17 Agustus 2012

MEI 1998, KISAH SEPOTONG AME



Hari itu aku naik sepeda. Pedal kukayuh; dan sepeda menyeretku ke jalan berbatu. Namaku Ame. Hari itu Mei 1998. Aku sedang mens. Aku makan sepotong sosis dari lemari pendingin.  Aku mencuci tangan di wastafel.  Aku menepuk pantat adik bayi di tempat buaian. Aku menjemur pakaian dan memecahkan cangkir.  Aku mencium pipi Ibu di dapur.  Aku melihat wajahku yang pucat di  cermin.  Aku sedang mens. Kukayuh hatiku untuk menekuk waktu yang panjang menjadi pendek. Kulepas tubuhku meluncur di jalanan  membuyarkan kawanan itik dan membiarkan  anganku terkelupas. 

Suara rante dan pedal berderak-derak seperti suara pabrik. Angin mengepal-ngepal di betis dan paha. Sadel melonjak bila ada kucing melintas, dan ragaku seperti hendak ditarik ke langit. Aku teringat Han yang suka menyelipkan bunga dalam buku karena aku suka bunga dan dia kutubuku. Alangkah indahnya hidup.

Angin terus menderu dan menampar pipiku yang pucat.  Lalu langit gelap tiba-tiba.  Aku  seperti untaian  kalung yang tumpah  di jalanan dan membiarkan tumpukan najis muncul dari gorong-gorong. Aku melihat sepeda naik ke tubuhku. Aku melihat sekawanan kambing mencabik-cabik pahaku. Aku melihat Han menyelip dalam buku dan menggigit mulutnya sendiri. Aku melihat pecahan wastafel  dan jeruji roda masuk ke vagina. Aku seperti telur mata sapi di penggorengan. Aku mendengar suara gergaji di dapur. Aku melihat mentega meleleh dari lemari pendingin. Aku terlempar dalam kalender dan bersandar pada penanggalan. Hidup ternyata tidak indah.

Aku sedang mens. Namaku Ame.  Sekarang aku tak punya sepeda.

Jakarta, 14 Mei 2010-2011

(Dimuat dalam buku antologi puisi BANGGA AKU JADI RAKYAT INDONESIA, KKK, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar