Rumah itu selalu mengingatkan padamu, namamu, dan wajahmu yang suram, ditimpa lampu malam. Tapi aku tak yakin benar, apakah kamu juga pernah mengingat namaku?
Di depan rumah, aku terpekur, memandang langit yang melengkung seluas cakrawala, dengan tiang-tiang listrik yang seakan menjadi penyanggganya. Lalu kurasakan suara piyuh angin yang memukul-mukul suara tebing.
Dari jauh, kulihat teras rumah itu kosong, ruang tamu juga kosong. Ada juga setumpuk angan-angan yang berserakan di lantai, dan sekardus impian yang menempel di dinding.
Dulu aku pernah berpikir, di dinding itu akan ada telapak tangan anak2 yang menggapai (tapi kenyataan itu rupanya tak pernah sampai). Dulu aku pernah berpikir, kamu akan sebut namaku dan aku akan sebut namamu (tapi sekarang yang kudengar hanya suara darah yang mengalir seperti air terjun dari ngarai).
Dulu aku pernah berpikir, di dinding itu akan ada telapak tangan anak2 yang menggapai (tapi kenyataan itu rupanya tak pernah sampai). Dulu aku pernah berpikir, kamu akan sebut namaku dan aku akan sebut namamu (tapi sekarang yang kudengar hanya suara darah yang mengalir seperti air terjun dari ngarai).
Di depan teras rumah itu, tubuhku kelu, tertekuk dan terduduk. Sadarlah kini, begitu banyak hari2 lewat; dan kata2 terucap. Kita ternyata hanya hidup berumah dalam kenangan. Masa laluku adalah patahan piring, keping hati yang membuatku melihat masa kelam.
Lihat, malam pun berganti pagi. Hidup jalan terus ternyata. Tak ada yang kekal di bawah matahari.
Lihat, malam pun berganti pagi. Hidup jalan terus ternyata. Tak ada yang kekal di bawah matahari.
Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar