PROLOG:
Bara Cinta Dalam Sunyi
Oleh: Heru Emka
Haiku akhir-akhir ini menjadi isyu penulisan yang cukup sexy setelah gerakan menulis haiku muncul di Facebook dan merebak juga di Twitter. Puisi pendek asal Jepang ini memang menarik. Dari puisi yang tercipta dari perenungan batin para penyair Zen di Jepang sejak abad 17, haiku menyebar ke dunia dalam formatnya yang paling populer: tiga baris, dalam hitungan 6, 7 , 5 suku kata. Haiku jelas menjadi gaya tersendiri bagi puisi, di mana ungkapan batin terjalin dalam rangkaian kata yang minimalis, sehingga lebih cepat terserap ke dalam ingatan dan merangkai sebuah pemahaman.
Dalam 100 haiku cinta yang dikumpulkan Kurniawan Junaedhie dalam buku ini, saya membaca nuansa romansa yang bertaburan di dalamnya. Saya juga terkesiap membaca ledakan-ledakan perasaannya dalam kalimat yang hemat seperti ini : Hutan cemara di jendela membelit rambutmu di kedua paha Di samping itu sering kali dijumpai beberapa kejutan yang bernuansa jenaka: di pagi hari ada yang bercanda di balik celana saya atau: dinding kelu mengempit pintu aku dan si dia bergumul di situ ada hantu tersipu malu Haiku yang ditulis Kurniawan Junaedhie dalam buku ini mungkin jenis haiku yang benar-benar sexy yang mengungkapkan relasi cinta sepasang kekasih dengan segala gelora-gairah dengan segenap problematikanya. Selama ini haiku cenderung dianggap sebagai perlambang kontemplasi dan perenungan yang mendalam. Maka menulis haiku kadang dianggap sebagai sebuah kesaksian batin atas kehidupan yang sedang berjalan. Mungkin ada pertanyaan tentang format suku kata dalam haiku Kurniawan Junaedhie ini.
Seratus lebih haiku yang ditulis Kurniawan Junaedhie ini memang tak serupa haiku versi 5,7,5 suku kata. Ungkapan dunia batin yang amat personal yang diungkapkannya, menurut saya lebih mirip senryu, sejenis haiku bagi pengungkapan emosi antar manusia dan peristiwa hidup sehari-hari. Tapi menulis haiku di masa kini bisa saja berkelit dari batasan 5,7,5 suku kata, dan bolehlah Kurniawan Junaedhie menulis haiku cinta menurut versinya sendiri. Sedangkan idiom bahasa dan ungkapan puitiknya jelas mewakili gaya ucap puisi Kurniawan Junaedhie yang renyah dan mengalir lancar, selaras dengan kecenderungan gaya haiku pop yang tengah marak di jejaring dunia maya kita. Dan Kurniawan Junaedhie cukup piawai menaruh unsur kontemplasi haiku dalam idiom pengucapan pop, hingga kita sering berhadapan dengan haiku yang melayang ringan, namun mengandung liukan imaji yang cukup tajam, seperti ini: di antara rintik hujan terdengar tik-tok sepatu dan nafas tertahan atau: di antara dingin lidah berpilin menyalakan lilin atau: tubuh yang harum disimpan di mata dikulum di peraduan atau: di depan cermin tubuhmu ada dua bagian satunya rebah di pangkuan
Sebagai sesama penyair, saya tahu benar bahwa Kurniawan Junaedhie piawai melantunkan kalimat penyihir cinta dalam puisinya: di dalam korek api kutemukan tubuhmu sedang membara atau: tubuhmu sumbu tubuhku bara sunyi menyalakannya Di samping semua pacu deru rasa cinta itu, saya masih menemukan perenungan kontemplatif khas haiku: duduk di bawah rembulan semburat awan bergelayutan kata-kata tersimpan Yang menarik, semua ini teresapi sebagai penanda – lebih dari batasan semiotika semata – melainkan juga sebagai bingkai bagi sebuah peristiwa cinta, di mana kata hanya berperan sebagai jembatan menuju apa yang sesungguhnya terjadi : seribu kata tak ada makna ketika tubuh menjadi kalimat hingga semuanya berderai dalam kediaman ingatan, yang membara dalam sunyi, seperti yangt dinyatakan oleh Kurniawan Junaedhie dalam haiku ini: seekor kepiting menanting sunyi dalam gigitan waktu Akhirnya, selamat menikmati buku ini.
Semarang, dini hari, 16 November 2010
Bara Cinta Dalam Sunyi
Oleh: Heru Emka
Dalam 100 haiku cinta yang dikumpulkan Kurniawan Junaedhie dalam buku ini, saya membaca nuansa romansa yang bertaburan di dalamnya. Saya juga terkesiap membaca ledakan-ledakan perasaannya dalam kalimat yang hemat seperti ini : Hutan cemara di jendela membelit rambutmu di kedua paha Di samping itu sering kali dijumpai beberapa kejutan yang bernuansa jenaka: di pagi hari ada yang bercanda di balik celana saya atau: dinding kelu mengempit pintu aku dan si dia bergumul di situ ada hantu tersipu malu Haiku yang ditulis Kurniawan Junaedhie dalam buku ini mungkin jenis haiku yang benar-benar sexy yang mengungkapkan relasi cinta sepasang kekasih dengan segala gelora-gairah dengan segenap problematikanya. Selama ini haiku cenderung dianggap sebagai perlambang kontemplasi dan perenungan yang mendalam. Maka menulis haiku kadang dianggap sebagai sebuah kesaksian batin atas kehidupan yang sedang berjalan. Mungkin ada pertanyaan tentang format suku kata dalam haiku Kurniawan Junaedhie ini.
Seratus lebih haiku yang ditulis Kurniawan Junaedhie ini memang tak serupa haiku versi 5,7,5 suku kata. Ungkapan dunia batin yang amat personal yang diungkapkannya, menurut saya lebih mirip senryu, sejenis haiku bagi pengungkapan emosi antar manusia dan peristiwa hidup sehari-hari. Tapi menulis haiku di masa kini bisa saja berkelit dari batasan 5,7,5 suku kata, dan bolehlah Kurniawan Junaedhie menulis haiku cinta menurut versinya sendiri. Sedangkan idiom bahasa dan ungkapan puitiknya jelas mewakili gaya ucap puisi Kurniawan Junaedhie yang renyah dan mengalir lancar, selaras dengan kecenderungan gaya haiku pop yang tengah marak di jejaring dunia maya kita. Dan Kurniawan Junaedhie cukup piawai menaruh unsur kontemplasi haiku dalam idiom pengucapan pop, hingga kita sering berhadapan dengan haiku yang melayang ringan, namun mengandung liukan imaji yang cukup tajam, seperti ini: di antara rintik hujan terdengar tik-tok sepatu dan nafas tertahan atau: di antara dingin lidah berpilin menyalakan lilin atau: tubuh yang harum disimpan di mata dikulum di peraduan atau: di depan cermin tubuhmu ada dua bagian satunya rebah di pangkuan
Sebagai sesama penyair, saya tahu benar bahwa Kurniawan Junaedhie piawai melantunkan kalimat penyihir cinta dalam puisinya: di dalam korek api kutemukan tubuhmu sedang membara atau: tubuhmu sumbu tubuhku bara sunyi menyalakannya Di samping semua pacu deru rasa cinta itu, saya masih menemukan perenungan kontemplatif khas haiku: duduk di bawah rembulan semburat awan bergelayutan kata-kata tersimpan Yang menarik, semua ini teresapi sebagai penanda – lebih dari batasan semiotika semata – melainkan juga sebagai bingkai bagi sebuah peristiwa cinta, di mana kata hanya berperan sebagai jembatan menuju apa yang sesungguhnya terjadi : seribu kata tak ada makna ketika tubuh menjadi kalimat hingga semuanya berderai dalam kediaman ingatan, yang membara dalam sunyi, seperti yangt dinyatakan oleh Kurniawan Junaedhie dalam haiku ini: seekor kepiting menanting sunyi dalam gigitan waktu Akhirnya, selamat menikmati buku ini.
Semarang, dini hari, 16 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar