Perempuan
dalam
Secangkir Kopi
Kumpulan Puisi Kurniawan
Junaedhie
2009
Penerbit Kosa Kata Kata, Jakarta
2009
Judul Buku: Perempuan dalam Secangkir Kopi
(Kumpulan Puisi Kurniawan Junaedhie)
Copyright © 2010 Kurniawan Junaedhie
Cetakan Pertama, Januari2010
Penyunting:
Maria Nurani
Penyunting:
Maria Nurani
Desain Sampul:
Yongke DS
berdasarkan lukisan Hardi:
Model in Blue, Oil Painting, 1997
Yongke DS
berdasarkan lukisan Hardi:
Model in Blue, Oil Painting, 1997
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Kosa Kata Kata, Jakarta
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN:
6767676-686868-112
ISBN:
6767676-686868-112
|
Untuk Maria, Ayi & Ela
3 keping hatiku
Daftar Isi:
Ucapan Terimakasih / v
Ucapan Terimakasih / v
1. Perempuan dalam Secangkir Kopi / 1
2. Perempuan dalam Secangkir Kopi (2) / 2
3. Istri / 3
4. Aku, Kau & Cermin / 4
5. Usia / 5
6. Kau, Ikan & Nelayan / 6
7. Ketika Hanya Berdua / 7
8. Sajak Anak-Anak Bermain Kelereng / 8
9. Perempuan dalam Sajak / 9
10. Indahnya Hidup Cara Nes / 10
11. Seekor Kucing Hitam / 11
12. Seorang Perempuan / 12
13. Melankoli / 13
14. Surat untuk AA / 14
15. Sedalam Lautan / 15
16. Kekasihku Tertidur / 16
17. Untuk Medy Loekito, Untuk Rita Oetoro / 17
18. Keroncong Kebayoran / 18
19. Romansa Duduk di Senja Hari / 19
20. Sang Pengamen / 20
21. Ketemu Hardi / 21
22. Ketika Hidup Susah / 22
23. Kenangan / 23
24. Sebatang Pohon Yang Rindang / 24
25. Sajak Pendek Untuk Kesunyian / 25
26. Seorang Lelaki Yang Tidak Bisa Tidur / 26
27. Seekor Cicak di Dinding / 27
28. Pesawat Terbang / 28
29. Ke Pasar di Hari Natal / 29
30. Biji Mata / 30
31. Song For Anna / 31
32. Kembali pada Ibu / 32
33. Peristiwa Dalam Suratkabar / 33
34. Gelap / 34
35. Eloi, Eloi Lama Sabakhtani /35
36. Ketika Umur Tambah Satu / 36
37. Penantian / 37
38. Malaikat untuk Ibu / 38
39. Rest in Peace / 39
40. Ketika Waktu Memanggil / 40
41. Tak Ada yang Hilang / 41
42. Kematian / 42
43. Titik / 44
44. Patung Perempuan / 45
45. Minum Mocha Coffee Bersamamu / 46
Riwayat Penyair / 47
Kata Pembaca : Seno Gumira Adjidarma, N. Syamsuddin Ch. HAESY & Heru Emka / 48
Komunikasi yang baik diawali
dengan segelas kopi hitam
(Anne Morrow Lindbergh, novelis)
Terimakasih:
Buku ini menggenapi
buku puisi saya, “Cinta Seekor Singa”, terbitan Bisnis2030, Jakarta, yang
mendokumentasi karya saya antara tahun 1974 - 2009. Adapun puisi-puisi di dalam
buku ini semuanya diciptakan pada antara Maret sampai Desember 2009.
Dalam kesempatan ini saya ingin berterimakasih untuk para endorser: Seno Gumira Adjidarma, Syamsuddin Haesy dan Heru Emka, juga untuk teman-teman minum kopi seperti Adek Alwi, Saut Poltak Tambunan, Kurnia Effendi,termasuk teman-teman yang gemar mendorong-dorong saya membukukan puisi, seperti Iwan Soekri, Hardho Sayoko Spb, Salimi Akhmad, dan Yulius Yusijaya. Saya juga merasa sangat sepantasnya berterimakasih pada para sejawat di awal kepenyairan saya, seperti dr. Handrawan Nadesul, Oei Sien Tjwan, Herman Affandi alm, Dharmadi, Ahita Teguh Susilo, Asfahani, Fatchurrachman Soehari & Sutirman Eka Ardhana. Juga untuk teman2 di Asosiasi Penulis Cerita ANITA, seperti Ana Mustamin, Agnes Majestika, Bambang Sukma dan Putra Gara plus teman-teman saya ‘Tim Merah’ di Facebook: Dewi Maharani, Faradina, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K, Pratiwi dan Weni Suryandari. Mereka yang membuat saya ‘bersemangat’ untuk terus berpuisi. Last but not least, kepada Pelukis Hardi yang meminjamkan lukisannya “Model in Blue” sebagai sampul buku ini (yang membuat buku ini jadi terasa istimewa) tentu saja saya juga harus mengucapkan terimakasih banyak.
Dalam kesempatan ini saya ingin berterimakasih untuk para endorser: Seno Gumira Adjidarma, Syamsuddin Haesy dan Heru Emka, juga untuk teman-teman minum kopi seperti Adek Alwi, Saut Poltak Tambunan, Kurnia Effendi,termasuk teman-teman yang gemar mendorong-dorong saya membukukan puisi, seperti Iwan Soekri, Hardho Sayoko Spb, Salimi Akhmad, dan Yulius Yusijaya. Saya juga merasa sangat sepantasnya berterimakasih pada para sejawat di awal kepenyairan saya, seperti dr. Handrawan Nadesul, Oei Sien Tjwan, Herman Affandi alm, Dharmadi, Ahita Teguh Susilo, Asfahani, Fatchurrachman Soehari & Sutirman Eka Ardhana. Juga untuk teman2 di Asosiasi Penulis Cerita ANITA, seperti Ana Mustamin, Agnes Majestika, Bambang Sukma dan Putra Gara plus teman-teman saya ‘Tim Merah’ di Facebook: Dewi Maharani, Faradina, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K, Pratiwi dan Weni Suryandari. Mereka yang membuat saya ‘bersemangat’ untuk terus berpuisi. Last but not least, kepada Pelukis Hardi yang meminjamkan lukisannya “Model in Blue” sebagai sampul buku ini (yang membuat buku ini jadi terasa istimewa) tentu saja saya juga harus mengucapkan terimakasih banyak.
Maka paripurnalah tahun 2009 dengan buku puisi
saya, ini.
Terimakasih untuk pembaca.
Terimakasih untuk pembaca.
31 Desember 2009
KJ
KJ
Poetry begins in delight
And ends in wisdom.
[Robert Frost]
Perempuan dalam
Secangkir Kopi
-Saat ngopi bersama Kurnia Effendi & Tina ketika ultah Endah Sulwesi
di Jl. Sabang.
Perempuan itu hilang dari rumahnya.
Meninggalkan dua anaknya yang sedang melukis pemandangan: gunung dan matahari.
Ia terbang dan masuk ke dalam sebuah cangkir di kafe di meja dekat seorang pria
yang sejak tadi asyik bermain laptopnya. Adakah yang lebih berarti daripada
hidup di dalam cairan? Ia berenangan di dalamnya, dan karena iseng ia lalu menyembulkan kepala dan memainkan
matanya ke arah pria di sampingnya. Si pria terpana. Ia ikut mengerlingkan
mata. Sangat sexy,
menurut mata pria itu. Ada perempuan dalam cangkir, gumamnya. Tanpa disadari tangannya
memain-mainkan sendoknya. Perempuan itu lalu menyelam lebih dalam ke lubuk
kopi.
Jakarta, 2009
Jakarta, 2009
Perempuan dalam Secangkir Kopi (2)
Aku ingin sekali bisa mengapung sembari
berenangan di dalam kopimu. Kubayangkan, betapa nikmatnya hidup dipermainkan
air yang gelap dan pahit sambil diguncang-guncang oleh sendokmu. Aku akan menukik, menyelam dan menggapai tanganmu
lalu sesekali, sambil berkecipakan di
dalam air yang hangat itu aku akan
mencium bibirmu di pinggir cangkir. Tak ada yang bisa cemburu. Juga air ludah
dan lendir di mulutmu.
Aku suka caramu memasukkan gula pasir ke
cangkir dan menyedunya dengan air. Aku suka caramu membaui kehangatan air kopi
dan caramu mencecap dengan lidahmu. Kamu paling akan bertanya, sejak kapan kamu
suka berenang? Aku akan menjawab, sejak kamu suka menjerang air, dan
menuangkannya ke dalam termos. Di tengah hidup yang pahit, aku senang menyelam
ke dalam kopi bersama seorang perempuan yang hangat. Tak ada yang bisa cemburu.
Juga sendok dan piring kecil dekat cangkirmu.
Olala, Bintaro. Okt. 2009
Aku bersijingkat naik tempat tidur. Dan istriku yang sudah lama di sana, memelukku. Ia mencium bibirku. Dan kami saling berpagutan dan mendesis-desis seperti ular. Ada rasa yang liar. Seperti merasakan ruap onak yang terbakar. Ketika jam weker berbunyi dua kali, kami pun terjaga. Kami berpandangan.
Saat itu di jendela hujan turun gerimis. Bayang lampu jalanan masuk ke dalam gorden yang tipis. Langit sangat kelam. Di pinggir tempat tidur, kami duduk terdiam. Rasanya dunia kelam. Semua diam. Juga tiang listrik di luar sana, diam, diguyur hujan.
Dan ketika kutatap matanya, kulihat dalam mata itu sebuah telaga yang tenang. Beberapa ekor belibis sedang berenang di permukaannya. Setelah itu, aku melihat seluas-luasnya samudera. Ada air laut menggenang sampai ke batas cakrawala. Ada cahaya berkelebat seperti kilat di luar jendela. Tapi tidak ada ombak. Dan aku seperti sauh kecil, terombang-ambing di alun gelombang.
Aku masih termangu-mangu, ketika istriku bersijingkat naik tempat tidur. Aku masih duduk membisu ketika ia mengigau. Aku masih terjaga ketika weker berbunyi empat kali. Aku dengar dengusnya. Aku membaui nafasnya. Aku heran bagaimana dia bisa mencintaiku apa adanya.
Saat itu di jendela hujan turun gerimis. Bayang lampu jalanan masuk ke dalam gorden yang tipis. Langit sangat kelam. Di tempat tidur, istriku terpejam. Rasanya dunia karam. Semua diam. Juga tiang listrik di luar sana, diam, diguyur hujan. Dan aku menangis.
Oktober 2009
Aku, Kau & Cermin
Tubuhmu terbuat dari tubuh ikan. Licin. Dari
sisik-sisik terbaik. Matamu terbuat dari merjan. Bening, berkilau. Hidungmu
terbuat dari beling cangkir. Lembut terukir seperti pualam, tak terurai.
Bibirmu terbuat dari irisan apel. Lembut tak terpanai. Aku seperti lidah,
menjilat-jilat bayangan kelam. Kadang aku menyelam, dan kadang aku terbang
tinggi. Tapi cermin itu tidak memantulkan bayanganku sendiri.
2009
2009
Kalau kelam itu batu, seperti apa rupaku? Dalam pemandangan terang selebar layar bioskop aku cuma kepinding atau sejenis kutu besar yang merangkak bumi. Rupaku kelam seperti empu ditimpa oleh waktu yang betubi-tubi. Coba kau kasih pisau. Maka akan kutikam-tikam umurku seperti hujan menikam-nikam batu. Biar dia melesak, dan pipih tak berserat lagi. Seperti aksara dan angka pada kalender di pintu.
24 Nov. 2009
Kau, Ikan & Nelayan
Kau menaiki mercusuar itu, dan dari
atas menyaksikan alunan gelombang dan sekawanan burung camar yang mematuk-matuk
air laut. Seketika ombak besar menggulung mercusuar itu. Tapi kau tidak
terjungkal, hanya menyelam dan masuk ke dasar, melihat ganggang, bertemu para
ikan, bahkan masuk ke sisik-sisik ikan. Seketika ombak besar datang lagi menggulung,
membuat langit keruh, dan melemparkanmu ke pantai dan tiba di pesisir saat
angin piyuh. Lalu seorang nelayan menangkapmu dan memasukannya ke dalam bubu.
Aku bukan ikan, katamu.
9 Des 2009
9 Des 2009
Ketika Hanya Berdua
-MM
Kita hanya berdua. Hanya ada aku dan engkau di kamar ini. Di meja ada sebilah pisau. Di dalam tubuh ada darah yang mendidih. Di matamu, ada separuh hidup yang berantakan dengan waktu-waktu berlinangan seperti airmata. Kita duduk. Kepalamu tertunduk: melihat mata pisau itu berkerjap-kerjap. Untuk apa pisau ini, tanyamu. Mengapa mata pisau itu berkilat-kilat, katamu. Aku belum pernah melihat pemandangan ini sebelumnya. Apakah ini penunjuk waktu? Apakah kita masih punya waktu? Aku menoleh ke jendela. Ada pekarangan luas di belakang rumah yang ditumbuhi semak dan belukar. Ada hati beku. Wajah yang keruh.
Des. 2009
Kita hanya berdua. Hanya ada aku dan engkau di kamar ini. Di meja ada sebilah pisau. Di dalam tubuh ada darah yang mendidih. Di matamu, ada separuh hidup yang berantakan dengan waktu-waktu berlinangan seperti airmata. Kita duduk. Kepalamu tertunduk: melihat mata pisau itu berkerjap-kerjap. Untuk apa pisau ini, tanyamu. Mengapa mata pisau itu berkilat-kilat, katamu. Aku belum pernah melihat pemandangan ini sebelumnya. Apakah ini penunjuk waktu? Apakah kita masih punya waktu? Aku menoleh ke jendela. Ada pekarangan luas di belakang rumah yang ditumbuhi semak dan belukar. Ada hati beku. Wajah yang keruh.
Des. 2009
Kalau kamu bermain kelereng
Aku harus bermain apa?
Kalau aku mau meninju mukamu?
Kamu mau bilang apa?
Kalau mau memegang balon
Aku memegang apa?
Kalau kugampar pipimu?
Kamu mau apa?
Kalau aku bikin sajak
Emang kamu bisa bikin roket?
Kalau aku mau bunuh kamu?
Emang kami punya nyali?
Aku memegang apa?
Kalau kugampar pipimu?
Kamu mau apa?
Kalau aku bikin sajak
Emang kamu bisa bikin roket?
Kalau aku mau bunuh kamu?
Emang kami punya nyali?
Seperti butir-butir kelereng
Hidup kadang suka jauh melenceng
Mau jadi orang bijak bestari
Tapi mata hati ditutup peri
Seperti anak-anak ingusan
Hidup tak ubahnya bak permainan
Padahal semakin dekat ingatan
Semakin kita dekat lautan
Hidup kadang suka jauh melenceng
Mau jadi orang bijak bestari
Tapi mata hati ditutup peri
Seperti anak-anak ingusan
Hidup tak ubahnya bak permainan
Padahal semakin dekat ingatan
Semakin kita dekat lautan
2009
Perempuan dalam Sajak
- Susy Ayu
Bagaimana mungkin,
seorang perempuan muncul dalam sajakku
Seperti pendar waktu,
dan gigil kelam,
dia leleh di pundakku
Licin bagai lilin,
lidah kami kemudian berpilin
Kami menyelam dan berenangan di laut kata
Terasa ngilu.
Giris dan lapar
Kami seakan tembikar terbakar
dalam seonggok nafsu
Lalu, ujarku: sajak, kenapa perempuan itu
masuk ke dalam kalimatku?
- Susy Ayu
Bagaimana mungkin,
seorang perempuan muncul dalam sajakku
Seperti pendar waktu,
dan gigil kelam,
dia leleh di pundakku
Licin bagai lilin,
lidah kami kemudian berpilin
Kami menyelam dan berenangan di laut kata
Terasa ngilu.
Giris dan lapar
Kami seakan tembikar terbakar
dalam seonggok nafsu
Lalu, ujarku: sajak, kenapa perempuan itu
masuk ke dalam kalimatku?
2009
Indahnya Hidup Cara Nes
Nes ingin punya rumah
Yang terdiri dari satu kamar mandi
dan sebuah kamar tidur
Hidup akan bahagia, katanya
Apalagi jika di dinding tak ada kalender
Tak ada pesawat televisi, telepon, weker, komputer
termasuk alat pengukur waktu, atau pencatat suhu
Dibayangkan hidup akan mengalir lebih dari 24 jam
Mungkin 48 jam, atau 356 jam
Aku bukan tulangrusuk
Aku cuma melihat betapa hidupku remuk
Aku tak ingin hidupku seperti ibu
Menghamba pada lelaki dengan kepala tertunduk
Aku ingin merdeka, katanya
Aku ingin surga.
Setiap hari Nes bernyanyi di kamar mandinya
yang luas
Di sana ia membersihkan semua keluh kesah
Lalu ia berbaring di kamar tidurnya yang lapang
sambil sesekali melakukan masturbasi
tanpa perlu menyebut atau menghapal nama-nama.
Ia senang karena tak perlu mendengar langkah kaki
suara gumam, atau bahkan erangan
Ia hanya ingin mendengar nafasnya sendiri
Ia hanya ingin mendengar desahnya sendiri
Alangkah indahnya hidup, begitu kata Nes
Di sana ia membersihkan semua keluh kesah
Lalu ia berbaring di kamar tidurnya yang lapang
sambil sesekali melakukan masturbasi
tanpa perlu menyebut atau menghapal nama-nama.
Ia senang karena tak perlu mendengar langkah kaki
suara gumam, atau bahkan erangan
Ia hanya ingin mendengar nafasnya sendiri
Ia hanya ingin mendengar desahnya sendiri
Alangkah indahnya hidup, begitu kata Nes
Mei, 2009
Seekor kucing hitam mengeong berkepanjangan
Perempuan itu mencopot pakaiannya
menyerahkan tubuhnya:
untukmu, katanya, hanya untukmu
Suaranya parau, seperti leher burung terkena pisau
Perempuan itu mencopot pakaiannya
menyerahkan tubuhnya:
untukmu, katanya, hanya untukmu
Suaranya parau, seperti leher burung terkena pisau
Lalu dia memadamkan lampu,
dan rebah di ranjang
seperti sebilah pedang
dan rebah di ranjang
seperti sebilah pedang
Lalu malam dan siang bertemu
Peluh pun jatuh berleleran
Peluh pun jatuh berleleran
Setelah bergulingan semalaman.
perempuan itu kembali pada suaminya,
Dan si lelaki kembali pada istrinya
hidup jalan terus seperti lazimnya
Hanya mereka terlanjur hapal tahi lalat mereka
Satu di pantat kiri, satu di dekat kelamin,
Sebuah tanda lahir di dekat payudara
Juga sebuah kenangan yang mengapung di tengah samudera
Satu di pantat kiri, satu di dekat kelamin,
Sebuah tanda lahir di dekat payudara
Juga sebuah kenangan yang mengapung di tengah samudera
Juni, 2009
Ia dengar suara langit malam
Ia dengar suara gerit daun pintu
Ia sambut lelaki itu
Ia buka kutangnya, dan
hamburkan kata-kata cinta
Susunya tegak
Bibirnya basah
Tanda pasrah
Desahnya lembut mendayu-dayu
Percintaan itu, begitu katanya,
Seperti cahaya keemasan
Dalam remang
Enak untuk dikenang
2009
Melankoli
Dia tunduk tersipu
Aku rengkuh bahunya
Angin bertiup lalu
Cuaca yang beku
Aku rengkuh bahunya
Angin bertiup lalu
Cuaca yang beku
Sekarang dia tertawa
Aku tergelak
24 tahun berlalu
Tak ingin aku melukaimu
Aku tergelak
24 tahun berlalu
Tak ingin aku melukaimu
Lalu kamar itu senyap
Kata seperti melekat di dinding
Mata kita terpejam
Dan hati berpandangan
2009
Kata seperti melekat di dinding
Mata kita terpejam
Dan hati berpandangan
2009
Ia menuduh hujan membuat mata jadi basah, pohon jadi tunas,
dan langit jadi hijau. Ia pun menuduh malam menyebabkan pohon bersetubuh, hewan
bersetubuh dan semua orang bersetubuh. Ia pun menuding rembulan menimbulkan
orang mendengkur, kodok bernyanyi, alam semesta menjadi senyap dan angin
berlenggang menyisir partikel demi partikel dan dinding demi dinding. Ia pun
menuduh hujan, malam dan rembulan yang mengakibatkan kata-kata jadi rumit dan
kalimat berbelit-belit
/2
Katamu: Biarkan pantun demi pantun menandak, melesak dalam
sajak. Sudah lama hutan kata tak berjejak diliputi onak dan kalimat yang
beranak pinak. Begitu katamu
Lenteng Agung-BSD, 3 Des. 2009
Sedalam Lautan
- sang pacar
- sang pacar
Aku desak dia
Dia mengkeret, dan tersungkur
Tubuhnya merapat di dinding
Napasnya panas, ah, bikin merinding
Kami merasakan geteran hebat
Surga kami berderak-derak
Udara ngambang
Benar-benar melayang
Dia rentangkan tangannya ke atas
Tanda menyerah: pasrah
kuangkat dagunya
kuciumi dia bertubi-tubi
Dia mengkeret, dan tersungkur
Tubuhnya merapat di dinding
Napasnya panas, ah, bikin merinding
Kami merasakan geteran hebat
Surga kami berderak-derak
Udara ngambang
Benar-benar melayang
Dia rentangkan tangannya ke atas
Tanda menyerah: pasrah
kuangkat dagunya
kuciumi dia bertubi-tubi
Aku ikuti saja tarian itu
Waltz atau salsa
Surga kami melayang
Sedalam lautan, sedalam lautan
Waltz atau salsa
Surga kami melayang
Sedalam lautan, sedalam lautan
2009
Kekasihku Tertidur
Pada Nes aku bilang: aku cinta padamu
Pada Tuti aku juga bilang hal yang sama
Pada Susy aku juga bilang begitu
Dan kata saling berloncatan, saling menerkam
Saling bergosokan, saling bergulingan
Membuat frasa, membuat kalimat dan sederet igau
Dan peluh menyirami di atasnya
Pada Tuti aku juga bilang hal yang sama
Pada Susy aku juga bilang begitu
Dan kata saling berloncatan, saling menerkam
Saling bergosokan, saling bergulingan
Membuat frasa, membuat kalimat dan sederet igau
Dan peluh menyirami di atasnya
Tidurlah tidur
Biar semua orang mendengkur
Mengunyah mimpinya sendiri
Di antara galaksi
Biar semua orang mendengkur
Mengunyah mimpinya sendiri
Di antara galaksi
2009
Dalam sajak,
kata-kata bergerak
Dia meluncur sekalimat-sekalimat
Kutikam terus sampai koyak
Sampai senyap sampai kiamat
kata-kata bergerak
Dia meluncur sekalimat-sekalimat
Kutikam terus sampai koyak
Sampai senyap sampai kiamat
2009
Bintang naik setinggi galah
Kota kenangan terkubur dalam sajak
Hanya bisa kupanggil Dia:
Kota kenangan terkubur dalam sajak
Hanya bisa kupanggil Dia:
Allah!
2009
Aku ditinggal oleh perempuan yang suka membaca
Sartre dan mendengarkan lagu The Virgin itu. Hatiku somplak. Dunia hancur seperti kaca cermin yang dibanting. Aku patah
hati seperti anak kemarin sore. Aku masuk kafe. Dugem. Hidup jadi memble. Alam semesta tertawa. Seperti
cangkang kepiting, aku ingin menggigit lehernya.
Aku nyalakan televisi. Aku lihat seorang presiden dilempar sepatu dan tubuh
orang yang terjun dari apartemen terbujur di tanah berdarah-darah. Kulihat juga
para penyiar tolol yang suka memotong-motong kata dan mereka-reka berita. Lalu
kudengar Indonesia Raya dan suara bendera disobek. Seperti cangkang kepiting,
aku ingin menggigit lehernya.
Aku terbang ke Mal di Kebayoran. Bersama
Anny, Yo dan Ariana Pegg minum kopi di
Radja Ketjil. Selama ngobrol berkali-kali kami minta asbak diganti. Dan di
seberang sana, pesawat televisi menyiarkan gambar presiden sedang marah,
penyiar televisi yang suka memotong kata, dan suara bendera disobek. Seperti
cangkang kepiting, aku ingin menggigit lehernya.
Sekarang aku ingat masalahku sendiri.
Aku ditinggal oleh perempuan yang suka
membaca Sartre dan mendengarkan lagu The
Virgin itu. Hatiku somplak. Dunia
hancur seperti kaca cermin yang dibanting. Aku patah hati seperti anak kemarin
sore. Aku masuk kafe. Dugem. Hidup jadi memble.
Alam semesta tertawa. Maka aku buka mesin fotokopi. Kuletakkan lembaran tubuh
perempuan itu di atasnya. Dan di bagian
yang lain, mesin fotokopi itu mengeluarkan tubuh yang lain. Seperti cangkang
kepiting, aku ingin membelai lehernya.
PIM 2, 14 Des. 2009
Cobalah kaupikirkan, di antara siapa, aku ada
di hatimu?
Apakah di antara bunga-bunga bakung itu ada namaku?
Ataukah di hatimu sayang, juga tertera namaku?.
Apakah di antara bunga-bunga bakung itu ada namaku?
Ataukah di hatimu sayang, juga tertera namaku?.
Bagaimana kita sebaiknya?
Duduk di sini saja kita, sambil mempercakapkan hujan?
Ataukah berlari ke hutan itu, lalu sembunyi disana
Sambil membugil, berciuman, berdekapan?
Duduk di sini saja kita, sambil mempercakapkan hujan?
Ataukah berlari ke hutan itu, lalu sembunyi disana
Sambil membugil, berciuman, berdekapan?
Tapi cinta sendiri sudah berlari meninggalkan
kita
Siapa pun tahu, kita tak lagi punya apa-apa
Di hatiku hanya tersisa segumpal kenangan lama
Sekadar dongeng untuk anak cucu kita
2008
Siapa pun tahu, kita tak lagi punya apa-apa
Di hatiku hanya tersisa segumpal kenangan lama
Sekadar dongeng untuk anak cucu kita
2008
Aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu
ujar pengamen itu tanpa malu-malu
Lalu sebuah syair mengalir bersama lagu
tentang cinta yang dungu dan pandir
ujar pengamen itu tanpa malu-malu
Lalu sebuah syair mengalir bersama lagu
tentang cinta yang dungu dan pandir
Ia memetik senar itu,
Sambil bibirnya menggigit harmonika
yang tak henti-henti mengiringi luka
Seakan mencubit-cubit hatiku
Sambil bibirnya menggigit harmonika
yang tak henti-henti mengiringi luka
Seakan mencubit-cubit hatiku
2009
Hidup itu seperti lukisan. Aku mampir ke kantor Hardi bersama Saut dan Helga Worotitjan (Iwan menyusul kemudian). Matahari sepenggalah. Kami makan nasi padang (atau kapau) sembari membahas banyak hal disaksikan sejumlah lukisan yang digantungkan. Yahya memotret-motret dengan kameranya. Kami mengunyah-ngunyah krupuk. Busa kata berhamburan: Keris. Puisi. Strategi kebudayaan. Modal multinasional. Sun Yat Zen. Neolib. Filsafat. Goethe. Adapun Yahya terus memotret-motret dengan kamerannya. Klik.
27 Des. 2009
Ketika Hidup Susah
Jangan menjulang
Jangan biarkan kata-kata hilang
Ini tangan ini lengan
Rompak pekerjaan
Aku air yang menghilir
Aku uap yang terbang ke udara
Buat hatiku tergerus
Jangan cuma bumi yang hangus
Dan pikiran sungsang
Biar langit menjadi terang
Jangan biarkan kata-kata hilang
Ini tangan ini lengan
Rompak pekerjaan
Aku air yang menghilir
Aku uap yang terbang ke udara
Buat hatiku tergerus
Jangan cuma bumi yang hangus
Dan pikiran sungsang
Biar langit menjadi terang
Desember 2008
Kenangan
Mereka menyebut kita udara
Udara menyebut kita kata
Kata menjelma jadi dirimu
Di dalam sajak-sajakku
Kamu juga tergolek tak berdaya
Seperti dulu udara menyebutnya
Seperti dulu mereka menyebut asal usulnya
Mereka menyebut kita udara
Udara menyebut kita kata
Kata menjelma jadi dirimu
Di dalam sajak-sajakku
Kamu juga tergolek tak berdaya
Seperti dulu udara menyebutnya
Seperti dulu mereka menyebut asal usulnya
2009
Sebatang Pohon Yang Rindang
- Ulangtahun ayah ke-85 tahun
Bagiku ayah adalah sebatang pohon tua yang rindang. Daunnya rimbun. Kalau aku melihat ke atas, yang kulihat hanya susunan daun bertrap-trap. Begitu banyak daun tersusun. Di kelopak daun itu aku lihat kutu, semut, juga kadang buliran embun. Beberapa daun terkulai, lalu jatuh rebah. Karena gemas, pada suatu hari aku masuk ke dalam tanah, berkomplot dengan remah-remah. Aku lihat ayah dari bawah. Ayah adalah sebatang pohon tua yang rindang. Akarnya kuat, mencengkeram ke bumi erat-erat.Aku merasa terlindung dalam himpitan daun dan cengkeraman cacing tanah.
- Ulangtahun ayah ke-85 tahun
Bagiku ayah adalah sebatang pohon tua yang rindang. Daunnya rimbun. Kalau aku melihat ke atas, yang kulihat hanya susunan daun bertrap-trap. Begitu banyak daun tersusun. Di kelopak daun itu aku lihat kutu, semut, juga kadang buliran embun. Beberapa daun terkulai, lalu jatuh rebah. Karena gemas, pada suatu hari aku masuk ke dalam tanah, berkomplot dengan remah-remah. Aku lihat ayah dari bawah. Ayah adalah sebatang pohon tua yang rindang. Akarnya kuat, mencengkeram ke bumi erat-erat.Aku merasa terlindung dalam himpitan daun dan cengkeraman cacing tanah.
2009
Langit hitam
Helai malam
Suara daun gemeratak
Dalam kata
mirip sajak
Helai malam
Suara daun gemeratak
Dalam kata
mirip sajak
2009
Seorang Lelaki Yang Tidak Tidur
- Cerita untuk Ahita
- Cerita untuk Ahita
Sudah lama dia tidak tidur. Matanya terbeliak
tapi pikirannya melancong ke negeri jauh di antara kemerlip bintang. Ia merasa
dirinya seperti kepompong. Tapi kenapa hidup begitu bengis? Ia kawini seorang
perempuan cantik tetapi dia malah serong dengan lelaki lain. Ia sayangi anak satu-satunya tapi anaknya
malah memacu motornya dengan kencang di jalananan sampai sebuah truk
menghentikannya. Dunia pun jungkir balik di kepala. Membuat matanya terus
terbeliak sampai sekarang. Dia diam dan tidak bisa tidur. Tapi pikirannya
melancong ke negeri jauh. Ke sebuah dusun yang tenang, di antara kemerlip
bintang. Di mana keluarganya tinggal, dalam kenangan. Sambil tetap membuka
matanya, ia pun mulai mereka-reka untuk berkumpul di sana. Tapi dengan apa?
Menenggak racun tikus? Minum obat di luar dosis? Atau menyelipkan moncong
pistol ke dalam mulutnya sampai nafasnya mendesis? Sampai sekarang ia tetap mereka-mereka dengan
1000 cara sambil terus membuka matanya. Untuk sekian lamanya.
2009
Seekor Cicak di Dinding
Seekor cicak merayap di dinding. Siapa namamu?
Singa? Macan? Ah, aku hanya seekor buaya kecil yang kerjanya merayap di
dinding. Aku tak bisa menari dan terbang tinggi. Kudukku selalu merinding.
Tubuhku selalu menggigil. Aku selalu takut ditepok pemilik tembok. Itu sebabnya aku selalu berjalan mengendap,
merayap dengan mata mengerjap. Termenung, atau termangu, membisu atau diam.
Pernah sekali bercinta dan anglingdarma mendengarnya. Karena tak mau membuka
rahasia, istrinya curiga dan membakar dirinya. Aku merasa berdosa.
Siapa namamu? Singa? Macan? Ah, aku hanya seekor buaya kecil yang kerjanya merayap di dinding. Aku bukan kamu yang senang berpikir, memegang senapan yang bisa menyalak kapan saja dan mahir mengarang sihir.
Siapa namamu? Singa? Macan? Ah, aku hanya seekor buaya kecil yang kerjanya merayap di dinding. Aku bukan kamu yang senang berpikir, memegang senapan yang bisa menyalak kapan saja dan mahir mengarang sihir.
2009
Pesawat Terbang
Sudah lama kami tidak berani naik pesawat terbang. Burung bermesin itu suka ngadat di udara. Kadang baling-balingnya oleng. Kadang-kadang rodanya rusak. Kadang-kadang saja dia berlagak terbang tinggi, tapi kemudian berpusing-pusing karena mesinnya mati. Sudah lama kami tidak berani naik pesawat terbang. Karena begitu mudah dia terbang, begitu mudah pula dia menukik ke bumi. Sudah lama kami tidak berani lagi kepingin melihat pramugari. Kepada anak-anak dan handaitaulan kami bilang sebaiknya tidak jadi pilot. Pesawat terbang negeri sendiri suka menjatuhkan diri. Tak ada yang menjamin tak ada baut yang copot. Tentu saja para pejabat membantahnya. Tapi kami tidak perduli.
Sudah lama kami tidak berani naik pesawat terbang. Burung bermesin itu suka ngadat di udara. Kadang baling-balingnya oleng. Kadang-kadang rodanya rusak. Kadang-kadang saja dia berlagak terbang tinggi, tapi kemudian berpusing-pusing karena mesinnya mati. Sudah lama kami tidak berani naik pesawat terbang. Karena begitu mudah dia terbang, begitu mudah pula dia menukik ke bumi. Sudah lama kami tidak berani lagi kepingin melihat pramugari. Kepada anak-anak dan handaitaulan kami bilang sebaiknya tidak jadi pilot. Pesawat terbang negeri sendiri suka menjatuhkan diri. Tak ada yang menjamin tak ada baut yang copot. Tentu saja para pejabat membantahnya. Tapi kami tidak perduli.
2009
Di lorong itu tak ada daging-daging digantungkan. Tak ada pisau
tergeletak di meja. Di lorong lain, juga
tak ada tumpukan daun-daun yang sepertiganya bau rabuk. Aku ingin membeli sayur
mayur dan buah segar. Tapi pasar sepi. Tak ada sayur-mayur, tak ada buah segar.
Tak ada orang bertengkar. Kamu memandangku tak percaya: pasar bisa sunyi?
