01 April 2014

Perempuan dalam Secangkir Kopi


Perempuan
dalam
Secangkir Kopi
Kumpulan Puisi Kurniawan Junaedhie
2009












Penerbit Kosa Kata Kata, Jakarta
2009


Judul Buku: Perempuan dalam Secangkir Kopi
(Kumpulan Puisi Kurniawan Junaedhie)
Copyright © 2010 Kurniawan Junaedhie

Cetakan Pertama, Januari2010

Penyunting:
Maria Nurani

Desain Sampul:
Yongke DS
berdasarkan lukisan Hardi:
Model in Blue, Oil Painting, 1997

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Kosa Kata Kata, Jakarta

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN:
6767676-686868-112




UU RI No.19/2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2:
1.     Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau  memperbanyak ciptaanya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi Pelanggaran
Pasal 72 :

1.     Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2.     Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

















Untuk Maria, Ayi  & Ela
3 keping hatiku








Daftar Isi:

Ucapan Terimakasih / v
1.      Perempuan dalam Secangkir Kopi / 1
2.      Perempuan dalam Secangkir Kopi (2) / 2
3.      Istri  / 3
4.      Aku, Kau & Cermin / 4
5.      Usia / 5
6.      Kau, Ikan & Nelayan / 6
7.      Ketika Hanya Berdua / 7
8.      Sajak Anak-Anak Bermain Kelereng / 8
9.      Perempuan dalam Sajak / 9
10.   Indahnya Hidup Cara Nes / 10
11.   Seekor Kucing Hitam / 11
12.   Seorang Perempuan / 12
13.   Melankoli / 13
14.   Surat untuk AA / 14
15.   Sedalam Lautan / 15
16.   Kekasihku Tertidur / 16
17.   Untuk Medy Loekito, Untuk Rita Oetoro / 17
18.   Keroncong Kebayoran / 18
19.   Romansa Duduk di Senja Hari / 19
20.   Sang Pengamen / 20
21.   Ketemu Hardi / 21
22.   Ketika Hidup Susah / 22
23.   Kenangan / 23
24.   Sebatang Pohon Yang Rindang / 24
25.   Sajak Pendek Untuk Kesunyian / 25
26.   Seorang Lelaki Yang Tidak Bisa Tidur / 26
27.   Seekor Cicak di Dinding / 27
28.   Pesawat Terbang / 28
29.   Ke Pasar di Hari Natal / 29
30.   Biji Mata / 30
31.   Song For Anna / 31
32.   Kembali pada Ibu / 32
33.   Peristiwa Dalam Suratkabar / 33
34.   Gelap / 34
35.   Eloi, Eloi Lama Sabakhtani /35
36.   Ketika Umur Tambah Satu / 36
37.   Penantian / 37
38.   Malaikat untuk Ibu / 38
39.   Rest in Peace / 39
40.   Ketika Waktu Memanggil / 40
41.   Tak Ada yang Hilang / 41
42.   Kematian / 42
43.   Titik / 44
44.   Patung Perempuan / 45
45.   Minum Mocha Coffee Bersamamu / 46

Riwayat Penyair / 47
Kata Pembaca : Seno Gumira Adjidarma, N. Syamsuddin Ch. HAESY & Heru Emka / 48

























Komunikasi yang baik diawali
dengan segelas  kopi hitam
(Anne Morrow Lindbergh, novelis)

















Terimakasih:

Buku ini menggenapi buku puisi saya, “Cinta Seekor Singa”, terbitan Bisnis2030, Jakarta, yang mendokumentasi karya saya antara tahun 1974 - 2009. Adapun puisi-puisi di dalam buku ini semuanya diciptakan pada antara Maret sampai Desember 2009.

Dalam kesempatan ini saya ingin berterimakasih untuk para endorser: Seno Gumira Adjidarma, Syamsuddin Haesy dan Heru Emka, juga untuk teman-teman minum kopi seperti Adek Alwi, Saut Poltak Tambunan, Kurnia Effendi,termasuk teman-teman yang gemar mendorong-dorong saya membukukan puisi, seperti Iwan Soekri, Hardho Sayoko Spb, Salimi Akhmad, dan Yulius Yusijaya. Saya juga merasa sangat sepantasnya berterimakasih pada para sejawat di awal kepenyairan saya, seperti dr. Handrawan Nadesul, Oei Sien  Tjwan, Herman Affandi alm, Dharmadi, Ahita Teguh Susilo, Asfahani, Fatchurrachman Soehari & Sutirman Eka Ardhana.  Juga untuk teman2 di Asosiasi Penulis Cerita ANITA, seperti Ana Mustamin, Agnes Majestika, Bambang Sukma dan Putra Gara plus teman-teman saya ‘Tim Merah’ di Facebook: Dewi Maharani, Faradina, Helga Worotitjan, Kwek Li Na,  Nona Muchtar, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K, Pratiwi dan Weni Suryandari. Mereka yang membuat saya ‘bersemangat’ untuk terus berpuisi. Last but not least, kepada Pelukis Hardi yang meminjamkan lukisannya “Model in Blue” sebagai sampul buku ini (yang membuat buku ini jadi terasa istimewa) tentu saja saya juga harus mengucapkan terimakasih banyak.
Maka paripurnalah tahun 2009 dengan buku puisi saya, ini.

Terimakasih untuk pembaca.
31 Desember 2009
KJ




















Poetry begins in delight
And ends in wisdom.
[Robert Frost
]














Perempuan dalam Secangkir Kopi
-Saat ngopi bersama Kurnia Effendi & Tina ketika ultah Endah Sulwesi di Jl. Sabang.

Perempuan itu hilang dari rumahnya. Meninggalkan dua anaknya yang sedang melukis pemandangan: gunung dan matahari. Ia terbang dan masuk ke dalam sebuah cangkir di kafe di meja dekat seorang pria yang sejak tadi asyik bermain laptopnya. Adakah yang lebih berarti daripada hidup di dalam cairan? Ia berenangan di dalamnya, dan karena iseng  ia lalu menyembulkan kepala dan memainkan matanya ke arah pria di sampingnya. Si pria terpana. Ia ikut mengerlingkan mata. Sangat sexy, menurut mata pria itu. Ada perempuan dalam cangkir, gumamnya. Tanpa disadari tangannya memain-mainkan sendoknya. Perempuan itu lalu menyelam lebih dalam ke lubuk kopi.


Jakarta, 2009











Perempuan dalam Secangkir Kopi (2)

Aku ingin sekali bisa mengapung sembari berenangan di dalam kopimu. Kubayangkan, betapa nikmatnya hidup dipermainkan air yang gelap dan pahit sambil diguncang-guncang oleh sendokmu. Aku  akan menukik, menyelam dan menggapai tanganmu lalu  sesekali, sambil berkecipakan di dalam air yang hangat itu  aku akan mencium bibirmu di pinggir cangkir. Tak ada yang bisa cemburu. Juga air ludah dan lendir di mulutmu.
Aku suka caramu memasukkan gula pasir ke cangkir dan menyedunya dengan air. Aku suka caramu membaui kehangatan air kopi dan caramu mencecap dengan lidahmu. Kamu paling akan bertanya, sejak kapan kamu suka berenang? Aku akan menjawab, sejak kamu suka menjerang air, dan menuangkannya ke dalam termos. Di tengah hidup yang pahit, aku senang menyelam ke dalam kopi bersama seorang perempuan yang hangat. Tak ada yang bisa cemburu. Juga sendok dan piring kecil dekat cangkirmu.

Olala, Bintaro. Okt. 2009





Istri

Aku bersijingkat naik tempat tidur. Dan istriku yang sudah lama di sana, memelukku. Ia mencium bibirku. Dan kami saling berpagutan dan mendesis-desis seperti ular. Ada rasa yang liar. Seperti merasakan ruap onak yang terbakar. Ketika jam weker berbunyi dua kali,  kami  pun terjaga. Kami berpandangan.

Saat itu di jendela hujan turun gerimis. Bayang lampu jalanan masuk ke dalam gorden yang tipis. Langit sangat kelam. Di  pinggir tempat tidur, kami duduk terdiam. Rasanya dunia kelam. Semua diam. Juga tiang listrik di luar sana, diam, diguyur hujan.

Dan ketika kutatap matanya, kulihat dalam mata itu sebuah telaga yang tenang. Beberapa ekor belibis sedang berenang di permukaannya. Setelah itu, aku melihat seluas-luasnya samudera. Ada air laut menggenang sampai ke batas cakrawala. Ada cahaya berkelebat seperti kilat di luar jendela. Tapi tidak ada ombak. Dan aku seperti sauh kecil, terombang-ambing di alun gelombang.

Aku masih termangu-mangu, ketika istriku bersijingkat naik tempat tidur. Aku masih duduk membisu ketika ia mengigau. Aku masih terjaga ketika weker berbunyi empat kali. Aku dengar dengusnya. Aku membaui nafasnya. Aku heran bagaimana dia bisa mencintaiku apa adanya.

Saat itu di jendela hujan turun gerimis. Bayang lampu jalanan masuk ke dalam gorden yang tipis. Langit sangat kelam. Di  tempat tidur, istriku  terpejam. Rasanya dunia karam. Semua diam. Juga tiang listrik di luar sana, diam, diguyur hujan. Dan aku menangis.

Oktober 2009





Aku, Kau &  Cermin

Tubuhmu terbuat dari tubuh ikan. Licin. Dari sisik-sisik terbaik. Matamu terbuat dari merjan. Bening, berkilau. Hidungmu terbuat dari beling cangkir. Lembut terukir seperti pualam, tak terurai. Bibirmu terbuat dari irisan apel. Lembut tak terpanai. Aku seperti lidah, menjilat-jilat bayangan kelam. Kadang aku menyelam, dan kadang aku terbang tinggi. Tapi cermin itu tidak memantulkan bayanganku sendiri.

2009





Usia

Kalau kelam itu batu, seperti apa rupaku?  Dalam pemandangan terang selebar layar bioskop aku cuma kepinding atau sejenis kutu besar yang merangkak bumi. Rupaku kelam seperti empu ditimpa oleh waktu yang betubi-tubi. Coba kau kasih pisau. Maka akan kutikam-tikam umurku seperti hujan menikam-nikam batu. Biar dia melesak, dan pipih tak berserat lagi. Seperti aksara dan angka pada kalender di pintu.

24 Nov. 2009









Kau, Ikan & Nelayan

Kau menaiki mercusuar itu, dan dari atas menyaksikan alunan gelombang dan sekawanan burung camar yang mematuk-matuk air laut. Seketika ombak besar menggulung mercusuar itu. Tapi kau tidak terjungkal, hanya menyelam dan masuk ke dasar, melihat ganggang, bertemu para ikan, bahkan masuk ke sisik-sisik ikan. Seketika ombak besar datang lagi menggulung, membuat langit keruh, dan melemparkanmu ke pantai dan tiba di pesisir saat angin piyuh. Lalu seorang nelayan menangkapmu dan memasukannya ke dalam bubu. Aku bukan ikan, katamu.

9 Des 2009





Ketika Hanya Berdua

-MM

Kita hanya berdua. Hanya ada aku dan engkau di kamar ini. Di meja ada sebilah pisau. Di dalam tubuh ada darah yang mendidih. Di matamu, ada separuh hidup yang berantakan dengan waktu-waktu berlinangan seperti airmata. Kita duduk. Kepalamu tertunduk: melihat mata pisau itu berkerjap-kerjap. Untuk apa pisau ini, tanyamu. Mengapa mata pisau itu berkilat-kilat, katamu. Aku belum pernah melihat pemandangan ini sebelumnya. Apakah ini penunjuk waktu? Apakah kita masih punya waktu? Aku menoleh ke jendela. Ada pekarangan luas di belakang rumah yang ditumbuhi semak dan belukar. Ada hati beku. Wajah yang keruh.

Des. 2009





Sajak Anak-Anak
Bermain Kelereng

Kalau kamu bermain kelereng
Aku harus bermain apa?
Kalau aku mau meninju mukamu?
Kamu mau bilang apa?
Kalau mau memegang balon
Aku memegang apa?
Kalau kugampar pipimu?
Kamu mau apa?

Kalau aku bikin sajak
Emang kamu bisa bikin roket?
Kalau aku mau bunuh kamu?
Emang kami punya nyali?
Seperti butir-butir kelereng
Hidup kadang suka jauh melenceng
Mau jadi orang bijak bestari
Tapi mata hati ditutup peri

Seperti anak-anak ingusan
Hidup tak ubahnya bak   permainan
Padahal semakin dekat ingatan
Semakin kita dekat lautan

2009





Perempuan dalam Sajak
- Susy Ayu

Bagaimana mungkin,
seorang perempuan muncul dalam sajakku
Seperti pendar waktu,
dan gigil kelam,
dia leleh di pundakku
Licin bagai lilin,
lidah kami kemudian berpilin
Kami menyelam dan berenangan di laut kata
Terasa ngilu.
Giris dan lapar
Kami seakan tembikar terbakar
dalam seonggok nafsu
Lalu, ujarku: sajak, kenapa perempuan itu
masuk ke dalam kalimatku?

2009





Indahnya Hidup Cara Nes

Nes ingin punya rumah
Yang terdiri dari satu kamar mandi
dan sebuah kamar tidur

Hidup akan bahagia, katanya
Apalagi jika di dinding tak ada kalender
Tak ada pesawat televisi, telepon, weker, komputer
termasuk alat pengukur waktu, atau pencatat suhu

Dibayangkan hidup akan mengalir lebih dari 24 jam
Mungkin 48 jam, atau 356 jam

Aku bukan tulangrusuk
Aku cuma melihat betapa hidupku remuk
Aku tak ingin hidupku seperti ibu
Menghamba pada lelaki dengan kepala tertunduk
Aku ingin merdeka, katanya
Aku ingin surga.
Setiap hari Nes bernyanyi di kamar mandinya yang luas
Di sana ia membersihkan semua keluh kesah
Lalu ia berbaring di kamar tidurnya yang lapang
sambil sesekali melakukan masturbasi
tanpa perlu menyebut atau menghapal nama-nama.

Ia senang karena tak perlu mendengar langkah kaki
suara gumam, atau bahkan erangan
Ia hanya ingin mendengar nafasnya sendiri
Ia hanya ingin mendengar desahnya sendiri
Alangkah indahnya hidup, begitu kata Nes


Mei, 2009





Seekor Kucing Hitam
- Si dia

Seekor kucing hitam mengeong berkepanjangan
Perempuan itu mencopot pakaiannya
menyerahkan tubuhnya:
untukmu, katanya, hanya untukmu
Suaranya parau, seperti  leher burung terkena pisau

Lalu dia memadamkan lampu,
dan rebah di ranjang
seperti sebilah pedang

Lalu malam dan siang bertemu
Peluh pun jatuh berleleran

Setelah bergulingan semalaman.
perempuan itu kembali pada suaminya,
Dan si  lelaki kembali pada istrinya
hidup jalan terus seperti  lazimnya

Hanya mereka terlanjur hapal tahi lalat mereka
Satu di pantat kiri, satu di dekat kelamin,
Sebuah tanda lahir di dekat payudara
Juga sebuah kenangan yang mengapung di tengah samudera

Juni, 2009





Seorang Perempuan


Ia dengar suara langit malam
Ia dengar suara gerit daun pintu
Ia sambut lelaki itu
Ia buka kutangnya, dan
hamburkan kata-kata cinta

Susunya tegak
Bibirnya basah
Tanda pasrah
Desahnya lembut me
ndayu-dayu

Percintaan itu, begitu katanya,
Seperti cahaya keemasan
Dalam remang
Enak untuk dikenang

2009








Melankoli

Dia tunduk tersipu
Aku rengkuh bahunya
Angin bertiup lalu
Cuaca yang beku

Sekarang dia tertawa
Aku tergelak
24 tahun berlalu
Tak ingin aku melukaimu

Lalu kamar itu senyap
Kata seperti melekat di dinding
Mata kita terpejam
Dan hati berpandangan

2009





Surat untuk AA

/1
Ia menuduh hujan membuat mata jadi basah, pohon jadi tunas, dan langit jadi hijau. Ia pun menuduh malam menyebabkan pohon bersetubuh, hewan bersetubuh dan semua orang bersetubuh. Ia pun menuding rembulan menimbulkan orang mendengkur, kodok bernyanyi, alam semesta menjadi senyap dan angin berlenggang menyisir partikel demi partikel dan dinding demi dinding. Ia pun menuduh hujan, malam dan rembulan yang mengakibatkan kata-kata jadi rumit dan kalimat berbelit-belit
/2
Katamu: Biarkan pantun demi pantun menandak, melesak dalam sajak. Sudah lama hutan kata tak berjejak diliputi onak dan kalimat yang beranak pinak. Begitu katamu

Lenteng Agung-BSD, 3 Des. 2009




Sedalam Lautan
- sang pacar
Aku desak dia
Dia mengkeret, dan tersungkur
Tubuhnya merapat di dinding
Napasnya panas, ah, bikin merinding

Kami merasakan geteran hebat
Surga kami berderak-derak
Udara ngambang
Benar-benar melayang

Dia rentangkan tangannya ke atas
Tanda menyerah: pasrah
kuangkat dagunya
kuciumi dia bertubi-tubi
Aku ikuti saja tarian itu
Waltz atau salsa
Surga kami melayang
Sedalam lautan, sedalam lautan

2009








Kekasihku Tertidur

Pada Nes aku bilang: aku cinta padamu
Pada Tuti aku juga bilang hal yang sama
Pada Susy aku juga bilang begitu
Dan kata saling berloncatan, saling menerkam
Saling bergosokan, saling bergulingan
Membuat frasa, membuat kalimat dan sederet igau
Dan peluh menyirami  di atasnya

Tidurlah tidur
Biar semua orang mendengkur
Mengunyah mimpinya sendiri
Di antara galaksi


2009





Untuk Medy Loekito

Dalam sajak,
kata-kata bergerak
Dia meluncur sekalimat-sekalimat
Kutikam terus sampai koyak
Sampai senyap sampai kiamat


2009





Untuk Rita Oetoro

Bintang naik setinggi galah
Kota kenangan terkubur dalam sajak
Hanya bisa kupanggil Dia:
Allah!

2009





Keroncong Kebayoran
-Untuk Anny Djati W, Ariana Pegg & YoSugianto


Aku ditinggal oleh perempuan yang suka membaca Sartre dan mendengarkan lagu The Virgin itu. Hatiku somplak. Dunia hancur seperti kaca cermin yang dibanting. Aku patah hati seperti anak kemarin sore. Aku masuk kafe. Dugem. Hidup jadi memble. Alam semesta tertawa. Seperti cangkang kepiting, aku ingin menggigit lehernya.

Aku nyalakan televisi. Aku lihat  seorang presiden dilempar sepatu dan tubuh orang yang terjun dari apartemen terbujur di tanah berdarah-darah. Kulihat juga para penyiar tolol yang suka memotong-motong kata dan mereka-reka berita. Lalu kudengar Indonesia Raya dan suara bendera disobek. Seperti cangkang kepiting, aku ingin menggigit lehernya.

Aku terbang ke Mal di Kebayoran. Bersama Anny,  Yo dan Ariana Pegg minum kopi di Radja Ketjil. Selama ngobrol berkali-kali kami minta asbak diganti. Dan di seberang sana, pesawat televisi menyiarkan gambar presiden sedang marah, penyiar televisi yang suka memotong kata, dan suara bendera disobek. Seperti cangkang kepiting, aku ingin menggigit lehernya.

Sekarang aku ingat masalahku sendiri.

Aku ditinggal oleh perempuan yang suka membaca  Sartre dan mendengarkan lagu The Virgin itu. Hatiku somplak. Dunia hancur seperti kaca cermin yang dibanting. Aku patah hati seperti anak kemarin sore. Aku masuk kafe. Dugem. Hidup jadi memble. Alam semesta tertawa. Maka aku buka mesin fotokopi. Kuletakkan lembaran tubuh perempuan itu  di atasnya. Dan di bagian yang lain, mesin fotokopi itu mengeluarkan tubuh yang lain. Seperti cangkang kepiting, aku ingin membelai lehernya.

PIM 2, 14 Des. 2009





Romansa Duduk di Senja Hari
-monalisa

Cobalah kaupikirkan, di antara siapa, aku ada di hatimu?
Apakah di antara bunga-bunga bakung itu ada namaku?
Ataukah di hatimu sayang, juga tertera namaku?.
Bagaimana kita sebaiknya?
Duduk di sini saja kita, sambil mempercakapkan hujan?
Ataukah berlari ke hutan itu, lalu sembunyi disana
Sambil membugil, berciuman, berdekapan?
Tapi cinta sendiri sudah berlari meninggalkan kita
Siapa pun tahu, kita tak lagi punya apa-apa
Di hatiku hanya tersisa segumpal kenangan lama
Sekadar dongeng untuk anak cucu kita

2008





Sang Pengamen

Aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu
ujar pengamen itu tanpa malu-malu
Lalu sebuah syair mengalir bersama lagu
tentang cinta yang dungu dan pandir
Ia memetik senar itu,
Sambil bibirnya menggigit harmonika
yang tak henti-henti mengiringi luka
Seakan mencubit-cubit hatiku

2009





Ketemu Hardi

Hidup itu seperti lukisan. Aku mampir ke kantor Hardi bersama Saut dan Helga Worotitjan (Iwan menyusul kemudian). Matahari sepenggalah. Kami makan  nasi padang (atau kapau) sembari membahas banyak hal disaksikan sejumlah lukisan yang digantungkan. Yahya memotret-motret dengan kameranya. Kami mengunyah-ngunyah krupuk. Busa kata berhamburan: Keris. Puisi. Strategi kebudayaan. Modal multinasional. Sun Yat Zen. Neolib. Filsafat. Goethe. Adapun Yahya terus memotret-motret dengan kamerannya. Klik.

27 Des. 2009








Ketika Hidup Susah

Jangan menjulang
Jangan biarkan kata-kata hilang

Ini tangan ini lengan
Rompak pekerjaan

Aku air yang menghilir
Aku uap yang terbang ke udara

Buat hatiku tergerus
Jangan cuma bumi yang hangus
Dan pikiran sungsang
Biar langit menjadi terang

Desember 2008








Kenangan

Mereka menyebut kita udara
Udara menyebut kita kata
Kata menjelma jadi dirimu

Di dalam sajak-sajakku
Kamu juga tergolek tak berdaya
Seperti dulu udara menyebutnya
Seperti dulu mereka menyebut asal usulnya

2009






Sebatang Pohon Yang Rindang
- Ulangtahun ayah ke-85 tahun

Bagiku ayah adalah sebatang pohon tua yang rindang. Daunnya rimbun. Kalau aku melihat ke atas, yang kulihat hanya susunan daun bertrap-trap. Begitu banyak daun tersusun. Di kelopak daun itu aku lihat kutu, semut, juga kadang buliran embun. Beberapa daun terkulai, lalu jatuh rebah. Karena gemas, pada suatu hari aku masuk ke dalam tanah, berkomplot dengan remah-remah. Aku lihat ayah dari bawah. Ayah adalah sebatang pohon tua yang rindang. Akarnya kuat, mencengkeram ke bumi erat-erat.Aku merasa terlindung dalam himpitan daun dan cengkeraman cacing tanah.

2009





Sajak Pendek Untuk Kesunyian

Langit hitam
Helai malam
Suara daun gemeratak
Dalam kata
mirip sajak

2009






Seorang Lelaki Yang Tidak Tidur
- Cerita untuk Ahita
Sudah lama dia tidak tidur. Matanya terbeliak tapi pikirannya melancong ke negeri jauh di antara kemerlip bintang. Ia merasa dirinya seperti kepompong. Tapi kenapa hidup begitu bengis? Ia kawini seorang perempuan cantik tetapi dia malah serong dengan lelaki lain.  Ia sayangi anak satu-satunya tapi anaknya malah memacu motornya dengan kencang di jalananan sampai sebuah truk menghentikannya. Dunia pun jungkir balik di kepala. Membuat matanya terus terbeliak sampai sekarang. Dia diam dan tidak bisa tidur. Tapi pikirannya melancong ke negeri jauh. Ke sebuah dusun yang tenang, di antara kemerlip bintang. Di mana keluarganya tinggal, dalam kenangan. Sambil tetap membuka matanya, ia pun mulai mereka-reka untuk berkumpul di sana. Tapi dengan apa? Menenggak racun tikus? Minum obat di luar dosis? Atau menyelipkan moncong pistol ke dalam mulutnya sampai nafasnya mendesis?  Sampai sekarang ia tetap mereka-mereka dengan 1000 cara sambil terus membuka matanya. Untuk sekian lamanya.

2009





Seekor Cicak di Dinding

Seekor cicak merayap di dinding. Siapa namamu? Singa? Macan? Ah, aku hanya seekor buaya kecil yang kerjanya merayap di dinding. Aku tak bisa menari dan terbang tinggi. Kudukku selalu merinding. Tubuhku selalu menggigil. Aku selalu takut ditepok pemilik tembok.  Itu sebabnya aku selalu berjalan mengendap, merayap dengan mata mengerjap. Termenung, atau termangu, membisu atau diam. Pernah sekali bercinta dan anglingdarma mendengarnya. Karena tak mau membuka rahasia, istrinya curiga dan membakar dirinya. Aku  merasa berdosa.

Siapa namamu? Singa? Macan? Ah, aku hanya seekor  buaya kecil yang kerjanya merayap di dinding. Aku bukan kamu yang  senang berpikir, memegang senapan yang bisa menyalak kapan saja dan mahir mengarang sihir.

2009








Pesawat Terbang

Sudah lama kami tidak berani naik pesawat terbang. Burung bermesin itu suka ngadat di udara. Kadang baling-balingnya oleng. Kadang-kadang rodanya rusak. Kadang-kadang saja dia berlagak terbang tinggi, tapi kemudian berpusing-pusing karena mesinnya mati. Sudah lama kami tidak berani naik pesawat terbang.  Karena begitu mudah dia terbang, begitu mudah pula dia menukik ke bumi. Sudah lama kami tidak berani lagi kepingin melihat pramugari. Kepada anak-anak dan handaitaulan kami bilang sebaiknya tidak jadi pilot. Pesawat terbang negeri sendiri suka menjatuhkan diri. Tak ada yang menjamin tak ada baut yang copot.  Tentu saja para pejabat membantahnya.  Tapi kami tidak perduli.

2009





Ke Pasar di Hari Natal
Di lorong itu tak ada daging-daging digantungkan. Tak ada pisau tergeletak di meja.  Di lorong lain, juga tak ada tumpukan daun-daun yang sepertiganya bau rabuk. Aku ingin membeli sayur mayur dan buah segar. Tapi pasar sepi. Tak ada sayur-mayur, tak ada buah segar. Tak ada orang bertengkar. Kamu memandangku tak percaya: pasar bisa sunyi? Seperti teko, kataku. Hanya berisi udara. Los-los  tutup. Pedagang liburan. Ke distro. Ke Factory Outlet. Ke Kuta. Ke Jogger.

Serpong 27 Des. 2009









Biji Mata
-Untuk si dia si penggoda

Di rumah Wayan: hujan turun warna kelabu
Di urat nadiku: darah mengalir, ke ceruk hatimu
Dengan sebilah jarum dan benang,
kucari

Kucari terus:
biji mataMu !



Ubud, 2009




Song for Anna

-Untuk Dara

Di pantai ini aku berdiri bersamamu. Ombak sedang menjilati pasir dan sejumlah perahu oleng dipermainkan laut. Matahari terbenam di antara jermal, dan wajah cakrawala jadi bengis. Apa yang kamu ketahui tentang semesta? Kita hanyalah sejoli yang ingin bahagia. Sekadar ingin mereguk angin laut sebentar saja. Tapi sebagian besar perasaan datang pergi silih berganti. Hanya engsel pintu rumah yang bisa menebak siapa kita. Terlalu jauh jaraknya memang, antara rumah dengan jermal ini. Orang hanya bisa menerka. Mereka hanya bisa meraba-raba. Seperti kita yang tengah mencoba menduga: adakah matahari yang tenggelam itu akan segera terbit lagi dari ufuk yang sama?

Maret 2009








Kembali pada Ibu
-Semalam aku bermimpi Ibu

Aku masuk lagi ke dalam rahim ibu. Berkutetan di uterus. Mencair, dan menjadi air berupa paduan spermatozoa dan sel telur. Agak aneh. Gelap malam jadi benderang. Ada samudera terbentang. Pemandangan begitu luas. Burung-burung camar terbang di langit yang buas, sedang aku tampak tergantung di empuknya awan. Sedalam-dalam aku hirup napasku, penuh dadaku dengan zat-zat terbaik: Ammonia, Ascoric Acid, Ash, Calcium, Dioxide… Ya Tuhan!

Aku keluar lagi dari uterus ibu. Aku merasa digiring oleh para serdadu dengan topi bundar yang dibelit duri. Pukimak. Aku ditawan. Habis sudah. Sebentar lagi aku akan naik ke tiang penjagalan. Mereka akan segera menembakku. Aku lahir dari rahim ibu dan sekarang aku berlindung dalam rahim ibu.

15 Des. 2009







Peristiwa di Suratkabar

Seperti sehelai tenunan,
peristiwa demi peristiwa tersulam rapi
seseorang muncul dari kabin
menodongkan pistol dan granat: membajak pesawat
Seperti sehelai tenunan,
peristiwa demi peristiwa teranyam rapi
tubuhku ditemukan di kakus apartemen:
seseorang menikamku persis di ulu hati
aku terkapar, usus terburai ke mana-mana

Seperti sehelai tenunan
peristiwa demi peristiwa tersulam rapi
kapal kami bocor di lambungnya
seisi penumpang terjungkal karam
berenangan di makan ikan-ikan
Lalu gempa menggoyang
Lalu lumpur menyembur
Listrik mati, lampu padam
Lalu negeri kami jadi bubur

Ribuan lubang jahitan tak tercatat
Semua  tergantung seperti benang dan jarum
tanpa bentuk,  tidak kasat mata

Seperti sehelai tenunan,
peristiwa demi peristiwa terjalin rapi
kami menggunakannya untuk taplak meja makan
lalu kami memutarinya dengan hidangan

2009





Gelap

Berhari-hari lampu padam di rumahmu. Huruf dan  gambar tenggelam tertelan oleh dinding. Hidup jadi kelam. Kebahagiaan karam. Kamu resah. Bergulingan di jalanan. Merasa ventilasi dalam rongga dadamu mampat, seperti got yang dipenuhi sampah berjejalan. Karena aku takut pada gelap, katamu. Gelap itu sepi, seperti kematian. Kematian itu sepi seperti malam. Apakah  kamu takut pada malam yang sementara? Bukan, aku tidak takut pada malam yang didesak oleh sore dan petang hari meski kemudian digantikan subuh dan pagi hari. Tapi aku takut pada saat malam itu. Atau saat lampu padam. Karena kita tidak bisa berbuat apa-apa. Itu mengingatkanku  bahwa suatu hari nanti hidup juga akan memadamkan lampunya. Entah kapan. Saat siang atau malam. Saat ada penerangan atau saat matahari tenggelam.


2009






Eloi, Eloi Lama Sabakhtani

Langit jingga, lalu kesumba
Malam dingin, dan angin menggigil
Tiba-tiba senapanmu menyalak dalam gelap
Aku tersungkur, rebah lalu terjerembab

Sambil terhuyung aku raba dadaku
Darah berlinangan
Kata-kata berlinangan
Darah & kata berlinangan pada tubuh sintalmu

Begini cepat datangnya
Begitu rapuh penyebabnya.

Eloi, Eloi Lama Sabakhtani [1]
Aku mau hidup 1000 tahun lagi[2]


2009





Ketika Umur Tambah  Satu


Ketika umur tambah satu
Uban di rambut tumbuh seribu
Wajah ibu mulai tampak dalam pendar
dalam bayang kenangan
Tampak muda, dan jelita
Wajah yang hidup dalam sanubari
Aduh  ibu, aku sayang kamu

Ketika umur tambah satu
Makin dekat jarak ke akhirat
Surga atau neraka
Dan wajah ibu mulai tampak dalam pendar
dalam bayang kenangan
Melambai penuh kasih sayang
Aduh ibu, aku cinta kamu

Ketika umur tambah satu
Aku mulai kenal nama-nama malaikat
Jibril, Munkar. Nankir, Israil
Apalagi yang akan kautanya?
Dan wajah ibu mulai tampak dalam pendar
dalam bayang kenangan
Mengajakku berkasih sayang
Aduh ibu, aku ikut kamu.

24 Nov. 2008





Penantian

Aku mengaduh ditindih seorang malaikat. Kepalaku terantuk, badanku tertekuk. Dia duduk persis di atas kepalaku. Aku tak mungkin menarik kain kafan. Kafan kutarik menutup kepala, kakiku di bawah terbuka. Dingin tanah seketika meresap ke dalam kulitku bernanah. Mulutku gemetar: Akan tibakah ajakan menuju
Yaumul Mahsyar[3]? Atau masih di alam barzah? O, Yaumul Ba’ats[4], kuingat jelas. Kalau waktu masih lama, aku ingin jumpa Camus[5]. Dia yang bilang akhirat hanya semu. Atau kalau beliau sibuk, izinkan aku bertemu ibu. Sudah lama aku rindu.  O, tak ada suara. Hanya guguran bulir-bulir tanah di samping kiri kananku. Aku mengaduh. Malaikat itu terus menindih tubuhku. Masa penantian yang kelu.

2009





Malaikat untuk Ibu
Di antara tiris hujan aku melihat bayangan dua malaikat  tanpa jas hujan. Keduanya basah dan menggigil kedinginan. Di selang-seling hujan itu,  aku juga melihat cahaya kilat yang menjelaskan pemandangan yang keruh sementara hujan terus berjatuhan. Air-air itu menimpa  tanah, dan ke kepala mereka. Juga kepalaku. Di mana rumahku? Cahaya kilat memperlihatkan rumahku ditimpa air yang deras. Awalnya rumah itu gelap, tapi lambat laun menjadi terang  bercahaya. Menakjubkan. Aku ingin mengajak para malaikat itu ke rumahku yang lebam didera hujan. Aku ingin memperkenalkan mereka pada ibu.

2009








Rest in Peace
- Untuk Lazuardi Adi Sage

Terbungkus di dalam kain kafan,
tak ada lagi nama yang bisa disapa

Tanah menggelinjang.  Langit  benderang.
Panorama beku. Seperti kita tengah diamuk badai salju.

Kulihat engkau saja menjauh.
terombang-ombing di atas sauh

Langit di hatiku hangus.
Kaki melangkah seperti di tanah tandus

Semakin terasa tak ada yang abadi.
Bahkan bulu mata pun ternyata bukan milik kita.

Nov. 2007





Ketika Waktu Memanggil
- Gus Dur wafat dalam usia 69 tahun


Ketika waktu memanggil
Tak ada yang hilang dari langit
Tak ada yang hilang dari ingatan
Yang tanggal hanya lembar kalender
Yang tanggal hanya angka jam
Jika Allah memanggil, cukup sudah
Hanya hati  merapuh yang tak kuasa.
Hanya aroma ajal yang mengeras
Dan perasaan ringan seperti kapas

Lalu semua lampus
Seperti kelambu menutup ranjang tidurmu
Hanya jejak kata yang tak terhapus
Sejauh-jauh ingatanku

2009





Takada Yang Hilang
- mengenang 14 tahun ditinggal ibunda

Tanpa sayap, ibu terbang ke angkasa. Hati, jantung, paru-paru dan ginjalnya pergi bersamanya. Kulihat ibu masuk ke dalam gugusan awan. Awan itu tampak seperti kapas. Ditembus ibu sesukanya. Ibu terus melayang menuju matahari yang perih itu. Ia melesat jauhnya sekitar 10.000.000 tahun cahaya. Menyusup ke dalam ruang-ruang
 gas yang memiliki kerapatan massa kurang dari satu atom per meter kubik. Aku tercengang. Ibu yang dulu penakut, kini dengan gagah pergi sendiri ke tempat asing. Ibu tak menggubris tangisan kami. Jiwa, hati, tubuh dan semangatku pun luruh terhisap bersamanya.  Tapi diam-diam  jiwa ibu tak jadi menembus panas matahari yang perih itu. Setelah melejit, ia menikung, lalu melesat jauhnya sekitar 10.000.000 tahun cahaya masuk ke dalam jiwaku. Sesungguhnya ibu tak pernah pergi. Ia menjalar di bawah kulit & aliran darahku. Sampai sekarang.

17 Sept. 2009








Kematian

Jadi kematian itu memang sepi dan lampus?
Tapi aku tak tahu rupa kematian
Tak tahu tujuan kematian
Dan seberapa luas wilayah kematian
Bahkan Gintini dan  Lazuardi,
tak pernah menuliskan sajak dari sana
Adakah daerah itu sangat lebar?
Seberapa lebarnya?
Jadi kita memang akan mati.
Tak perlu disuruh, tak perlu jadi melankoli
Dibimbing Munkar dan Nankir
ruh akan terbang sendirinya
melayap ke negeri jauh

Dibimbing Munkar dan Nankir
kita memasuki lubang yang mirip bagai gua,
dengan titik putih di ujungnya.
yang konon adalah kehidupan lain,
Jadi tak perlu sedu sedan itu
Cuma, aku pingin tahu kata-katamu
Saat mengantar kematianku.
Apakah kamu menangis? Atau hanya diam,
mengurai kenangan  berjejalan?

Kalau kubayangkan jasadku adalah kalimat,
Mungkin kamu akan memunguti kata2ku
Dan membangunnya kembali dalam kalimat baru
Dengan makna yang baru

Kematian, o kematian
Betapa dekat dengan kenangan

2009





Titik
- di makam ibunda

Saijah menangis kehilangan Adinda
Di Jabbal Rahmah
Adam ketemu Hawa
Jauh-jauh dari sana,
Ke sini juga akhirnya.

Tanah Kusir, 2009




Patung Perempuan
- Pradnyaparamita

aku membayangkan gadis itu tercenung
sebelum akhirnya  jadi patung

sebelum rumah-rumah rubuh
ia lihat petang lembayung di langit
& sekawanan burung  menjerit

tapi hati lelaki itu telah membeku
ia hanya berharap bertemu lagi di butiran debu
pada candi-candi berikutnya

2009





Minum Mocha Coffee Bersamamu

Aku membaui mild mocha, susu dan aroma kopi aceh yang kuat . Tubuhku hangat. Berkeringat. Inilah adonan dari 14 ons susu yang diuapkan, 2 cangkir kopi, 1 bagian air panas, ½ bagian bubuk coklat murni dan ½ gelas gula pasir. Hm.  Cukup untuk dua sejoli: aku dan kamu. Kita nikmati kopi sambil memeras-meras puisi dari kepalamu. Dan sesekali aku merasakan pahit ampas kopi dari bibirmu. Coba kalau aku bisa masuk ke dalam cangkir, kataku, betapa  indah hidup ini.

27 Des. 2009






Tentang KJ:



Kurniawan Junaedhie lahir di Magelang, 24 November. Menulis sejak 1974 di berbagai media massa, seperti Horison, Kompas, Suara Karya, Suara Merdeka, Berita Nasional, Masa Kini, Jurnal Indonesia, Suara Pembaruan, dan Sinar Harapan.    Buku puisinya antara lain: Rumpun Bambu (Purwokerto, 1975), Armageddon (Purwokerto, 1976), Waktu Naik Kereta Listrik (Jakarta, 1977), Selamat Pagi Nyonya Kurniawan (Tiara Kliq, Jakarta, 1978), Dari Negeri Poci (kump. puisi bersama 12 penyair Indonesia, Pustaka Sastra, Jakarta, 1993), Dari Negeri Poci 2 (kump. puisi bersama 45 penyair Indonesia, Pustaka Sastra, Jakarta, 1994), Dari Negeri Poci 3 (kump. puisi bersama 49 penyair Indonesia, Majalah Tiara, Jakarta, 1996), The Fifties Selection, Antologi 20 Penyair Indonesia (Ed. Hendry Ch Bangun, Pustaka Kreasi, Jakarta, 2009) dan Cinta Seekor Singa (Penerbit Bisnis2030, Jakarta, 2009).  Ia juga menulis cerita pendek. Cerpennya, “Nama Saya Gadok”, dipilih Satyagraha Hoerip dalam Antologi Cerpen Indonesia Jilid IV (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1986).  Empat cerpennya dimuat dalam buku kumpulan cerpen 4 cerpenis Indonesia, Tukang Bunga & Burung Gagak (Kata-Kata Kita, Jakarta, 2010). Namanya tercatat dalam buku Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern karya Pamusuk Eneste (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1990) dan Leksikon Susastra Indonesia karya Korie Layun Rampan (Balai Pustaka, Jakarta, 2000). 
Pernah menjadi redaktur beberapa majalah al: Redaktur Pelaksana Majalah Jakarta-Jakarta (1985-1989) dan Pemimpin Redaksi Majalah Tiara, kelompok Kompas Gramedia (1989-1999). Menulis buku pers: Ensiklopedia Pers Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991), Menggebrak Dunia Pers (Puspa Swara, Jakarta,  1993), Rahasia Dapur Majalah di Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995) dan Ensiklopedia Pers Indonesia edisi yang diperbaharui (Bisnis2030, Jakarta, 2010).
Kini tinggal di Serpong, Tangerang bersama istri: Maria Nurani dan dua putri: Azalika dan Betsyiela. Bekerja sebagai guest editor dan tukang kebun.***








Komentar Pembaca tentang buku ini:


Seno Gumira Ajidarma, wartawan & sastrawan:
Bagi saya puisi-puisi Kurniawan Junaedhie ini tergolong puisi-puisi yang tidak rumit alias mudah dimengerti, sekaligus tetap menyentuh dan seringkali berhasil mengharukan. Bagi saya, dengan menjadi penyair saja seseorang telah menjadi istimewa pada zaman tanpa hati dan serba tega seperti sekarang, apalagi jika puisi-puisinya sungguh menyapa dan menggugah perasaan Artinya, dengan menulis puisi, seseorang berpeluang memanusiakan orang-orang dan itulah sesungguh-sungguhnya keistimewaan, yang kiranya dengan buku puisi ini telah dicapai Kurniawan
                                                               

N. Syamsuddin Ch. HAESY, wartawan & budayawan:
Kurniawan Junaedhie, yang saya kenal sejak lama, secara pribadi adalah penyair yang saya hormati. Puisi-puisinya sejak masa remaja, sempat saya koleksi dengan baik. Tak hanya puitik, kebanyakan puisi-puisi KJ termasuk ‘puisi alit’ (pinjam istilah Pak Piek Ardiyanto) yang indah.  Di dalam puisinya, kata tak berhenti hanya sebagai kata, melainkan padu padan estetika – artistik – dan etika.







[1] Ucapan Yesus ketika di kayu salib. Artinya: Allah, Alllah, kenapa Kau tinggalkan aku
[2] Kata2 yang dipakai oleh Chairil Anwar dalam sebuah puisinya
[3] Tempat di mana semua makhluk Allah yang berada di tujuh lapis langit dan bumi termasuk malaikat, jin, manusia, binatang berkumpul dan berdesak-desakan. Setiap manusia pada hari pengadilan akan hadir di mahsyar, diiringi oleh dua malaikat, yang satu sebagai pengiringnya dan yang satu lagi sebagai saksi atas segala perbuatannya di dunia.
[4] Hari kebangkitan
[5] Albert Camus: filsuf yang mengatakan bahwa alam akhirat hanyalah sebuah dongeng nenek moyang di masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar