
"MENGAPA saya menulis haiku dan menerbitkannya?" begitu Kurniawan Junaedhie (KJ) mengantar buku "100 Haiku untuk Sri Ratu" (Bisnis2030, 2010: 100 hal +x). Lalu KJ menjawab pertanyaannya sendiri "Menulis haiku ternyata punya sensasi tersendiri. 100 haiku ini saya tulis selama 12 jam, non stop. Sama sekali tidak berjuang untuk memecahkan rekor MURI. Dengan menjelaskan hal ini saya hanya ingin mengatakan, betapa asyiknya menulis haiku. Apalagi ada Susy Ayu yang memprovokasi dan bersedia menjadi inspirasinya. Ia pula yang men-support ketika proses penulisan maraton itu dimulai pukul 12 siang, sampai proses penulisan berakhir, pukul 00.00....itu sebabnya, 100 haiku ini saya persembahkan untuk dia". Itu pula sebabnya, judul tulisan ini kuplesetkan "Menikmati Haiku buat Susy Ayu". Heru Emka yang mengawal buku ini menyatakan afirmasi tentang "Bara Cinta Dalam Sunyi". Saya dalam tulisan ini akan mengajak pembaca melacak jejak seperti apakah "bara cinta dalam sunyi" yang ditangkap oleh Heru Emka. Dan agar berbeda dengan sudut pandang Heru Emka, saya akan mengawali petualangan ini dengan haiku 1/ musim rambutan/kami berjalan ke hutan/mencari ketenangan.
Haiku KJ diawali dengan penanda musim, kongkretnya musim rambutan, tetapi lantaran haiku itu puisi ungkapan "musim rambutan" itu janganlah langsung dimaknai sebagai musim rambutan beneran. Musim rambutan yang tampil hiruk-pikuk di pasar, mengajak kita memperoleh ketenangan justru di dalam hutan (meski di dalam hutan justru acap ditemukan binatang buas dan berbisa).
KJ menulis haikunya mungkin di tengah kota, tetaapi imajinasinya menyeret pembaca masuk ke dalam hutan makna. Gambaran nyala cinta mulai tampil pada haiku 2/ teh hijau tanpa gula/dinikmati dengan 1000 cinta/hati yang menyala. Sebagai "model" yang menginspirasi, bisa jadi, saat itu Susy Ayu menyeruput teh hijau sembari menemani KJ, dan dalam pandangan KJ terasa ada hati yang menyala. Pandangan KJ mengarah ke pokok-pokok pinus yang menghumuskan kata-kata mengisahkan gelora (haiku 3/). Lalu tampak dia berlari di jembatan/aku sembunyi diam-diam/senangnya bercandaan (haiku 4/). Siapakah "dia" yang berlarian? Siapakah yang sembunyi dan asyik bercandaan? Ah, ini gak penting, sebab di bawah jembatan/batu kali tidak pernah menanti/cintanya jatuh sendiri (haiku 5/). Cinta yang luar biasa dan terkesan tergesa, sebab di bawah jembatan/bibirnya jatuh/aku mengambilnya buru-buru (haiku 6/). Lalu konsentrasi pembaca dengan cerdik dialihkan perhatiannya ke semangkuk bubur ayam/bergoyang di meja restoran/air ludah saling menelan (haiku 7/). Lalu dua iris semangka/ teronggok di kulkas/sunyi melengos malu (haiku 8/). Sesudah itu, di kamar mandi/bau sabun menyesap/ke dalam jantung (haiku 9/), lalu pada haiku 10/ di dalam kotak AC/aku menyimpan hatinya/agar membeku.
Sepuluh haiku gubahan KJ yang mengawali buku ini terasa asyik. Pembaca diajak bertualang memasuki hutan rambutan, menikmati teh hijau, menulis puisi di rimbun pinus, bercanda di bawah jembatan serupa batu-batu kali yang tak pernah menanti cinta, sebab cintanya jatuh sendiri. Pembaca juga disuguhi sensasi fisikal, sensasi rasa, sensasi cita rasa "bibir yang jatuh (dan) aku mengambilnya buru-buru, ludah saling menelan melihat semangkuk bubur ayam di restoran (mestinya rumah makan, sebab restoran itu hanya menyediakan aneka minuman), pembaca disuguhi sensasi yang menyegarkan "dua iris semangka/teronggok di kulkas/sunyi melengos malu"; lalu peristiwa di kamar mandi pun terdedah dengan indah dan menggugah, hingga sampai ke haiku 10 dinyatakan "aku menyimpan hatinya agar membeku". WOW.
SEPULUH haiku terakhir, tak kalah menyihir: aku berdiri di anjungan/dia diseberang pulau/mengirim pesan singkat (haiku 91/). Lalu di pagi buta/ ada yang bercanda/ di balik celana saya (haiku 92/), di antara rintik hujan/kudengar tik-tok hatiku/dan nafas tertahan (haiku 93/), pagi berembun/dia menggeliat/aku memahat (haiku 94/), daun gugur di tanah/bersama remah-remah/hatiku gundah (haiku 95/), terbit fajar/membakar rokok/membakar diri (haiku 96/), ketika siang berseri/perpisahan menanti/untuk ribuan hari (haiku 97/), sederet nama/selaksa cinta/hanya dia kusemat di dada (haiku 98/), pelayan hotel/menawarkan sarapan/kami sudah kenyang (haiku 98/), dan ayam pun berkokok/kutakhlukkan Roro Jonggrang/ sudah kubangun 100 candi (haiku 100/). Ya, seratus candi telah tegak berdiri mempertaruhkan eksistensi KJ sebagai penyair yang mampu menyihir. Candi yang mengabadikan risalah cinta yang penuh warna bunga. Roro Jonggrang telah tertakhlukkan oleh rangkaian kata-kata padat-padu yang tertuang dalam bentuk haiku.
Menilik penampilan haiku yang ditandai dengan angka 1/ sampai dengan 100/, sejatinya KJ telah menggubah puisi panjang. Puisi paling panjang dalam sederetan perpuisian Indonesia. Menurutku, KJ tak perlu "LATAH" menamai haiku, sebab senyatanya dalam perpuisian Indonesia telah dikenal sajak alit. Untaian "sajak alit" bernomor 1 sampai dengan 100 yang merupakan satu kesatuan menurutku telah mendedahkan sensasi rasa yang indah, enak dikecap lidah, merangsang untuk disentuh, merdu didengar, dan enak dibicarakan. Dalam sajak alit ini KJ terkadang tampil dengan gurauan segar, membanyol. Banyolan segar juga merupakan estetika perpuisian Indonesia yang tidak jatuh pada keinginan mengundang tawa, tetapi lebih mengarah pada seruan: WOW.
Begitulah KJ dengan puisi-puisinya. Meski Susy Ayu hadir sebagai support dan motivator, pembaca hendaknya jangan tergesa mengatakan "pasti ada apa-apanya", meski secara tegas KJ menyatakan di haiku 98: sederet nama/selaksa cinta/hanya dia kusemat di dada.
Akhirul kalam, lantaran penulis puisi telaah mati begitu sajak dipublikasikan, dan sumber inspirasi juga ikut mati saat pembacaan, maka ruang pemaknaan bisa menjadi semakin meluas dimensinya. Bagaimana luas dimensi puisi-puisi KJ, silakan para pembaca memburunya sendiri. Salam DAM damai senantiasa. . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar