Oleh: Kurniawan Junaedhie
HUJAN turun lebat. Embunnya memberi warna kelabu di kaca
jendela.
“Danang belum datang ya?” desis Siska mengusap embun di
jendela. Sambil mendentingkan gitar, Didi menoleh.
“Kau patah hati ya?”
“Tidak, kata
Siska. Tetapi hatinya memang sedih.
Kereta api
jurusan Bandung – Jakarta tak jalan. Ada jembatan rusak di Sasaksaat. Hujan
turun sejak semalam. Kalau pun mau pulang, dengan naik bus, juga mustahil. Tak
mungkin. Danang tak suka naik bus. Kakinya bisa kearm atau kesemutan karena
tertekuk. Juga, sudah bosan dengan pemandangan kota Bandung, Cianjur,
Padalarang, Puncak, Ciawi…Ya, membosankan memang.
“Besok
orangtuanya akan melamarku. Apa dia akan datang bersama mereka?” tanya Didi.
Tante Wiwiet
menurut surat Danang, sudah datang ke Bandung, dengan Dewi dan Inge. Khusus
terbang dari Manado ke Bandung untuk menyemarakkan acara pelamaran. Juga, Om
Supit datang dari Surabaya.
“Wah, rame
ya?” komentar Didi sambil memainkan Song for Anna. “Kau lebih beruntung.
Waktu Uci dilamar yang datang Cuma Didi dan ibunya. Suasana sepi.
“Aku sudah
bilang pada Danang. Dia sebetulnya tak usah ikut saja. Buang ongkos. Kan urusan
lamaran, dia tak perlu jadi saksi? Biar orangtuanya saja. Sederhana saja. Tapi
Danang ngotot. Tante Wiwiet diundang datang. Oom Supit juga diundang serta.
Bahkan Danang ikut pula. Sederhana saja kenapa sih? Dia kan sibuk dengan
pekerjaannya di pemboran minyak Cilacap?” gerutu Siska.
Didi tak
bergeming. Kalau aku jadi Danang, aku juga pasti akan ikut dalam rombongan
lamaran, meski itu urusan orangtua, pikirnya. Bagaimana pun ini peristiwa
bersejarah. Orang nikah tidak bisa sembarangan. Harus ada aturannya. Orangtua
si lelaki harus meminta anak gadis calon menantunya, kepada orangtuanya. Meski
hubungan mereka seluruh dunia sudah tahu.
“Danang
bilang, dia akan menjadi guide-nya. Dan orangtuanya tahu alamat rumah kita?”
kata Didi. “Dia omong begitu padaku, dulu.”
“Tapi itu
buang duit. Mending duitnya ditabung.”
Suara
dentingan Song For Anna dari gitar Didi beradu dengan derasnya air hujan
di luar. Dua hari lalu, Danang interlokal dari Cilacap; dia akan datang.
Kemarin, dia interlokal dari Bandung. Danang sudah pulng dari Bandung.
“Besok aku
akan datang. Nanti kita berdua menyambut papa mama di stasiun.”
Semua terjadi
begitu kilat.
Tapi tidak,
menurut Danang. :Kitaa kan sudah berhubungan selama hampir 3 tahun? Umur kita
tak bisa direm. Tahun ini, November, umurku sudah duasembilan. Dan umurmu sudah
dua enam. Sedang hubungan kita belum direstui orangtua.”
“Sebetulnya
kita bisa terus nikah saja, tanpa lamaran.”
“hush. Kau
ngebet amat sih, Nang?”
“Kau tak
ngebet?”
Siska
menggeleng.
“Dengar Sis,
aku tak mau kau mendapat suami perjaka tua. Demikian juga aku. Aku tak sudi
nikah dengan perawan tua. Kita sudah terlalu tua. Padahal aku ingin punya anak
duabelas. Aku tak mau, begitu kita kawin, kau sudah menopause.”
“Tidak. Aku
tak ingin punya anak. Kita kan pernah bilang, sebaiknya memesan bayi tabung
saja.”
“Eh, kau
serius?”
Papa keluar
dari kamar diikuti mama. Didi segera meletakkan gitar dan ikut mengiring papa,
ke dekat Siska yang masihi termangu di depan jendela.
“Danang belum
datang. Jembata kereta api di Sasaksaat putus. Kereta api tidak jalan. Sedang
Danang tak terbiasa naik bis” kata Didi menerangkan.
“Kalau begitu
dia tak datang hari ini,” Papa melirik arlojinya. “Dia pasti ikut rombongan
dari Manado.”
“Tapi dia kan
ikut menyambut rombongan orangtuanya di stasiun,” potong Siska. “Dia tak pernah
bohong.” Nadanya protes dan mengarap.
“Sebaiknya
kau interlokal ke Bandung, Di,” kata Mama.
Siska membalik
dan cemberut.
“Jangan, Di,”
katanya.
Didi
memandang ke arah Siska. “Kenapa? Kita kan harus tanya, apa Danang jadi datang
ke Jakarta hari ini atau tidak? Kau tahu, kalau Danang memang tak jadi datang
mendahului rombongan, kita kan tak usah menunggu begini?” kata Didi.
“O, kau takut
nanti disangkanya kau yang ingin Danang datang ya? Tidak Sis. Aku kan bisa
bilang, aku yang menelepon,” Didi tertawa dan menuju ke pesawat telpon.
Tetapii, DIdi ngomel-ngomel. “Sial,” katanya keluar. “Telepon rusak. Pasti ada
yang tersambar petir.”
“Danang pasti
datang,” gumam Mama, seolah membesarkan hati. “Karena aku tahu, dia lelaki yang
tak pernah bohong.”
Ya dia memang
tak pernah bohong, Siska berpikir dalam hati.
Natal tahun
lalu dia juga janji akan datang. Padahal nonsens. Pesawat terbang
Cilacap-Jakarta yang terbang tiga kali seminggu sudah penuh. Kereta api juga
penuh sesak. Bis-bis pun tak ada tempatt. Tapi toh Danang tetap datang tak
mengingkari janji, bagai naik jet saja.
+++++
Acara
pelamaran tampaknya sesuatu yang mendesak. Dengan selesainya acara itu, berarti
hubungan Siska dengan Danang sudah limapulu persen. Setelah tukar cincin nanti,
Danang dipromosikan menjadi kepala bagian, hubungan tambah lima persen. Sisanya
dua puluh lima persen resmi setelah menikah. Pada saat ini, Siska sudah
diharapkan menggondol doktoranda, itu kata Danang, tapi Siska mengejek.
“Aku tak
terlalu ingin hanya tukar cincin, baru minggu depannya kau jadi kepala bagian.
Bagaimana mungkin?”
Danang
garuk-garuk kepala.
“Maksudku,
dengan gaji yang sudah dinaikkan itu, kita leluasa melunasi hutang ke tukang
mas yang mengutangi cincin kawin kita,” jawabnya tak mau kalah. “Pokoknya, pada
saat itu hubungan kita sudah resmi tujuh puluh lima persen. Artinya, kau tak
boleh lagi berboncengan dengan doktorandus Siagian, dosen pembimbingmu. Aku sih tak cemburu. Tapi kau kan diolok-olok
orang tidak setia. Cowok lain. Jadi, kurang duapuluh lima persen ya?”
“Setelah jadi
seratus persen…?” tanya Siska menggoda.
“Artinya
sudah seratu spersen, kau harus setia. Aku juga akan setia. Kita akan saling
setia dan saling mencintai.”
Siska
mencibir.
“Aku sudah
meramalkan, kit sering cekcok seperti sekarang ini,” potong Siska menyilangkan
kedua tangannya di dada. “Jadi setelah acara tukar cincin, bukan duapuluh lima
persen lagi, Nang, tapi duapuluh empat persen.”
“He,”
Danang mengangkat alis. “Yang satu
persen kausimpan dimana?” Siska membuang muka.
“Yang satu
persen kita taruh di kolong meja. Itu kemungkinan kalau kita sering cekcok. Itu
kemungkinan kalau kita…..cerai.”
Danang merai
bahu Siska dan membalikkannya. Dia geleng-geleng kepala. “O, tidak Sis. Aku
janji. Aku tidak cekcok denganmu. Kalau kau marah, aku diam saja. Kalau kau
ngambek, biarin. Kita tidak akan cerai. Kita kan nikah di gereja? Yang
disatukan oleh Tuhan, tak boleh diceraikan oleh manusia. Ingat?” katanya.
“Bagaimana kalau kau nyeleweng?” tanya Siska.
“Nyeleweng?”
terpingkal-pingkal Danang. “Tidak, Sis, itu nonsens. Aku sudah tak mungkin
jatuh cinta lagi. Stock-nya sudah habis.”
“Bagaimana
kalau aku mati?”
“Entah ya?”
jawab Siska seenaknya. “Kau tokh masih hidup. Kita juga belum nikah. Buat apa
mmikirin yang bukan-bukan.”
Hujan deras
bulan April masih juga terus menderas di atas genting. Halaman basah kuyup.
Kaca jendela tambah buram. Siska duduk termangu di depan kaca berembun. Di
samping Pap Mama. Didi masih ngomel-ngomel karena telepon rusak, sehingga tak
bisa interlokal ke Bandung. Didi ngomel-ngomel karena payung sebanyak tiga biji
dibawa adiknya kuliah, sehingga tak bisa menerobos air hujan untuk mendapatkan
becak ke stasiun kalau-kalau Danang sudah tiba di sana tapi tidak bisa ke
rumah. Naik vespa dan berkuyup-kuyup kehujanan? Didi berkali-kali memeluk
gitar, tetapi tak terdengar nada yang menyenangkan karena sukar berkonsentrasi.
“Itu tak
penting, Sis,” kata Didi menghibur, “Yang penting kan besok. Keluarga Danang
datang meminangmu. Kalau itu bohong, bisa dikutuk arwah leluhur.
Baru saja
Siska berlalu, pintu diketuk dari luar. Didi melompat ke pintu. Siska tak jadi
melanjutkan langkah ke kamar. Mama memasang mata ke arah pintu.
[………………………………………………………………………]
#baris kalimat ini hilang,
tak jelas di kopian
dengan jas
hujan. Ketika pintu dibuka, dia membuka topinya yang basah oleh hujan. Dia tak
melangkah masuk.
“Di,” katanya
kepada Didi. “Danang tak bisa datang hari ini,” katanya lambat-lambat. Dia
merangkul Didi. “Jembatan Sasaksaat terputus tadi pagi…..,”
“Danang…Danang…pergi!”
Didi
tersentak. Dia melepaskan pelukan. Ditatapnya mata Oom Supit. Lalu ditengoknya
Siska dan Mama.
“Jadi…..”
Siska menyerbu Oom Supit. Dipeluknya Oom Supit.
“Ya, Sis…
Danangmu pergi. Dia berangkat tadi pagi dengan kereta api pertama… Jenazahnya
sekarang di Bogor…” (Cerita untuk Dewi)
+++++
Dimuat di majalah Gadis, 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar