Ada
beberapa ingatan saya tentang Klaten.
Pertama, hampir 30 tahun lalu saya datang
ke Klaten, menuju Mbayat untuk sebuah wawancara. Ingatan itu tak mungkin
terlupa, karena saat itu saya harus menumnpang truk pasir untuk menuju desa
itu. Belakangan baru saya tahu, di Klaten memang sulit bagi pendatang seperti
saya untuk memperoleh angkutan umum.
Kedua, saya nyaris hapal, jawaban apa yang
diberikan tukang angkringan di sepanjang Jalan Maioboro Yogyakarta, -- setiap
kali saya menanyakan asal usulnya. Hampir semua mereka menjawab: Klaten,
Mbayat.
Ketiga,
saya selalu melewati kota itu, setiap kali berkendara dari Solo ke Yogya vice versa. Setelah saya membuka
catatan, tahulah saya, bahwa secara geografis, Kota Klaten berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah
utara, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo, dan di sebelah
selatan dan barat berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan
demikian, letak kota Klaten bisa dikatakan sangat strategis dari segala aspek:
bisnis ekonomi, juga budaya.
Dalam
kaitan dengan yang keempat soal budaya itulah saya sebut alasan keempat.
Klaten
adalah kota lahir sejumlah seniman yang saya kenal namanya.
Berdasar
catatan yang saya punya inilah antara
lain daftar para seniman terkenal di Indonesia yang lahir di Klaten: Jakob
Sumardjo, Rahmat Djoko Pradopo, Waluya DS, Kuntowijoyo, Suryo Sumanto, Ki Narto
Sabdo, S. Anantaguna, GM Sudarta, atau Dedi Sutomo.
Apakah
mungkin kondisi subur bagi lahirnya para seniman ini juga berkaitan dengan
alasan ketiga, yaitu dekatnya lokasi Klaten dengan dua kota yang selama ini
sering disebut sebagai pusat kebudayaan yaitu Solo dan Klaten?
BEDA
DENGAN YOGYA SOLO
Sebagai
bagian kerajaan, --berbeda dengan Klaten,-- baik Yogyakarta dan Surakarta memiliki
keraton sebagai pusat perkembangan dan pelestarian budaya serta simbol
kekuasaan raja. Jika Yogyakarta memiliki dua keraton yakni Keraton Kasultanan
sebagai kraton utama dan Pakualaman sebagai keraton kedua, Surakarta pun
demikian ada Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran.
Keraton
Yogyakarta dan Surakarta sama-sama memiliki dua alun-alun, yakni Alun-Alun
Utara dan Alun-Alun Selatan lengkap dengan beringinnya.
Yang
juga menarik dicatat, baik Yogyakarta maupun Surakarta memiliki Pasar Gede
(utama). Jika di Yogyakarta ada Pasar Beringharjo maka di Surakarta ada Pasar
Gedhe Hardjanegara. Bedanya Pasar Beringharjo berada persis di utara sumbu
keraton sementara Pasar Gedhe Hardjanegara sedikit di sisi timur sumbu keraton.
Yogyakarta
dan Surakarta juga memiliki “benteng kembar” yang sama-sama menghadap keraton.
Yogyakarta memiliki Benteng Vredeburg sementara di Surakarta ada Benteng
Vastenberg.
Kota
Yogyakarta dan Surakarta juga memiliki tugu yang menjadi landmark tanda kotanya.
Surakarta memiliki beberapa tanda kota, yakni Tugu Jam di depan Pasar Gedhe,
Patung Slamet Riyadi dan Bundaran Gladhak. Sementara di Yogyakarta hanya Tugu
Pal Putih yang menjadi tanda utama kota. Meskipun demikian beberapa orang
menilai Tugu Pal Putih atau Tugu Jogja lebih selaras dengan budaya Jogja,
sementara patung-patung dan tugu di Surakarta dianggap kurang mencerminkan
budaya Surakarta.
Bagaimana
dengan Klaten?
Klaten
jelas bukan sebuah wilayah di Pulau Jawa yang meninggalkan warisan kebudayaan berupa
kerajaan seperti halnya kota Yogyakarta dan Solo. Namun
di Klaten terdapat makam Ki Ageng Gribig yang selalu ramai dikunjungi pada
malam Jumat legi dan Jumat kliwon. Ki Ageng Gribig adalah cucu Prabu Brawijaya
dari Kerajaan Majapahit, putra dari R.M. Guntur atau Prabu Wasi Jolodoro.
Iamerupakan salah satu ulama pada zaman Mataram yang menyebarkan Agama Islam
khususnya di Jatinom.
Selain
makan Ki Ageng Gribig, di Klaten juga terdapat makam Sunan Tembayat di
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Sunan Tembayat merupakan seorang ulama yang
menyebarkan agama Islam di Klaten. Sunan Tembayat awalnya seorang Adipati di
Semarang bernama Pandanaran. Adipati Pandanaran pindah ke Bayat karena hendak
menuntut ilmu Agama Islam kepada Sunan Kalijaga.
Tapi
sebagaimana halnya kedua kota itu, --dan sebagaimana hanya daerah-daerah lain
di Pulau Jawa,-- Klaten –yang juga memiliki Tugu Ki Nartosabdo di tengah kota
itu -- toh memiliki sejumlah peninggalan berupa candi seperti Candi Prambaban dan
artefak lainnya.
Meski
sering ‘diakui’ sebagai candi milik Yogya, Candi Prambanan yang mashur dan
disebut sebagai kompleks
candi Hindu terbesar di Indonesia-- itu, pada kenyataannya, secara
geografis berada di Kecamatan Prambanan, yang
berbatasan dengan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain
Candi Prambanan, di Klaten juga terdapat
Candi Sewu yang merupakan
Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama Buddha yang penting di
masa lalu. Jika Candi Prambanan adalah candi bercorak Hindhu, maka
Candi Sewu adalah candi yang bercorak Buddha.
Dengan demikian dapat dikatakan,
di sana, sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis
dan adanya toleransi beragama.
KEBUDAYAAN
KLATEN
Dalam
sebuah tulisannya, Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah sarana
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Perwujudan kebudayaan itu adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Jika merujuk
pada pengertian tersebut maka Klaten jelas memiliki sejumlah warisan budaya
menarik yang layak dicermati.
Di
Desa Melikan, Bayat, terdapat sentra kerajinan, pembuatan keramik dengan cara dan bahkan metode
pembuatan yang unik yakni dengan teknik putaran miring yang merupakan budaya
ketimuran karena sebagian pengrajinnya kebanyakan wanita secara turun-temurun.
Di daerah Serenan terdapat
banyak pengrajin kayu jati dan olahan. Di Desa Sidowarno terdapat banyak
pengrajin tatah sungging wayang kulit.
Di Desa Tanjung juga banyak
kita temukan pengrajin payung. Sementara itu, di Desa Sobayan Kecamatan Pedan,
terdapat desa wisata dengan potensi unggulan berupa pusat kerajinan tenun ikat.
Dan Desa Paseban Kecamatan Bayatdi banyak sentra kerajinan seperti topeng kayu, keramik dan batik tulis,
Desa Katik, misalnya, dikenal merupakan
desa yang terkenal dengan seni Ketoprak-nya.
Klaten juga kaya dengan
tradisi seni pertunjukannya seperti Gejog Lesung.
Seni pertunjukan tradisi ini
lahir di Dukuh Soran Desa Duwet Kecamatan Ngawen Kabupaten Klaten. Kesenian ini
merupakan ekspresi rasa kegembiraan para petani setelah musim panen padi tiba.
Ada juga seni pertunjukan
tradisi yang disebut Srandul. Srandul adalah kesenian rakyat yang menggambarkan
tentang kehidupan Demang pada zaman kerajaan berupa berupa parikan atau tembang dan percakapan
yang diiringi Kendang, Angklung dan Terbang besar dilakukan oleh ± 15 orang.
Kesenian Srandul lahir timbul di Dukuh Jogodayoh, Desa Gumulan Kecamatan Kota
Klaten.
Seni tradisi lain yang lahir
dan berkembang di wilayah Klaten, adalah
Jatilan. Ini adalah tari tradisional yang menggambarkan keprajuritan pada waktu
perang yang dilakukan beberapa orang dengan cara naik kuda Kepang (kuda
Lumping) yang dikendalikan oleh seorang pawang yang diawasi oleh Ki Pentul dan
Ki Tembem. Kesenian tradisi ini diiringi gamelan berupa Kendang, Bende, dan
Kecer. Dalam tarian terdapat unsur magis yang melambangkan kekebalan dan setiap
pemain mengenakan topeng atau kacamata hitam. Tari Jatilan berkembang di Desa
Bugisan Kecamatan Prambanan yang dipentaskan tiap hari Jumat di panggung
terbuka untuk para turis asing maupun domestik.
Banyak juga upacara adat di
Kabupaten Klaten yang menarik, dan hanya dijumpai di Klaten, seperti Yaqowiyu misalnya. Tradisi warisan Ki Ageng
Gribig ini kini telah menjelma menjadi upacara adat yang selalu ramai
dikunjungi ribuan wisatawan lokal dari berbagai daerah setiap tahunnya. Tak
salah, jika dikatakan, Klaten merupakan referensi penting bagi mereka yang
ingin mengetahui seni dan tradisi di Jawa Tengah.
Dalam
hal kuliner, misalnya, Klaten, juga dikenal luas karena sejumlah penganan
tradisionalnya yang khas, sebutlah, cabuk rambak, emping wedang ronde, intip kerak nasi, keripik belut,
keripik cakar, dan nasi liwet yang bahan-bahannya dapat diperoleh dari alam
atau mudah dicari. Jika di Solo dikenal
karena Sop Ayam Pak No, maka di Klaten ada Sop Pak Min Yang tak kalah
populernya bagi masyarakat luas di luar Klaten.
BAGAIMANA
KLATEN HARI INI?
Hari
ini Klaten adalah sebuah kota yang lenggang, dengan penduduk berjumlah sekitar
123.463 jiwa pada tahun 2010 dengan luas 33,72 km² yang terbagi atas 3
kecamatan. Karena dianggap tidak memenuhi persyaratan sebagai kota otonom,
bahkan status Klaten dihapuskan sebagai kota administrative pada tahun 2003.
Sebagai
pelancong saya kesulitan mencari alat transportasi publik seperti taksi, becak
atau ojek.
Yang
saya tahu, meski banyak terdapat sekolah tingkat lanjutan atas, Klaten tidak
pernah disebut sebagai kota pelajar sebagaimana halnya tetangganya, Yogya. Yang
juga saya catat, meski saat ini, ada beberapa perguruan tinggi, antara lain
Universitas Widya Dharma, STIKES Muhammadiyah Klaten, dan Akademi Akuntansi
Muhammadiyah Klaten, kebanyakan lulusan SLTA-nya melanjutkan ke kota lain, utamanya Yogyakarta
yang dipandang lebih menjanjikan.
Di Klaten, selama
saya berkunjung ke sana dua hari, saya tidak melihat adanya gedung pertunjukan,
boro-boro sebuah Dewan Kesenian, yang saat ini sesungguhnya sedang lumrah di
tanah air.. Tak heran jika para serniman yang tumbuh dalam alam subur tradisii
kebudayaan dan seni di Klaten juga umumnya mengembangkan bakat dan mencari
nafkah di luar kota Klaten.
Dalang Nartosabdo,
misalnya, lebih dikenal di Semarang, Ki Anom Suroto lebih dikenal sebagai
dalang di Solo, Pelukis terkenal GM Sudarta, lebih dikenal karena bekerja di
sebuah suratkabar di Jakarta, sastrawan Jakob Sumardjo lebih dikenal
sebagai Rektor di PT di Bandung dan selanjutnya.
Satu-satunya simbol
kebudayaan yang tampak di kota Klaten dan ingin dijadikan ikon kota barangkali
adalah sebuah tugu (monument) Ki Nartosabdo.
Dengan ‘hanya’
mengurai keunggulan trradisi dan warisan budaya Klaten, hemat saya Klaten sejatinya
bisa saja menjadi kota budaya ketiga, atau tri
angle budaya, di antara pusat kebudayaan yang saat ini eksis, yaitu Solo
dan Yogyakarta. Tulisan ini, sekadar ingin mencolek rasa ‘nasionalisme’ Klaten
yang sebenarnya mem,iliki potensi luar biasa. Demikianlah.
Klaten- Serpong, 4
Januari 2015
Kurniawan Junaedhie,
pelancong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar