, misalnya, dikenal  merupakan desa yang terkenal dengan seni Ketoprak-nya.
Klaten juga kaya dengan tradisi seni pertunjukannya seperti Gejog Lesung.
Seni pertunjukan tradisi ini lahir di Dukuh Soran Desa Duwet Kecamatan Ngawen Kabupaten Klaten. Kesenian ini merupakan ekspresi rasa kegembiraan para petani setelah musim panen padi tiba.
Ada juga seni pertunjukan tradisi yang disebut Srandul. Srandul adalah kesenian rakyat yang menggambarkan tentang kehidupan Demang pada zaman kerajaan berupa  berupa parikan atau tembang dan percakapan yang diiringi Kendang, Angklung dan Terbang besar dilakukan oleh ± 15 orang. Kesenian Srandul lahir timbul di Dukuh Jogodayoh, Desa Gumulan Kecamatan Kota Klaten.
Seni tradisi lain yang lahir dan berkembang di wilayah Klaten,  adalah Jatilan. Ini adalah tari tradisional yang menggambarkan keprajuritan pada waktu perang yang dilakukan beberapa orang dengan cara naik kuda Kepang (kuda Lumping) yang dikendalikan oleh seorang pawang yang diawasi oleh Ki Pentul dan Ki Tembem. Kesenian tradisi ini diiringi gamelan berupa Kendang, Bende, dan Kecer. Dalam tarian terdapat unsur magis yang melambangkan kekebalan dan setiap pemain mengenakan topeng atau kacamata hitam. Tari Jatilan berkembang di Desa Bugisan Kecamatan Prambanan yang dipentaskan tiap hari Jumat di panggung terbuka untuk para turis asing maupun domestik.
Banyak juga upacara adat di Kabupaten Klaten yang menarik, dan hanya dijumpai di Klaten, seperti  Yaqowiyu misalnya. Tradisi warisan Ki Ageng Gribig ini kini telah menjelma menjadi upacara adat yang selalu ramai dikunjungi ribuan wisatawan lokal dari berbagai daerah setiap tahunnya. Tak salah, jika dikatakan, Klaten merupakan referensi penting bagi mereka yang ingin mengetahui seni dan tradisi di Jawa Tengah.
Dalam hal kuliner, misalnya, Klaten, juga dikenal luas karena sejumlah penganan tradisionalnya yang khas, sebutlah, cabuk rambak, emping wedang  ronde, intip kerak nasi, keripik belut, keripik cakar, dan nasi liwet yang bahan-bahannya dapat diperoleh dari alam atau mudah dicari.  Jika di Solo dikenal karena Sop Ayam Pak No, maka di Klaten ada Sop Pak Min Yang tak kalah populernya bagi masyarakat luas di luar Klaten.

BAGAIMANA KLATEN HARI INI?
Hari ini Klaten adalah sebuah kota yang lenggang, dengan penduduk berjumlah sekitar 123.463 jiwa pada tahun 2010 dengan luas 33,72 km² yang terbagi atas 3 kecamatan. Karena dianggap tidak memenuhi persyaratan sebagai kota otonom, bahkan status Klaten dihapuskan sebagai kota administrative pada tahun 2003.
Sebagai pelancong saya kesulitan mencari alat transportasi publik seperti taksi, becak atau ojek.
Yang saya tahu, meski banyak terdapat sekolah tingkat lanjutan atas, Klaten tidak pernah disebut sebagai kota pelajar sebagaimana halnya tetangganya, Yogya. Yang juga saya catat, meski saat ini, ada beberapa perguruan tinggi, antara lain Universitas Widya Dharma, STIKES Muhammadiyah Klaten, dan Akademi Akuntansi Muhammadiyah Klaten, kebanyakan lulusan SLTA-nya  melanjutkan ke kota lain, utamanya Yogyakarta yang dipandang lebih menjanjikan.
Di Klaten, selama saya berkunjung ke sana dua hari, saya tidak melihat adanya gedung pertunjukan, boro-boro sebuah Dewan Kesenian, yang saat ini sesungguhnya sedang lumrah di tanah air.. Tak heran jika para serniman yang tumbuh dalam alam subur tradisii kebudayaan dan seni di Klaten juga umumnya mengembangkan bakat dan mencari nafkah di luar kota Klaten.
Dalang Nartosabdo, misalnya, lebih dikenal di Semarang, Ki Anom Suroto lebih dikenal sebagai dalang di Solo, Pelukis terkenal GM Sudarta, lebih dikenal karena bekerja di sebuah suratkabar di Jakarta, sastrawan Jakob Sumardjo lebih dikenal sebagai Rektor di PT di Bandung dan selanjutnya.
Satu-satunya simbol kebudayaan yang tampak di kota Klaten dan ingin dijadikan ikon kota barangkali adalah sebuah tugu (monument) Ki Nartosabdo.
Dengan ‘hanya’ mengurai keunggulan trradisi dan warisan budaya Klaten, hemat saya Klaten sejatinya bisa saja menjadi kota budaya ketiga, atau tri angle budaya, di antara pusat kebudayaan yang saat ini eksis, yaitu Solo dan Yogyakarta. Tulisan ini, sekadar ingin mencolek rasa ‘nasionalisme’ Klaten yang sebenarnya mem,iliki potensi luar biasa. Demikianlah.
Klaten- Serpong, 4 Januari 2015
Kurniawan Junaedhie, pelancong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar