07 Desember 2014

SEKILAS KISAH KURNIAWAN JUNAEDHIE DI BALIK LAHIRNYA MAJALAH ANITA


~Adek Alwi

ANITA DAN SAYA (1)
31 Januari 2009 pukul 10:38

Kampus Sekolah Tinggi Publisistik, Menteng Raya, Oktober 1978. Kurniawan Junaedhie, kawan kuliah dan sesama seniman, yang juga wartawan Majalah Dewi, minta cerpen kepada saya dan Lazuardi Adi Sage (alm). Itu permintaan kedua Jun, setelah yang pertama ia sampaikan beberapa saat berselang bersama Yanie Wuryandari (pun wartawan Dewi) ketika saya ambil honor ke kantor mereka di Jl. Padang. Jadi Jun serius. Tapi kami tanyai juga dia, “Buat apa? Dewi?” 
“Pokoknya off the record dulu. Honornya serius, lho!” Dia seriuskan wajah.
“Berapa?”
“Sepuluh ribu!”
Memang “serius”.

Di Majalah Violeta, dan Ultra, honor cerpen saya masa itu Rp 3.500; Varia Nada Rp 2.500; Ria Remaja Rp 2.000; Sinar Harapan Rp 5.000; Gadis Rp 7.500; dua puisi di Buana Minggu Rp 1.250, kurang lebih sama dengan Minggu Merdeka. Angka-angka itu saja “gurih”. Tarif bus kota masih Rp 20 lalu naik Rp 25. Ji Sam Soe Rp 115/bungkus. Maka saya tulis cerpen Cintaku di Balik Awan, di bagian akhirnya terketik: Tomang Barat, 19 Oktober 1978. Jumpa lagi di kampus, saya kasih Jun. Rupanya Jun dan Yanie juga minta cerpen ke kawan penulis lain, disertai DP “off the record” jika ada yang tanya untuk majalah apa. Lalu, hari-hari berlalu dan Jun mulai jarang ke kampus. Lalu berhenti sama sekali; kelakuan yang saya perbuat setahun lebih kemudian, setelah sejenak di tingkat IV/1980).

Pada kasus Jun saya tak tahu sebabnya, untuk saya karena semacam kesombongan; sejak 1975 sudah wartawan, ngapain lagi sih belajar jadi jurnalis. Semula, saya reporter Majalah Ria Remaja yang segede buku tulis (Majalah Varia Nada, juga Aktuil awalnya begitu). Lalu bantu koran daerah, Haluan (Padang), terutama untuk peristiwa budaya. Saya pun rajin baca, juga menjaga tekad: keputusan tak populer memecat diri dari bangku kuliah (yang bikin kecewa abang terutama abang sulung yang membiayai, bikin sedih orang tua karena 1 dari 9 anaknya takkan bergelar sarjana), harus dibuktikan sebagai pilihan yang benar. Saya harus duduk di pucuk profesi kewartawanan, pemimpin redaksi, agar sama dengan rektor saya di STP, Drs AM Hoeta Soehoet, mantan Pemimpin Redaksi Harian Abadi. Jadi mudah dibaca, kelahiran Anita perpaduan cerdik melihat pasar dan kreativitas rada nakal-nekat. Owner Anita, R Risman Hafil, seorang dari tiga pemilik dan pemimpin Majalah Dewi, sedang dua wartawannya, Yanie Wuryandari serta Kurniawan Junaedhie, adalah para pengarang yang cerpennya digandrungi remaja.

Belakangan, saya pikir-pikir, jika saja orang bertiga itu (Risman Hafil, Kurniawan Junaedhie, Yanie Wuryandari) tidak melakukan itu, jangan-jangan tak menjamur majalah kumpulan cerpen di era 1980-an. Anita kedua setelah Gadis yang menerbitkan, kemudian ada Ringan, Pesona, Tina, Aneka, Asyiiik, Nino Bagus (di Bandung), dll. Bahkan Majalah Aneka Ria (sebelum manajemen Aneka Yes) pun terbitkan majalah kumpulan cerpen, juga Majalah Ria Film. Pokoknya ramai. Jangan-jangan juga, jalan sejarah sastra Indonesia agak beda dari yang kita kenal saat ini. Sebab, banyak pula yang menjadikan majalah kumpulan cerpen (termasuk Anita) ajang latihan sebelum memasuki penulisan lebih serius. Sebutlah Kurnia Effendi, Gus tf Sakai, atau Agus Noor, yang saat jumpa pertama di kantor saya Jl. Fatmawati tahun 1998 langsung bilang, “Bang Adek, saya dulu nulis di Anita!” Wah. Padahal cerpen kami sama terpilih untuk “Cerpen Pilihan KOMPAS 1994”. Mereka yang di lapangan sastra sebelum masa majalah kumpulan cerpen itu pun, katakanlah Putu Wijaya, Abrar Yusra, Sides Sudyarto DS, ikut meramaikan Anita; selain Yudhistira Ardi Noegraha, Adri Darmadji Woko, Syarifudin A Ch, Arwan Tuti Artha (menyebut sedikit nama saja). Sementara di rubrik “Cakrawala Puisi Anita” (yang mulai dibuka seiring Anita terbit dua kali sebulan, volume 24 Kamis ke-1 Januari 1981, 6 bulan sesudah saya di Anita), ada nama Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Syarifuddin Arifin, Syamsudin Noer Moenadi, Hardho Sayoko SPB, Arief Joko Wicaksono, Irawan Sandya Wiraatmaja, Remmy Novaris DM, dll.

Jadi kalau saya saja terangguk-angguk karena merasa sudah melangkah “di jalan yang benar” pernah terlibat di Anita, apalagi Uda Risman Hafil (alm), Yanie Wuryandari, Kurniawan Junaedhie; “tiga proklamator” Anita, meski ulah mereka semula sempat bikin “geger”. Tetapi di awal Januari 1979 itu yang terlintas di pikiran saya: nah, tambah banyak tempat menulis! Dan, harus cepat-cepat jumpai Jun, minta honor! Terlebih, di kampus, Lazuardi Adi Sage bilang, “Sudah ambil honor, Dek?” Dia sudah. Hari sebelumnya saya bolos kuliah; menstensil Buletin Sanggar A yang saya pimpin (anggotanya kawan kuliah seperti M Nigara, Remi Soetansyah, Amrizal Ramli; yang tak lain penulis Anita semua). Saya lalu ke Jl. Padang, jumpa Kurniawan-Yanie. Jun ajak saya ke ruang bosnya, R Risman Hafil; saya sapa Uda karena sedaerah, serta lebih tua dari saya 11 tahun. Muda, ramah, enerjik. Selama berbincang ia didampingi Rujito SK, yang kelak Wapemred Tiara (adik Anita). Tak terbayang bahwa setahun lebih kemudian, tahun 1980, Da Risman mengirimi saya dua surat berisi sama, ke alamat abang di Ciawi Bogor, dan Tomang Barat. Isinya, meminang saya jadi redaktur Anita; menggantikan Emji Alif yang tak betah lama-lama tinggalkan gunung hingga hanya dua bulan tahan bermesraan dengan Anita. Malah Astuti Wulandari pun dia tinggal. Juga Rifda yang manis, kemanakan Da Risman; yang bertugas mecatat naskah masuk atau di-retour.

Eh, saya malah pegang rekor, 9 tahun lebih di Anita! Dari usia 27 tahun minus 12 belas hari, hingga umur 36 plus 7 bulan (saya resmi pergi dari Anita 31 Januari 1990 tapi sejak Desember 1989 tinggal ‘kasih bekal’
kepada rekan yang tinggal, seperti diminta Da Risman). Atau sejak pengirim cerpen memanggil saya Adek saja, bahkan Dik Adek bagai Mbak Yayuk Nurtono di Surabaya, lantas Bang Adek (Wibi Permani yang asal Bali: Bli Adek), belakangan mulai disapa Om! Nah, kalah jadinya “sang proklamator” Kurniawan-Yanie, “sang pelanjut” Adhie M Massardi dan Astuti-Emji!

ANITA DAN SAYA (3)
1 Februari 2009 pukul 13:57

KURNIAWAN Junaedhie, satu dari tiga perintis Anita, menulis di dalam bukunya "Rahasia Dapur Majalah di Indonesia" (Gramedia, 1995) mengenai Anita: “Masa kejayaan majalah remaja ini diperoleh pada tahun 1986, ketika majalah ini dikemudikan oleh orang bernama Adek Alwi. Saat itu, tirasnya sempat mencapai angka 60 ribu eksemplar. Majalah ini bahkan sempat populer dan menjadi andalan serta wahana kreativitas bagi pengarang cerpen remaja di Indonesia. Banyak nama pengarang yang kini menghiasi media massa di Indonesia, lahir pertama kali melalui majalah remaja ini.”

Kurniawan berendah hati tak menyebut nama dia dan Yanie Wuryandari di bagian yang membahas Anita itu. Juga, sebetulnya tidak tahun 1986 “masa kejayaan” itu dicapai, tapi sejak 1985. Tiras Anita pun lebih dari 60 ribu: 65 ribu eksemplar. Seingat saya Anita makin melesat sejak terbit 3 kali sebulan, yang dimulai pada volume 57 edisi ke-2 April 1982.

Itulah sekilas peran Kurniawan di balik layar sastra Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar