
Belum tandas menyelesaikan sisa kopi “Perempuan dalam Secangkir Kopi” sore itu disodorkan kopi lain dengan label “Sepasang Bibir dalam Cangkir” yang sudah menyeret angan pada tatap mata yang kedap-kedip mengajak merenangi kedalaman secangkir kopi hitam pekat.
Pelayan kafe menyodorkan secangkir kopi di mejaku. Karena ingin tahu, aku segera membaui aromanya. Tiba-tiba kudengar sendok gemeratak di samping cangkir. Adakah itu suara beling bergesekan? tanyaku sambl segera menyingkirkan cangkir jauh ke tengah meja. “Bukan, itu suaraku,” terdengar suara perempuan memekik tersipu. Aku kenal suara itu. Aku lalu aduk kopi itu. Astaga. Kehitamannya menjadi pekat seperti langit yang gelap. Adakah kau ada di dalam kegelapan itu? tanyaku ingin tahu. Tak ada jawaban Yang kudengar hanya senyap dan bau kopi yang menyengat. Baru kemudian suara ricik air kopi berpusingan di dalam cangkir lalu air kopi yang hangat bergulungan di sepanjang kerongkongan. [Perempuan dalam Secangkir Kopi (3)] hal. 9
Ternyata kadar puitik lirik sajak ini seperti ampas kopi yang mengendap di dasar cangkir siap dibuncahkan di basin tempat pencucian. Entah apa yang menjadikan sajak ini demikioan hambar tanpa rasa. Apakah sajak ini tinggal remah-remah puisngan sendok penyair pada dasar cangkirnya? Atakah penyair telah begitu imun dengan racun kafeine kreatifnya hingga pesona sajak tumpah tak berarah begulungan di sepanjang kerongkongan.
Bandingkan dengan sajak sebelumnya dalam “Perempuan dalam Secangkir Kopi”
Perempuan itu hilang dari rumahnya. Meninggalkan dua anaknya yang sedang melukis pemandangan: gunung dan matahari. Ia terbang dan masuk ke dalam sebuah cangkir di kafe di meja dekat seorang pria yang sejak tadi asyik bermain laptopnya. Apakah yang lebih berarti daripada hidup di dalam cairan? Ia berenangan di dalamnya, dan karena iseng ia lalu, menyembulkan kepala dan memainkan matanya ke arah pria di sampingnya. Si pria terpana. Ia ikut menegrlingkan mata. Sangat sexy, menurut mata pria itu. Ada perempuan dalam cangkir, gumamnya. Tanpa disadari tangannya memain-mainkan sendoknya. Perempuan itu lalu menyelam lebih dalam ke lubuk kopi.(Perempuan dalam Secangkir Kopi)
Sajak ini masih menyisakan gema narasi yang dapat dirunut sampai pada labirin puisi tingkat tujuh. Ketokohan perempuan dalam sajak ini lebih memwujud. Seperti penyair papan atas limapuluah semisal Sapardi Djoko Damono (SDD) yang juga meluruhkan syair-syairnya jadi memprosa. Simak sajak SDD berikut:
1/
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya. la ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. la tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa. Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari. Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.(potongan sajak KOLAM DI PEKARANGAN)
Kembali ke kumpulan sajak Kurniawan Junaedhie (KJ) yang dipakai sebagai tajuk buku:
Aku sedang duduk di dalam kafe. Pelayan kafe meletakkan cangkir kopiku pelan-pelan di atas meja. Aroma kopi mengudara, membuat kaca kafe berembun seperti hari menjelang senja. Ketika si pelayan berlalu, tiba-tiba saja kulihat kamu sedang melambaikan tangan di kaca itu. Aku terkesiap dan memburu, membuat cangkir terguncang oleh sendok sehingga airkopi itu berpusing-pusing jatuh ke pisin, menitik dim lantai, sebelum lelerannya jatuh berdenting. Ketika aku tengadah, kamu sudah mengabur dari kaca yang masih berembun oleh aroma koi. Sekarang aku melihat sepasang bibir di dasar cangkir dekat air kopi di pisin menyeru-nyeru namaku. Siapa pemilik bibir itu? tanyaku sambil membaui aroma dan ampas kopi yang rebah di lantai.
Untuk kesekian kalinya seandainya bukan KJ yang menyusun kata-kata itu dalam buku puisi dengan kemahrannya mengocok memori dan lokasi tentu akan dinyatakan puisi ini gagal memuisi. Rancunya logika kata, juga paparan imaji yang tumpang tindih karena over production dan kekuatan KJ yang yakin seyakin-yakinnya itulah puisi yang terpuisikan. Jika ini lahir dari lelehan imaji gagasan dan ungkapan penyar pemula pastilah akan terhajar dengan sendirinya oleh pembaca yang tak kenal barang mengkal untuk disantap kecuali dalam rujak parti.
Secara garis besar sajak yang terhimpun dalam buku ini dapat dibagi dalam sub bab seperti perjalanan, perempuan, hujan dan catatan harisan di sekitar rumah. Bahkan kalau mau dicermati sajaknya mengingatkan pola ungkap kelompok mBeling 23761 pada tataran judulnya seprti Iklan Laptop, Iklan Mesin Cuci, Iklan Kulkas, Iklan Sabun Mandi, Bukan Sambal Terakhir Persembahan Istri, dan Sajak Suami yang Jempolan dan BIjaksana. Sedangkan yang menarik adalah sajak Selamat Imlek (Kisah Lelaki yang Dibakar di Tungku) sajak yang kuat dengan latar budaya yang menyaran memeprkaya puisi yang termuati legenda atau mitos ataupuin kearifan budaya lokal.
Hari itu semua anggota keluarga mengibas-ibaskan rambutnya pertanda habis keramas. Semua lampu dinyal;akan sampai jam 12. Setelah makan bersama keluarga, sembari menenggak teh hangat dari teko, Ayah mengajakku ke dapur. “Kita manusia bisa hidup di dunia, harus bersyukur pada tungku dan kompor,” kata Ayah. “sebab benda-benda ini memasak nasi untuk kita.” Tanpa sepengetahuan Ayah, diam-diam aku melihat seorang lelaki sedang meringkuk di salam tungku. Di dekat tungku juga ada seorang perempuan sedang bersembunyi. Seorang lelaki lain tiba-tiba datang membawa kayu bakar dan menyulut tungku. Ketika lelaki dalam tungku itu lenyap jadi abu, perempuan itu menangis tersedu-sedu. Aku ingin berbisik pada perempuan malang yang rupanya istri dari lelaki yang dibakar itu agar jangan menangis. Tapi Ayah menutup bibirku. “Psst … Besok Imlek. Kamu jangan menangis.” Aku menoleh ke jendela. Di ruang tamu, kulihat hujan turun gerimis. Seekor kelinci melompat keluar dari gerumbul sajakku. (hal. 30)
Sedang sajak-sajak bertajuk Yogyakarta, Once upon a Time (1 sampai dengan 5), Ketika Hujn Turun di Dagen sangat kental suasana dan potertan sketsa perja;anan yang membawa pesan gempal padat dan tertakar. Bencana alam yang menimpa cukup parah wilayah Merapi (selain sajak-sajak dalam kumpulam “Merapi Gugat”) KJ telah menutup kejanggalan imaji dan gagasan yang mewujud dalam kata dari sajak-sajak yang berkubang dengan kopim dan perempuan. Sajak-sajaknya juga mengingatkan ingatan kolosal tentang kesulitan yang didera bencana serta gaya mBeling masa 23761 masih menafasi penerbitan majalah music Aktuil dengan kolom puisi mBeling dan cerita pendek maupun cerita bersambuk yang “nakal” dan menyentil. Sajak-sajak iklan dan hujan KJ perlu diamati dengan seksama unyuk menyatakan bahawa kecenderungan penyair diatas limapuluhan akan menuliskan sajakdan puisi-syairnya dalam narasi panjang lkarena kemampuan mengolah nafas kata dalam jajaran kalimat per bait dan barisnya. semoga sinyalemen “ngawur” tanpa “ngaca referensi” ini tidak membenarkan bahwa kenangan dan kebersamaan sering menyeret deru gelombang kreatifitas para calon lansia makin berkobar setelah terbunuh rutinits kerja yang sudah mulai susut mengawali langkah purna karya alias pension. (Akan dilacak apa yang termuat dalam antologi The Fiffties dan Senandoeng Radja Ketjil yang juga menyertakan puisi KJ apakah menjawab kecurigaan penyair papan atas limapuluh mulai memncairkan dajaknya agar tampak sederhana terbaca termaknai tanpa kerut dahi alias lugu (baca: mBeling).
Sudah mau senja disudahkan saja eb-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar