11 September 2012

LAGU DARI BANDUNG

Oleh: Kurniawan Junaedhie

HUJAN turun lebat. Embunnya memberi warna kelabu di kaca jendela.
“Danang belum datang ya?” desis Siska mengusap embun di jendela. Sambil mendentingkan gitar, Didi menoleh.
“Kau patah hati ya?”
“Tidak, kata Siska. Tetapi hatinya memang sedih.
Kereta api jurusan Bandung – Jakarta tak jalan. Ada jembatan rusak di Sasaksaat. Hujan turun sejak semalam. Kalau pun mau pulang, dengan naik bus, juga mustahil. Tak mungkin. Danang tak suka naik bus. Kakinya bisa kearm atau kesemutan karena tertekuk. Juga, sudah bosan dengan pemandangan kota Bandung, Cianjur, Padalarang, Puncak, Ciawi…Ya, membosankan memang.
“Besok orangtuanya akan melamarku. Apa dia akan datang bersama mereka?” tanya Didi.
Tante Wiwiet menurut surat Danang, sudah datang ke Bandung, dengan Dewi dan Inge. Khusus terbang dari Manado ke Bandung untuk menyemarakkan acara pelamaran. Juga, Om Supit datang dari Surabaya.
“Wah, rame ya?” komentar Didi sambil memainkan Song for Anna. “Kau lebih beruntung. Waktu Uci dilamar yang datang Cuma Didi dan ibunya. Suasana sepi.
“Aku sudah bilang pada Danang. Dia sebetulnya tak usah ikut saja. Buang ongkos. Kan urusan lamaran, dia tak perlu jadi saksi? Biar orangtuanya saja. Sederhana saja. Tapi Danang ngotot. Tante Wiwiet diundang datang. Oom Supit juga diundang serta. Bahkan Danang ikut pula. Sederhana saja kenapa sih? Dia kan sibuk dengan pekerjaannya di pemboran minyak Cilacap?” gerutu Siska.
Didi tak bergeming. Kalau aku jadi Danang, aku juga pasti akan ikut dalam rombongan lamaran, meski itu urusan orangtua, pikirnya. Bagaimana pun ini peristiwa bersejarah. Orang nikah tidak bisa sembarangan. Harus ada aturannya. Orangtua si lelaki harus meminta anak gadis calon menantunya, kepada orangtuanya. Meski hubungan mereka seluruh dunia sudah tahu.
“Danang bilang, dia akan menjadi guide-nya. Dan orangtuanya tahu alamat rumah kita?” kata Didi. “Dia omong begitu padaku, dulu.”
“Tapi itu buang duit. Mending duitnya ditabung.”
Suara dentingan Song For Anna dari gitar Didi beradu dengan derasnya air hujan di luar. Dua hari lalu, Danang interlokal dari Cilacap; dia akan datang. Kemarin, dia interlokal dari Bandung. Danang sudah pulng dari Bandung.
“Besok aku akan datang. Nanti kita berdua menyambut papa mama di stasiun.”
Semua terjadi begitu kilat.
Tapi tidak, menurut Danang. :Kitaa kan sudah berhubungan selama hampir 3 tahun? Umur kita tak bisa direm. Tahun ini, November, umurku sudah duasembilan. Dan umurmu sudah dua enam. Sedang hubungan kita belum direstui orangtua.”
“Sebetulnya kita bisa terus nikah saja, tanpa lamaran.”
“hush. Kau ngebet amat sih, Nang?”
“Kau tak ngebet?”
Siska menggeleng.
“Dengar Sis, aku tak mau kau mendapat suami perjaka tua. Demikian juga aku. Aku tak sudi nikah dengan perawan tua. Kita sudah terlalu tua. Padahal aku ingin punya anak duabelas. Aku tak mau, begitu kita kawin, kau sudah menopause.”
“Tidak. Aku tak ingin punya anak. Kita kan pernah bilang, sebaiknya memesan bayi tabung saja.”
“Eh, kau serius?”
Papa keluar dari kamar diikuti mama. Didi segera meletakkan gitar dan ikut mengiring papa, ke dekat Siska yang masihi termangu di depan jendela.
“Danang belum datang. Jembata kereta api di Sasaksaat putus. Kereta api tidak jalan. Sedang Danang tak terbiasa naik bis” kata Didi menerangkan.
“Kalau begitu dia tak datang hari ini,” Papa melirik arlojinya. “Dia pasti ikut rombongan dari Manado.”
“Tapi dia kan ikut menyambut rombongan orangtuanya di stasiun,” potong Siska. “Dia tak pernah bohong.” Nadanya protes dan mengarap.
“Sebaiknya kau interlokal ke Bandung, Di,” kata Mama.
Siska membalik dan cemberut.
“Jangan, Di,” katanya.
Didi memandang ke arah Siska. “Kenapa? Kita kan harus tanya, apa Danang jadi datang ke Jakarta hari ini atau tidak? Kau tahu, kalau Danang memang tak jadi datang mendahului rombongan, kita kan tak usah menunggu begini?” kata Didi.
“O, kau takut nanti disangkanya kau yang ingin Danang datang ya? Tidak Sis. Aku kan bisa bilang, aku yang menelepon,” Didi tertawa dan menuju ke pesawat telpon. Tetapii, DIdi ngomel-ngomel. “Sial,” katanya keluar. “Telepon rusak. Pasti ada yang tersambar petir.”
“Danang pasti datang,” gumam Mama, seolah membesarkan hati. “Karena aku tahu, dia lelaki yang tak pernah bohong.”
Ya dia memang tak pernah bohong, Siska berpikir dalam hati.
Natal tahun lalu dia juga janji akan datang. Padahal nonsens. Pesawat terbang Cilacap-Jakarta yang terbang tiga kali seminggu sudah penuh. Kereta api juga penuh sesak. Bis-bis pun tak ada tempatt. Tapi toh Danang tetap datang tak mengingkari janji, bagai naik jet saja.
+++++
Acara pelamaran tampaknya sesuatu yang mendesak. Dengan selesainya acara itu, berarti hubungan Siska dengan Danang sudah limapulu persen. Setelah tukar cincin nanti, Danang dipromosikan menjadi kepala bagian, hubungan tambah lima persen. Sisanya dua puluh lima persen resmi setelah menikah. Pada saat ini, Siska sudah diharapkan menggondol doktoranda, itu kata Danang, tapi Siska mengejek.
“Aku tak terlalu ingin hanya tukar cincin, baru minggu depannya kau jadi kepala bagian. Bagaimana mungkin?”
Danang garuk-garuk kepala.
“Maksudku, dengan gaji yang sudah dinaikkan itu, kita leluasa melunasi hutang ke tukang mas yang mengutangi cincin kawin kita,” jawabnya tak mau kalah. “Pokoknya, pada saat itu hubungan kita sudah resmi tujuh puluh lima persen. Artinya, kau tak boleh lagi berboncengan dengan doktorandus Siagian, dosen pembimbingmu.  Aku sih tak cemburu. Tapi kau kan diolok-olok orang tidak setia. Cowok lain. Jadi, kurang duapuluh lima persen ya?”
“Setelah jadi seratus persen…?” tanya Siska menggoda.
“Artinya sudah seratu spersen, kau harus setia. Aku juga akan setia. Kita akan saling setia dan saling mencintai.”
Siska mencibir.
“Aku sudah meramalkan, kit sering cekcok seperti sekarang ini,” potong Siska menyilangkan kedua tangannya di dada. “Jadi setelah acara tukar cincin, bukan duapuluh lima persen lagi, Nang, tapi duapuluh empat persen.”
“He,” Danang  mengangkat alis. “Yang satu persen kausimpan dimana?” Siska membuang muka.
“Yang satu persen kita taruh di kolong meja. Itu kemungkinan kalau kita sering cekcok. Itu kemungkinan kalau kita…..cerai.”
Danang merai bahu Siska dan membalikkannya. Dia geleng-geleng kepala. “O, tidak Sis. Aku janji. Aku tidak cekcok denganmu. Kalau kau marah, aku diam saja. Kalau kau ngambek, biarin. Kita tidak akan cerai. Kita kan nikah di gereja? Yang disatukan oleh Tuhan, tak boleh diceraikan oleh manusia. Ingat?” katanya.
 “Bagaimana kalau kau nyeleweng?” tanya Siska.
“Nyeleweng?” terpingkal-pingkal Danang. “Tidak, Sis, itu nonsens. Aku sudah tak mungkin jatuh cinta lagi. Stock-nya sudah habis.”
“Bagaimana kalau aku mati?”
“Entah ya?” jawab Siska seenaknya. “Kau tokh masih hidup. Kita juga belum nikah. Buat apa mmikirin yang bukan-bukan.”
Hujan deras bulan April masih juga terus menderas di atas genting. Halaman basah kuyup. Kaca jendela tambah buram. Siska duduk termangu di depan kaca berembun. Di samping Pap Mama. Didi masih ngomel-ngomel karena telepon rusak, sehingga tak bisa interlokal ke Bandung. Didi ngomel-ngomel karena payung sebanyak tiga biji dibawa adiknya kuliah, sehingga tak bisa menerobos air hujan untuk mendapatkan becak ke stasiun kalau-kalau Danang sudah tiba di sana tapi tidak bisa ke rumah. Naik vespa dan berkuyup-kuyup kehujanan? Didi berkali-kali memeluk gitar, tetapi tak terdengar nada yang menyenangkan karena sukar berkonsentrasi.
“Itu tak penting, Sis,” kata Didi menghibur, “Yang penting kan besok. Keluarga Danang datang meminangmu. Kalau itu bohong, bisa dikutuk arwah leluhur.
Baru saja Siska berlalu, pintu diketuk dari luar. Didi melompat ke pintu. Siska tak jadi melanjutkan langkah ke kamar. Mama memasang mata ke arah pintu.
[………………………………………………………………………] #baris kalimat ini hilang, tak jelas di kopian
dengan jas hujan. Ketika pintu dibuka, dia membuka topinya yang basah oleh hujan. Dia tak melangkah masuk.
“Di,” katanya kepada Didi. “Danang tak bisa datang hari ini,” katanya lambat-lambat. Dia merangkul Didi. “Jembatan Sasaksaat terputus tadi pagi…..,” “Danang…Danang…pergi!”
Didi tersentak. Dia melepaskan pelukan. Ditatapnya mata Oom Supit. Lalu ditengoknya Siska dan Mama.
“Jadi…..” Siska menyerbu Oom Supit. Dipeluknya Oom Supit.
“Ya, Sis… Danangmu pergi. Dia berangkat tadi pagi dengan kereta api pertama… Jenazahnya sekarang di Bogor…” (Cerita untuk Dewi)
+++++

Dimuat di majalah Gadis, 1983

Tidak ada komentar:

Posting Komentar