Seperti teko, kataku. Hanya berisi udara. Los-los tutup. Pedagang liburan. Ke distro. Ke Factory
Outlet. Ke Kuta. Ke Jogger.
Serpong 27 Des. 2009
Biji Mata
-Untuk si dia si penggoda
-Untuk si dia si penggoda
Di rumah Wayan: hujan turun warna kelabu
Di urat nadiku: darah mengalir, ke ceruk hatimu
Dengan sebilah jarum dan benang,
kucari
Kucari terus:
biji mataMu !
Ubud, 2009
Di urat nadiku: darah mengalir, ke ceruk hatimu
Dengan sebilah jarum dan benang,
kucari
Kucari terus:
biji mataMu !
Ubud, 2009
Song for Anna
-Untuk Dara
Di pantai ini aku berdiri bersamamu. Ombak sedang menjilati pasir dan sejumlah perahu oleng dipermainkan laut. Matahari terbenam di antara jermal, dan wajah cakrawala jadi bengis. Apa yang kamu ketahui tentang semesta? Kita hanyalah sejoli yang ingin bahagia. Sekadar ingin mereguk angin laut sebentar saja. Tapi sebagian besar perasaan datang pergi silih berganti. Hanya engsel pintu rumah yang bisa menebak siapa kita. Terlalu jauh jaraknya memang, antara rumah dengan jermal ini. Orang hanya bisa menerka. Mereka hanya bisa meraba-raba. Seperti kita yang tengah mencoba menduga: adakah matahari yang tenggelam itu akan segera terbit lagi dari ufuk yang sama?
Maret 2009
Di pantai ini aku berdiri bersamamu. Ombak sedang menjilati pasir dan sejumlah perahu oleng dipermainkan laut. Matahari terbenam di antara jermal, dan wajah cakrawala jadi bengis. Apa yang kamu ketahui tentang semesta? Kita hanyalah sejoli yang ingin bahagia. Sekadar ingin mereguk angin laut sebentar saja. Tapi sebagian besar perasaan datang pergi silih berganti. Hanya engsel pintu rumah yang bisa menebak siapa kita. Terlalu jauh jaraknya memang, antara rumah dengan jermal ini. Orang hanya bisa menerka. Mereka hanya bisa meraba-raba. Seperti kita yang tengah mencoba menduga: adakah matahari yang tenggelam itu akan segera terbit lagi dari ufuk yang sama?
Maret 2009
Kembali pada Ibu
-Semalam aku bermimpi
Ibu
Aku masuk lagi ke dalam rahim ibu. Berkutetan di uterus. Mencair, dan menjadi
air berupa paduan spermatozoa dan sel telur. Agak aneh. Gelap malam jadi
benderang. Ada samudera terbentang. Pemandangan begitu luas. Burung-burung
camar terbang di langit yang buas, sedang aku tampak tergantung di empuknya
awan. Sedalam-dalam aku hirup napasku, penuh dadaku dengan zat-zat terbaik:
Ammonia, Ascoric Acid, Ash, Calcium, Dioxide… Ya Tuhan!
Aku keluar lagi dari uterus ibu. Aku merasa digiring oleh para serdadu dengan
topi bundar yang dibelit duri. Pukimak.
Aku ditawan. Habis sudah. Sebentar lagi aku akan naik ke tiang penjagalan.
Mereka akan segera menembakku. Aku lahir dari rahim ibu dan sekarang aku
berlindung dalam rahim ibu.
15 Des. 2009
Peristiwa di Suratkabar
Seperti sehelai tenunan,
peristiwa demi peristiwa tersulam rapi
seseorang muncul dari kabin
menodongkan pistol dan granat: membajak pesawat
Seperti sehelai tenunan,
peristiwa demi peristiwa teranyam rapi
tubuhku ditemukan di kakus apartemen:
seseorang menikamku persis di ulu hati
aku terkapar, usus terburai ke mana-mana
Seperti sehelai tenunan
peristiwa demi peristiwa tersulam rapi
kapal kami bocor di lambungnya
seisi penumpang terjungkal karam
berenangan di makan ikan-ikan
peristiwa demi peristiwa teranyam rapi
tubuhku ditemukan di kakus apartemen:
seseorang menikamku persis di ulu hati
aku terkapar, usus terburai ke mana-mana
Seperti sehelai tenunan
peristiwa demi peristiwa tersulam rapi
kapal kami bocor di lambungnya
seisi penumpang terjungkal karam
berenangan di makan ikan-ikan
Lalu gempa menggoyang
Lalu lumpur menyembur
Listrik mati, lampu padam
Lalu negeri kami jadi bubur
Ribuan lubang jahitan tak tercatat
Semua tergantung seperti benang dan jarum
tanpa bentuk, tidak kasat mata
Seperti sehelai tenunan,
peristiwa demi peristiwa terjalin rapi
kami menggunakannya untuk taplak meja makan
lalu kami memutarinya dengan hidangan
Lalu lumpur menyembur
Listrik mati, lampu padam
Lalu negeri kami jadi bubur
Ribuan lubang jahitan tak tercatat
Semua tergantung seperti benang dan jarum
tanpa bentuk, tidak kasat mata
Seperti sehelai tenunan,
peristiwa demi peristiwa terjalin rapi
kami menggunakannya untuk taplak meja makan
lalu kami memutarinya dengan hidangan
2009
Berhari-hari lampu padam di rumahmu. Huruf dan gambar tenggelam tertelan oleh dinding. Hidup jadi kelam. Kebahagiaan karam. Kamu resah. Bergulingan di jalanan. Merasa ventilasi dalam rongga dadamu mampat, seperti got yang dipenuhi sampah berjejalan. Karena aku takut pada gelap, katamu. Gelap itu sepi, seperti kematian. Kematian itu sepi seperti malam. Apakah kamu takut pada malam yang sementara? Bukan, aku tidak takut pada malam yang didesak oleh sore dan petang hari meski kemudian digantikan subuh dan pagi hari. Tapi aku takut pada saat malam itu. Atau saat lampu padam. Karena kita tidak bisa berbuat apa-apa. Itu mengingatkanku bahwa suatu hari nanti hidup juga akan memadamkan lampunya. Entah kapan. Saat siang atau malam. Saat ada penerangan atau saat matahari tenggelam.
2009
Eloi, Eloi Lama Sabakhtani
Langit jingga, lalu kesumba
Malam dingin, dan angin menggigil
Tiba-tiba senapanmu menyalak dalam gelap
Aku tersungkur, rebah lalu terjerembab
Sambil terhuyung aku raba dadaku
Darah berlinangan
Kata-kata berlinangan
Darah & kata berlinangan pada tubuh sintalmu
Malam dingin, dan angin menggigil
Tiba-tiba senapanmu menyalak dalam gelap
Aku tersungkur, rebah lalu terjerembab
Sambil terhuyung aku raba dadaku
Darah berlinangan
Kata-kata berlinangan
Darah & kata berlinangan pada tubuh sintalmu
Begini cepat datangnya
Begitu rapuh penyebabnya.
Begitu rapuh penyebabnya.
2009
Ketika umur tambah satu
Uban di rambut tumbuh seribu
Wajah ibu mulai tampak dalam pendar
dalam bayang kenangan
Tampak muda, dan jelita
Wajah yang hidup dalam sanubari
Aduh ibu, aku sayang kamu
Ketika umur tambah satu
Makin dekat jarak ke akhirat
Surga atau neraka
Dan wajah ibu mulai tampak dalam pendar
dalam bayang kenangan
Melambai penuh kasih sayang
Aduh ibu, aku cinta kamu
Ketika umur tambah satu
Aku mulai kenal nama-nama malaikat
Jibril, Munkar. Nankir, Israil
Apalagi yang akan kautanya?
Dan wajah ibu mulai tampak dalam pendar
dalam bayang kenangan
Mengajakku berkasih sayang
Aduh ibu, aku ikut kamu.
24 Nov. 2008
Aku mengaduh ditindih seorang malaikat. Kepalaku terantuk, badanku tertekuk. Dia duduk persis di atas kepalaku. Aku tak mungkin menarik kain kafan. Kafan kutarik menutup kepala, kakiku di bawah terbuka. Dingin tanah seketika meresap ke dalam kulitku bernanah. Mulutku gemetar: Akan tibakah ajakan menuju Yaumul Mahsyar[3]? Atau masih di alam barzah? O, Yaumul Ba’ats[4], kuingat jelas. Kalau waktu masih lama, aku ingin jumpa Camus[5]. Dia yang bilang akhirat hanya semu. Atau kalau beliau sibuk, izinkan aku bertemu ibu. Sudah lama aku rindu. O, tak ada suara. Hanya guguran bulir-bulir tanah di samping kiri kananku. Aku mengaduh. Malaikat itu terus menindih tubuhku. Masa penantian yang kelu.
2009
Di antara tiris hujan aku melihat bayangan dua
malaikat tanpa jas hujan. Keduanya basah
dan menggigil kedinginan. Di selang-seling hujan itu, aku juga melihat cahaya kilat yang
menjelaskan pemandangan yang keruh sementara hujan terus berjatuhan. Air-air
itu menimpa tanah, dan ke kepala mereka.
Juga kepalaku. Di mana rumahku? Cahaya kilat memperlihatkan rumahku ditimpa air
yang deras. Awalnya rumah itu gelap, tapi lambat laun menjadi terang bercahaya. Menakjubkan. Aku ingin mengajak
para malaikat itu ke rumahku yang lebam didera hujan. Aku ingin memperkenalkan
mereka pada ibu.
2009
Rest in Peace
- Untuk Lazuardi Adi Sage
- Untuk Lazuardi Adi Sage
Terbungkus di dalam kain kafan,
tak ada lagi nama yang bisa disapa
Tanah menggelinjang. Langit benderang.
Panorama beku. Seperti kita tengah diamuk badai salju.
Kulihat engkau saja menjauh.
terombang-ombing di atas sauh
Langit di hatiku hangus.
Kaki melangkah seperti di tanah tandus
Semakin terasa tak ada yang abadi.
Bahkan bulu mata pun ternyata bukan milik kita.
tak ada lagi nama yang bisa disapa
Tanah menggelinjang. Langit benderang.
Panorama beku. Seperti kita tengah diamuk badai salju.
Kulihat engkau saja menjauh.
terombang-ombing di atas sauh
Langit di hatiku hangus.
Kaki melangkah seperti di tanah tandus
Semakin terasa tak ada yang abadi.
Bahkan bulu mata pun ternyata bukan milik kita.
Nov. 2007
- Gus Dur wafat dalam usia 69 tahun
Ketika waktu memanggil
Tak ada yang hilang dari langit
Tak ada yang hilang dari ingatan
Yang tanggal hanya lembar kalender
Yang tanggal hanya angka jam
Jika Allah memanggil, cukup sudah
Hanya hati merapuh yang tak kuasa.
Hanya aroma ajal yang mengeras
Dan perasaan ringan seperti kapas
Lalu semua lampus
Seperti kelambu menutup ranjang tidurmu
Hanya jejak kata yang tak terhapus
Sejauh-jauh ingatanku
Hanya hati merapuh yang tak kuasa.
Hanya aroma ajal yang mengeras
Dan perasaan ringan seperti kapas
Lalu semua lampus
Seperti kelambu menutup ranjang tidurmu
Hanya jejak kata yang tak terhapus
Sejauh-jauh ingatanku
2009
Tanpa sayap, ibu terbang ke angkasa. Hati, jantung, paru-paru dan ginjalnya pergi bersamanya. Kulihat ibu masuk ke dalam gugusan awan. Awan itu tampak seperti kapas. Ditembus ibu sesukanya. Ibu terus melayang menuju matahari yang perih itu. Ia melesat jauhnya sekitar 10.000.000 tahun cahaya. Menyusup ke dalam ruang-ruang gas yang memiliki kerapatan massa kurang dari satu atom per meter kubik. Aku tercengang. Ibu yang dulu penakut, kini dengan gagah pergi sendiri ke tempat asing. Ibu tak menggubris tangisan kami. Jiwa, hati, tubuh dan semangatku pun luruh terhisap bersamanya. Tapi diam-diam jiwa ibu tak jadi menembus panas matahari yang perih itu. Setelah melejit, ia menikung, lalu melesat jauhnya sekitar 10.000.000 tahun cahaya masuk ke dalam jiwaku. Sesungguhnya ibu tak pernah pergi. Ia menjalar di bawah kulit & aliran darahku. Sampai sekarang.
17 Sept. 2009
Kematian
Jadi kematian itu memang sepi dan lampus?
Tapi aku tak tahu rupa kematian
Tak tahu tujuan kematian
Dan seberapa luas wilayah kematian
Bahkan Gintini dan Lazuardi,
tak pernah menuliskan sajak dari sana
Adakah daerah itu sangat lebar?
Seberapa lebarnya?
Jadi kita memang akan mati.
Tak perlu disuruh, tak perlu jadi melankoli
Dibimbing Munkar dan Nankir
ruh akan terbang sendirinya
melayap ke negeri jauh
Dibimbing Munkar dan Nankir
kita memasuki lubang yang mirip bagai gua,
dengan titik putih di ujungnya.
yang konon adalah kehidupan lain,
Jadi tak perlu sedu sedan itu
Tak perlu disuruh, tak perlu jadi melankoli
Dibimbing Munkar dan Nankir
ruh akan terbang sendirinya
melayap ke negeri jauh
Dibimbing Munkar dan Nankir
kita memasuki lubang yang mirip bagai gua,
dengan titik putih di ujungnya.
yang konon adalah kehidupan lain,
Jadi tak perlu sedu sedan itu
Cuma, aku pingin tahu kata-katamu
Saat mengantar kematianku.
Apakah kamu menangis? Atau hanya diam,
mengurai kenangan berjejalan?
Kalau kubayangkan jasadku adalah kalimat,
Mungkin kamu akan memunguti kata2ku
Dan membangunnya kembali dalam kalimat baru
Dengan makna yang baru
Saat mengantar kematianku.
Apakah kamu menangis? Atau hanya diam,
mengurai kenangan berjejalan?
Kalau kubayangkan jasadku adalah kalimat,
Mungkin kamu akan memunguti kata2ku
Dan membangunnya kembali dalam kalimat baru
Dengan makna yang baru
Kematian, o kematian
Betapa dekat dengan kenangan
Betapa dekat dengan kenangan
2009
Saijah menangis kehilangan Adinda
Di Jabbal Rahmah
Adam ketemu Hawa
Jauh-jauh dari sana,
Ke sini juga akhirnya.
Di Jabbal Rahmah
Adam ketemu Hawa
Jauh-jauh dari sana,
Ke sini juga akhirnya.
Tanah Kusir, 2009
aku membayangkan gadis itu tercenung
sebelum akhirnya jadi patung
sebelum rumah-rumah rubuh
ia lihat petang lembayung di langit
& sekawanan burung menjerit
tapi hati lelaki itu telah membeku
ia hanya berharap bertemu lagi di butiran debu
pada candi-candi berikutnya
2009
Minum Mocha Coffee Bersamamu
Aku membaui mild mocha, susu dan aroma kopi aceh yang kuat . Tubuhku hangat. Berkeringat. Inilah adonan dari 14 ons susu yang diuapkan, 2 cangkir kopi, 1 bagian air panas, ½ bagian bubuk coklat murni dan ½ gelas gula pasir. Hm. Cukup untuk dua sejoli: aku dan kamu. Kita nikmati kopi sambil memeras-meras puisi dari kepalamu. Dan sesekali aku merasakan pahit ampas kopi dari bibirmu. Coba kalau aku bisa masuk ke dalam cangkir, kataku, betapa indah hidup ini.
Aku membaui mild mocha, susu dan aroma kopi aceh yang kuat . Tubuhku hangat. Berkeringat. Inilah adonan dari 14 ons susu yang diuapkan, 2 cangkir kopi, 1 bagian air panas, ½ bagian bubuk coklat murni dan ½ gelas gula pasir. Hm. Cukup untuk dua sejoli: aku dan kamu. Kita nikmati kopi sambil memeras-meras puisi dari kepalamu. Dan sesekali aku merasakan pahit ampas kopi dari bibirmu. Coba kalau aku bisa masuk ke dalam cangkir, kataku, betapa indah hidup ini.
27 Des. 2009
Tentang KJ:
Kurniawan Junaedhie lahir di Magelang, 24 November. Menulis sejak 1974 di berbagai
media massa, seperti Horison, Kompas, Suara Karya, Suara Merdeka, Berita
Nasional, Masa Kini, Jurnal Indonesia, Suara Pembaruan, dan Sinar Harapan. Buku puisinya antara lain: Rumpun Bambu (Purwokerto, 1975), Armageddon (Purwokerto, 1976), Waktu Naik Kereta Listrik (Jakarta,
1977), Selamat Pagi Nyonya
Kurniawan (Tiara
Kliq, Jakarta, 1978), Dari Negeri Poci
(kump. puisi bersama 12 penyair Indonesia, Pustaka Sastra, Jakarta, 1993), Dari Negeri Poci 2 (kump. puisi bersama
45 penyair Indonesia, Pustaka Sastra, Jakarta, 1994), Dari Negeri Poci 3 (kump. puisi bersama 49 penyair Indonesia,
Majalah Tiara, Jakarta, 1996),
The Fifties Selection, Antologi
20 Penyair
Indonesia (Ed.
Hendry Ch Bangun, Pustaka Kreasi, Jakarta, 2009)
dan Cinta Seekor Singa (Penerbit
Bisnis2030, Jakarta, 2009). Ia juga menulis cerita pendek. Cerpennya,
“Nama Saya Gadok”, dipilih Satyagraha Hoerip dalam Antologi Cerpen Indonesia Jilid IV (Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1986). Empat cerpennya dimuat
dalam buku kumpulan cerpen 4 cerpenis Indonesia, Tukang Bunga & Burung Gagak (Kata-Kata Kita, Jakarta, 2010). Namanya
tercatat dalam buku Leksikon Kesusastraan
Indonesia Modern karya Pamusuk Eneste (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1990)
dan Leksikon Susastra Indonesia karya
Korie Layun Rampan (Balai Pustaka, Jakarta, 2000).
Pernah menjadi redaktur beberapa majalah
al: Redaktur Pelaksana Majalah Jakarta-Jakarta
(1985-1989) dan Pemimpin Redaksi Majalah Tiara,
kelompok Kompas Gramedia (1989-1999). Menulis buku pers: Ensiklopedia Pers Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1991), Menggebrak Dunia Pers (Puspa
Swara, Jakarta, 1993), Rahasia Dapur Majalah di Indonesia
(Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995) dan Ensiklopedia
Pers Indonesia edisi yang diperbaharui (Bisnis2030, Jakarta, 2010).
Kini tinggal di Serpong, Tangerang
bersama istri: Maria Nurani dan dua putri: Azalika dan Betsyiela. Bekerja
sebagai guest editor dan tukang
kebun.***
Seno Gumira Ajidarma, wartawan & sastrawan:
Bagi saya puisi-puisi
Kurniawan Junaedhie ini tergolong puisi-puisi yang tidak rumit alias mudah
dimengerti, sekaligus tetap menyentuh dan seringkali berhasil mengharukan.
Bagi saya, dengan menjadi penyair saja seseorang telah menjadi istimewa pada
zaman tanpa hati dan serba tega seperti sekarang, apalagi jika puisi-puisinya
sungguh menyapa dan menggugah perasaan Artinya, dengan menulis puisi, seseorang
berpeluang memanusiakan orang-orang dan itulah sesungguh-sungguhnya
keistimewaan, yang kiranya dengan buku puisi ini telah dicapai Kurniawan
N. Syamsuddin Ch. HAESY,
wartawan & budayawan:
Kurniawan Junaedhie, yang saya kenal sejak lama,
secara pribadi adalah penyair yang saya hormati. Puisi-puisinya sejak masa
remaja, sempat saya koleksi dengan baik. Tak hanya puitik, kebanyakan
puisi-puisi KJ termasuk ‘puisi alit’ (pinjam istilah Pak Piek Ardiyanto) yang
indah. Di dalam puisinya, kata tak berhenti hanya sebagai kata, melainkan
padu padan estetika – artistik – dan etika.
[1] Ucapan Yesus ketika di kayu salib.
Artinya: Allah, Alllah, kenapa Kau tinggalkan aku
[2] Kata2 yang dipakai oleh Chairil
Anwar dalam sebuah puisinya
[3] Tempat di mana semua makhluk Allah yang berada di tujuh lapis langit dan bumi termasuk
malaikat, jin, manusia, binatang berkumpul dan berdesak-desakan. Setiap manusia
pada hari pengadilan akan hadir di mahsyar, diiringi oleh dua malaikat, yang
satu sebagai pengiringnya dan yang satu lagi sebagai saksi atas segala
perbuatannya di dunia.
[4] Hari kebangkitan
[5] Albert Camus: filsuf
yang mengatakan bahwa alam akhirat hanyalah sebuah dongeng nenek moyang di masa
lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar